Part6
"Ibu, bibirnya miring dan tangannya sedikit bengkok, seperti orang yang terserang stroke, Pak."
"Astagfirullah." Aku langsung mematikan telepon.
'kenapa Ibu mendadak tiba-tiba begini.'
"Ada apa?" tanya Papah.
"Ibu Alena, katanya seperti terserang gejala stroke. Raka mau membawanya ke rumah sakit, dulu."
Papah mengangguk, aku berlari cepat meninggalkan ruangan menuju parkiran.
Kupacukan mobil dengan kecepatan tinggi, hingga sampai di depan rumah dengan cepat.
Aku memarkirkan mobil di teras depan, lalu keluar dan mendorong kasar pintu.
Aku dengan sigap membuka kamar Ibu, aku takut ia benar-benar stroke.
Saat aku membuka kamar, Alia dan bibi menatap ke arahku.
Aku tercekat, melihat kondisi Ibu yang begitu memprihatinkan.
"Al, kamu ikut saya! Kita bawa ibu ke rumah sakit."
Alia mengangguk, ia lalu mengekorku yang menggendong Ibu ke dalam mobil.
Hampir dua puluh empat jam, aku tidak ada istirahat sama sekali.
Sepanjang perjalanan, aku dan Alia hanya terdiam.
Sesampainya di rumah sakit, Ibu mertua langsung di tangani.
Aku mulai memberanikan diri bertanya.
"Al, bagaimana kabar kamu? Em, dari mana dapat alamat rumah?" tanyaku hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
Senyum melengkung dari bibir indahnya. "Baik, seperti yang Mas liat. Alia sehat. Kalau alamat, nyari di facebook, kebetulan banyak teman yang berkata, kalau di facebook ada wanita yang mirip Alia. Eh, ternyata Alena."
"Maafkan saya! Saya tidak bisa menjaga adik kamu dengan baik."
"Bukan urusan Alia. Alia datang kesini hanya untuk melihat keadaan Ibu."
Jawaban dingin dari Alia, membuatku mendadak ciut dan tidak berani bertanya lagi.
Dokter pun keluar, usai memeriksa kondisi Ibu mertua.
"Bagaimana Dok, keadaannya?" tanyaku.
"Stroke ringan, pasien harus menjalani pengobatan dulu untuk memulihkan keadaanya."
"Lakukan yang terbaik, Dok."
Ibu pun di bawa ke ruang rawat inap, tidak jauh dari ruangan Mamah.
"Biarkan Ibu istirahat dulu, kamu ikut saya bentar! Ketemu orang tua saya."
Alia tidak menyahut, namun ia ikut melangkah keluar, mengekorku dari belakang.
Kudorong pelan pintu kamar Mamah, Mamah terlihat sudah sadar, dan lagi makan di suapin Papah.
Mereka berdua begitu terkejut melihat Alia.
"Alena .... ya Allah, anakku!" Mamah memekik.
"Mah .... ini bukan Alena, dia saudara kembarnya. Alia."
"Engga .... dia Alenaku! Sini nak, peluk Mamah."
Aku menantap nanar wajah Mamah. Lalu beralih ke Alia, Alia menatapku penuh tanya.
Aku mengangguk. Ia pun berjalan gontai ke arah Mamah, mamah langsung memeluk Alia seraya menangis tersedu-sedu.
"Anakku, jangan tinggalkan Mamah lagi ya sayang! Mamah nggak mau kehilangan kamu lagi."
Alia tidak beraksi, ia tetap terdiam di pelukan Mamah, mungkin bingung.
Pesan singkat, Amira kirimkan ke whatsappku.
"Mas, kapan kamu akan halalkan aku? Kan sudah tidak ada penghalang kita lagi," tanya Amira, membuatku mendesah berat.
"Mir, ini bukan waktu yang tepat untuk di bahas! Kamu harus tau keadaannya."
"Kamu jangan coba main-main denganku, mas. Kalau kamu berani mempermainkanku, maka aku tidak segan-segan mengatakan kepada keluarga kamu mengenai hubungan gelap kita."
Lagi-lagi aku hanya bisa mendesah berat, kepalaku seakan mau pecah, menghadapi situasi ini.
Jika Amira nekat, maka mental Mamah akan semakin tertekan, itu jelas berbahaya bagi kesehatannya.
"Mas akan kabarin kamu lagi nanti, kamu yang sabar dulu."
"Baik, aku kasih mas waktu seminggu! Jika tidak ada kepastian, aku akan langsung ke rumah mas dan mengatakan semuanya."
Aku hanya membaca pesannya, namun enggan membalasnya.
Amira .... entah kenapa rasa curigaku mulai bertumpu kepadanya.
Kenapa Amira tidak mengerti keadaanku, ia malah seakan memanfaatkan situasi ini untuk menekanku.
"Mas, aku mau ke ruang Ibu." Perkataan Alia mengejutkanku dari pikiran yang mulai curiga pada Amira.
"Oh, eh iya! Al. Kamu tau menuju kan? Soalnya mas pengen istrahat! Kamu juga istirahat." Aku mengambil selimut yang berada di dalam tas.
"Ini, pakailah untuk menemani Ibu."
Alia tersenyum, kemudian menganggukan kepalanya dan meraih selimut dari tanganku.
Ia berlalu meninggalkan kamar rawat Mamah, menuju ruangan Ibu.
"Mirip, hanya beda dari rambut dan sepertinya karakternya pun tidak sama."
Papah berkata pelan, sedangkan Mamah terlihat ceria kembali.
Entah apa saja yang mereka tadi bicarakan, aku tidak begitu fokus, hanya fokus pada Amira yang mulai menekanku.
"Setidaknya, Mamah bisa melihat wajah Alena, dari anak itu."
"Pandangannya dingin, ia seperti memikul beban, yang Papah belum tahu itu apa."
"Mungkin dia juga terluka, atas musibah yang menimpa Alena. Apalagi kini kondisi Ibu Mumun tidak stabil."
"Bisa jadi, anak itu begitu datar dan penuh misteri." Lagi-lagi Papah terlihat begitu serius, mengamati ekspresi wajah Alia.
"Raka, ini kamu kasih Alia, mana tau dia haus dan lapar pagi nanti."
Kulirik jam tangan, ternyata sudah pukul tiga dini hari. Benar-benar full tidak ada istirahatnya sama sekali, bahkan Amira pun sepertinya begitu antusias menekanku.
Hingga dini hari pun ia tetap terjaga.
Aku meraih plastik yang berisi air mineral dan beberapa bungkus roti. Untuk kubawa menuju ruang rawat ibu, dan memberikannya pada Alia.
Sesampainya aku di depan ruangan, langkahku terhenti, mendengar isakan tangis.
"Aku begini karena Ibu! Ibu tega meninggalkan aku dengan Nenek yang begitu kejam."
"Betapa beruntungnya hidup Alena, di kelilingi orang yang begitu menyayanginya. Sedangkan aku? Aku di kelilingi orang-orang bejad dan jahat."
Aku tidak kuasa mendengar penuturannya, Alia bisa membuat Ibu semakin tertekan dan semakin drop.
Kubuka pintu ruangan, Alia terperanjat, ia tengah berdiri tepat di samping tempat tidur Ibunya.
"Hentikan Alia!" ucapku tegas.
"Ma ....s, sejak kapan kamu disitu?" tanya Alia, dengan wajah memucat dan basah air mata. Ia menyeka kasar air matanya dan kembali menatapku dengan pandangan dingin.
Kulihat Ibu menangis, namun ia tidak kuasa bersuara, akibat stroke ringan yang menyerangnya, membuatnya kesulitan untuk berkata.
Namun terlihat dari ekspresi wajahnya, ia amat tertekan dan seolah ingin menyampaikan sesuatu kepadaku, namun aku tidak bisa memahaminya.
Aku meletakkan plastik yang kubawa ke atas nakas, dan menarik tangan Alia menuju keluar kamar Ibu.
"Al, aku tidak tahu apa yang kamu rasakan! Tapi kuharap kamu bisa menahan diri, kamu bisa membuat ibu semakin drop!" tegasku, memberi pengertian pada Alia.
"Maaf." Alia menunduk, namun tangannya terlihat mengepal genggam. Membuatku hanya bisa menarik napas berat.
😍Terimakasih😍
Subscribe, like dan komentarnya dong!😍
#kbm_cerbung
Next kilat cus cus cus.....
Kado Terakhir Istriku
Part6"Ibu, bibirnya miring dan tangannya sedikit bengkok, seperti orang yang terserang stroke, Pak."
"Astagfirullah." Aku langsung mematikan telepon.
'kenapa Ibu mendadak tiba-tiba begini.'
"Ada apa?" tanya Papah.
"Ibu Alena, katanya seperti terserang gejala stroke. Raka mau membawanya ke rumah sakit, dulu."
Papah mengangguk, aku berlari cepat meninggalkan ruangan menuju parkiran.
Kupacukan mobil dengan kecepatan tinggi, hingga sampai di depan rumah dengan cepat.Aku memarkirkan mobil di teras depan, lalu keluar dan mendorong kasar pintu.
Aku dengan sigap membuka kamar Ibu, aku takut ia benar-benar stroke.Saat aku membuka kamar, Alia dan bibi menatap ke arahku.
Aku tercekat, melihat kondisi Ibu yang begitu memprihatinkan."Al, kamu ikut saya! Kita bawa ibu ke rumah sakit."
Alia mengangguk, ia lalu mengekorku yang menggendong Ibu ke dalam mobil.
Hampir dua puluh empat jam, aku tidak ada istirahat sama sekali.Sepanjang perjalanan, aku dan Alia hanya terdiam.
Sesampainya di rumah sakit, Ibu mertua langsung di tangani.Aku mulai memberanikan diri bertanya."Al, bagaimana kabar kamu? Em, dari mana dapat alamat rumah?" tanyaku hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
Senyum melengkung dari bibir indahnya. "Baik, seperti yang Mas liat. Alia sehat. Kalau alamat, nyari di facebook, kebetulan banyak teman yang berkata, kalau di facebook ada wanita yang mirip Alia. Eh, ternyata Alena."
"Maafkan saya! Saya tidak bisa menjaga adik kamu dengan baik."
"Bukan urusan Alia. Alia datang kesini hanya untuk melihat keadaan Ibu."
Jawaban dingin dari Alia, membuatku mendadak ciut dan tidak berani bertanya lagi.
Dokter pun keluar, usai memeriksa kondisi Ibu mertua.
"Bagaimana Dok, keadaannya?" tanyaku.
"Stroke ringan, pasien harus menjalani pengobatan dulu untuk memulihkan keadaanya."
"Lakukan yang terbaik, Dok."
Ibu pun di bawa ke ruang rawat inap, tidak jauh dari ruangan Mamah.
"Biarkan Ibu istirahat dulu, kamu ikut saya bentar! Ketemu orang tua saya."
Alia tidak menyahut, namun ia ikut melangkah keluar, mengekorku dari belakang.
Kudorong pelan pintu kamar Mamah, Mamah terlihat sudah sadar, dan lagi makan di suapin Papah.Mereka berdua begitu terkejut melihat Alia.
"Alena .... ya Allah, anakku!" Mamah memekik.
"Mah .... ini bukan Alena, dia saudara kembarnya. Alia."
"Engga .... dia Alenaku! Sini nak, peluk Mamah."
Aku menantap nanar wajah Mamah. Lalu beralih ke Alia, Alia menatapku penuh tanya.
Aku mengangguk. Ia pun berjalan gontai ke arah Mamah, mamah langsung memeluk Alia seraya menangis tersedu-sedu.
"Anakku, jangan tinggalkan Mamah lagi ya sayang! Mamah nggak mau kehilangan kamu lagi."
Alia tidak beraksi, ia tetap terdiam di pelukan Mamah, mungkin bingung.
Pesan singkat, Amira kirimkan ke whatsappku."Mas, kapan kamu akan halalkan aku? Kan sudah tidak ada penghalang kita lagi," tanya Amira, membuatku mendesah berat.
"Mir, ini bukan waktu yang tepat untuk di bahas! Kamu harus tau keadaannya."
"Kamu jangan coba main-main denganku, mas. Kalau kamu berani mempermainkanku, maka aku tidak segan-segan mengatakan kepada keluarga kamu mengenai hubungan gelap kita."
Lagi-lagi aku hanya bisa mendesah berat, kepalaku seakan mau pecah, menghadapi situasi ini.
Jika Amira nekat, maka mental Mamah akan semakin tertekan, itu jelas berbahaya bagi kesehatannya."Mas akan kabarin kamu lagi nanti, kamu yang sabar dulu."
"Baik, aku kasih mas waktu seminggu! Jika tidak ada kepastian, aku akan langsung ke rumah mas dan mengatakan semuanya."
Aku hanya membaca pesannya, namun enggan membalasnya.
Amira .... entah kenapa rasa curigaku mulai bertumpu kepadanya.Kenapa Amira tidak mengerti keadaanku, ia malah seakan memanfaatkan situasi ini untuk menekanku."Mas, aku mau ke ruang Ibu." Perkataan Alia mengejutkanku dari pikiran yang mulai curiga pada Amira.
"Oh, eh iya! Al. Kamu tau menuju kan? Soalnya mas pengen istrahat! Kamu juga istirahat." Aku mengambil selimut yang berada di dalam tas.
"Ini, pakailah untuk menemani Ibu."
Alia tersenyum, kemudian menganggukan kepalanya dan meraih selimut dari tanganku.
Ia berlalu meninggalkan kamar rawat Mamah, menuju ruangan Ibu."Mirip, hanya beda dari rambut dan sepertinya karakternya pun tidak sama."
Papah berkata pelan, sedangkan Mamah terlihat ceria kembali.
Entah apa saja yang mereka tadi bicarakan, aku tidak begitu fokus, hanya fokus pada Amira yang mulai menekanku.
"Setidaknya, Mamah bisa melihat wajah Alena, dari anak itu."
"Pandangannya dingin, ia seperti memikul beban, yang Papah belum tahu itu apa."
"Mungkin dia juga terluka, atas musibah yang menimpa Alena. Apalagi kini kondisi Ibu Mumun tidak stabil."
"Bisa jadi, anak itu begitu datar dan penuh misteri." Lagi-lagi Papah terlihat begitu serius, mengamati ekspresi wajah Alia.
"Raka, ini kamu kasih Alia, mana tau dia haus dan lapar pagi nanti."
Kulirik jam tangan, ternyata sudah pukul tiga dini hari. Benar-benar full tidak ada istirahatnya sama sekali, bahkan Amira pun sepertinya begitu antusias menekanku.
Hingga dini hari pun ia tetap terjaga.Aku meraih plastik yang berisi air mineral dan beberapa bungkus roti. Untuk kubawa menuju ruang rawat ibu, dan memberikannya pada Alia.
Sesampainya aku di depan ruangan, langkahku terhenti, mendengar isakan tangis.
"Aku begini karena Ibu! Ibu tega meninggalkan aku dengan Nenek yang begitu kejam."
"Betapa beruntungnya hidup Alena, di kelilingi orang yang begitu menyayanginya. Sedangkan aku? Aku di kelilingi orang-orang bejad dan jahat."
Aku tidak kuasa mendengar penuturannya, Alia bisa membuat Ibu semakin tertekan dan semakin drop.
Kubuka pintu ruangan, Alia terperanjat, ia tengah berdiri tepat di samping tempat tidur Ibunya."Hentikan Alia!" ucapku tegas.
"Ma ....s, sejak kapan kamu disitu?" tanya Alia, dengan wajah memucat dan basah air mata. Ia menyeka kasar air matanya dan kembali menatapku dengan pandangan dingin.
Kulihat Ibu menangis, namun ia tidak kuasa bersuara, akibat stroke ringan yang menyerangnya, membuatnya kesulitan untuk berkata. Namun terlihat dari ekspresi wajahnya, ia amat tertekan dan seolah ingin menyampaikan sesuatu kepadaku, namun aku tidak bisa memahaminya.Aku meletakkan plastik yang kubawa ke atas nakas, dan menarik tangan Alia menuju keluar kamar Ibu.
"Al, aku tidak tahu apa yang kamu rasakan! Tapi kuharap kamu bisa menahan diri, kamu bisa membuat ibu semakin drop!" tegasku, memberi pengertian pada Alia.
"Maaf." Alia menunduk, namun tangannya terlihat mengepal genggam. Membuatku hanya bisa menarik napas berat.
😍Terimakasih😍
Subscribe, like dan komentarnya dong!😍Part7Aku tidak tahu masa lalu wanita ini, yang jelas, sorot matanya menampakan amarah yang terpendam.Namun masih tertutup oleh wajah cantiknya."Masuk dan istirahatlah, nanti kamu juga ikutan sakit kalau begini."Alia mengangguk, namun ia tidak berkata apapun lagi. Aku masuk mengekor Alia, memperbaiki selimut Ibu, dan menggenggam telapak tangannya."Bu, jangan terlalu banyak pikiran, nanti Ibu tambah sakit, disini sudah ada Alia. Ibu harus sehat lagi, Alia butuh ibu."Aku berkata pelan, namun pancaran mata Ibu menyorotkan kepanikan dan ketakutan, sulit untuk aku pahami."Bu, jangan khawatirkan apapun, Raka janji, akan menjaga Alia untuk Ibu. Cukup kita kehilangan Alena, Raka akan menjaga Alia untuk Ibu."Aku berusaha menenangkannya, mungki saja Ibu takut Alia mengalami hal yang serupa, seperti yang di alami Alena.
Part8"Amira .... lepas! Sini duduk." Aku menyentak kedua tangannya, lalu menyeretnya pelan ke arah sofa. Amira terheran-heran menatapku."Ada apa sih? Mas."Aku menatap dingin wanita di depanku ini."Amira, kamu tau bukan, bahwa Alena mati di bunuh?" ucapku. Amira mengatupkan kedua telapak tangannya ke mulut.Ia seolah tengah terkejut mendengar ucapanku. Aku menatap lekat mata hitamnya, berusaha melihat kejujuran. Namun ia seakan benar-benar terkejut."Kamu jujur sama Mas. Kemaren ngapain kamu berkeliaran di kompleks tempat tinggal mas, dan berdiri melihat rumah yang riuh para pelayat.""Apa? Jadi rumah mas? Bukan rumah teman?" tanya Amira, ia malah nampak kebingungan.Aku mendesah berat, menahan gejolak amarah yang seakan ingin meledak."Kamu jangan main-main Amira, bukankah kamu senang mendengar berita kematian Alena."
Part9"Bi, bersikaplah seolah tidak ada apa-apa, namun tetap waspada."Bibi mengangguk, ia pun berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya.Aku pun berjalan cepat, menuju ke dalam kamar kami.Kurebahkan tubuh yang terasa lelah ini, sambil memejamkan mata, berharap Alenaku datang, walau hanya di alam mimpi.__________Ketukan di pintu kamar, membuatku terbangun dari alam mimpi, namun rasa kantuk masih melekat hebat di mata, membuatku sulit untuk bangun.Aku beringsut turun, berjalan gontai, menuju kedaun pintu kamar.Kutarik gagang pintu, dengan mengerjap-ngerjapkan mata.Aku terkejut, melihat Alia berdiri tepat di depanku."Alia, ada apa?" tanyaku, sebiasa mungkin aku bersikap, agar ia tidak berpikir aneh tentangku.Alia tersenyum kecil, sorot matanya terlihat begitu dingin dan sulit kupahami pandangannya itu.
Part10Sudah dua minggu Ibu di rawat, aku pun sesekali menjenguknya ke rumah sakit.Dokter mengatakan, kondisi Ibu Mumun tidak ada perubahan.Mamah menghubungiku, untuk menjemput mereka pulang.Ia memutuskan membawa Ibu pulang, katanya lebih baik rawat di rumah, ia bahkan berniat mempekerjakan seorang perawat, yang akan bertanggung jawab mengurus Ibu.Aku melajukan mobil ke rumah sakit, sementara Papah masih di kantornya. Papah memiliki perusahaan sendiri, yang terbilang masih baru, dan bergerak di bidang property.Sedangkan aku sendiri, bekerja di perusahaan bonafide. Aku memiliki jabatan yang cukup penting di perusahaan raksasa tersebut.Masih dalam masa cuti, yang tinggal sehari lagi. Aku melajukan mobil, menuju rumah sakit.Aku mengurus biaya administrasi, kemudian menunggu Alia keluar bersama Mamah.Alia mendorong pelan kursi roda ibu, sedangka
Part11Pak Arman menghubungiku melalui sambungan telepon, ia memintaku untuk segera datang ke kantor.Aku pun bergegas menuju ke sana seorang diri.Sesampainya aku di kantor, Pak Arman pun mulai menjelaskan kronologi penangkapan Amira."Apakah benar, jika saudara Amira itu kekasih gelap Pak Raka?" selidik Pak Arman.Mati kutu aku, mau tidak mau aku harus mengakuinya, demi kelancaran proses penyelidikan kasus pembunuhan Alenaku.Aku mengangguk lemah, rasanya mendadak ingin pingsan."Kemungkinan besar, saudara Amira lah dalang di balik pembunuhan ini. Semua bukti mengarah kepadanya, kami juga menemukan handphone yang Amira gunakan untuk meneror Alena, dan berkomunikasi dengan dua pembunuh itu."Pak Arman menyodorkan handphone jadul itu.Aku melihat isi percakapannya dengan Alena, sama seperti yang aku temukan di gawai Alena saat itu.
Part12"Kami akan menuntut anak kalian, yang sudah menghamili Amira.""Silahkan, Raka pantas menerima itu semua! Dan kamu harus ingat, saya akan membuat anakmu membusuk di penjara."Wajah orang tua Amira semakin menegang, rahang Bapaknya mengeras menatap Mamah penuh kebencian."Keluarga sialan," maki Tante Nita, Mamah Amira.Mata Mamah berkaca. "Apakah harus saya buat kalian merasakan hal yang sama? Betapa hancur dan terlukanya hati saya dan Ibunya. Kehilangan menantu yang amat saya sayangi, dan itu perbuatan anak kamu, yang hanya wanita simpanan anak saya!"Mamah berkata dengan suara lirih."Jangan hina anak kami, kamu tidak tahu apa-apa tentang hidupnya."Tante Nita tidak terima dengan hinaan Ibu, bahkan suaranya bergetar, seiring dengan tatapan matanya yang mulai berembun.&nb
Kado Terakhir IstrikuPart13Alia diam, ekspresi wajahnya kembali berubah tenang."Mas akan keluar dari kamar ini, setelah melihat isi lemari itu."Alia tidak menyahut, ia tersenyum, menatapku dengan pandangan dingin. Entah kenapa, aku merasa takut dengan pandangan Alia seperti itu."Al, Alia ..., dimana kamu? Nak." Terdengar suara Mamah memanggil-manggil Alia.Alia beranjak dari duduknya, kemudain berjalan ke arah luar kamar, wajahnya datar melewati aku dan bibi tanpa suara.Aku berjalan cepat ke arah lemari, kubuka cepat daun pintunya. Aku memekik, dua tikus berlarian mengejutkanku, sial.Untung saja Bibi juga ikut keluar, jika tidak, maka aku akan malu.Aku pun berjalan cepat ke arah luar, menghampiri Mamah dan Alia yang masih berdiri di dekat Mamah."Mamah tunggu ya! Nak."Alia mengangguk, ia pun berjalan menuj
Part14"Berani sekali kamu menuduh Alia, untuk apa? Raka. Apakah kamu berniat membebaskan gundikmu itu? Dan menjadikan Alia kambing hitamnya?"Tatapan penuh amarah Mamah layangkan kepadaku."Mah, Raka tidak menuduh, Alia sendiri yang mengakuinya. Dikamar Alia, bau amis darah, banyak mata pisau dan foto-foto keluarga kita.""Omong kosong macam apa, Ini Raka?"Mamah kembali menghardikku."Al, buka kamar kamu!" pintaku, Alia menatap datar ke arahku, kemudian ia tersenyum."Jika mas menuduhku, dan tidak menemukan bukti apa-apa, bagaimana?"Wajah Alia begitu tenang, bahkan ia berkata diiringi sunggingan senyum kecil di bibirnya."Tidak mungkin, kecuali kamu menyembunyikannya.""Menuduh tanpa bukti itu, jatuhnya fitnah."Alia berkata santai, tatapannya tajam dan dingin.