Home / Lainnya / DENDAM / Kedatangan

Share

Kedatangan

Author: Rias Ardani
last update Last Updated: 2021-04-26 16:20:49

Part5

Aku mengusap kasar wajahku. Begitu banyak yang Alena pendam seorang diri, aku sebagai suami merasa sangat tidak berguna.

Aku kembali teringat Amira, selama ini tidak ada satu pun musuh Alena, apa mungkin ini perbuatan Amira? Agrh .... rasanya aku benar-benar tidak kuasa, jika semua ini benar perbuatan Amira.

Kupandangi wajah pucat Mamah, betapa menderitanya Mamah, kehilangan Alena.

Kuseka pelan air mata, aku tetap harus berusaha kuat.

---------

Menghilangkan rasa jenuh, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.

Terlihat beberapa akun menshare berita tentang pembunuhan yang di alami istriku.

Dering panggilan masuk, dari nomor tidak di kenal. Aku pun menerima panggilan itu.

"Hallo," ucapku, dengan menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Hallo, dengan Bapak Raka Sebastian." 

"Benar, saya sendiri," sahutku.

"Kami dari team penyidik, yang menangani kasus istri Bapak! Bsa datang ke kantor?"

"Bisa, Pak. Nunggu Papah saya dulu, nanti saya akan segera ke sana."

Tidak lama kemudian, Papah pun datang dengan membawa plastik yang berisi makanan dan minumana.

Aku beranjak dari dudukku.

"Pah, Raka mau ke kantor Polisi, katanya ada informasi lagi."

Papah hanya mengangguk, aku pun berjalan cepat menuju kantor Polisi di bawah langit senja.

Sesampainya aku di kantor, team penyidik mempersilahkan aku masuk.

"Kami dari team penyidik, sudah menemukan para pelaku, yang berpesta miras di gudang tua yang lama kosong."

Penyidik yang bernama Pak Arman itu menarik napas. 

"Namun, mereka sudah di temukan dalam keadaan tidak bernyawa! Pihak forensik mengatakan, mereka overdosis.obat-obatan"

Aku mendesah berat, rasa tidak puas hati mendengar berita yang kedua pelaku alami.

"Bapak sudah pastikan? Bahwa ini semua, bukan pembunuhan berencana? Jika ini pembunuhan berencana, berarti ada otak pelakunya, sebab, mau saya atau pun Alena sejauh ini tidak memiliki musuh. Dan, kami tidak mengenal kedua laki-laki itu."

"Biar itu kami selidiki lagi, sebab kedua pelaku yang harusnya jadi sumber informasi, sudah mati. Ini akan sedikit sulit, namun kami tetap akan berusaha."

"Baiklah, terimakasih, Pak." 

"Sama-sama, jika ada yang mencurigkan, atau yang kalian curigai. Maka hubungilah kami," ucap Pak Arman.

"Baik, saya undur diri dulu," imbuhku.

"Oh iya, silahkan."

Aku pun berpamitan, kemudian melangkah keluar kantor. Malam sudah menyapa, aku melajukan mobil menuju pulang ke rumah.

Mamang Tarno, Satpam rumah membukakan pagar. Mobilku melaju memasuki halaman rumah, dan bi Ijam sudah membuka pintu luar.

Aku berjalan gontai memasuki rumah yang penuh kenangan. Jika biasanya Alena yang menyambutku dengan penuh senyuman, kali ini jelas berbeda. 

"Bi, bagaimana persiapan untuk tahlilannya? Sudah di urus?" tanyaku.

"Sudah, Pak. Para ibu-ibu tetangga, masih menyusun makanannya di rumah sebelah. Mungkin sebentar lagi tamu undangan akan datang."

Aku mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Aku mulai memasukan selimut, bantal dan juga perlengkapan makan.

Saat aku melangkahkan kaki menuju keluar kamar, nampak bi Ijam dan Mamang memandang pucat ke arahku.

"Ada apa?" tanyaku heran. Melihat dua orang yang sepertinya ketakutan.

"Anu .... Pak, itu di luar." Mamang menunjuk ke arah luar. 

Aku berjalan cepat ke menuju mereka, dan mendongakkan wajah ke arah pagar.

Terlihat wanita berambut panjang, dengan mengenakan baju kaos dan rok kain yang lebar, juga menenteng tas besar.

Ia berdiri di depan pagar yang terbuka, namun wajahnya tidak jelas, gelap.

"Siapa? Mang." 

"I---ibu, Alena, Pak."

Aku tercekat, mendengar penuturan gagap si Mamang.

Mana mungkin Alenaku hidup kembali, itu sesuatu yang mustahil.

"Mamang, jangan bercanda! Saya serius."

Mamang nampak menciut, wajahnya terlihat begitu semakin ketakutan.

"Wa--jahnya, Pak. Wa--jahnya mirip, Ibu." Mamang gelagapan, menjelaskannya.

Aku yang penasaran, langsung saja berjalan ke arah wanita itu.

"Astagfirullah ...." aku memekik, melihat wajahnya. Apa jangan-jangan Alena hidup kembali? Nggak masuk akal.

"Asallamualaikum ...." Ucapannya begitu lembut, pandangannya teduh.

"Waa---walaikumsallam .... si--apa?" tanyaku gugup, ada perasaan takut juga.

"Saya Alia Putri, saudara Alena." 

Saudara, jadi .... jadi wanita ini.

"Hallo, haii ...." Alia menggoyangkan telapak tangannya di depan wajahku.

"Astagfirullah. Oh, haii. Alia, masuk."

Aku menggiring Alia masuk ke dalam, ia pun mengekor masuk.

Bi Ijam dan Mamang mematung, melihatku dan Alia.

"Mamang,  Bi Ijam, ini Alia. Saudara kembarnya Alena."

"Oh, ya ampun! Mamang kira, Ibu Alena jadi hantu."

"Hush .... Mamang." Bi Ijam menyenggol lengan Mamang. 

"Maaf, Pak." 

"Yasudah, kamu kembali ke Pos. Dan Bibi, tolong bawa Alia ke kamar tamu. Em, Alia, itu kamar Ibu kamu. Beliau ada di dalam, lagi kurang sehat."

Aku menunjuk kamar, tempat Ibu mertua. 

"Terimakasih," jawabnya lembut. Ia bahkan tidak bertanya apapun, mengenai kematian Alena. Adik dari Alia.

"Oke, aku mau ke rumah sakit dulu! Mamahku dirawat dan mengantarkan perlengkapan ini."

Aku menunjukkan tas yang aku jinjing.

Alia hanya mengangguk, seraya tersenyum simpul. Kembar tapi beda, jika Alena merupakan sosok yang ceria, maka Alia sebaliknya. 

Ia terlihat pendiam dan tidak banyak bicara.

Meskipun wajahnya sama-sama manis dan cantik.

Aku melajukan mobil menuju rumah sakit, membawa semua barang yang kami perlukan, selama Mamah menjalani perawatan.

Malam tahlilan pun di lakukan di rumah Mamah, setelah aku mengantar semua barang-barang yang Papah perlukan.

Segala sesuatunya sudah Bi ijam dan para tetangga siapkan, sengaja memilih rumah Mamah, demi menjaga mental Ibu mertua yang mungkin masih terguncang.

Seusai tahlilan, aku pun kembali ke rumah sakit, sedangkan Alia sedari tadi di kamar Ibunya untuk melepas rindu.

_______

"Pah, kalau mau pulang, pulang saja! Nanti Raka yang jagain Mamah."

"Tidak, Papah di sini saja! Papah nggak mau jauh dari Mamah kamu, dengan kondisinya begini."

"Nanti kalau Papah ikutan sakit juga bagaimana?" tanyaku frustasi.

"Tidak apa-apa." Ia menyahut pelan, tanpa mau menoleh ke arahku.

Dering panggilan telepon yang berasal dari rumahku. Aku pun segera menyambut panggilan itu.

"Pak .... Pak, Ibu ...."

"Kenapa Bi Ijam? Ngomong yang jelas! Ibu kenapa?" tanyaku panik, mendengar nada bicara Bi Ijam yang juga begitu panik.

😍Terimakasih😍

Subscribe, like dan komentarnya dong!😘

#kbm_cerbung

Kado Terakhir Istriku

Part5

Aku mengusap kasar wajahku. Begitu banyak yang Alena pendam seorang diri, aku sebagai suami merasa sangat tidak berguna.

Aku kembali teringat Amira, selama ini tidak ada satu pun musuh Alena, apa mungkin ini perbuatan Amira? Agrh .... rasanya aku benar-benar tidak kuasa, jika semua ini benar perbuatan Amira.

Kupandangi wajah pucat Mamah, betapa menderitanya Mamah, kehilangan Alena.

Kuseka pelan air mata, aku tetap harus berusaha kuat.

---------

Menghilangkan rasa jenuh, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.

Terlihat beberapa akun menshare berita tentang pembunuhan yang di alami istriku.

Dering panggilan masuk, dari nomor tidak di kenal. Aku pun menerima panggilan itu.

"Hallo," ucapku, dengan menempelkan benda pipih itu ke telinga.

"Hallo, dengan Bapak Raka Sebastian." 

"Benar, saya sendiri," sahutku.

"Kami dari team penyidik, yang menangani kasus istri Bapak! Bsa datang ke kantor?"

"Bisa, Pak. Nunggu Papah saya dulu, nanti saya akan segera ke sana."

Tidak lama kemudian, Papah pun datang dengan membawa plastik yang berisi makanan dan minumana.

Aku beranjak dari dudukku.

"Pah, Raka mau ke kantor Polisi, katanya ada informasi lagi."

Papah hanya mengangguk, aku pun berjalan cepat menuju kantor Polisi di bawah langit senja.

Sesampainya aku di kantor, team penyidik mempersilahkan aku masuk.

"Kami dari team penyidik, sudah menemukan para pelaku, yang berpesta miras di gudang tua yang lama kosong."

Penyidik yang bernama Pak Arman itu menarik napas. 

"Namun, mereka sudah di temukan dalam keadaan tidak bernyawa! Pihak forensik mengatakan, mereka overdosis.obat-obatan"

Aku mendesah berat, rasa tidak puas hati mendengar berita yang kedua pelaku alami.

"Bapak sudah pastikan? Bahwa ini semua, bukan pembunuhan berencana? Jika ini pembunuhan berencana, berarti ada otak pelakunya, sebab, mau saya atau pun Alena sejauh ini tidak memiliki musuh. Dan, kami tidak mengenal kedua laki-laki itu."

"Biar itu kami selidiki lagi, sebab kedua pelaku yang harusnya jadi sumber informasi, sudah mati. Ini akan sedikit sulit, namun kami tetap akan berusaha."

"Baiklah, terimakasih, Pak." 

"Sama-sama, jika ada yang mencurigkan, atau yang kalian curigai. Maka hubungilah kami," ucap Pak Arman.

"Baik, saya undur diri dulu," imbuhku.

"Oh iya, silahkan."

Aku pun berpamitan, kemudian melangkah keluar kantor. Malam sudah menyapa, aku melajukan mobil menuju pulang ke rumah.

Mamang Tarno, Satpam rumah membukakan pagar. Mobilku melaju memasuki halaman rumah, dan bi Ijam sudah membuka pintu luar.

Aku berjalan gontai memasuki rumah yang penuh kenangan. Jika biasanya Alena yang menyambutku dengan penuh senyuman, kali ini jelas berbeda. 

"Bi, bagaimana persiapan untuk tahlilannya? Sudah di urus?" tanyaku.

"Sudah, Pak. Para ibu-ibu tetangga, masih menyusun makanannya di rumah sebelah. Mungkin sebentar lagi tamu undangan akan datang."

Aku mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Aku mulai memasukan selimut, bantal dan juga perlengkapan makan.

 

Saat aku melangkahkan kaki menuju keluar kamar, nampak bi Ijam dan Mamang memandang pucat ke arahku.

"Ada apa?" tanyaku heran. Melihat dua orang yang sepertinya ketakutan.

"Anu .... Pak, itu di luar." Mamang menunjuk ke arah luar. 

Aku berjalan cepat ke menuju mereka, dan mendongakkan wajah ke arah pagar.

Terlihat wanita berambut panjang, dengan mengenakan baju kaos dan rok kain yang lebar, juga menenteng tas besar.

Ia berdiri di depan pagar yang terbuka, namun wajahnya tidak jelas, gelap.

"Siapa? Mang." 

"I---ibu, Alena, Pak."

Aku tercekat, mendengar penuturan gagap si Mamang.

Mana mungkin Alenaku hidup kembali, itu sesuatu yang mustahil.

"Mamang, jangan bercanda! Saya serius."

Mamang nampak menciut, wajahnya terlihat begitu semakin ketakutan.

"Wa--jahnya, Pak. Wa--jahnya mirip, Ibu." Mamang gelagapan, menjelaskannya.

Aku yang penasaran, langsung saja berjalan ke arah wanita itu.

"Astagfirullah ...." aku memekik, melihat wajahnya. Apa jangan-jangan Alena hidup kembali? Nggak masuk akal.

"Asallamualaikum ...." Ucapannya begitu lembut, pandangannya teduh.

"Waa---walaikumsallam .... si--apa?" tanyaku gugup, ada perasaan takut juga.

"Saya Alia Putri, saudara Alena." 

Saudara, jadi .... jadi wanita ini.

"Hallo, haii ...." Alia menggoyangkan telapak tangannya di depan wajahku.

"Astagfirullah. Oh, haii. Alia, masuk."

Aku menggiring Alia masuk ke dalam, ia pun mengekor masuk.

Bi Ijam dan Mamang mematung, melihatku dan Alia.

"Mamang,  Bi Ijam, ini Alia. Saudara kembarnya Alena."

"Oh, ya ampun! Mamang kira, Ibu Alena jadi hantu."

"Hush .... Mamang." Bi Ijam menyenggol lengan Mamang. 

"Maaf, Pak." 

"Yasudah, kamu kembali ke Pos. Dan Bibi, tolong bawa Alia ke kamar tamu. Em, Alia, itu kamar Ibu kamu. Beliau ada di dalam, lagi kurang sehat."

Aku menunjuk kamar, tempat Ibu mertua. 

"Terimakasih," jawabnya lembut. Ia bahkan tidak bertanya apapun, mengenai kematian Alena. Adik dari Alia.

"Oke, aku mau ke rumah sakit dulu! Mamahku dirawat dan mengantarkan perlengkapan ini."

Aku menunjukkan tas yang aku jinjing.

Alia hanya mengangguk, seraya tersenyum simpul. Kembar tapi beda, jika Alena merupakan sosok yang ceria, maka Alia sebaliknya. 

Ia terlihat pendiam dan tidak banyak bicara.

Meskipun wajahnya sama-sama manis dan cantik.

Aku melajukan mobil menuju rumah sakit, membawa semua barang yang kami perlukan, selama Mamah menjalani perawatan.

Malam tahlilan pun di lakukan di rumah Mamah, setelah aku mengantar semua barang-barang yang Papah perlukan.

Segala sesuatunya sudah Bi ijam dan para tetangga siapkan, sengaja memilih rumah Mamah, demi menjaga mental Ibu mertua yang mungkin masih terguncang.

Seusai tahlilan, aku pun kembali ke rumah sakit, sedangkan Alia sedari tadi di kamar Ibunya untuk melepas rindu.

_______

"Pah, kalau mau pulang, pulang saja! Nanti Raka yang jagain Mamah."

"Tidak, Papah di sini saja! Papah nggak mau jauh dari Mamah kamu, dengan kondisinya begini."

"Nanti kalau Papah ikutan sakit juga bagaimana?" tanyaku frustasi.

"Tidak apa-apa." Ia menyahut pelan, tanpa mau menoleh ke arahku.

Dering panggilan telepon yang berasal dari rumahku. Aku pun segera menyambut panggilan itu.

"Pak .... Pak, Ibu ...."

"Kenapa Bi Ijam? Ngomong yang jelas! Ibu kenapa?" tanyaku panik, mendengar nada bicara Bi Ijam yang juga begitu panik.

😍Terimakasih😍

Subscribe, like dan komentarnya dong!😘

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Ortunya sama mertuanya aj org2 yg setia lha dia nya malah tkg selingkuh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DENDAM   TAMAT

    Bab26Alia terisak, dan Mama langsung memeluk wanita itu. Mama menatap tajam wajah Aisyah, dan meminta kami menjauh dari mereka berdua."Kurang ajar! Menjauh kalian dari putriku!" pekik Mama.Aisyah menangis, melihat Mama begitu menyayangi Alia, dan mengabaikan Aisyah, yang jelas-jelas menantunya kini.Aisya pun menjauh, dan masuk ke kamar kami. Aku pun menyusulnya dan mempertanyakan sikap Aisyah tadi."Apa yang terjadi? Mengapa kamu begitu bar-bar tadi?" tanyaku, sambil duduk di sampingnya. Aisyah masih terisak, nampaknya dia begitu sakit hati, dengan perlakuan Mama tadi."Aku ingin kita bercerai, Mas!" pinta Aisyah."Tidak, Mas nggak mau cerai sama kamu. Mas sayang kamu dan anak kita.""Tapi aku merasa tidak aman, Mas. Wanita itu, dia menerorku terus," jelas Aisyah.Kupegang kedua pipinya, dan kutatap lekat wajah istriku itu."Apa yang dia lakukan?""Wanita itu terus mengirimku bangkai binatang,

  • DENDAM   Marah

    DendamBab25"Maaf," lirihku.Aisyah mendengkus. "Aku ingin bercerai, Mas!" ungkap Aisyah. "Aku tidak ingin diteror lagi, aku tidak mau, anakku dalam bahaya!" papar Aisyah.Aku menggeleng. "Tidak mau!" kataku dengan suara lemah."Mas ...." suara Aisyah meninggi. "Wanita itu bisa membahayakan anak kita, juga aku.""Aku akan melindungi kalian," sahutku cepat. Tidak akan kubiarkan, Alia menyakiti keluargaku.Namun kemana Mama? Ya Allah, mengapa Alia begitu terobsesi menghancurkan hidupku?Aisyah terisak, tubuhnya lunglai, dia bersandar di dinding kayu rumah, dan terus terisak. Sedangkan anak kami, dia terdiam membeku."Kita ke rumahku saja!" kata Aisyah, sambil bangkit dari duduknya. Aku menatap keluar jendela."Kita tetap di rumah ini, aku yakin, Mama pasti akan pulang.""Mas ...." Aisyah kembali berteriak, aku berbalik dengan wajah sengit."D

  • DENDAM   Emosi

    Part24Usai perjumpaanku dan Amira, kami pun bertukar kembali nomor handphone. Sulit kusadarkan diri ini, tapi untuk sekedar menjalin silaturahmi, kurasa tidak ada salahnya.Aku dan Niara pulang, terlihat di muara pintu, Istriku tengah berdebat dengan seseorang, saat aku mendekat, ternyata orang itu tetangga kami."Ehem, ada apa ini?" tanya, pada Aldi, yang terlihat canggung."Tadi mau pinjam wajan, punyaku bocor," jawabnya."Oh, kenapa tidak beli? Kan di toko klontong pasti banyak," kataku."Maaf." Aldi hanya menyahut seperti itu, dan berniat meninggalkan muara pintu rumahku."Aldi." Aku memanggil namanya. "Lain kali, tolong jangan bertamu, di saat aku tidak ada di rumah! Tidak baik," lanjutku.Aldi yang semula menghentikan langkahnya, ketika mendengar seruanku pun berbalik, dan menoleh ke arahku, sembari menarik bibir atasnya."Tenang saja, kamu tidak perlu khawatir," jawabnya. Kemudian

  • DENDAM   Pertemuan

    Part23Enam tahun berlalu.Kini, hasil dari pernikahanku dan Aisyah, aku memiliki seorang anak perempuan, yang kini berusia lima tahun."Dek, aku dapat kerjaan lagi di Ibu Kota. Kamu nggak apa-apa kan kutinggal dulu? Kalau aku sudah ngontrak rumah! Kalian aku jemput.""Iya, nggak apa-apa mas."Aku terseyum menatap istri cantikku itu. Aku pasti sangat merindukannya, jika nanti aku jauh dari wanitaku ini.Sebulan aku di Ibu kota, aku mencari kontrakan rumah, namun sedikit sulit. Akhirnya, aku menyewa rumah susun.Kuboyong istri, dan anakku. Sedangkan Mama, beliau memelih menemani Nenek di kampung.Aku bekerja di Perusahaan yang bonafide, dan bergaji lumayan besar."Sebulan lagi, mas akan cari kontrakan yang lebih bagus! Sementara kita di sini dulu," kataku pada Istri."Di sini pun enak.""Kamu yakin? Kalau kamu merasa nyaman! Maka kita tetap di sini," kataku

  • DENDAM   MENIKAH

    Part22 Papah terbangun, mengusap pelan puncak kepala Mamah, yang tertidur diatas kedua tangan yang ia letakkan di atas bibir kasur pasien. Mamah terbangun, kemudian menatap sendu wajah Papah. "Mamah capek? Pulang ya sama Bibi, biar Raka yang jagain Papah disini." "Nggak, biar Mamah disini saja! Jagain Papah," jawabnya pelan. "Nanti Mamah sakit, kalau Mamah sakit, Papah yang akan sedih. Tidak bisa ngurus Mamah." "Makanya Papah sehat dong! Biar ada yang manjain Mamah lagi," sahut Mamah, dengan mata mengerling nakal. Aku hanya tersenyum simpul, menatap tingkah laku mereka. "Mah, papah minta maaf, jika selama ini, Papah banyak salah." "Papah ngomong apa sih, nggak usah gitu ah, Mamah nggak suka." Papah hanya tersenyum kecil, menatap Mamah penuh c

  • DENDAM   Malang

    Part21"Mengapa mereka tega meninggalkanku, Mah? Mengapa Ibu kandungku sendiri, tega menyia-nyiakanku?" tangis Alia.Wanita yang biasanya hanya terdiam, bahkan kadang tidak menyahut mau pun bereaksi itu kini menangis tersedu. Alia mulai menumpahkan segala sesak dalam dadanya, di pelukan Mamah."Sayang, lupakan masa lalu, Nak. Sepedih apapun itu lupakan dan lepaskan. Sejauh ini kamu sudah terlalu kuat dan hebat melewati cobaan hidup! Mamah bangga sama kamu, Nak."Alia menatap getir wajah Mamah. "Mah, mamah bangga denganku? Bahkan di saat aku kuat, demi membalaskan sakit hatiku pada mereka?""Alia, sayang ...." Mamah mencium kedua pipi Alia. "Mamah bangga kamu kuat bertahan melewati semua itu, hanya kamu salah langkah Nak. Mamah nggak mau terpisah untuk selamanya, Mamah mohon kamu buang buruknya, ambil hikmah dari semua ini, Nak."Alia menunduk malu. "Aku pendos

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status