DENDAM
- Apa salahku? "Saya ...." Vania berhenti lalu menunduk menahan isak. Kemudian kembali mengangkat wajahnya. "Saya sangat sedih untuk hari ini. Tapi mungkin memang tidak ada jodoh di antara kami. Saya terima dengan lapang hati "Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh tamu undangan yang tetap hadir di sini, meskipun sebagian sudah tahu, kalau pernikahan ini sebenarnya telah batal. Terima kasih banyak untuk semuanya." Vania menangkupkan tangan sambil memandang dokter-dokter senior yang duduk di barisan depan. Lalu melakukan hal yang sama pada semua undangan yang datang. Kemudian ia mundur ke belakang. Suara tepuk tangan menggema bersama dengan ucapan penyemangat. Sebagai penghormatan untuk keberanian seorang gadis yang sudah dihancurkan dan dipermalukan. Setelah itu ganti Pak Setya yang memberikan sambutan. Intinya sama, ucapan terima kasih dan permintaan maaf. Setelah Vania turun dari panggung, para dokter senior, teman-teman koas, dan rekan-rekan lainnya menghampiri. Memeluk dan memberikan dukungan padanya. Dan saat itu juga, cerita tentang Vania menjadi viral di media sosial. Entah siapa yang mengambil video dan mengunggahnya pertama kali, tapi media sudah heboh membicarakannya. Banyak yang memuji ketegaran Vania Azzahra dan mengutuk lelaki itu. Sagara. "Kamu hebat, Van. Kalau aku mungkin sudah nggak sanggup bertemu orang-orang." Tara merangkul sahabatnya. Mereka duduk di ruang tamu setelah acara selesai. Para tamu undangan sudah pulang selesai menikmati hidangan. Pak Setya tidak menerima sumbangan. Namun yang sudah membawa kado, tetap memaksa memberikannya pada Vania. "Sebenarnya aku pengen pingsan saja, biar nggak perlu mikir apa-apa lagi, Tar," jawab Vania serak karena kebanyakan menangis. "Tapi kamu hebat, tetap mampu berdiri, dan ngomong sejujur itu di depan ratusan orang. Menurutku, itu sangat luar biasa." Vania menatap jauh keluar. "Kamu tahu? Sagara pernah janji kalau dia nggak akan pernah ninggalin aku. Kalau dia berubah pikiran, seharusnya bicara terus terang. Kenapa menghilang dan mempermalukanku dan keluargaku. Apa salah kami hingga dia setega itu." Tara menggenggam tangan sahabatnya. "Nggak ada yang salah denganmu. Bersyukurlah kamu dibebaskan dari lelaki brengsek. Meski kamu harus melewati masa sakit begini. Cinta yang tulus nggak akan meninggalkanmu di tengah jalan. Ia akan menggandeng tanganmu dan berjalan bersamamu, meski apapun yang terjadi. Namun Sagara melakukan hal sebaliknya. Si brengsek itu nggak perlu kamu pikirkan lagi. Hanya seorang pengecut yang nggak punya keberanian meski untuk mengucapkan selamat tinggal." Vania menarik napas panjang untuk menahan air mata. "Tapi aku masih sah sebagai istrinya, Tar." Tara termangu. Benar juga. Mereka masih ada ikatan pernikahan. Akad nikah siri yang tidak diketahui oleh orang banyak. Sekarang yang ada di kepala Vania bukan hanya tentang Sagara saja. Tapi pergunjingan orang-orang di luar sana. Pasti ada yang bersimpati, ada yang mencibir, dan yang jelas ia dan keluarganya akan menjadi perbincangan dalam waktu yang tak bisa dibatasi. Tidak hanya dirinya saja, orang di luar sana pasti akan selalu mengingat momen ini. "Van, beritamu viral di medsos." Tara menunjukkan ponselnya pada Vania. Satu videonya saat memberikan kata sambutan, mendapatkan ratusan ribu like di sebuah aplikasi. "Ya," jawab Vania singkat. Dia sudah menduganya. Zaman sekarang hal begini pasti akan menjadi bahan konten untuk sebagian orang. Tak mengapa. Dia tidak bisa mencegah atau menghentikan segala yang serba digital. "Semoga bajingan itu melihatnya, Van." Vania tersenyum pahit. Ia menunduk, memperhatikan jemarinya yang bertaut di pangkuan. Cincin pernikahan siri yang disematkan Sagara sudah ia lepaskan. Dari semua yang terjadi, ada satu momen yang paling ia sesali. Kejadian di hotel haru itu dan hari-hari setelahnya. Dan tidak ada seorangpun tahu kecuali dirinya dan Sagara. Dia tidak berzina, tapi ini sungguh menyakitkan. "Van, aku ada waktu. Kita bisa liburan. Aku akan menemanimu." "Aku nggak bisa, Tar. Cutiku tinggal dua hari lagi. Aku harus menyelesaikan koasku. Setelah hancur karena dia, aku nggak ingin cita-citaku juga hancur." Tara mengangguk. "Baiklah. Tapi kapan pun kamu ada waktu, aku akan menemanimu." "Makasih, ya." Vania memeluk sahabatnya. Dan ia menangis di pelukan teman yang selalu mengerti akan dirinya. 🖤LS🖤 Setelah masa cuti nikahnya habis, Vania kembali ke rumah sakit. Kesibukannya dengan para pasien, sedikit mengurangi beban hatinya. Dia bisa bercanda, sambil terus belajar bagaimana menghadapi karakter para pasien. "Minum dulu, Van." Seorang pria mengenakan jas dokter duduk di hadapannya. Meletakkan segelas teh hangat di meja Vania. Saat itu dia mendapatkan jadwal jaga malam di IGD. Gadis yang tengah melamun itu kaget. Kemudian mengangguk sopan pada Raka. Dokter umum yang begitu baik padanya. Selalu memberikan bimbingan dan membantunya selama koas. "Terima kasih banyak, Dok." Meski canggung, Vania meraih gelas dan minum beberapa teguk. Raka bertanya tentang kesulitan Vania belakangan ini di rumah sakit. Dokter itu sama sekali tidak menyinggung tentang kejadian seminggu yang lalu. Sebab ia pun tahu, Vania belum bisa dikatakan baik-baik saja dan masalah itu sangat sensitif. "Tetap semangat, Vania. Semoga ujian kompetensimu nanti lancar. Dan mudah-mudahan kamu tetap bisa internship di rumah sakit ini." "Aamiin. Terima kasih banyak, Dok." "Yupp. Aku tinggal dulu, ya." Raka bangkit dari duduknya. Vania termangu dan kembali memandang berkas di meja. Kepalanya terasa masih berat. Beban itu entah kapan akan berkurang dan hilang. Mungkin untuk hilang tak akan mungkin. Setidaknya bisa berkurang. Sekarang statusnya bagaimana? Masih istri sahnya Sagara, kan? Walaupun mereka hanya menikah siri. Lantas bagaimana jika ingin bercerai? Vania benar-benar tidak paham akan hal itu. Ia menarik napas panjang. Matanya kembali berkaca-kaca. Orang melihat dia begitu kuat, tapi sebenarnya sudah hancur lebur. Yang lebih mengejutkan lagi, semua foto pernikahan sirinya dengan lelaki itu tidak ada di penyimpanan laptopnya. Di galeri ponselnya juga tidak ada. Tadi malam Vania baru mengetahui. Apa Sagara yang menghapusnya, ketika pria itu datang ke rumah sebelum dia menghilang. Terniat sekali ingin menghancurkannya. Apa salah dan dosanya? Bukankah selama ini hubungan mereka baik-baik saja. Dia mencari-cari kesalahannya, tapi nyaris tidak ada. Tapi kenapa Sagara menghilang sekalian dengan semua bukti kebersamaan mereka. Tubuh Vania gemetar. Ia membuka tas dan mengambil sesuatu dari sana. Sekali lagi ia ingin memastikan kalau tidak hamil. Dengan langkah cepat, Vania masuk ke kamar mandi. Ini tes ketiga kalinya semenjak acara pernikahannya batal. Next ....Sosok dewasa itu turun dari mobilnya setelah Cici muncul di depan pintu. Surprise sekali bagi Cici. Tak menyangka Angkasa rela nyetir sendirian dari Jogja demi mencari rumahnya di Kediri. Orang tua Cici menyambut dengan ramah. Pertemuan dimulai dengan perkenalan. Dan ini sungguh mengejutkan, Cici dan orang tuanya baru tahu kalau Angkasa bukan dari keluarga biasa. Hampir semua keluarganya berprofesi dokter. Pemilik sebuah klinik yang dikelola bersama. Dan lewat video call, Cici berkenalan dengan kedua orang tua Angkasa."Minggu depan, kami sekeluarga akan berkunjung ke rumah Bapak dan Ibu untuk melamar Nak Ciciana." Ucapan mamanya Angkasa sungguh mengejutkan.Tanpa bertanya pada Cici, mamanya langsung bilang. "Kami tunggu, Bu."Penantian Cici pada dokter Raka 2,5 tahun, akhirnya terbayar manis dengan kehadiran dokter spesialis bedah jantung yang baru dikenalnya belum lama.🖤LS🖤Semua proses menuju pernikahan begitu cepat. Orang tua Angkasa datang melamar dan langsung membicarakan ha
"Mas, makasih banyak. Nggak nyangka kita bisa jadi teman selama dua hari ini." Cici memandang Angkasa."Nggak hanya dua hari. Kita bisa jadi teman seterusnya. Saya akan mengunjungimu ke Blitar nanti."Cici tersenyum. Lalu mengulurkan tangan karena ia harus segera naik ke kereta. "Hati-hati. Nanti sesampainya di Blitar kabari.""Ya." Cici kemudian mengikuti porter yang berjalan di depannya. Lalu menoleh sejenak pada Angkasa sebelum ia menjauh.🖤LS🖤Hari-hari berikutnya, Cici makin tertekan. Raka jarang sekali menghubungi. Sekalinya bicara, hanya tentang pekerjaan dan keluh kesah tugas. Tidak pernah menyinggung soal masa depan mereka.Sementara Angkasa semakin gencar mendekati. Ia menanyakan kabar lewat pesan dan telepon. Padahal sebagai dokter bedah, dia juga sangat sibuk. Bahkan mengirim bunga ke kosan Cici,Di titik itu, hati Cici makin terombang-ambing. Angkasa bicara secara terbuka, kalau ingin mengenal lebih jauh dengan Cici. Sedangkan Raka tak memberikan perkembangan apapun. Pa
"Itu Mbah saya. Beliau sudah nungguin. Sudah sepuh banget beliau, Mas. Umurnya hampir 90 an. Agak pikun, tapi alhamdulillah masih sehat." Cici bicara sambil memperhatikan ke arah rumah."Alhamdulillah. Boleh saya ikut turun?""Eh, jangan, Mas. Saya nanti diomelin sama beliau. Walaupun sudah sepuh, beliau peka sekali hal begini.""Oke. Saya minta nomer ponselnya, ya." Angkasa mengambil ponsel dari konsol box. Cici menyebut nomernya. Setelah itu bersiap untuk turun. "Makasih banyak untuk dinner di angkringannya, Mas."Angkasa tersenyum lebar. Dia menyukai cara Cici berbicara dan bercanda. Asyik dan menyenangkan meski baru juga kenal. Seru gadis itu. Pria itu memperhatikan sampai Cici kembali memandang ke arahnya dan melambaikan tangan. Baru ia meninggalkan tempat itu.Cici mencium tangan neneknya yang duduk menunggu. "Kamu dari mana saja?" tanya sang nenek."Dari Malioboro, Mbah. Jalan-jalan. Yuk, kita masuk." "Siapa mobil yang mengantarmu tadi?" Sambil dibimbing melangkah masuk rumah
DENDAM - Mengambil Sikap "Hai, Mas." Cici menoleh pada pria jangkung di sebelahnya. Tidak menyangka bertemu lagi dengan dokter itu."Nggak nyangka ketemu sama dokter di sini.""Jangan panggil saya dokter, panggil nama saja," kata Cici.Angkasa tersenyum. "Cici, sendirian?"Cici mengangguk. "Boleh saya ikut duduk.""Silakan!" Cici bergeser. Memberi tempat untuk Angkasa. "Mas, juga sendirian?""Ya," jawab Angkasa dengan raut wajah segar. Dia baru selesai salat Maghrib di mushola yang tak jauh dari tempat Cici berada.Tapi jujur saja, dokter tampan itu memang sengaja jalan-jalan. Siapa tahu bertemu dengan gadis yang ditemuinya kemarin malam. Entah kenapa dia tertarik. Padahal sama sekali tak mengenalnya. Belum tahu juga Cici ini sudah punya kekasih apa belum. Sudah bertunangan atau justru istri orang.Walaupun tidak yakin akan bertemu. Apalagi Malioboro sangat luas dan ramai pengunjung. Terlebih akhir pekan begini. Namun keberuntungan berpihak padanya. Ia bertemu Cici dalam situasi sa
Kereta melaju kencang melintas beberapa kota. Sawah, rumah-rumah, dan pepohonan berganti cepat di balik kaca. Ia mengalihkan pandangan, menenggelamkan diri pada pemandangan senja. Jogjakarta baginya bukan sekadar kota asing. Dia sering datang ke sana mengunjungi neneknya.Kali ini ia kembali ke sana, siapa tahu di kota itu ia bisa menemukan jawaban atas dilema dalam hatinya.Tepat jam delapan malam, kereta akhirnya berhenti di Stasiun Tugu. Hiruk-pikuk penumpang yang turun bercampur aroma khas stasiun, bau besi, keringat, dan jajanan kaki lima langsung menyambut. Cici menenteng ranselnya, berjalan keluar bersama arus orang banyak.Udara malam Jogja menyapa dengan hangat. Lampu jalanan berkelip. Namun, baru beberapa langkah keluar stasiun, keributan kecil menarik perhatiannya. Seorang ibu-ibu jatuh dari motor, menabrak pembatas trotoar. Orang-orang berkerumun tapi hanya memandang tanpa berani menyentuh.Cici spontan berlari mendekat.Wanita itu tidak sadarkan diri. Dengan cepat ia memp
"Dok, kenapa keliatan suntuk seharian ini?" tanya seorang perawat yang sangat akrab dengannya. Bahkan mereka memang sudah dekat semenjak Cici masih koas di Harapan Sentosa.Cici tersenyum hambar. "Nggak apa-apa.""Jangan bohong. Biasanya kamu cerewet. Pasti ada yang dipikirin.""Kita ke kafe depan sana, yuk. Minum dulu sebelum pulang.""Yuk," jawab perawat bernama Dinda itu.Mereka menyeberang jalan. Kemudian memesan sandwich dan dua gelas jus melon. "Ada apa tiba-tiba dokter pulang kemarin sore?" tanya Dinda."Jangan panggil dokter. Biasa aja kalau di luar.""Oke. Ada masalah apa yang membuatmu murung begitu?""Ada pria yang ingin melamarku, Din.""Dokter Raka?" Dinda memang tahu kedekatan tak biasa antara Cici dan dokter itu.Cici menggeleng. "Bukan. Orang lain, Din.""Lalu ....""Entahlah." Cici diam sejenak, lalu kembali bicara. Kali ini agak lirih dan memandang lurus ke temannya. "Din, menurutmu wajar nggak kalau cewek duluan nanyain kejelasan hubungan?""Ya, wajar aja. Zaman se