Ia memperhatikan halaman kosan yang sepi. Kosan itu khusus perempuan. Tidak mungkin ia masuk. Itu akan menimbulkan masalah. Tapi menunggu di luar dengan hati resah seperti ini pun menyiksa.Erlangga menyalakan mobil, lalu mematikan lagi. Mengetuk setir, mendesah, dan tatapannya tak beralih dari pintu kamar yang tertutup rapat.Detik demi detik terasa panjang. Hingga akhirnya, ponselnya bergetar. Nama Vania muncul di layar. Dengan cepat ia sambut. "Hallo, Sayang. Mas sudah di depan pagar.""Iya," jawab Vania dengan suara lirih dan serak."Kamu nggak apa-apa kan?" Erlangga khawatir."Aku tidur tadi, Mas. Tunggu bentar. Aku akan keluar."Erlangga menghela napas lega. "Oke. Mas tunggu di depan. Kita makan siang bareng."Tak lama kemudian, pintu pagar kos terbuka. Vania muncul dengan langkah pelan, menenteng tas ukuran sedang. Wajahnya tanpa riasan, tapi tetap memancarkan pesona yang membuat hati Erlangga terpikat. Namun berbeda dengan dirinya yang penuh semangat, wajah istrinya tampak lel
"Oke. Mas, pesankan. Nanti dikirim ke kosan. Mas ada rapat setengah jam lagi. Selesai rapat, Mas jemput kamu ke kosan.""Nggak usah. Aku mau tidur. Seminggu lagi kita baru ketemu.""Eh, tidak bisa. Siang ini kita ketemu. Kamu harus periksa juga."Vania mendengkus lirih. "Aku tahu." Nada suara Vania masih ketus."Sayang, jangan kamu apa-apain anak kita.""Lah, memang Mas pikir mau aku apain?""Kamu sedang kecewa, Van. Tapi kita harus bahagia. Percayalah, internshipmu akan tetap berjalan dan impianmu terwujud. Mas yang ngomong sama dokter Fat."Hening sejenak. Tapi Vania kepikiran tentang mamanya. Apa memang sudah waktunya semua terungkap? Beberapa bulan ke depan perutnya akan membuncit dan mau tidak mau mamanya harus tahu."Sayang, kamu mau sarapan apa. Biar Mas pesenin.""Nasi rames saja. Pakai bali telur.""Oke.""Aku mau mandi." Vania menutup panggilan lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Beberapa detik terdiam, lalu bangkit untuk mengambil handuk. Baru juga masuk kamar mandi, Va
DENDAM- Dia Hamil Anak Saya"Van, kamu sakit? Kelihatan pucat dan lemas gitu," seloroh Cici ketika mereka bertemu di ruangan."Nggak, Ci. Ngantuk aja, sih," jawab Vania sambil mengemas tasnya. Dia tidak ingin cerita ke sahabatnya dulu. Vania juga masih kaget, walaupun sudah menduga kehamilan ini jauh-jauh hari."Aku pulang dulu," pamitnya."Oke."Vania meninggalkan klinik. Melangkah pelan di trotoar yang basah karena hujan yang turun menjelang subuh tadi. Pandangannya jauh ke depan. Kenapa sekarang? Semua tidak sesuai rencana. Dia hamil disaat internship baru separuh perjalanan. Duh ....Bagaimana ia membagi energi dalam kondisi hamil dan segala kesibukan di klinik. Padahal setahun ini masa-masa penentuan sebelum dirinya benar-benar menyandang status dokter sepenuhnya.Ia mendengkus kesal. Di balik kebingungannya, ada perasaan gemas sekaligus jengkel yang ditujukan pada suaminya."Kita aman, Sayang. Percaya sama aku. Sudah kubilang, aku tidak akan merusak mimpi-mimpimu." Ini ucapan
"Mas tahu kalau kamu tidak akan percaya. Tapi memang begitu kenyataannya."Vania mendadak cemburu karena rasa tak percayanya. Untuk itu dia memilih tak melanjutkan pembahasan."Sayang, mari kita jodohkan mereka." Erlangga memandang istrinya setelah diam beberapa saat.Vania terkejut dengan ide Erlangga. "Harusnya tadi Cici ikut. Tapi ternyata tidak bisa. Jadi, Rendy memang berjodoh dengan Tara," lanjut Erlangga. Namun Vania masih diam."Kenapa? Ide Mas buruk, ya? Atau Tara punya pacar?""Nggak. Tara nggak punya pacar. Kalau ingin mereka bersama, biarlah secara alami saja. Kalau mereka tidak saling tertarik, nanti hubungan kita jadi renggang," pendapat Vania.Akhirnya Erlangga setuju. Ia menarik istrinya untuk dipeluk dan dicium. Ketika mendengar suara langkah kaki di teras, Vania menarik diri lantas bangkit dari duduknya. "Aku mau ke toilet dulu."Saat bersamaan, ponsel Vania di meja berpendar. Ada pesan masuk dari papanya.[Vania, kamu di kosan apa sedang keluar?]Erlangga segera me
"Ya." Erlangga mengangguk. "Aku juga akan selalu ada buat, Mbak."Alina tersenyum. Erlangga juga menceritakan kekhawatiran Vania terhadap kakaknya."Mama bahagia mendengar kalian saling menguatkan. Ingat, keluarga adalah rumah pertama bagi kita." Akhirnya Bu Ambar ikut bicara.Erlangga bernapas lega. Rasanya beban di dada selama sebelas hari ini akhirnya mulai berkurang."Ya sudah, mari kita sarapan," ajak Bu Ambar seraya berdiri. Diikuti oleh kedua anaknya. Pada saat yang bersamaan, Rendy juga sudah sampai. Akhirnya diajak sarapan sekalian. Meski di rumah sudah makan, Rendy tak bisa menolaknya.🖤LS🖤"Kita nanti berangkat jam dua, Ren," kata Erlangga setelah mereka menyelesaikan pekerjaan. Tinggal duduk santai di ruang kerja sambil makan ubi goreng dan es teh.Rendy tampak gelisah, menundukkan kepala seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. "Er, jujur saja aku nggak enak kalau harus ikut. Terutama kalau nanti ketemu Tara sama Cici."Erlangga mengerutkan kening, lalu tersenyum.
DENDAM- Hasil Tes "Mbak mau ngomong sama kamu, Er." Alina berdiri di dekat kursi ruang makan."Erlangga masih mau ke kantor, Lin." Bu Ambar yang bicara."Tidak apa-apa, Ma. Biar kutelepon Rendy supaya ke sini saja," ujar Erlangga sambil merogoh ponsel di saku celananya. Dia menelepon Rendy beberapa saat. Setelah itu menghampiri sang kakak. "Kita bicara di ruang keluarga saja," ajak Bu Ambar menghampiri putrinya dan menuntunnya ke sofa dalam.Bu Ambar duduk berdampingan dengan Alina, sedangkan Erlangga duduk di sofa terpisah.Sejenak hening. Pagi itu udara terasa segar. Tirai ruang keluarga sudah disibakkan, membiarkan cahaya matahari menembus kaca jendela. Namun di ruang itu yang terasa adalah ketegangan.Alina menunduk, ia masih mengenakan piyama panjang berwarna pastel. Rambut digelung seadanya dan wajah tanpa riasan. Jadi terlihat agak pucat. Di samping dia memang kurang tidur beberapa hari ini. Sudah sebelas hari berlalu sejak ia menutup diri dari Erlangga. Sebelas hari tanpa