Share

RAHASIA SUAMIKU

"Mas, kamu di mana? Ibu di mana?" tanyaku.

"I-ibu lagi tidur. Ini Mas lagi di rumah teman, Dek."

"Oh, maksud Mas, Ibu lagi tiduran di sini?"

Kusorot Ibu yang sedang tiduran. Mas Tohir tampak melebarkan matanya. Jelas saja dia terkejut.

"Dek, kok Ibu bisa sama kamu, sih? A-apa kamu sudah pulang?"

"Ya, aku sudah pulang, Mas! Dan aku melihat rumahku masih berbentuk gubuk, Ibuku sakit parah, dan anakku kamu masukkan pesantren gratis, tapi kamu tetap meminta uang padaku. Jahat kamu, Mas!"

Klik. Panggilan video dimatikan oleh Mas Tohir. Benar-benar lelaki itu, ya! Tak ada rasa terima kasihnya.

"Nak, sudah, jangan bertengkar. Yang terpenting sekarang kamu sudah ada di sini."

Aku mengangguk, meski sebenarnya masih ingin sekali marah-marah pada Mas Tohir. Bayangkan saja! Aku di luar negeri selama 3 tahun demi hidup Ibu dan anak-anakku terjamin, tapi ternyata uangnya entah raib ke mana. Dan yang paling membuatku jengkel kenapa harus membangun rumah di samping rumah mertua?

"Pokoknya, nanti pulang dari sini, Sarah akan buat perhitungan Mas Tohir, Bu."

Ibu mengangguk, tak lagi melarang. Sepertinya beliau memang sudah lelah memilili menantu seperti Mas Tohir.

--

Beberapa hari kemudian.

Ibu sudah diperbolehkan pulang. Aku begitu sedih melihat beliau harus tinggal di rumah yang sudah banyak lapuknya. Rumah ini memang peninggalan Bapak, karena itu aku berencana merenovasinya. Toh, nanti aku yang akan menempati rumah ini karena aku adalah anak tunggal.

"Ibu bisa di sini sendirian? Atau mau Sarah panggilkan Bi Minah?" tawarku.

Menurut Ibu, Bik Minah adalah tetangga yang dibayar oleh Mas Tohir untuk memberi makan beliau. Tapi tetap saja, Mas Tohir menelantarkan Ibuku dan tak benar-benar merawatnya.

Memang benar, seharusnya aku yang merawat beliau, tapi dilihat dulu. Aku harus kerja banting tulang ke luar negeri, demi mereka. Mas Tohir pun tak perlu banjir keringat untuk bekerja.

"Ibu di sini saja, Nak, gak usah panggil si Minah. Selesaikan lah masalahmu."

Aku mengangguk, lalu gegas memesan ojek online. Amarah yang sudah di ubun-ubun, akhirnya akan kukeluarkan semua. Setelah tahu aku sudah pulang dan Ibu dirawat di rumah sakit, Mas Tohir sama sekali tak menghubungiku. Entah ke mana saja ia?

Saat sampai di halaman rumah Mama mertua, tampak pintu rumahnya terbuka. Di sebelahnya juga ada sebuah rumah minimalis. Melihatnya membuatku perih. Aku mengirimkan uang sebesar seratus tujuh puluh juta. Hasil dari menabungku selama ini. Tapi, apa yang kudapat? Hanya rumah seperti ini? Sementara jika merenovasi rumah Ibu, hanya perlu mengubah depannya saja, karena bagian dapur masih layak. Astaghfirullah, Mas Tohir!

Aku berjalan pelan menuju rumah Mama. Terdengar gelak tawa beliau dengan Mas Tohir. Bahagia sekali kamu, Mas? Kamu bahkan tak ada niat untuk menghubungiku?

"Kamu pikirkan alasan ketika bertemu dengan Mbak Sarah nanti, Mas." Ini adalah suara Ranti, adik iparku.

"Betul itu. Kamu pura-pura kecopetan, kek. Atau, kerampokan, kek. Biar dia balik lagi ke luar negeri buat cari duit. Rumah itu buat Ranti saja," ucap Ibu.

Mataku membeliak saat mendemgar ucapan Ibu. Apa katanya? Aku disuruh ke luar negeri lagi?

"Gampang itu, Bu. Tohir sudah punya rencana. Dia mana bisa menolak ucapan Tohir."

Aku terkekeh mendengar jawaban Mas Tohir. Iya memang, aku sepenurut itu. Tapi dulu. Sementara sekarang? Aku takkan bertindak seperti itu lagi, Mas. Sementara aku sudah tahu rencana busukmu dan keluargamu.

Lihat apa yang akan kulakukan nanti!

_______

Aku pun kembali ke rumah, dan mengemas pakaian Ibu ke dalam tas. Tadi, aku tak sempat melihat Ibra. Padahal sudah rindu. Tapi tak apa, sebentar lagi aku akan bertemu dengan anak bungsuku.

"Kita mau ke mana, Rah?"

"Sudah, Ibu tenang saja. Kita akan pindah ke rumahku, Bu."

"Rumahmu?"

"Iya. Rumah yang ada di samping rumah mertuaku itu kan rumahku, Bu. Bangunnya aja pakai uang yang Sarah kirim."

"Tapi, apa nggak papa, Nak?"

"Tentu nggak papa, Bu. Lebih berhak kita daripada Ranti. Mereka berencana akan berbohong supaya Sarah kembali bekerja di luar negeri dan rumah itu akan ditempati oleh Ranti. Tidak, Bu. Sarah tidak ridho."

"Sama, Nak. Ya sudah, ayo kita pergi."

Aku mengangguk, dan menuntun Ibu menuju tukang ojek di pangkalan. Beberapa dari mereka adalah temanku dulu.

"Loh, Sarah? Kamu sudah pulang? Apa kabar?" tanya Bowo.

"Alhamdulillah baik, Wo. Kamu juga apa kabar? Tolong antar aku ke rumah mertuaku, Wo."

Bowo langsung memanggil Andi yang sedang rebahan di pos ronda, lalu kami meluncur ke rumah mertuaku. Dalam hati aku berdo'a supaya dikuatkan nantinya.

"Kamu mau pindah ke rumahnya Tohir, Rah?" tanya Bowo yang membawaku.

"Iya, Wo. Biar bagaimana pun, itu uangku yang ia pakai. Aku suruh dia buat renovasi rumahku, malah dipakenya buat bangun di sebelah mertua. Padahal mertuaku itu nggak suka sama aku. Paling dia dihasut."

"Sebenarnya, Rah..."

"Iya, kenapa, Wo?"

"Ah, nggak papa, Rah. Kita udah mau nyampe."

"Oh, iya."

Aku mengerutkan kening, sepertinya ada yang mau Bowo sampaikan padaku, namun ia urungkan. Kenapa, ya?

Kami sampai di depan rumah mertuaku. Kubantu Ibu untuk turun, dan mengetuk rumah bercat biru muda itu. Begitu dibuka, wajah Mas Tohir begitu terkejut.

"Hai, Mas."

"Sarah..."

"Iya, Mas. Kenapa kaget gitu? Bukankah kamu sudah tahho aku pulang dari beberapa hari yang lalu?"

Mas Tohir terlihat salah tingkah. Aku pun mengajak Ibu untuk masuk, tak lupa kuminta Mas Tohir untuk membawakan koperku dan tas milik Ibu.

"Kamu kenapa bawa koper ke sini, Rah?" tanya Mas Tohir.

Apa?

"Maksudmu gimana, Mas?"

"Ya kamu kenapa bawa Ibu ke sini? Kamu juga bawa koper."

"Loh, kok masih nanya? Ya tinggal di rumahku lah, Mas. Apalagi memang alasannya? Oh, iya, Ibra mana, Mas?"

"Tapi, rumah ini kan dibangun di atas tanah orang tuaku. Jadi Ibu nggak boleh numpang di sini."

Deg!

Apa katanya? Numpang? Allahu Rabbi! Kudekati ia, lalu...

Plak!

Kutampar wajahnya untuk pertama kali. Kekuatan anak yang mendengar seorang Ibu dihina, bahkan bisa membuatku menampar suamiku. Dosa? Biarkan.

"Kamu menamparku, Sarah?" teriak Mas Tohir.

Teriakannya mengundang kedatangan Mama dan Ranti. Di belakangnya, menyusul seorang anak kecil dengan pakaiannya yang lusuh. Ya Allah, Ibra!

"Ada apa ini? Sarah?"

"Iya, Ma. Ini Sarah."

"Kenapa kamu menampar Tohir, Rah? Dosa! Besan juga, kenapa biarkan anaknya durhaka pada suami?" hardik Mama.

"Sarah menampar Mas Tohir karena dia sudah kurang aj*r, Ma! Dia, tega menghina dan mengusir ibu kandung Sarah dari rumah ini."

"Lah, memangnya kenapa? Ini rumahnya Tohir. Dia berhak untuk mengatur dengan siapa ia akan tinggal."

Mendengar omongan Mama mertua membuatku terbahak-bahak. Apa katanya? Rumah Mas Tohir? Kini aku tahu, dari mana asalnya ucapan itu.

"Tapi rumah ini dibangun dengan uang Sarah, Bu. Mas Tohir tak ada sepeserpun menggunakan uangnya!"

"Tapi rumah ini dibangun di atas tanah warisan milik Tohir, Sarah. Rumah tak akan bisa berdiri kalau tak ada tanah."

"Itu kesalahan anak Mama, karena jadi orang yang tak amanah. Sarah sudah bilang, untuk merenovasi rumah. Kenapa harus mendirikan rumah di sini? Kamu benar-benar nggak tahu malu, Mas!"

"Apa? S*alan kamu, Rah!"

"Apa? Memang benar, kan? Suami mana yang dengan pedenya dihidupi oleh istri? Dikasih makan oleh istri namun tetap tenang-tenang saja? Sementara, aku ngelunjak dikit, kamu bahas dosa. Heh, Mas! Kamu lalai dari tanggung jawab, memangnya tak dosa?"

Wajah Mas Tohir memerah. Jelas saja, ia pasti merasa sudah terhina. Namun, apa peduliku? Lihat saja, Mas. Kamu memang pantas mendapatkan balasan dariku.

"Pokoknya, aku tak mau Ibumu, tinggal di rumahku!"

"Baik, kalau begitu, aku minta uang seratus lima puluh juta, dan juga uang yang selalu kukirimkan tiap bulan kamu kembalikan!"

"A-apa?"

"Ya, kembalikan semuanya! Cukup tiga ratus juta saja! Atau kalau tidak, akan kurobohkan rumah ini!"

Mas Tohir membeliakkan matanya. Nah, mau apa kamu, Mas?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status