Share

ANCAMAN

"A-apa? Robohkan?"

Mungkin Mas Tohir pikir, aku akan mengalah begitu saja. Oh, tentu tidak! Aku lebih baik merobohkan rumah ini daripada harus mengikhlasknnya untuk ditempati oleh Ranti.

Tidak akan pernah!

Jika memang mereka tak mau ibuku tinggal di rumah ini, maka akan kurobohkan saja!

"Ya sudah robohkan saja!" ucap Mama sesumbar.

"Baik, besok aku akan menelepon agennya dan merobohkan rumah ini!"

Mas Tohir sudah kalang kabut saat mendengar aku dan Mama ribut.

"Ya sudah, Ibumu boleh tinggal di sini. Asal, jangan bikin aku repot."

"Tidak akan! Asal kamu, juga jangan merepotkanku."

Mas Tohir tampak diam, tapi juga tak membantah. Bagus lah, aku jadi tak perlu memberi makan mereka.

Mama dan Ranti pergi, tanpa berkata apapun. Sementara Mas Tohir masih berdiri di tempatnya. Ibra mendekat ke arah Ayahnya.

"Ibra, sini sama Bunda, Nak."

Aku mendekat pada anak bungsuku itu. Namun ternyata, ia malah menjauh. Hatiku sakit melihatnya.

"Ibra, ini Bunda, Nak. Yang suka video call."

Namun, Ibra tetap tak mau denganku. Ia malah bersembunyi di belakang tubuh ayahnya.

"Anakmu mana mau sama kamu, wong kamu bar-bar gitu."

Aku menggendong Ibra dengan paksa, hingga ia menangis. Tak kupedulikan tangisannya, namun saat aku mengajaknya untuk jajan, ia langsung diam. Ya Allah, Nak, kurusnya dirimu.

Aku pun memandikan Ibra dan menyalin bajunya, lalu menuju warung. Ibu kubiarkan istirahat dulu. Untung saja, Mas Tohir membuat tiga kamar. Dua kamar besar dan satu kamar kecil.

"Ibra mau jajan?"

Ibra hanya mengangguk. Mungkin kami belum bisa dekat, karena baru bertemu pertama kali ini.

"Loh, Sarah? Kamu pulang?"

"Hera?"

Aku terkejut mengetahui jika pemilik warung ini adalah Hera, temanku. Aku dan Mas Tohir memang satu kampung, hanya beda RT saja.

"Iya, Rah."

"Wah, sudah punya usaha ya sekarang. Semoga sukses ya, Her."

"Makasih banyak, Rah. Kamu pulang kapan?" tanya Hera.

"Beberapa hari yang lalu, Her. Tapi ini baru pindah ke sini."

"Oh, kamu pindah ke rumah Mas Tohir?"

"Lah ya iya, Her, kan aku istrinya."

Hera terkekeh, lalu memberi anakku es krim, dan tak mau dibayarnya. Kami mengobrol cukup lama, hingga aku mendengar perut Ibra yang berbunyi.

"Aku pamit dulu ya, Her. Mau beli makan."

Hera mengangguk, aku pun berjalan menuju warung nasi padang yang tadi pagi sempat kulihat.

Setelah membeli dua bungkus nasi padang, aku dan Ibra pulang. Aku sempat melihat motor di depan rumah Mama, dan kupastikan itu motor dibeli menggunakan uangku.

Ibra sudah tidak sekaku tadi. Ia mau ketika kusuapi. Ya Allah, gemetar tanganku saat menyuapinya. Rindu ini begitu menyiksa. Waktu tiga tahun itu bukan sebentar.

"Kok cuma dua bungkus nasinya? Buatku mana, Dek?" tanya Mas Tohir begitu masuk rumah.

"Beli aja sendiri. Bukannya katamu tadi gak usah saling merepotkan?"

"Kamu ini keterlaluan, loh. Aku ini suamimu. Bisa-bisanya kamu malah mengabaikanku?"

"Loh, dipikir kamu nggak keterlaluan? Aku ini istrimu, harus kamu nafkahin. Bukan aku yang nafkahi kamu. Sekalinya aku yang nafkahi, malah kamu telantarkan ibuku. Apa? Apa?" tanyaku saat kulihat ia hendak membuka mulutnya.

"Sudah, sudah! Nggak usah bertengkar. Kamu makan saja punya Ibu, Hir. Ibu masih kenyang," ucap Ibu.

"Kamu mau mengambilnya, Mas? Kamu mau mengambil makanan dari orang yang sudah kamu telantarkan?"

Mas Tohir tampak diam, Ibu menyenggol lenganku. Namun aku tak peduli. Suamiku itu memang sudah keterlaluan, kok. Rasa sakit hatiku tak bisa hilang begitu saja.

"Nih! Ambil makananmu, aku makan di rumah Mama saja. Perhitungan banget."

Aku melengos melihat Mas Tohir begitu saja. Jangan harap, aku akan menyerah begitu saja, Mas!

--

Esok hari.

Hari ini, aku akan menemui Farhan. Sudah sangat rindu pada anak sulungku itu.

"Ini, Bu, Farhannya."

Aku membelalakkan mata melihat Farhan yang begitu kurus. Ya Allah, kenapa anak-anakku tak ada yang terurus satu pun?

Farhan berlari memelukku. Ia menangis tersedu.

"Bunda kenapa jahat? Sudah Farhan bilang, nggak mau masuk pesantren. Tapi kenapa Bunda tetap maksa?" ucap Farhan di tengah isakannya.

Aku terkesiap. Apa maksudnya? Kapan aku memaksa Mas Tohir untuk memasukkan Farhan ke pesantren? Dasar Mas Tohir, berani sekali dia sudah menggunakan namaku!

_______

"Apa Ayah bilang Bunda yang mau memasukkan abang ke pesantren?"

Perlahan, Farhan mengangguk. Ia bahkan cerita, kalau Mas Tohir sudah tega membuat pernyataan bahwa aku pergi dari rumah dengan lelaki lain dan meninggalkan anak-anakku.

Setelah pihak pesantren mendengar semua ceritaku, mereka mengembalikan semua keputusan itu pada Farhan. Anak sulungku lebih memilih untuk pulang saja.

Sebenarnya, aku pun sangat ingin anakku sekolah di pesantren, tapi yang bisa juga ada pelajarannya. Sementara di pesantren ini hanya mengaji dan menghafal alqur'an saja. Mungkin nanti, aku akan mencari referensi pesantren yang bagus.

Kami tak langsung pulang. Aku mengajak Farhan untuk membeli baju dan tak lupa membeli ayam goreng merk terkenal untuk dibawa pulang.

Sampai di rumah, kulihat Ibra tengah bermain dengan Ibu. Mungkin karena sudah biasa melihat Ibu, sehingga ia lebih akrab dengan neneknya itu daripada aku.

"Abang," panggil Ibra. Ibra menghampiri Farhan dan memeluk abangnya.

"Ibra, Bunda bawa makan. Ayo, kita makan!" ajakku pada Ibra.

"Mau sama Abang."

Farhan menatap tak enak padaku, namun aku mengangguk pada anak sulungku itu, supaya ia yang menyuapi adiknya.

"Wah, makan enak, nih." Suara Ranti mengejutkanku karena ia masuk dari pintu belakang.

"Masuk rumah orang itu salam. Kebiasaan banget, keliatan nggak dididik," ucapku ketus.

"Loh, aku masuk ke rumah Abangku sendiri, kok."

"Rumah abangmu? Heh, denger! Rumah ini dibangun pake duitku. Jadi, sejak kapan rumah ini milik abangmu?"

"Mbak, sadar dong! Mana ada rumah yang berdiri kalau nggak ada tanah!"

"Ambil saja tanahmu. Asal rumahku tetap berdiri sempurna."

"Ish, nyebelin! Farhan, minta makanannya! Kasian itu adik sepupumu belum makan," pinta Ranti dengan ketus.

Sebenarnya, jika cara memintanya baik-baik, aku pasti akan mengizinkan Farhan untuk memberi sepupunya. Lah ini?

"Nggak, Bang. Jangan kasih. Biar bapaknya lah yang beliin. Katanya mau tanggung jawab meski sudah cerai!"

Ranti pun pergi sambil menghentakkan kakinya. Aku tak peduli jika ia akan mengadu pada Mama, ataupun Mas Tohir sekalipun.

-

Usai makan siang, Ibra tertidur di ruang tamu. Segera kupindahkan ia ke kamar. Di depan, aku berbincang dengan Farhan.

"Jadi, sejak kapan Ayah memperlakukan Abang dan Mbah semena-mena?" tanyaku pads Farhan sambil memegang kedua tangannya.

"Sejak Bunda pergi ke luar negri, Ayah masih biasa saja. Pokoknya, setelah Ibu mengirimkan uang, Bapak jadi jarang pulang. Terus, Farhan sama Ibra dibiarin di rumah sama Mbah. Ga makan, Bun."

Air mataku jatuh menetes. Begitu tersiksanya hidup anakku, mereka harus menanggung semua beban itu.

"Bunda, tolong jangan pergi lagi ya. Farhan sama Ibra butuh Bunda."

Kupeluk anak sulungku itu. Meski dia laki-laki, meski umurnya sudah lima belas tahun, tapi ia tak berdaya di hadapan ayahnya.

"Iya, Nak, Bunda nggak akan pergi lagi. Bunda akan selalu sama kalian."

"Makasih, Bun."

Aku mengangguk. Kuusap kepalanya. Benar kata orang, jika meski umurmu sudah banyak, kehadiran Ibu masih menjadi komposisi terbaik.

"Sarah!"

Aku dan Farhan terhenyak mendengar suara Mas Tohir yang datang dari belakang. Satu keluarga ini, kenapa sih? Apa otaknya miring semua?!

"Kamu apa kan Ranti, hah?"

"Sebelum kamu tanya soal Ranti, aku mau nanya. Kamu apa kan Farhan?" tanyaku sambil bergeser, supaya anak sulungku itu terlihat...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status