Share

DERITA IBUKU SAAT AKU MENJADI TKW
DERITA IBUKU SAAT AKU MENJADI TKW
Penulis: Jingga Rinjani

MINTA UANG LAGI

IBUKU DITELANTARKAN SUAMIKU

[Dek, Ibu mau kontrol besok. Uang sekolah Farhan juga sudah ditagih. Kamu kapan mau transfer?]

[Nanti sore ya, Mas. Ini aku masih di kuil. Lagi nganter si Kakek berdo'a dulu. Memang uang sekolah Farhan berapa?]

[Kurang dua juta, Dek. ]

Aku mengerutkan kening saat membaca balasan Mas Tohir. Ini kali dua ia meminta tambahan uang setelah bulan kemarin juga minta untuk membetulkan talang air yang ada di dekat kamar Ibu.

[Ya sudah, nanti sore aku transfer. Kamu tunggu saja, Mas.]

[Ya, terima kasih ya, Dek. Kamu hati-hati di sana.]

Aku hanya membaca pesan dari Mas Tohir, lalu menyimpan ponsel kembali karena Kakek yang kurawat sudah selesai berdo'a.

Ini tahun ketiga aku bekerja di Taiwan sebagai perawat kakek-kakek. Setelah sampai rumah, segera kuganti baju Kakek dan ia pun istirahat. Di saat istirahat begini lah, aku bisa santai sekedar untuk terlelap sebentar.

Namun, sore ini aku tak bisa memejamkan mata. Rasanya sangat aneh saat suamiku lagi-lagi meminta uang tambahan. Padahal, awal bulan kemarin aku sudah mengirim sebesar delapan juta rupiah.

Aku bekerja di sini karena sebuah keterpaksaan awalnya. Aku baru saja melahirkan anak kedua saat itu, dan ketika bayiku berusia satu tahun, aku pergi bekerja karena Mas Tohir sangat sepi pekerjaan. Ditambah Ibuku yang sakit-sakitan. Beliau mengidap penyakit jantung dan diabetes, atau komplikasi. Biaya berobatnya tak tanggung-tanggung.

"Demi kalian, aku rela bekerja jauh di sini. Kadang kurang tidur, demi kalian bisa hidup enak," ucapku sambil melihat foto Ibu dan kedua anakku.

Anak sulungku baru masuk SMA. Kata Mas Tohir, sedang membutuhkan banyak uang untuk pendidikannya. Ia ingin anaknya punya masa depan yang cerah, maka dari itu, aku berniat untuk memperpanjang kontrakku.

Hari demi hari kulalui. Hingga akhirnya, tiba di mana si Kakek ngedrop dan dibawa ke rumah sakit. Selang beberapa jam, beliau dinyatakan meninggal dunia. Ada rasa sedih karena aku sudah merawatnya selama tiga tahun ini.

"Kamu bagaimana, Sarah? Apa mau pindah majikan?" tanya orang agensi-ku, saat Kakek baru saja dikremasi.

Aku sempat berpikir ulang. Apakah kulanjutkan saja? Tapi jika kulanjutkan, maka aku harus beradaptasi lagi. Lagipula, sudah cukup lama aku di sini, rumah pun sudah direnovasi.

"Saya mau pulang saja, Kak."

"Kamu yakin? Ini kesempatanmu langsung dapat bos baru, loh."

Aku menggeleng. Sudah terlalu lama aku meninggalkan anak-anakku, kasihan juga Mas Tohir kesepian di rumah. Sebaiknya aku memang pulang saja.

Hari keberangkatanku sudah ditentukan dua hari lagi. Kucoba untuk menghubungi Mas Tohir, namun nomornya tak aktif. Telepon Farhan pun sama. Anak itu terus menerus ganti nomor ponselnya. Setiap meminta pada Mas Tohir, aku selalu lupa.

Hingga aku berangkat menuju Indonesia dan kemudian sampai di tanah air, nomor Mas Tohir tetap tak bisa dihubungi. Biarlah, aku akan memberikan mereka surprise saja.

Aku menyetop taksi untuk menuju terminal, dan naik bus jurusan Purwokerto. Hati begitu senang, tak sabar rasanya bertemu dengan keluargaku.

"Fathan, Ibra, Ibu pulang, Nak."

Tak terbayang bagaimana wajah Ibra saat ini. Meski sering video call, tapi pasti rasanya beda jika bertemu secara langsung.

Setelah perjalanan delapan jam, aku sampai di depan rumah. Namun, satu pemandangan membuatku begitu terkejut. Kenapa rumahku masih seperti dulu? Tak ada perubahan seperti yang Mas Tohir bilang? Lalu, rumah siapa yang ia foto dan kirimkan padaku?

Aku mengetuk pintu, namun tak kunjung dibuka. Akhirnya kucoba buka, dan langsung bisa. Kenapa tak dikunci?

"Assalamu'alaikum," ucapku.

"Uhuk-uhuk!"

Aku mendengar suara Ibu batuk. Segera aku menuju kamar Ibu dan menyalakan lampu di kamarnya. Aku begitu terkejut melihat keadaan Ibu.

"Ibu?"

"Sarah? Kamu pulang, Nak?"

Ibu langsung merentangkan tangannya, dan aku pun memeluknya.

"Sarah..."

"Bu? Kenapa keadaan Ibu malah begini?"

Kasur kapuk yang sangat keras, dan luka basah di tubuh Ibu. Ssbenarnya, apa yang sudah dilakukan suamiku selama aku pergi kerja di luar negri?

_______

“Di mana Mas Tohir, Bu? Lalu anak-anakku di mana?”

“Sarah, suamimu memang bi*d*b! dia memasukkan Farhan ke pesantren dan semua itu gratis. Ibu sering mendengar ia yang suka meminta uang padamu dengan alasan untuk biaya sekolah Farhan. Ia menjadikan rumah ini sebagai bukti bahwa kita hidup miskin.”

“Astaghfirullah! Memang tetangga nggak ada yang ngasih tahu ke staff pesantrennya pas lagi ke sini, Bu?”

“Ibu nggak tahu, Rah. Ibu sakit begini, untuk jalan pun susah.”

Aku menatap Ibuku dengan sedih. Kepulanganku ke tanah air bukannya menyisakan haru dan bahagia karena bisa berkumpul lagi dengan keluarga, namun aku malah melihat kenyataan menyakitkan ini.

“Bu, kita ke rumah sakit. Sebentar, Sarah akan pesan taksi online.”

Beruntung, tadi aku sempat membeli kartu perdana Indonesia dan sudah didaftarkan langsung, sehingga memudahkanku untuk mendownload aplikasi taksi online dan memesannya.

“Ayo, Bu, mobilnya sudah sampai.”

Kuseret kembali koperku, dan berjalan menuju mobil. Alhamdulillahnya, Pak supir mau membantuku membawakan koper ke mobil sehingga aku bisa memapah Ibu

Suasana kampung memang sedang sepi. Mungkin karena ini masih gelap. Jam baru menunjukkan pukul empat pagi.

“Kita ke IGD aja ya pak.”

Pak Supir membawa kami ke IGD. Beruntung kami bertemu dengan orang baik, beliau mau mengubah rute. Sampai di IGD, Ibu langsung di tangani. Luka basah itu awalnya kecil, namun karena tak diobati, maka menjadi lebar.

Pukul Sembilan pagi, Ibu dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar dan fasilitasnya memadai. Tak tanggung-tanggung, aku memasukkan Ibu ke ruangan VVIP. Kemarin sebelum pulang, keluarga Kakek memberiku pesangon yang sangat banyak. Mereka memang sangat baik, mungkin karena aku telah meringankan tugas mereka.

“Bu, apa sekarang sudah lebih baik?” tanyaku.

“Iya, Rah. Alhamdulillah, anak Ibu pulang tepat waktu.”

Aku tersenyum, meski dalam hati merasa sangat sakit melihat beliau begini. Tujuanku kerja keras selama ini karena ingin mengobati Ibu supaya cepat sembuh. Dan Mas Tohir pun mengizinkanku untuk ke luar negeri.

“Apa yang sudah Mas Tohir lakukan selama ini pada Ibu?” tanyaku sambil menitikkan air mata.

“Dia jarang pulang, Rah. Ibra juga dibawanya. Menurut Minah, si Tohir sudah membangun rumah lagi. Tapi di dekat rumah orang tuanya.”

“Apa? Bahkan Sarah mengirimkan uang untuk merenovasi rumah kita, Bu. Bukan malah membangun rumah baru.”

Aku marah begini karena ada alasannya. Biar bagaimana pun, aku tak bisa melupakan kebencian keluarga suamiku. Dulu sewaktu aku menikah dengan Mas Tohir memang ditentang, dengan alasan aku hanyalah anak dari orang miskin yang tak pantas bersanding dengannya.

Berbagai macam hinaan sudah kuterima, dan kutelan. Sekarang, Mas Tohir malah membangun rumah di samping rumah mertua? Astaga! Benar-benar suamku itu!

Ting!

Sebuah pesan masuk. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mas Tohir mengirimkan pesan padaku dengan bahasan seperti biasa. Uang.

[Dek, gimana? Apa uangnya sudah kamu kirim?]

[Iya, nanti, Mas. Aku lagi sibuk.]

[Sesibuk apa sih, Dek? Ini untuk Ibumu sendiri, loh. Kamu mau Ibumu sembuh, nggak?]

Lama-lama, aku geram sendiri membaca pesan dari Mas Tohir.

[Ya sudah, tapi aku mau video call sama Ibu dulu, mau lihat kondisinya.]

Lama tak ada balasan dari lelaki itu. Hem, mau apa kamu, Mas?

[Ibunya lagi tidur, Dek.]

[Ya sudah, kirimkan fotonya saja.]

Sebuah pesan masuk, berisi kiriman foto Ibu yang tengah tertidur. Jika diperhatikan, setiap foto yang masuk itu pose, dan bajunya sama selama beberapa bulan ini. Kenapa aku begitu bodoh sampai tak bisa membedakan.

Kutekan tombol video, lalu tersenyum miring. Kita lihat, apakah Mas Tohir masih bisa berkelit?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status