"F-Farhan?" "Kenapa, Mas? Kamu kaget karena aku bawa pulang Farhan?" "Tapi dia kumasukkan ke pesantren, demi masa depannya, Rah!" sentak Mas Tohir. "Masa depannya atau emang mau menikmati uangku sendirian, Mas?" tanyaku. Wajah Mas Tohir merah padam. Ia menatap tajam ke arah Farhan sehingga anak itu kusuruh masuk ke dalam kamar terlebih dahulu. "Mas bisa jelaskan semuanya, Rah," ucap Mas Tohir. "Apa yang perlu dijelaskan, Mas? Nggak ada! Kamu ini memang mata duitan! Aku nyesel karena sudah menyanggupi kemauanmu ke luar negeri. Kamu lihat sekarang! Ibuku bukannya sembuh malah makin parah sakitnya, belum lagi rumah peninggalan Bapak sudah mau roboh aja!" "Kenapa kamu jadi bahas hal yang udah-udah, sih? Harusnya kamu berterima kasih padaku, karena aku sudah merawat Ibumu. Padahal aku ini hanya menantunya!" Aku membeliakkan mata saat mendengar ucapan Mas Tohir. Apa katanya? Hanya menantunya? "Jadi, selama ini kamu tak pernah menganggap ibuku selayaknya ibu kandung ya, Mas? Berbeda
"Mas, motorku!" Aku menoleh saat Mas Tohir hendak maju menghampiriku, seketika ia berhenti dan meminta adiknya untuk bersabar.Aku masuk ke dalam rumah, dan memandikan Ibra, sementara Farhan tengah membuat kerajinan dari batok kelapa, membuat asbak. "Nak, apa kamu merokok?" tanyaku pada Farhan. "Tidak, Bun. Ini karena dulu Farhan pernah belajar sama Aki Umen, yang jadi pengrajin batok itu, loh. Makanya Farhan bisa. Lumayan, Bu, buat dijual," jawab Farhan sambil tersenyum. "Iyakah? Kamu dulu belajar saja, kan?" "Emm, sebenarnya Bapak menyuruh Farhan untuk mencari uang sekedar untuk jajan, Bu."Apa? Dadaku perih bukan main saat mendengar pengakuan anakku. Mas Tohir benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa ia menyuruh anak sulungnya untuk mencari uang? Lalu untuk apa aku mengiriminya uang selama ini?Usai memanikan Ibra, aku menitipkannya pada Ibu. Ibu sudah memperingatiku supaya tidak bertindak terlalu jauh, namun aku tak peduli. Ibu tak merasakan sakitnya jadi aku, seorang Ibu yang
[Apa maksudmu membuat status begitu, Kak? Apa kamu berniat mempermalukanku?] [Menurutmu gimana? Kamu aja bisa bikin status nyeleneh tentang aku, kenapa aku nggak bisa? Dengar ya, Ran, aku ini tergantung bagaimana orang bersikap. Kalau kamu aja nggak bisa menghargaiku dan menghormatiku sebagai Kakak ipar, maka jangan harap aku akan menghargaimu juga.] Setelahnya kublokir nomor Ranti. Ibra dan Farhan sedang bermain di halaman, saat Bik Sarni datang membawa minuman. "Ayo, diminum dulu, Mbak. Memangnya Tohir ke mana, Rah?" tanya Bik Sarni. "Ngilang dia, Bik, digondol setan." "Hust, Rah, yang benar ngomongnya." "Lah, iya kan, Bu? Mas Tohir itu udah gak kaya manusia, tapi kaya setan. Heran juga aku sama dia, kenapa makin tua malah gak makin mikir. Aku terima saja saat ia tak kerja karena kupikir ngerawat anak kami. Kalau ujung-ujungnya malah kaya gini, ya Sarah ga mau, Bu." "Sabar, Rah. Apa Tohir berlaku yang gak baik sama kalian?" "Bukan hanya itu, Bik. Dia malah nggak ngurus anak
"Tofik?""Mbak Sarah?"Kami sama-sama terdiam. Pandanganku tertuju pada wanita di samping adik iparku itu. Sementara Tofik salah tingkah karena aku memergokinya tengah bersama wanita hamil."Kalian saling kenal?" tanya wanita itu."Iya, saya-""Mbak, boleh kita bicara dulu? Sayang, sebentar, ya. Nanti aku jelaskan," ucap Tofik.Kini aku mengerti, kenapa lelaki itu tampak salah tingkah. Karena wanita di sampingnya itu, ternyata adalah istri mudanya."Mbak, tolong jangan kasih tahu Ranti, ya? Aku mohon, Mbak," ucap Tofik."Sejak kapan kamu melakukannya, Fik?" tanyaku."Du-dua tahun, Mbak. Aku mohon ya, Mbak? Bisakan, jangan laporkan hal ini sama Ranti? Bisa-bisa aku digeprek sama dia.""Sudah tahu istrimu itu galak, bawel, kenapa kamu nekad?""Ya gimana, Mbak? Aku nggak nyaman di sana. Mama kan selalu ikut campur setiap masalahku.""Jadi, kamu selama ini sebenarnya gak kerja di luar kota?"Tofik menggulung. Tatapannya terlihat sangat memohon. Aku sendiri sampai bingung harus bersikap ba
"Hera, teganya kamu melakukan ini sama aku..." Meski aku kesal setengah mati dan bahkan kehilangan sebagian rasa cintaku pada lelaki yang masih berstatus suamiku itu, tetap saja aku kesal setelah tahu kenyataan bahwa suamiku direbut oleh sahabatku sendiri. Pantas, kemarin Hera terasa aneh. Pantas saja, aku merasakan kejanggalan saat berkirim pesan dengannya. Tunggu, bukankah Hera katanya hendak menikah minggu depan? Aku mengepalkan tangan. Jadi, lelaki yang hendak menikahinya adalah Mas Tohir? Ingin sekali aku melabrak mereka sekarang, namun aku tahan emosiku. Kuambil ponsel dan mengambil potret mereka yang tengah bermesraan. Kepala Hera ada di pundak suamiku. Setelahnya aku tersenyum, kalian tak bisa berkutik lagi nanti, Mas. Kuajak anak-anak untuk ke minimarket saja. Ibra sangat senang saat motor kuparkirkan. *Sama Ayah kita ga pernah ke sini ya, Bang. Tapi sama Bunda kita sering ke
"Apa kamu akan datang, Sar?" tanya Andi. "Harus, Ndi. Meski aku mau menceraikan dia, tapi aku harus datang dan buat kejutan untuk mereka." "Apa kamu baik-baik saja, Sar?" Aku tersenyum kecut. Bohong jika kukatakan aku baik-baik saja. Mana ada istri yang bisa baik-baik saja setelah dikhianati oleh suaminya? "Acaranya lusa, kan? Di rumah Hera?" "Iya, Sar. Mereka nggak tahu kamu pindahan hari ini kayaknya, makanya anteng-anteng aja ngadain acara itu. Aku pas tahu juga kaget, nekad banget Bang Tohir." "Ya sudah, Ndi, makasih infonya, ya." "Sip, kabari kalau butuh bantuan ya, Sar." Aku mengacungkan jempol. Hera, sahabatku. Tega kamu melakukannya? Apa tidak bisa bersabar sedikit sambil menunggu aku mengajukan perceraian ke pengadilan? Apa segitu gatalnya dirimu menjadi wanita? "Nduk? Kenapa?" Aku menoleh seraya tersenyum. Tidak, ibu tak
"Ayah?" "F-Farhan. Ya Allah, Nak. Ayah kangen." Farhan membalas pelukan ayahnya. Biar bagaimana pun, Tohir tetap lah ayah kandungnya. Ada rasa rindu yang terselip di rasa sakit hatinya. "Kenapa Ayah nggak langsung masuk aja?" "Ayah takut ganggu, Nak." "Nggak ada yang ganggu, Yah." "Ya sudah, sekarang Ayah mau pulang dulu karena Nenek lagi sakit." Farhan mengangguk. Tohir langsung pulang, setelah memastikan tak ada kecurigaan di kedua mata anak sulungnya itu. Sampai di rumah, Tohir menghela napas panjang. Ia lega seakan baru saja keluar dari medan perang. Dihubunginya seorang rentenir yang bisa membantunya. Karena jika ia masukkan ke pegadaian, maka harus Sarah yang menandatanginya. "Butuh uang berapa?" "Seratus juta," jawab Tohir mantap. "Jangan gila kamu, Hir. Rumah itu kecil, harga jualnya aja mungkin segitu.""Ya sudah, lima puluh juta," ucap Tohir. "Empat puluh juta, kalau mau, saya cairkan hari ini uangnya." Mau tak mau, Tohir pun mengiyakan ucapan rentenir itu. Dari
Rita bergerak maju ke arah Tohir. Ia malu bukan main saat melihat pernikahan anaknya dihancurkan. Terlebih ketika video Tohir yang diam-diam masuk ke dalam kamar Sarah dan mengambil sertifikat rumah itu diputar. "Tohir, lakukan sesuatu. Jangan buat dia semakin membuat kita malu." Sarah tersenyum ke arah pelaminan. Di mana Rita tengah kasak-kusuk menyuruh sang anak. "Lihat lah. Sebagai seorang ibu, bukan kah seharusnya beliau menasehati, atau minimal menegur anaknya? Apalagi ini sampai menikah lagi. Padahal, anak perempuannya pun bernasib sama sepertiku. Tapi tak ada empati dari keluarga itu," ucap Sarah dengan lantangnya, sehingga membuat tamu semakin heboh. Rita mendelik, ia berjalan ke arah Sarah dan menamparnya. Membuat wanita itu terhuyung ke belakang. "Dasar ja lang! Pantas anakku menikah lagi. Dia pasti tak tahan punya istri sam pah sepertimu!" Sarah tertawa, bahkan tawanya terdengar amat miris. Ia kini tahu, jika mertuanya itu sedang mencoba untuk menjadikannya kambing hi