"Sudahlah, Papa nggak usah mikir yang aneh-aneh. Nanti hanya akan menambahi beban pikiran Papa saja. Percayalah, Vania nggak akan melakukan hal itu." Selesai bicara, Bu Endah bangkit dari duduknya lalu melangkah keluar. Pak Setya menghela napas panjang. Bagaimana ia akan memulai memberitahu istrinya tentang putri mereka. Kebingungan demi kebingungan menghantui. Terlebih ingat kalau Vania akan pulang ke rumah. Pak Setya menggenggam kepalanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa tak berdaya. Selama ini ia selalu tampil berwibawa, kepala keluarga yang dihormati, pengusaha yang disegani. Tapi di balik itu semua, ia hanyalah lelaki brengsek yang menyimpan bangkai dalam hidupnya. Dan kini bau busuknya mulai menyebar. Lelaki itu baru beranjak setelah menerima telepon kalau ada pelanggan yang ingin bertemu dengannya di kantor. 🖤LS🖤 "Kamu jadi ke Blitar bersama Vania hari ini?" tanya Bu Ambar terlihat cemas. Wanita itu menemui putranya yang sedang bersiap di kamar.
Vania kaget sekaligus berdebar mendengar saran mertuanya. "Maaf, Ma. Saya belum bisa memutuskan. Nanti saya ngobrol dulu sama Mas Erlangga," jawab Vania sangat hati-hati. Jangan sampai menyinggung niat baik mereka. Namun untuk tinggal di sana, Vania yang harus siap mental. Bukan karena mereka jahat, tapi ada alasan lain yang ia pikirkan. "Oke, pertimbangkan dengan Erlangga, ya," jawab Bu Ambar. "Ya, Ma." Satu jam kemudian, Bu Ambar mengajak Alina pamitan. Supaya Vania segera bisa istirahat. Namun setelah mertuanya pergi pun, Vania masih belum bisa tidur karena memikirkan sang mama. Semua sudah tahu, tinggal mamanya yang belum. Serapat apapun dia menyembunyikan rahasia itu, pada akhirnya sang mama pasti tahu. Lelaki yang dianggapnya paling sempurna, ternyata pernah menorehkan luka paling kejam pada hidup seorang gadis. Vania menoleh sekilas pada ponselnya di atas nakas. Suaminya kembali menelepon, tapi sengaja di abaikan. Entah ini panggilan yang keberapa kali. Ia masih kecew
DENDAM- Mood Swing "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Vania yang baru membuka pintu kamar lebar-lebar, kaget melihat mama mertuanya ternyata bersama Alina yang berdiri dengan kruk di ketiak."Van," suara Alina bergetar. Membuat Vania yang masih tercekat, buru-buru menghampiri kakak iparnya dan memeluknya erat, air mata mereka pecah seketika. Bu Ambar yang menyaksikan pemandangan itu pun tak kuasa menahan tangis. "Terima kasih Mama dan Mbak Alina mengunjungi saya ke sini. Mari silakan duduk. Beginilah kamar saya. Sempit, Ma," ujar Vania mempersilakan mereka duduk di karpet."Nggak usah repot-repot bikin minum, Van. Mama tadi sudah bawain sarapan. Ada buah juga. Nanti kita makan bareng-bareng," cegah Bu Ambar saat Vania hendak bangkit dari duduknya untuk membuatkan minum. Akhirnya Vania mengambilkan air mineral botol di dalam kulkas.Bu Ambar menatapnya lembut. "Erlangga tadi malam ngasih tahu Mama kalau kamu hamil."Mendengar itu Vania tersipu malu. "Iya, Ma. Saya juga baru ta
"Banyak pasien, Mas.""Sampai tidak sempat membalas pesan meski singkat saja?" Wajah Erlangga masih menunjukkan kegelisahan.Keduanya saling pandang. Vania kemudian menceritakan kalau dokter Fatimah sudah tahu tentang kehamilannya."Mas memang sudah ngasih tahu Mama tadi malam. Dan Mama ingin menemuimu sebentar lagi di kosan."Dada Vania berdebar-debar mendengarnya. "Jangan khawatir, Mama bahagia mendengar kamu hamil.""Mbak Alina bagaimana, Mas?""Mas belum ngasih tahu. Malam ini Mas ngajak ngobrol Mbak Alina. Apa papamu menelepon lagi?"Vania mengangguk."Beliau ngomong apa?"Setelah menghela napas panjang, Vania menceritakan apa yang mereka bicarakan. Vania sebenarnya ingin menutupi, tapi rasanya tidak mungkin. Erlangga harus tahu kalau papanya mengkhawatirkan tentang balas dendam. "Kamu nggak ada kepikiran hal itu kan, Mas?""Ya Allah, Van. Mana mungkin Mas akan mencelakaimu dan anak kita. Kamu tahu betapa bahagianya Mas saat kamu hamil. Mas melakukannya dengan sengaja, biar kamu
"Bagaimana sata bisa menerima kalau adik saya sendiri menikahi anak dari lelaki yang sudah menghancurkan hidup saya?"Dokter Fatimah menghela napas pelan. "Saya tidak mengatakan itu mudah. Saya tahu bagaimana sakitnya hati Mbak Alina. Namun harus ingat, Vania bukan ayahnya. Ia adalah individu yang berbeda. Jika terus menyamakan, Mbak Alina hanya akan menutup jalan hatimu sendiri. Sedangkan selama ini pun Mbak menyayangi Vania, kan? Saya masih ingat saat Mbak Alina bilang, nyaman dan cocok dengan dokter Vania. Bahkan berniat hendak mengenalkannya pada Mas Erlangga. Iya, kan?"Alina mengangguk."Proses berdamai itu bertahap. Mulailah dengan langkah kecil. Bagaimanapun juga mereka sudah menikah."Alina menarik napas panjang ingat percakapan itu. Yang membuka sedikit ruang lega di dadanya. Ia tahu perjalanan ini tidak mudah, tapi ia harus menerimanya. Sang mama pun bisa menerima Vania.Perlahan Alina kembali bangun. Ia keluar kamar dan mengetuk pelan pintu kamar mamanya. Lalu mendorongnya
DENDAM- Jangan Diulangi Lagi"Vania hamil?" tanya Bu Ambar dengan tatapan kaget sekaligus berbinar. "Ya, Ma.""Masya Allah. Alhamdulillah. Sudah berapa minggu?""Belum tahu. Belum periksa soalnya.""Segera suruh periksa. Di klinik kan ada dokter kandungan, Er. Tapi, bagaimana dengan internshipnya Vania? Semoga tidak terkendala. Dokter Fatimah sudah tahu atau belum?" panjang sekali pertanyaan Bu Ambar karena bahagianya.Erlangga menggeleng. Dia cerita kalau Vania tahu dirinya hamil juga baru tadi pagi. Bu Ambar terdiam sejenak. Wajah bahagia tadi sekarang berubah khawatir. "Er, hamil muda itu nggak mudah. Ada mual, ada lelah, ada mood yang naik turun. Kamu harus sabar. Terlebih dengan situasi kalian yang sulit begini. Kamu harus selalu mendampingi juga.""Ya, Ma.""Bagaimana dengan orang tuanya Vania?""Papanya tahu, mamanya yang belum."Bu Ambar menatap serius putranya. "Tanggapan papanya bagaimana?"Erlangga menghela napas panjang. Ia tidak langsung menjawab. Keheningan menyusup se