Share

Kedatangan

Part5

Aku mengusap kasar wajahku. Begitu banyak yang Alena pendam seorang diri, aku sebagai suami merasa sangat tidak berguna.

Aku kembali teringat Amira, selama ini tidak ada satu pun musuh Alena, apa mungkin ini perbuatan Amira? Agrh .... rasanya aku benar-benar tidak kuasa, jika semua ini benar perbuatan Amira.

Kupandangi wajah pucat Mamah, betapa menderitanya Mamah, kehilangan Alena.

Kuseka pelan air mata, aku tetap harus berusaha kuat.

---------

Menghilangkan rasa jenuh, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.

Terlihat beberapa akun menshare berita tentang pembunuhan yang di alami istriku.

Dering panggilan masuk, dari nomor tidak di kenal. Aku pun menerima panggilan itu.

"Hallo," ucapku, dengan menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Hallo, dengan Bapak Raka Sebastian." 

"Benar, saya sendiri," sahutku.

"Kami dari team penyidik, yang menangani kasus istri Bapak! Bsa datang ke kantor?"

"Bisa, Pak. Nunggu Papah saya dulu, nanti saya akan segera ke sana."

Tidak lama kemudian, Papah pun datang dengan membawa plastik yang berisi makanan dan minumana.

Aku beranjak dari dudukku.

"Pah, Raka mau ke kantor Polisi, katanya ada informasi lagi."

Papah hanya mengangguk, aku pun berjalan cepat menuju kantor Polisi di bawah langit senja.

Sesampainya aku di kantor, team penyidik mempersilahkan aku masuk.

"Kami dari team penyidik, sudah menemukan para pelaku, yang berpesta miras di gudang tua yang lama kosong."

Penyidik yang bernama Pak Arman itu menarik napas. 

"Namun, mereka sudah di temukan dalam keadaan tidak bernyawa! Pihak forensik mengatakan, mereka overdosis.obat-obatan"

Aku mendesah berat, rasa tidak puas hati mendengar berita yang kedua pelaku alami.

"Bapak sudah pastikan? Bahwa ini semua, bukan pembunuhan berencana? Jika ini pembunuhan berencana, berarti ada otak pelakunya, sebab, mau saya atau pun Alena sejauh ini tidak memiliki musuh. Dan, kami tidak mengenal kedua laki-laki itu."

"Biar itu kami selidiki lagi, sebab kedua pelaku yang harusnya jadi sumber informasi, sudah mati. Ini akan sedikit sulit, namun kami tetap akan berusaha."

"Baiklah, terimakasih, Pak." 

"Sama-sama, jika ada yang mencurigkan, atau yang kalian curigai. Maka hubungilah kami," ucap Pak Arman.

"Baik, saya undur diri dulu," imbuhku.

"Oh iya, silahkan."

Aku pun berpamitan, kemudian melangkah keluar kantor. Malam sudah menyapa, aku melajukan mobil menuju pulang ke rumah.

Mamang Tarno, Satpam rumah membukakan pagar. Mobilku melaju memasuki halaman rumah, dan bi Ijam sudah membuka pintu luar.

Aku berjalan gontai memasuki rumah yang penuh kenangan. Jika biasanya Alena yang menyambutku dengan penuh senyuman, kali ini jelas berbeda. 

"Bi, bagaimana persiapan untuk tahlilannya? Sudah di urus?" tanyaku.

"Sudah, Pak. Para ibu-ibu tetangga, masih menyusun makanannya di rumah sebelah. Mungkin sebentar lagi tamu undangan akan datang."

Aku mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Aku mulai memasukan selimut, bantal dan juga perlengkapan makan.

Saat aku melangkahkan kaki menuju keluar kamar, nampak bi Ijam dan Mamang memandang pucat ke arahku.

"Ada apa?" tanyaku heran. Melihat dua orang yang sepertinya ketakutan.

"Anu .... Pak, itu di luar." Mamang menunjuk ke arah luar. 

Aku berjalan cepat ke menuju mereka, dan mendongakkan wajah ke arah pagar.

Terlihat wanita berambut panjang, dengan mengenakan baju kaos dan rok kain yang lebar, juga menenteng tas besar.

Ia berdiri di depan pagar yang terbuka, namun wajahnya tidak jelas, gelap.

"Siapa? Mang." 

"I---ibu, Alena, Pak."

Aku tercekat, mendengar penuturan gagap si Mamang.

Mana mungkin Alenaku hidup kembali, itu sesuatu yang mustahil.

"Mamang, jangan bercanda! Saya serius."

Mamang nampak menciut, wajahnya terlihat begitu semakin ketakutan.

"Wa--jahnya, Pak. Wa--jahnya mirip, Ibu." Mamang gelagapan, menjelaskannya.

Aku yang penasaran, langsung saja berjalan ke arah wanita itu.

"Astagfirullah ...." aku memekik, melihat wajahnya. Apa jangan-jangan Alena hidup kembali? Nggak masuk akal.

"Asallamualaikum ...." Ucapannya begitu lembut, pandangannya teduh.

"Waa---walaikumsallam .... si--apa?" tanyaku gugup, ada perasaan takut juga.

"Saya Alia Putri, saudara Alena." 

Saudara, jadi .... jadi wanita ini.

"Hallo, haii ...." Alia menggoyangkan telapak tangannya di depan wajahku.

"Astagfirullah. Oh, haii. Alia, masuk."

Aku menggiring Alia masuk ke dalam, ia pun mengekor masuk.

Bi Ijam dan Mamang mematung, melihatku dan Alia.

"Mamang,  Bi Ijam, ini Alia. Saudara kembarnya Alena."

"Oh, ya ampun! Mamang kira, Ibu Alena jadi hantu."

"Hush .... Mamang." Bi Ijam menyenggol lengan Mamang. 

"Maaf, Pak." 

"Yasudah, kamu kembali ke Pos. Dan Bibi, tolong bawa Alia ke kamar tamu. Em, Alia, itu kamar Ibu kamu. Beliau ada di dalam, lagi kurang sehat."

Aku menunjuk kamar, tempat Ibu mertua. 

"Terimakasih," jawabnya lembut. Ia bahkan tidak bertanya apapun, mengenai kematian Alena. Adik dari Alia.

"Oke, aku mau ke rumah sakit dulu! Mamahku dirawat dan mengantarkan perlengkapan ini."

Aku menunjukkan tas yang aku jinjing.

Alia hanya mengangguk, seraya tersenyum simpul. Kembar tapi beda, jika Alena merupakan sosok yang ceria, maka Alia sebaliknya. 

Ia terlihat pendiam dan tidak banyak bicara.

Meskipun wajahnya sama-sama manis dan cantik.

Aku melajukan mobil menuju rumah sakit, membawa semua barang yang kami perlukan, selama Mamah menjalani perawatan.

Malam tahlilan pun di lakukan di rumah Mamah, setelah aku mengantar semua barang-barang yang Papah perlukan.

Segala sesuatunya sudah Bi ijam dan para tetangga siapkan, sengaja memilih rumah Mamah, demi menjaga mental Ibu mertua yang mungkin masih terguncang.

Seusai tahlilan, aku pun kembali ke rumah sakit, sedangkan Alia sedari tadi di kamar Ibunya untuk melepas rindu.

_______

"Pah, kalau mau pulang, pulang saja! Nanti Raka yang jagain Mamah."

"Tidak, Papah di sini saja! Papah nggak mau jauh dari Mamah kamu, dengan kondisinya begini."

"Nanti kalau Papah ikutan sakit juga bagaimana?" tanyaku frustasi.

"Tidak apa-apa." Ia menyahut pelan, tanpa mau menoleh ke arahku.

Dering panggilan telepon yang berasal dari rumahku. Aku pun segera menyambut panggilan itu.

"Pak .... Pak, Ibu ...."

"Kenapa Bi Ijam? Ngomong yang jelas! Ibu kenapa?" tanyaku panik, mendengar nada bicara Bi Ijam yang juga begitu panik.

😍Terimakasih😍

Subscribe, like dan komentarnya dong!😘

#kbm_cerbung

Kado Terakhir Istriku

Part5

Aku mengusap kasar wajahku. Begitu banyak yang Alena pendam seorang diri, aku sebagai suami merasa sangat tidak berguna.

Aku kembali teringat Amira, selama ini tidak ada satu pun musuh Alena, apa mungkin ini perbuatan Amira? Agrh .... rasanya aku benar-benar tidak kuasa, jika semua ini benar perbuatan Amira.

Kupandangi wajah pucat Mamah, betapa menderitanya Mamah, kehilangan Alena.

Kuseka pelan air mata, aku tetap harus berusaha kuat.

---------

Menghilangkan rasa jenuh, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.

Terlihat beberapa akun menshare berita tentang pembunuhan yang di alami istriku.

Dering panggilan masuk, dari nomor tidak di kenal. Aku pun menerima panggilan itu.

"Hallo," ucapku, dengan menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Hallo, dengan Bapak Raka Sebastian." 

"Benar, saya sendiri," sahutku.

"Kami dari team penyidik, yang menangani kasus istri Bapak! Bsa datang ke kantor?"

"Bisa, Pak. Nunggu Papah saya dulu, nanti saya akan segera ke sana."

Tidak lama kemudian, Papah pun datang dengan membawa plastik yang berisi makanan dan minumana.

Aku beranjak dari dudukku.

"Pah, Raka mau ke kantor Polisi, katanya ada informasi lagi."

Papah hanya mengangguk, aku pun berjalan cepat menuju kantor Polisi di bawah langit senja.

Sesampainya aku di kantor, team penyidik mempersilahkan aku masuk.

"Kami dari team penyidik, sudah menemukan para pelaku, yang berpesta miras di gudang tua yang lama kosong."

Penyidik yang bernama Pak Arman itu menarik napas. 

"Namun, mereka sudah di temukan dalam keadaan tidak bernyawa! Pihak forensik mengatakan, mereka overdosis.obat-obatan"

Aku mendesah berat, rasa tidak puas hati mendengar berita yang kedua pelaku alami.

"Bapak sudah pastikan? Bahwa ini semua, bukan pembunuhan berencana? Jika ini pembunuhan berencana, berarti ada otak pelakunya, sebab, mau saya atau pun Alena sejauh ini tidak memiliki musuh. Dan, kami tidak mengenal kedua laki-laki itu."

"Biar itu kami selidiki lagi, sebab kedua pelaku yang harusnya jadi sumber informasi, sudah mati. Ini akan sedikit sulit, namun kami tetap akan berusaha."

"Baiklah, terimakasih, Pak." 

"Sama-sama, jika ada yang mencurigkan, atau yang kalian curigai. Maka hubungilah kami," ucap Pak Arman.

"Baik, saya undur diri dulu," imbuhku.

"Oh iya, silahkan."

Aku pun berpamitan, kemudian melangkah keluar kantor. Malam sudah menyapa, aku melajukan mobil menuju pulang ke rumah.

Mamang Tarno, Satpam rumah membukakan pagar. Mobilku melaju memasuki halaman rumah, dan bi Ijam sudah membuka pintu luar.

Aku berjalan gontai memasuki rumah yang penuh kenangan. Jika biasanya Alena yang menyambutku dengan penuh senyuman, kali ini jelas berbeda. 

"Bi, bagaimana persiapan untuk tahlilannya? Sudah di urus?" tanyaku.

"Sudah, Pak. Para ibu-ibu tetangga, masih menyusun makanannya di rumah sebelah. Mungkin sebentar lagi tamu undangan akan datang."

Aku mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Aku mulai memasukan selimut, bantal dan juga perlengkapan makan.

 

Saat aku melangkahkan kaki menuju keluar kamar, nampak bi Ijam dan Mamang memandang pucat ke arahku.

"Ada apa?" tanyaku heran. Melihat dua orang yang sepertinya ketakutan.

"Anu .... Pak, itu di luar." Mamang menunjuk ke arah luar. 

Aku berjalan cepat ke menuju mereka, dan mendongakkan wajah ke arah pagar.

Terlihat wanita berambut panjang, dengan mengenakan baju kaos dan rok kain yang lebar, juga menenteng tas besar.

Ia berdiri di depan pagar yang terbuka, namun wajahnya tidak jelas, gelap.

"Siapa? Mang." 

"I---ibu, Alena, Pak."

Aku tercekat, mendengar penuturan gagap si Mamang.

Mana mungkin Alenaku hidup kembali, itu sesuatu yang mustahil.

"Mamang, jangan bercanda! Saya serius."

Mamang nampak menciut, wajahnya terlihat begitu semakin ketakutan.

"Wa--jahnya, Pak. Wa--jahnya mirip, Ibu." Mamang gelagapan, menjelaskannya.

Aku yang penasaran, langsung saja berjalan ke arah wanita itu.

"Astagfirullah ...." aku memekik, melihat wajahnya. Apa jangan-jangan Alena hidup kembali? Nggak masuk akal.

"Asallamualaikum ...." Ucapannya begitu lembut, pandangannya teduh.

"Waa---walaikumsallam .... si--apa?" tanyaku gugup, ada perasaan takut juga.

"Saya Alia Putri, saudara Alena." 

Saudara, jadi .... jadi wanita ini.

"Hallo, haii ...." Alia menggoyangkan telapak tangannya di depan wajahku.

"Astagfirullah. Oh, haii. Alia, masuk."

Aku menggiring Alia masuk ke dalam, ia pun mengekor masuk.

Bi Ijam dan Mamang mematung, melihatku dan Alia.

"Mamang,  Bi Ijam, ini Alia. Saudara kembarnya Alena."

"Oh, ya ampun! Mamang kira, Ibu Alena jadi hantu."

"Hush .... Mamang." Bi Ijam menyenggol lengan Mamang. 

"Maaf, Pak." 

"Yasudah, kamu kembali ke Pos. Dan Bibi, tolong bawa Alia ke kamar tamu. Em, Alia, itu kamar Ibu kamu. Beliau ada di dalam, lagi kurang sehat."

Aku menunjuk kamar, tempat Ibu mertua. 

"Terimakasih," jawabnya lembut. Ia bahkan tidak bertanya apapun, mengenai kematian Alena. Adik dari Alia.

"Oke, aku mau ke rumah sakit dulu! Mamahku dirawat dan mengantarkan perlengkapan ini."

Aku menunjukkan tas yang aku jinjing.

Alia hanya mengangguk, seraya tersenyum simpul. Kembar tapi beda, jika Alena merupakan sosok yang ceria, maka Alia sebaliknya. 

Ia terlihat pendiam dan tidak banyak bicara.

Meskipun wajahnya sama-sama manis dan cantik.

Aku melajukan mobil menuju rumah sakit, membawa semua barang yang kami perlukan, selama Mamah menjalani perawatan.

Malam tahlilan pun di lakukan di rumah Mamah, setelah aku mengantar semua barang-barang yang Papah perlukan.

Segala sesuatunya sudah Bi ijam dan para tetangga siapkan, sengaja memilih rumah Mamah, demi menjaga mental Ibu mertua yang mungkin masih terguncang.

Seusai tahlilan, aku pun kembali ke rumah sakit, sedangkan Alia sedari tadi di kamar Ibunya untuk melepas rindu.

_______

"Pah, kalau mau pulang, pulang saja! Nanti Raka yang jagain Mamah."

"Tidak, Papah di sini saja! Papah nggak mau jauh dari Mamah kamu, dengan kondisinya begini."

"Nanti kalau Papah ikutan sakit juga bagaimana?" tanyaku frustasi.

"Tidak apa-apa." Ia menyahut pelan, tanpa mau menoleh ke arahku.

Dering panggilan telepon yang berasal dari rumahku. Aku pun segera menyambut panggilan itu.

"Pak .... Pak, Ibu ...."

"Kenapa Bi Ijam? Ngomong yang jelas! Ibu kenapa?" tanyaku panik, mendengar nada bicara Bi Ijam yang juga begitu panik.

😍Terimakasih😍

Subscribe, like dan komentarnya dong!😘

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Ortunya sama mertuanya aj org2 yg setia lha dia nya malah tkg selingkuh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status