Share

SURAT RUMAH

"Mas, motorku!"

Aku menoleh saat Mas Tohir hendak maju menghampiriku, seketika ia berhenti dan meminta adiknya untuk bersabar.

Aku masuk ke dalam rumah, dan memandikan Ibra, sementara Farhan tengah membuat kerajinan dari batok kelapa, membuat asbak.

"Nak, apa kamu merokok?" tanyaku pada Farhan.

"Tidak, Bun. Ini karena dulu Farhan pernah belajar sama Aki Umen, yang jadi pengrajin batok itu, loh. Makanya Farhan bisa. Lumayan, Bu, buat dijual," jawab Farhan sambil tersenyum.

"Iyakah? Kamu dulu belajar saja, kan?"

"Emm, sebenarnya Bapak menyuruh Farhan untuk mencari uang sekedar untuk jajan, Bu."

Apa? Dadaku perih bukan main saat mendengar pengakuan anakku. Mas Tohir benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa ia menyuruh anak sulungnya untuk mencari uang? Lalu untuk apa aku mengiriminya uang selama ini?

Usai memanikan Ibra, aku menitipkannya pada Ibu. Ibu sudah memperingatiku supaya tidak bertindak terlalu jauh, namun aku tak peduli. Ibu tak merasakan sakitnya jadi aku, seorang Ibu yang tahu anaknya disuruh mencari uang oleh ayahnya sendiri.

Brak!

Aku membuka pintu rumah Mama, tanpa permisi aku masuk dan melewati Mas Tohir yang tengah menonton televisi. Tak kulihat adanya Mama ataupun Ranti.

Aku masuk ke kamar Mas Tohir sewaktu bujang. Aku yakin, bisa menemukan sisa-sisa uang yang kukirimkan. Bahkan, terakhir kali aku mengirimkan uang sebanyak tiga belas juta.

"Sarah, kamu ngapain?" tanya Mas Tohir, terlebih ketika melihatku membuka laci.

Tak kuindahkan pertanyaan lelaki berstatus suamiku itu, lalu mulai mencari di lemari pakaiannya karena tak kulihat ada sesuatu di bawah bajunya. Saat kutarik, ternyata itu adalah sebuah amplop cokelat.

"Kembalikan! Itu punyaku!"

Aku memasukkan map itu ke dalam bajuku, Mas Tohir pikir aku akan takut saat ia melotot padaku seperti itu? Ia yang sudah mengambil hak ibu dan anak-anakku, seharusnya ia yang takut karena sudah berbuat dosa!

Plak!

Aku terhuyung saat Mas Tohir benar-benar menamparku. Ini kali kedua Mas Tohir menamparku setelah kejadian waktu itu.

"Keterlaluan kamu, Mas! Ini punyaku! Kamu tak pernah kerja, mana ada kamu punya harta? Semuanya itu milikku! Dan bahkan sofa di ruang tamu itu dibeli menggunakan uangku, kan?"

"Jangan ngaweur kamu, Rah! Itu dibeli pake uangnya Tofan!"

"Alah, bininya mau beli motor aja harus pake uangku, masa iya beliin sofa Mama dengan cuma-cuma?"

Aku keluar dari kamar dan masuk ke dalam rumahku. Bahaya jika map ini disimpan di sini. Bisa-bisa, sedikit aku lengah, Mas Tohir malah membawa ini semua.

"Sarah! Buka pintunya!" teriak Mas Tohir di luar sana.

"Jangan kamu buka pintunya, Han. Kalau tidak, Ibu tinggal kamu di sini nanti," ucapku.

"Iya, Bu."

Aku membuka map itu. Berisi stnk dan bpkb motor, serta uang yang berjumlah lima juta. Apa ini sisa dari semua yang kukirimkan?

"Kamu benar-benar kurang ajar, Mas!"

Lalu, apakah Mas Tohir belum mengurus surat rumah itu? Bagus, akan lebih baik begitu jadi aku gampang untuk menjualnya suatu hari nanti.

Sore hari, setelah memastikan Mas Tohir tak ada di rumah Mama, aku bersama Farhan menuju rumah Bik Sarni, adik Ibu. Di sana, aku meminta izin untuk menginap sampai rumahku selesai dibangun.

"Kamu pulang kok nggak kasih kabar, Rah? Tinggal aja di sini dulu sementara. Nggak usah repot bayar segala."

"Nggak papa, Bik. Sarah nggak mau sekedar numpang di sini. Tapi tolong, jika Mas Tohir mencari Sarah atau anak-anak dan Ibu, jangan Bik Sarni kasih tahu, ya?"

"Siap itu."

Aku mengirimkan pesan pada Andi supaya menjemput Ibuku dan juga Ibra. Baju-bajuku dan anak-anak sudah kubawa. Tinggal baji Ibu di tas ransel saja.

"Aman tadi, Ndi?" tanyaku saat Andi sampai.

"Aman, Rah. Pintu rumah mertuamu tertutup. Nggak tau pada ke mana."

Iya, aku heran juga. Kenapa mertuaku, Ranti, dan Mas Tohir sering tak ada di rumah saat siang hari? Ke mana mereka? Kenapa aku baru terpikirkan sekarang?

"Ya sudah, makasih banyak ya, Ndi."

"Sama-sama. Aku akan merahasiakan keberadaan kalian," ucap Andi.

Aku bersyukur memiliki teman sepertinya, bisa diandalkan dan mau membantu. Bik Sarni mengantarkanku ke paviliun belakang. Rumah ini memang memiliki paviliun, dulu keluarga Bik Sarni tinggal di sini, sebelum mertuanya meninggal dan beliau pindah ke dalam.

"Untuk sementara kita tinggal di sini. Maafkan Bunda karena harus membawa kalian," ucapku pada Farhan, sementara Ibra masih asyik bermain kereta-keretaan.

"Nggak papa, Bun. Asal sama Bunda, Farhan bakal ikuti Bunda ke mana pun. Sama Nenek juga," ucap Farhan sambil memeluk Ibu.

Aku beruntung, karena memiliki Ibu dan anak yang sangat mendukungku. Mungkin esok suatu hari aku akan melayangkan surat gugatan cerai pada Mas Tohir. Sudah mati rasa aku padanya, terlebih setelah mengetahui sikapnya pada orang tuaku dan anak kandungnya sendiri.

Baru kali ini, aku melihat seorang Ayah yang sama sekali tak memedulikan anak kandungnya sendiri. Entah bagaimana pikirannya, yang pasti aku sangat kecewa.

--

Beberapa kali ponselku berdering, membawa nama Mas Tohir pada layar. Aku tersenyum miring, pasti ia kelabakan karena aku dan anak-anak sudah tak ada di rumah. Aku juga menemukan beberapa ratus ribu di kantong celananya yang ada di dalam kamar.

[Kamu ke mana, Sarah?]

[Apa pedulimu, Mas?]

[Kamu benar-benar istri durhaka!]

[Jika aku istri durhaka, lalu kamu aja? Durjana?]

[Oke, aku tak peduli kalian akan ke mana, tapi kembalikan map cokelatku!]

Mulutku menganga saat membaca balasan dari Mas tohir. Laki-laki benar-benar! Aku meletakkan ponsel lagi di atas nakas. Suami syalan!

"Aku akan menggugat cerai Mas Tohir saja, Bu," ucapku sambil memperhatikan Ibra yang sedang bermain di halaman. Sementara Farhan pergi main setelah dijemput teman sekolahnya semasa SMP dulu.

"Kalau itu keputusan yang terbaik, Ibu hanya bisa mendo'akan semoga kalian bisa hidup bahagia selalu."

"Aamiin, Bu. Terima kasih do'anya."

"Sama-sama, Nduk. Seorang Ibu tak perlu diminta do'a, pasti akan selalu memberikannya."

Aku memeluk Ibu. Aku sedih melihat keadaan beliau sehingga mencari kursi roda di grup-grup f******k. Berharap ada yang menjual butuh, yang penting layak pakai. Uangku sudah menipis, sisanya aku berniat untuk membuka usaha nanti.

Aku benar-benar merasa berterima kasih pada mantan majikanku dulu, mereka teramat baik sehingga memberi pesangon dalam jumlah besar. Sebagai ucapan terima kasih karena aku pernah merawat ayah mereka dengan baik.

[Dasar ipar nggak tahu diri! Motorku diembat, sekarang duit Masku diembat juga!]

Aku tersenyum sinis saat membaca status Ranti. Oh, jadi dia mau debat denganku? Baiklah, aku akan menerima tantangannya itu.

[Aduh, kasihan banget iparku! Sudah lah miskin, suaminya cuek. Pengen ayam punyaku saja sampai harus marah-marah pada suamiku. Terus, pake motor juga motorku karena dibeli pake uangku sewaktu kerja di Taiwan. Lalu sekarang, ia mau menguasai rumahku? Oh, tidak bisa! Jadi orang, minimal tahu diri!]

Aku tersenyum saat membuat status itu. Senyumku semakin lebar, saat mendapat balasan dari Ranti.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nengsih
dasar keluarga suami ta tau diri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status