Share

RENOVASI RUMAH

"F-Farhan?"

"Kenapa, Mas? Kamu kaget karena aku bawa pulang Farhan?"

"Tapi dia kumasukkan ke pesantren, demi masa depannya, Rah!" sentak Mas Tohir.

"Masa depannya atau emang mau menikmati uangku sendirian, Mas?" tanyaku.

Wajah Mas Tohir merah padam. Ia menatap tajam ke arah Farhan sehingga anak itu kusuruh masuk ke dalam kamar terlebih dahulu.

"Mas bisa jelaskan semuanya, Rah," ucap Mas Tohir.

"Apa yang perlu dijelaskan, Mas? Nggak ada! Kamu ini memang mata duitan! Aku nyesel karena sudah menyanggupi kemauanmu ke luar negeri. Kamu lihat sekarang! Ibuku bukannya sembuh malah makin parah sakitnya, belum lagi rumah peninggalan Bapak sudah mau roboh aja!"

"Kenapa kamu jadi bahas hal yang udah-udah, sih? Harusnya kamu berterima kasih padaku, karena aku sudah merawat Ibumu. Padahal aku ini hanya menantunya!"

Aku membeliakkan mata saat mendengar ucapan Mas Tohir. Apa katanya? Hanya menantunya?

"Jadi, selama ini kamu tak pernah menganggap ibuku selayaknya ibu kandung ya, Mas? Berbeda sekali denganku yang menganggap orang tuamu sebagai ibu kandungku. Capek aku, Mas! Aku nggak mau tahu, tiga ratus juta itu harus kamu kembalikan padaku ya. Aku kasih waktu tiga bulan, kalau nggak, aku robohkan rumah ini!"

Mas Tohir mengepalkan tangannya, lalu pergi begitu saja. Aku jatuh terduduk di lantai. Selama kami menikah, Mas Tohir dan aku, baru kali ini bertengkar hebat. Padahal biasanya, aku akan cepat mengalah. Namun, jika sesuatu terlibat dengan ibuku, rasanya aku enggan untuk mengalah. Sudah cukup aku merasa dimanfaatkan.

"Nduk, kenapa sampai bertengkar seperti itu? Dia itu suamimu, surgamu. Nggak boleh begitu."

"Bu, kita memang harus patuh dan ta'at pada suami. Tapi, suami seperti apa dulu? Kalau modelannya kaya Bang Tohir, bisa mati muda Sarah, Bu."

"Sabar ya, Nduk. Semoga semua cepat berlalu dan kamu cepat selesai masalah ini."

"Aamiin, Bu."

Malam hari, aku memesan makanan di aplikasi ojek online. Aku bukan bermaksud sombong, tapi aku hanya ingin menyenangkan ibu dan anak-anakku saja dengan makan enak.

"Hem, bau enak. Kak, bagi dong!"

Aku hanya menoleh ketika Ranti datang, dan melanjutkan makan malam kami. Bahkan ketika Anam, anaknya Ranti, yang berusia tujuh tahun, meminta makanan kami, aku tak tergerak. Meski kasihan, aku hanya ingin membuat ibunya itu tahu diri.

"Kenapa nggak dikasih saja, Bun?" tanya Farhan.

"Nanti jadi kebiasaan. Sudah, kalian makan saja yang banyak. Ibra suka, Nak?" tanyaku pada Ibra.

Perlahan, Ibra mengangguk. Ia mau ketika kusuapi. Beginilah konsekwensi meninggalkan anak untuk bekerja saat usianya masih balita. Ia akan cuek dan bahkan tak dekat denganku. Tapi tak apa, semuanya bisa diperbaiki pelan-pelan.

Sementara dari rumah samping, aku mendengar suara Anam yang semakin keras sambil menangis. Apa peduliku? Dulu saja mungkin anakku kelaparan, sementara mereka makan enak.

Brak!

Pintu belakang dibuka dari luar, ternyata Mama datang. Aku tau, beliau datang pasti karena ingin melabrakku soal anaknya tadi.

"Heh, Sarah! Jadi orang jangan pelit. Kamu tau tidak! Anak saya yang bantu jagain anakmu pas kamu di luar negeri. Harusnya kamu sadar diri dan tahu terima kasih jadi orang!" ucap Mama meledak-ledak.

"Loh, kok jadi marahin Sarah? Mama yakin, dulu tak pernah makan uang Sarah? Yakin? Gak pernah makan secuil pun?"

Wajah Mama memerah, beliau pasti sangat marah padaku. Namun, apa peduliku?

"Besan! Ajari anaknya, ya! Jangan kurang ajar sama orang tua! Gini nih, kalau abis dari luar negri. Belagu! Didik anaknya yang bener!"

Deg!

Aku kesal bukan main saat Mama menghina Ibu.

"Heh! Anda siapa pake ngebentak ibu saya? Ngerasa ngasih makan? Sampai ngehina gitu?"

______

"Besan bisa lihat kan, bagaimana kelakuan dan sikap Sarah pada saya?"

"Ma, jangan salahkan Ibu! Sarah takkan kurang ajar jika kalian tak memulai duluan. Kalian bersikap sok suci, sok bersih, padahal aslinya, kalian itu jahat, kejam! Ke mana uang yang selalu kukirim pada Mas Tohir kalau tak habis sama kalian?" sentakku.

"Sarah! Berani kamu memarahi Mamaku?" bentak Tohir.

"Iya, Hir. Istri begini tak ada gunanya. Kamu kenapa masih mempertahankan dia, masih mending-"

"Ma!"

Aku dan Mama serta Ibu terperanjat kaget saat mendengar bentakan Mas Tohir. Kenapa dia? Lalu, kenapa Mama tadi bilang mending?

"Kamu punya pacar ya, Mas? Kamu selingkuh?" tuduhku.

"Eh? Mana mungkin? Aku ini setia sama kamu, Rah. Jangan kebiasan main tuduh-tuduh begitu!"

"Sudah! Stop! Ini sudah malam. Apa kalian tak merasa tak enak pada tetangga? Kamu ya besan, jangan ajari saya untuk mendidik anak kalau didikanmu saja begini hasilnya. Apa kurangnya anakku? Dia sudah jadi tulang punggung keluarga saat anak anda masih sehat wal'afiyat. Harusnya kalian malu! Bukan malah memojokkan kami!"

Aku terpana melihat Ibu yang meledak-ledak emosinya. Aku sampai mengedipkan mata berkali-kali. Ibu sungguh membuatku takjub. Aku jarang sekali melihat Ibu begini.

Mama pergi dan disusul oleh Mas Tohir. Selalu begitu. Suamiku itu bagai anak kecil yang selalu di ketek ibunya. Ia tak pernah memikirkan kami. Bahkan, saat aku di sini pun, ia tak pernah pulang. Selalu tidur di rumah Mama.

"Anak-anak, kalian istirahat, ya? Besok kalian ikut Bunda jalan-jalan. Mau?" tawarku pada Farhan yang sedang memeluk Ibra.

"Mau, Bu," ucap Farhan.

Aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Mana ada hati istri baik-baik saja saat rumah tangganya tengah berada di ujung tanduk? Apalagi, saat menatap kedua netra Farhan. Ia hampir berusia tujuh belas tahun, tapi harus mengalami masalah orang tuanya yang tak ada habisnya..

Ada luka di mata remaja berusia enam belas tahun itu. Luka yang diakibatkan olehku sendiri. Wajar, jika Farhan kecewa padaku.

"Maafkan Bunda ya, Nak. Bunda belum bisa jadi ibu yang baik untuk kalian," ucapku sambil mengelus kepala kedua anakku.

--

Keesokan harinya.

Aku mengajak Farhan, Ibra ke mall. Ibu sengaja kutinggal bersama Bik Wati, tetangga samping yang kubayar untuk menjaga Ibu hari ini. Dia janda beranak tiga, sehingga mau saja ketika aku meminta bantuannya.

"Wah, bagus banget, Bun," ucap Farhan.

Ibra berlari ke sana dan ke mari. Aku menahan tangis melihat wajah bahagia mereka.

"Apa Ayah nggak pernah ajak kalian ke sini?"

"Nggak, Bun. Ayah paling ajak ke pasar aja."

"Selama Bunda di luar negeri?" tanyaku.

"Iya, Bun."

Lagi, aku mendapati Mas Tohir benar-benar kelewatan. Ia ke manakan uang yang selalu kukirim? Bukan hanya sejuta atau dua juta, melainkan delapan juta. Gajiku selama di Taiwan adalah sebelas juta. Aku rela hidup hemat di luar negeri demi hidup mereka terjamin. Tapi apa ini?

Akhirnya, kubelikan baju dan juga beberapa mainan untuk Ibra. Farhan juga kubelikan ponsel baru.

"Dari mana saja kalian?" tanya Mas Tohir saat kami baru saja sampai di rumah.

"Masih peduli?"

"Kenapa kamu makin hari makin kurang ajar sama aku, Rah?" bentak Mas Tohir.

"Kamu pikir aja sendiri, Mas! Dan lagi, ini di depan anak-anak. Harusnya kamu bisa jaga sikap kalau mau dihormati sama mereka!"

"Bawa apa kalian?"

Bukannya menjawab omonganku, ia malah mengalihkan perhatian pada bungkusan yang kubawa.

"Ini baju anak-anak dan mainannya."

"Kamu belikan buat Anam nggak? Kasihan dia, Ranti nggak punya duit."

"Dia kan punya laki, minta lah sama suaminya. Apa gunanya punya suami kalau apa-apa minta ke kakaknya. Kalau gak, suruh adikmu itu untuk ke luar negeri jadi TKW sekalian!"

______

"Sarah! Berani-beraninya ya kamu nyuruh adikku jadi TKW?"

"Lah emang kenapa? Kamu aja berani nyuruh aku ke luar negeri, kok! Biar adikmu ngerasain tuh, duitnya dimakan ama lakinya, terus Mama nggak dikasih duit."

"Sarah!"

"Apa? Mau nampar? Nih!" tantangku saat melihatnya sudah mengangkat tangan kanannya.

Mas Tohir hanya bisa menggeram, tanpa bisa menamparku. Aku pun meninggalkannya masuk ke dalam rumah, karena sedari tadi orang-orang sudah memperhatikan kami.

"Bagaimana Ibu, Bik?" tanyaku.

"Ada di kamar, Neng."

Kukeluarkan uang dua ratus ribu untuknya, sebagai balas jasa karena sudah membantuku menjaga Ibu selagi aku di luar.

"Waduh, kebanyakan, Neng."

"Nggak papa, Bik Wati, terima saja," ucapku.

"Makasih banyak ya, Neng," ucap Bik Wati dengan wajah semringah dan keluar dari rumah.

Segera kukunci rumah, supaya Mas Tohir tak bisa masuk ke dalam. Kusuruh Farhan mandi dan sekalian memandikan adiknya, sementara aku masuk ke kamar Ibu.

"Kalian ini kenapa toh, Nduk? Kok berantem terus isinya," tanya Ibu.

"Gimana nggak berantem, Bu? Mas Tohir makin hari makin kurang ajar. Sarah nggak bisa tinggal diam saja," jawabku.

"Ya sudah, kita pulang saja ke rumah Ibu, ya? Ibu juga nggak betah di sini," ucap Ibu.

"Itu biar nanti saja, Bu. Sarah sudah dapat nomor tukang untuk merenovasi rumah. Terus, motor yang sering dikendarai sama Ranti, sepertinya dibeli pakai uang Sarah, jadi mau sarah minta saja nanti."

"Iya, Nduk. Ibu terserah kamu saja, yang penting kamu nggak ninggalin Ibu."

Aku mengangguk, cukup sekali aku ke luar negeri untik bekerja jika Mas Tohir tak bisa dipegang ucapannya.

--

Hari ini, tukang dan kenek sudah mulai mengerjakan renovasi rumah. Niatnya aku hanya ingin mengubah depannya saja, sementar bagian dapur hanya diganti dengan kayu bekas untuk rumah depan.

"Dana saya hanya ada seratus dua puluh juta. Jadikan rumah yang sederhana tapi enak dipandang ya, Pak," ucapku pada Pak Yusuf, pemborong yang kusewa. Ia merupakan saudaranya Andi, sehingga bisa kupercaya.

"Baik, Bu. Serahkan saja pada saya. Ibu terima beres. Ini nanti berarti tiga kamar tidur dan satu kamar mandi, ya?"

"Iya, Pak."

"Baik, Bu."

Aku pun meninggalkan rumah Ibu untuk ke pasar diantar oleh Andi. Niatnya, aku membeli kudapan untuk para tukang dan kenek.

"Sebentar ya, Ndi."

"Iya, Rah, santai aja."

Aku pun masuk ke dalam pasar, sekalian belanja untuk masak di rumah. Tukang sayur lewat jika sudah siang, sementara aku siang sudah malas untuk memasak.

"Sudah, Rah?" tanya Andi.

"Sudah, ayo."

Andi mengantarkanku ke rumah Ibu, lalu ke rumahku. Saat sampai, kulihat Ibra sedang berebut mainan dengan Anam, sementara Mas Tohir masih asyik bermain ponsel. Astaga! Nggak bisa diandalkan banget jadi Ayah!

"Mas! Itu anakmu loh, rebutan!"

"Ibra! Serahkan mainanmu sama Anam!"

Mataku membeliak saat melihatnya malah membela ponakannya daripada anak kandungnya sendiri.

"Mas! Jangan edan deh jadi orang! Ibra itu anakmu, bukannya dibela malah kamu bela anak orang lain!"

"Anam itu bukan orang lain, Rah! Dia ponakanku."

"Oh gitu, ya? Kamu gak anggap Ibra? Oke, Mas! Lihat nanti kalau kamu sudah tua, sudah kakek-kakek, lihat aja si Anam mau mengurusmu apa nggak!"

"Ada apa ini ribut-ribut? Kamu ini, Rah! Apa nggak bosen ribut terus sama suamimu? Jadi istri yang berguna, dong! Jangan bisanya ngajak berantem terus," ucap Mama sambil menunjuk ke arahku.

"Hahah, harusnya Mama bilang gitu sama anak Mama itu. Jadi suami yang berguna dikit! Bukan cuma bikin anak aja bisanya!"

Aku menoleh ke arah Ranti yang baru saja masuk ke halaman rumah kami yang menyatu, sambil menggendong Ibra, aku merebut kunci yang sedang dipegang oleh iparku itu.

"Kak! Kembalikan kunci motorku!"

"Mau? Minta sama suamimu! Punya suami kok nggak guna, motor aja harus pake uangku buat beli. Ngotak!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status