Share

6 - Dalam Bahaya

Mala membuka mata ketika sayup-sayup mendengar suara sirene polisi di kejauhan. Dia terdiam beberapa lama, berusaha mengumpulkan ingatan. Sejurus kemudian air mukanya berubah murung. Teringat kembali dengan permasalahan besar yang kini sedang dialaminya.

Dia duduk perlahan dan melihat alarm. Rupanya dia terlelap cukup lama, sekarang sudah pukul dua dini hari–dan perutnya mulai bersuara minta diisi. Namun Mala tak segera turun dari tempat tidur, tapi menajamkan telinga–sebagaimana kebiasaannya saat masih bersama ayahnya.

Waspada adalah sikap yang menjadi aturan ayahnya. Sikap yang semenjak dia bersama Gamma perlahan menghilang–apalagi dengan adanya Vicky yang selalu siap sedia melindungi–sejak dia dan Gamma belum menikah. Lelaki itu benar-benar pengawal yang sempurna.

Samar-samar telinga Mala menangkap suara langkah perlahan melintas di dekat jendela. Dia bergerak turun dan mendekati jendela sembari menajamkan pendengaran. Dan dia tidak salah! Suara seseorang berjalan mengendap-endap, berusaha untuk tidak terdengar langkahnya.

Mala perlahan membuka lemari pakaiannya. Mengambil celana jeans, semprotan merica dan jacket. Tak lupa sebuah dompet kulit yang diselipkan di bawah baju. Dompet yang tak pernah dia buka sebelumnya–karena merasa tak akan pernah membutuhkannya. Ayahnya yang menyelipkan di bawah  bantal, tapi Mala memindahkannya ke lemari.

Setelah mengganti pakaiannya dengan celana jeans dan memakai jaket, Mala membuka dompet kulit di tangannya. Dia sedikit tertegun mendapati isi di dalamnya sebuah pistol mungil, sebuah ponsel dan kartu ATM. Dalam kondisi genting, Mala tahu bagaimana cara memakai pistol. 

“Thanks, Dad,” gumam Mala dalam hati. Dia lalu memasukkan dompet kulit itu ke saku dalam jaket, lalu berjalan keluar kamar.

Saat membuka pintu perlahan sembari menajamkan telinga, dia melihat kelebatan bayangan hitam melintas di ruang makan. Sontak Mala membungkuk. 

Seseorang sudah masuk ke dalam rumahnya!

Perlahan Mala merangkak menuju ke dapur. Dilihatnya, pintu dapur sudah terbuka sedikit–daun pintunya bergeser keluar dari kusen. Langkah kaki yang didengarnya tadi ternyata tidak salah. Dia berniat masuk rumah melalui pintu dapur–dan sudah berhasil. Entah bagaimana caranya, yang jelas Mala sama sekali tidak mendengar suara pintu dirusak.

Satu-satunya cara untuk mengamankan dirinya saat ini, bukan di dalam rumah. Dia harus keluar rumah sebelum bayangan orang yang melintas dalam rumahnya tadi memergokinya. Apapun bisa terjadi saat ini.

Mala beringsut pelan. Tinggal satu meter lagi ketika tangannya hendak meraih daun pintu dapur, tiba-tiba seseorang menangkapnya dari belakang.

Mala meronta, tapi penyergapnya lebih kuat. Dia membekap mulut Mala dan mengangkat tubuhnya. Mala mengeluarkan segenap tenaganya untuk melepaskan diri. Namun sebuah bisikan di telinganya membuatnya meredakan gerakan tangan dan kakinya.

“Mala Hopkins, sebaiknya kita tidak berisik. Atau mereka akan menemukan kita.”

Mala tentu saja tidak percaya begitu saja. Dia menendang kaki penyergapnya, dan mereka berdua terjungkang bersamaan. Mengetahui penyergapnya terjatuh, Mala bergegas merangkak menjauh, namun dia sekali lagi kalah cepat.

Kakinya dicengkram kuat oleh penyergapnya. Mala sontak membalik badan, meraba dompet kulit di saku jaketnya. Sialnya adalah, kenapa dia tidak mengeluarkan pistol mini itu dari dompet. Dalam kondisi genting seperti ini, apa yang harus dilakukannya.

“Mala, ini aku–notaris Tuan Moreano!” seru penyergapnya tertahan.

Dalam keremangan lampu yang berasal dari luar dapur, Mala mengenali lelaki yang sedang menahan kakinya untuk tidak bergerak menjauhinya. 

Dia notaris yang membacakan surat wasiat Lowkey Moreano.

“Ada yang harus kusampaikan padamu. Please …”

Mala beringsut pelan dan notaris itu menarik napas lega melihat Mala mau bekerja sama dengannya–meski dengan tatapan curiga.

“Ini tentang surat wasiat.”

“Aku tidak percaya padamu. Kenapa kau menyusup seperti kriminal?”

Notaris itu menggeleng. Dia tampak sangat lelah. Sepertinya bukan karena berusaha menangkap Mala, tapi dia berkeringat dan tampak lusuh. Setelah pembacaan surat wasiat itu, apa yang sebenarnya yang telah terjadi?

“Jeff yang menyuruhku.”

“Dad? Kau boleh berbohong semaumu, tapi aku tidak akan percaya,” tukas Mala. Perlahan dia bangkit dan berdiri. Masih dengan sikap waspada.

“Surat wasiat itu memang benar untuk kamu, Mala. Bahkan Moreano semula akan memberikan semuanya padamu. Tapi, aku mengingatkannya soal Gamma. Gamma …”

Notaris merendahkan suaranya, dan memberi kode pada Mala untuk menunduk. “Ada orang di luar.”

“Pasti komplotanmu,” sergah Mala berbisik–meski mau tak mau dia menuruti notaris di depannya. Bisa jadi langkah yang terdengar di luar jendela kamarnya bukan langkah si notaris. Tapi orang lain.

“Aku tidak punya komplotan. Aku tidak bekerja untuk siapapun.”

“Lalu, siapa kamu?”

“Rayyes. Mungkin kau belum tahu, kalau kami bertiga bersahabat sejak lama.”

Mala mengernyit kening. Bersahabat? Tidak hanya Moreano dan Hopkins? Tapi kenapa selama ini Mala tidak pernah tahu lelaki yang mengaku sahabat ini. Sepertinya lelaki yang mengaku bernama Rayyes ini berusaha mencari posisi aman bagi dirinya. Dia saja sebagai istri Gamma dan pewaris utama Moreano–mendapat perlakuan yang tidak seharusnya dia terima. Apalagi seorang notaris yang bisa jadi tidak dipercaya sama sekali oleh Gamma.

Mala mendecih, lalu bangkit berdiri. Menuju pintu dapur dan membukanya. “Sebaiknya kau keluar, atau aku akan memanggil polisi.”

Rayyes sontak berdiri. “Mala, dengarkan aku. Kau dan Moreano …”

Tidak ada suara tembakan yang cukup keras. Hanya suara tembakan yang teredam–dan menyebabkan Rayyes tiba-tiba terkapar.

Mala memekik terkejut. Rayyes mendelik dan menggelepar sejenak, lalu terdiam. Di kening Rayyes tiba-tiba terdapat lobang hitam. Perlahan-lahan, cairan pekat kental mengalir dari balik kepalanya.

***

Mala benar-benar tidak bisa mengingat jalan mana yang harus dilaluinya menuju kantor polisi. Dia mendengar teriakan Vicky sayup-sayup–memanggil-manggil menanyakan keadaannya. Mala hanya memeluk badan di dalam tong sampah–berharap Vicky tidak menemukannya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” jeritnya dalam hati. 

Notaris itu dibunuh tepat di hadapannya. Dan alarm bahaya dalam diri Mala menyuruhnya untuk segera meninggalkan rumah. Rumahnya bukan lagi tempat yang aman baginya. Dia harus menuju Kantor Polisi, setidaknya mereka adalah aparat negara yang harus melindungi warganya.

Dan Jeff Hopkins ada di sana. Mala sudah tak sabar kembali dalam pelukan ayahnya yang hangat dan nyaman. Satu-satunya manusia di dunia ini yang akan melindunginya hingga titik darah penghabisan.

Persetan dengan Gamma. Lelaki itu kini bukan suaminya lagi sejak dia melemparkan koper ke arahnya.

“Apa Vicky yang membunuh notaris Rayyes?” batin Mala. Dia tidak bisa berpikir jernih sekarang.

Terdengar beberapa langkah berlari dan mendekati tong sampah tempat Mala bersembunyi.

“Kau menemukannya?” tanya seseorang. Suara Vicky terdengar terengah. 

“Tidak ada di mana-mana Bos. Aku yakin dia tidak naik kendaraan apapun. Mungkin dia menyelinap di salah satu rumah.”

“Kita harus menemukan dan melindungi Mala,” ujar Vicky. “Dia dalam bahaya besar. Temukan dia, kalau perlu gedor setiap rumah. Dan, ingat!  Gamma hanya tahu kalau Mala baik-baik saja.”

“Oke Bos!”

Langkah-langkah kembali saling menjauh. Mala memejam mata. Apa benar Vicky akan melindunginya? Bahkan dari Gamma?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status