Share

ANCAMAN

last update Last Updated: 2023-07-29 16:38:27

"A-apa? Robohkan?"

Mungkin Mas Tohir pikir, aku akan mengalah begitu saja. Oh, tentu tidak! Aku lebih baik merobohkan rumah ini daripada harus mengikhlasknnya untuk ditempati oleh Ranti.

Tidak akan pernah!

Jika memang mereka tak mau ibuku tinggal di rumah ini, maka akan kurobohkan saja!

"Ya sudah robohkan saja!" ucap Mama sesumbar.

"Baik, besok aku akan menelepon agennya dan merobohkan rumah ini!"

Mas Tohir sudah kalang kabut saat mendengar aku dan Mama ribut.

"Ya sudah, Ibumu boleh tinggal di sini. Asal, jangan bikin aku repot."

"Tidak akan! Asal kamu, juga jangan merepotkanku."

Mas Tohir tampak diam, tapi juga tak membantah. Bagus lah, aku jadi tak perlu memberi makan mereka.

Mama dan Ranti pergi, tanpa berkata apapun. Sementara Mas Tohir masih berdiri di tempatnya. Ibra mendekat ke arah Ayahnya.

"Ibra, sini sama Bunda, Nak."

Aku mendekat pada anak bungsuku itu. Namun ternyata, ia malah menjauh. Hatiku sakit melihatnya.

"Ibra, ini Bunda, Nak. Yang suka video call."

Namun, Ibra tetap tak mau denganku. Ia malah bersembunyi di belakang tubuh ayahnya.

"Anakmu mana mau sama kamu, wong kamu bar-bar gitu."

Aku menggendong Ibra dengan paksa, hingga ia menangis. Tak kupedulikan tangisannya, namun saat aku mengajaknya untuk jajan, ia langsung diam. Ya Allah, Nak, kurusnya dirimu.

Aku pun memandikan Ibra dan menyalin bajunya, lalu menuju warung. Ibu kubiarkan istirahat dulu. Untung saja, Mas Tohir membuat tiga kamar. Dua kamar besar dan satu kamar kecil.

"Ibra mau jajan?"

Ibra hanya mengangguk. Mungkin kami belum bisa dekat, karena baru bertemu pertama kali ini.

"Loh, Sarah? Kamu pulang?"

"Hera?"

Aku terkejut mengetahui jika pemilik warung ini adalah Hera, temanku. Aku dan Mas Tohir memang satu kampung, hanya beda RT saja.

"Iya, Rah."

"Wah, sudah punya usaha ya sekarang. Semoga sukses ya, Her."

"Makasih banyak, Rah. Kamu pulang kapan?" tanya Hera.

"Beberapa hari yang lalu, Her. Tapi ini baru pindah ke sini."

"Oh, kamu pindah ke rumah Mas Tohir?"

"Lah ya iya, Her, kan aku istrinya."

Hera terkekeh, lalu memberi anakku es krim, dan tak mau dibayarnya. Kami mengobrol cukup lama, hingga aku mendengar perut Ibra yang berbunyi.

"Aku pamit dulu ya, Her. Mau beli makan."

Hera mengangguk, aku pun berjalan menuju warung nasi padang yang tadi pagi sempat kulihat.

Setelah membeli dua bungkus nasi padang, aku dan Ibra pulang. Aku sempat melihat motor di depan rumah Mama, dan kupastikan itu motor dibeli menggunakan uangku.

Ibra sudah tidak sekaku tadi. Ia mau ketika kusuapi. Ya Allah, gemetar tanganku saat menyuapinya. Rindu ini begitu menyiksa. Waktu tiga tahun itu bukan sebentar.

"Kok cuma dua bungkus nasinya? Buatku mana, Dek?" tanya Mas Tohir begitu masuk rumah.

"Beli aja sendiri. Bukannya katamu tadi gak usah saling merepotkan?"

"Kamu ini keterlaluan, loh. Aku ini suamimu. Bisa-bisanya kamu malah mengabaikanku?"

"Loh, dipikir kamu nggak keterlaluan? Aku ini istrimu, harus kamu nafkahin. Bukan aku yang nafkahi kamu. Sekalinya aku yang nafkahi, malah kamu telantarkan ibuku. Apa? Apa?" tanyaku saat kulihat ia hendak membuka mulutnya.

"Sudah, sudah! Nggak usah bertengkar. Kamu makan saja punya Ibu, Hir. Ibu masih kenyang," ucap Ibu.

"Kamu mau mengambilnya, Mas? Kamu mau mengambil makanan dari orang yang sudah kamu telantarkan?"

Mas Tohir tampak diam, Ibu menyenggol lenganku. Namun aku tak peduli. Suamiku itu memang sudah keterlaluan, kok. Rasa sakit hatiku tak bisa hilang begitu saja.

"Nih! Ambil makananmu, aku makan di rumah Mama saja. Perhitungan banget."

Aku melengos melihat Mas Tohir begitu saja. Jangan harap, aku akan menyerah begitu saja, Mas!

--

Esok hari.

Hari ini, aku akan menemui Farhan. Sudah sangat rindu pada anak sulungku itu.

"Ini, Bu, Farhannya."

Aku membelalakkan mata melihat Farhan yang begitu kurus. Ya Allah, kenapa anak-anakku tak ada yang terurus satu pun?

Farhan berlari memelukku. Ia menangis tersedu.

"Bunda kenapa jahat? Sudah Farhan bilang, nggak mau masuk pesantren. Tapi kenapa Bunda tetap maksa?" ucap Farhan di tengah isakannya.

Aku terkesiap. Apa maksudnya? Kapan aku memaksa Mas Tohir untuk memasukkan Farhan ke pesantren? Dasar Mas Tohir, berani sekali dia sudah menggunakan namaku!

_______

"Apa Ayah bilang Bunda yang mau memasukkan abang ke pesantren?"

Perlahan, Farhan mengangguk. Ia bahkan cerita, kalau Mas Tohir sudah tega membuat pernyataan bahwa aku pergi dari rumah dengan lelaki lain dan meninggalkan anak-anakku.

Setelah pihak pesantren mendengar semua ceritaku, mereka mengembalikan semua keputusan itu pada Farhan. Anak sulungku lebih memilih untuk pulang saja.

Sebenarnya, aku pun sangat ingin anakku sekolah di pesantren, tapi yang bisa juga ada pelajarannya. Sementara di pesantren ini hanya mengaji dan menghafal alqur'an saja. Mungkin nanti, aku akan mencari referensi pesantren yang bagus.

Kami tak langsung pulang. Aku mengajak Farhan untuk membeli baju dan tak lupa membeli ayam goreng merk terkenal untuk dibawa pulang.

Sampai di rumah, kulihat Ibra tengah bermain dengan Ibu. Mungkin karena sudah biasa melihat Ibu, sehingga ia lebih akrab dengan neneknya itu daripada aku.

"Abang," panggil Ibra. Ibra menghampiri Farhan dan memeluk abangnya.

"Ibra, Bunda bawa makan. Ayo, kita makan!" ajakku pada Ibra.

"Mau sama Abang."

Farhan menatap tak enak padaku, namun aku mengangguk pada anak sulungku itu, supaya ia yang menyuapi adiknya.

"Wah, makan enak, nih." Suara Ranti mengejutkanku karena ia masuk dari pintu belakang.

"Masuk rumah orang itu salam. Kebiasaan banget, keliatan nggak dididik," ucapku ketus.

"Loh, aku masuk ke rumah Abangku sendiri, kok."

"Rumah abangmu? Heh, denger! Rumah ini dibangun pake duitku. Jadi, sejak kapan rumah ini milik abangmu?"

"Mbak, sadar dong! Mana ada rumah yang berdiri kalau nggak ada tanah!"

"Ambil saja tanahmu. Asal rumahku tetap berdiri sempurna."

"Ish, nyebelin! Farhan, minta makanannya! Kasian itu adik sepupumu belum makan," pinta Ranti dengan ketus.

Sebenarnya, jika cara memintanya baik-baik, aku pasti akan mengizinkan Farhan untuk memberi sepupunya. Lah ini?

"Nggak, Bang. Jangan kasih. Biar bapaknya lah yang beliin. Katanya mau tanggung jawab meski sudah cerai!"

Ranti pun pergi sambil menghentakkan kakinya. Aku tak peduli jika ia akan mengadu pada Mama, ataupun Mas Tohir sekalipun.

-

Usai makan siang, Ibra tertidur di ruang tamu. Segera kupindahkan ia ke kamar. Di depan, aku berbincang dengan Farhan.

"Jadi, sejak kapan Ayah memperlakukan Abang dan Mbah semena-mena?" tanyaku pads Farhan sambil memegang kedua tangannya.

"Sejak Bunda pergi ke luar negri, Ayah masih biasa saja. Pokoknya, setelah Ibu mengirimkan uang, Bapak jadi jarang pulang. Terus, Farhan sama Ibra dibiarin di rumah sama Mbah. Ga makan, Bun."

Air mataku jatuh menetes. Begitu tersiksanya hidup anakku, mereka harus menanggung semua beban itu.

"Bunda, tolong jangan pergi lagi ya. Farhan sama Ibra butuh Bunda."

Kupeluk anak sulungku itu. Meski dia laki-laki, meski umurnya sudah lima belas tahun, tapi ia tak berdaya di hadapan ayahnya.

"Iya, Nak, Bunda nggak akan pergi lagi. Bunda akan selalu sama kalian."

"Makasih, Bun."

Aku mengangguk. Kuusap kepalanya. Benar kata orang, jika meski umurmu sudah banyak, kehadiran Ibu masih menjadi komposisi terbaik.

"Sarah!"

Aku dan Farhan terhenyak mendengar suara Mas Tohir yang datang dari belakang. Satu keluarga ini, kenapa sih? Apa otaknya miring semua?!

"Kamu apa kan Ranti, hah?"

"Sebelum kamu tanya soal Ranti, aku mau nanya. Kamu apa kan Farhan?" tanyaku sambil bergeser, supaya anak sulungku itu terlihat...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DERITA IBUKU SAAT AKU MENJADI TKW   ADA APA DI RUMAH SARAH?

    Ranti ikut panik melihat mamanya panik. Segera ia berlari ke luar dan memanggil perawat yang baru saja lewat. "Suster! Kakak saya!" Dua suster itu saling berbagi tugas. Satu ke kamar pasien, satu lagi menuju ruangan dokter. Tak lama kemudian, seorang dokter datang dan mengecek keadaan Tohir. Ia menggeleng, membuat Rita histeris. "Saya turut berduka cita, Bu. Sepertinya ada pembekuan darah di otak Pak Tohir." "Kenapa kalian baru ngasih tahu sekarang, hah! Kalian kan, yang ingin anak saya mati?!" teriak Rita, ia justru menyalahkan pihak rumah sakit. "Ibu sendiri yang tak mau menyetujui tindakan operasi Pak Tohir, bahkan sampai tak mau melakukan serangkaian pemeriksaan. Jadi, begini lah akhirnya. Kami mohon maaf, Bu. Pasien Tohir, telah tiada." Rita meraung. Ia menggenggam tangan sang putra, masih tak menyangka jika ia bisa kehilangannya. "Bu, sudah. Mayat Mas To

  • DERITA IBUKU SAAT AKU MENJADI TKW   BERPULANG

    Ranti yang tengah tertidur, terbangun karena dering ponselnya. "Hm?" ucap Ranti begitu panggilan ia angkat. "Dengan saudari Ranti, adik dari saudara Tohir?" Ranti membuka matanya sedikit, lalu melihat layar. Nomor tak dikenal. Ia letakkan lagi di dekat telinganya. "Iya, benar. Siapa ya? Kalau cari Mas Tohir, dia nggak ada." "Kami dari kepolisian. Saudara Tohir mengalami kecelakaan dan sekarang tengah dilarikan ke rumah sakit Citra Kusuma. Silakan untuk datang dengan membawa surat-surat guna registrasi perawatan nantinya." Ranti langsung terbangun. Ia masih sulit menangkap ucapan dari seberang sana. "Mau nipu, ya?" tanya Ranti, mengingat beberapa hari terakhir ini marak sekali kasus penipuan model begini. "Mohon maaf, kami dari kepolisian. Silakan anda langsung datang ke rumah sakit Citra Kusuma demi membuktikannya." Ranti termangu sesaat, l

  • DERITA IBUKU SAAT AKU MENJADI TKW   TOHIR SEMAKIN MENJADI

    Sarah tersenyum. Memang ia akui Zakki sungguh menawan. Parasnya yang tampan, kumis tipis dan matanya bak mata elang. Tajam. Tapi, untuk membangun rumah tangga kembali nantinya, ia masih belum tahu. "Jalan hidup nggak ada yang tahu, Zak. Siapa tahu, kamu setelah ini malah nemu jodoh, kan?" "Iya, jodohnya kamu." "Masih lama, Zak. Aku masih mau lihat Farhan kuliah dulu dan Ibra sekolah. Belum ada terpikir buat bangun komitmen lagi dengan seseorang. Anak sulungku sekarang tujuh belas tahun, aku sendiri sudah tiga puluh enam. Kayaknya fokus ke anak-anak dulu." Zakki mengangguk. Meski sedikit kecewa, ia bisa memaklumi keinginan Sarah itu. Keluar dari lubang kesakitan butuh waktu lama. Ditambah bukan hanya ia yang tersakiti, melainkan ibunya pun juga. Sarah tersenyum melihat Ibra dan Farhan yang sibuk melihat hewan-hewan. Beruntung Zakki membawanya ke kebun binatang Ragunan sehingga mereka bisa sambil jala

  • DERITA IBUKU SAAT AKU MENJADI TKW   FINAL!

    Tanpa disangka, Hera justru mendekat ke arah Sarah dan memeluk erat mantan sahabatnya itu. Sarah yang terkejut berusaha melepaskan pelukan namun, Hera justru semakin erat mendekapnya. "Her, lepaskan! Kamu itu kenapa sih?""Maafkan aku, Sar. Aku salah, mungkin sekarang aku lagi menuai Karma atas perbuatanku padamu. Maafin aku, Sar. Aku khilaf." Sarah melepaskan tangan Hera, dengan sedikit mengurutkan kening Ia pun bertanya tentang maksud dari ucapannya barusan."Aku sudah ditalak oleh Mas Tohir, karena kami menikah secara siri otomatis hubungan kami pun sudah terputus seiring dengan kata talak yang terucap dari mulutnya. Mungkin ini peringatan dari Allah, karena aku sudah menghancurkan rumah tanggamu. Maafkan aku, Sar." Hera menangis tersedu di depan rumah Sarah. Beberapa tetangga mulai berdatangan karena suara tangis Hera yang semakin kencang. "Ayo masuk. Kita omongin di dalam." 

  • DERITA IBUKU SAAT AKU MENJADI TKW   KEPUTUSAN SARAH

    Rita yang mendengar teriakan Hera pada Tohir itu pun langsung berjalan menuju kamar anaknya. "Cuma gara-gara anggur, kamu suruh anakku ngusir aku? Heh, Hera, sadar! Aku ini mertuamu. Ranti itu adik iparmu. Melek matamu itu!" Hera terkesiap, tak menyangka jika mertuanya sekasar itu. "Apa, Ma? Cuma? Ma, dia itu banyak utang, belum utang ke si Sarah, belum utang yang lain. Malu aku!" "Kalau gitu, bantu lah dia bayarin utang-utangnya itu." Hera terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Benar kata Bu RT tempo hari, mereka hanya ingin memeras uang Hera saja. "Nggak, ya! Kalian yang nikmati kok aku yang suruh bayar. Di mana letak harga dirimu, Mas? Pantas saja Sarah gampang banget nyerahin kamu ke aku. Taunya, rumah tangga kalian banyak parasitnya dulu!" ketus Hera. "Hera!" Plak! Hera mendelik saat menerima tamparan dari Tohir. "Mas? Kamu

  • DERITA IBUKU SAAT AKU MENJADI TKW   NGUTANG KOK BANGGA!

    "Maksudnya, kamu nyindir aku, Sar?" tanya Riska sinis. "Oh, kesinggung, ya? Maaf, deh. Aku cuma kasih peringatan aja, nggak semua orang itu suka sama kita. Jadi jaga sikap dan ucapan. Pantas dulu kamu dibully, ternyata begini kelakuanmu?" Riska melengos. Ia jadi teringat kembali kejadian beberapa puluh tahun silam. Saat ia baru saja mencela Adel dan datang anak lain membullynya, bahkan sampai merobek bajunya. "Sudah lah, maaf ya kalau aku ngerusak acara. Udah malam, aku pamit dulu," ucap Sarah. "Sama aku, Rah," ucap Adel, ia pun sudah malas di sana. "Kamu sama aku aja, Del." Adel menoleh, terlihat Asrul melambaikan tangannya. Sarah melihatnya dan tersenyum sekilas. Ia paham jika keduanya tengah pendekatan. "Nggak usah, Del. Aku bisa sama Zakki. Kan tadi sama dia berangkatnya," ucap Sarah. "Dih, bisanya ngrepotin orang aja! Zakki mau sama aku. Iya kan, Zak?" tanya Riska sambil tersenyum ke arah Zakki, tangannya mengamit lengan lelaki itu, membuat riuh dari teman-teman yang lain

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status