Share

CHAPTER 13. ULTIMATUM

Author: Selena Vyera
last update Last Updated: 2025-06-21 19:30:43

Tiga pria duduk di satu meja. Bukan untuk berdamai, tapi untuk mengukur siapa yang akan lebih dulu mengubur siapa.

Beberapa saat sebelum Kevin menelpon,

Ruang negosiasi di District Xavier terasa seperti perang dingin yang menunggu letupan.

Dinding abu kelam, lampu gantung berpendar redup, dan meja kaca panjang memisahkan dua dinasti yang selama ini hanya saling mengenal lewat darah dan dendam.

Di sisi kanan, Ronald Xavier bersandar santai, dengan senyum sinis yang mengendap di wajahnya—seolah sedang menunggu semua orang kehabisan kesabaran duluan.

Di sisi kiri, David Morgan duduk nyaris tanpa bergerak. Punggungnya tegak, kedua tangan bertaut di atas meja. Diam... tapi ancamannya terasa seperti peti perang yang hanya akan terbuka untuk satu hal: pembalasan.

Dendy Alexander duduk di tengah antara keduanya. Jas hitamnya sempurna, dan jari-jarinya mengetuk pelan sisi meja—ritmis, tenang, tapi setia
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 144. DARAH YANG MENUNGGU

    Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang. Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat. Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton. Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan. Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca. Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat. “Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra. “Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.” Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu. Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan. “Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau dia

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 143. BAYANGAN YANG KEMBALI

    Beberapa binatang tidak pernah mati. Mereka hanya menunggu bau darah yang tepat untuk keluar dari sarang.Blackstone masih bergetar. Sirene merah bergulir, asap mesiu belum benar-benar hilang.Bau besi darah bercampur dengan debu beton yang runtuh, membuat udara seperti luka yang belum ditutup.Helena berdiri dengan pistol yang masih hangat di tangannya, Kevin di sisinya, Dendy di seberang, Wolf menjaga pintu.Jari-jarinya masih menegang di atas pelatuk, seolah ototnya belum mengerti bahwa tembakan barusan sudah berhenti.Helena menarik napas panjang, tapi rasanya dada masih terikat besi. Ia bisa mendengar jantungnya sendiri berdetak lebih keras daripada sirene.Setiap kedipan matanya menyalin bayangan gudang lama—darah Falcon, teriakan Kevin, tatapan David. Semua bercampur jadi satu luka yang tidak sembuh.Malam ini, ia tidak lagi berdiri sebagai adik yang menu

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 142. PELURU YANG MENGINGATKAN

    Kadang peluru bukan hanya membunuh. Kadang ia mengingatkan siapa yang masih hidup—dan siapa yang berhak berdiri di meja.Blackstone.Lampu darurat merah terus berputar, memecah wajah mereka jadi potongan-potongan bayangan.Helena berdiri paling dekat ke pintu. Suara langkah dari luar makin keras—berat, lambat, tapi pasti.Kevin merapatkan tubuhnya ke Helena, bahunya menempel, pistol di genggaman sudah terangkat.Jemari Kevin masih menahan tangan Helena, seolah genggaman itu adalah tali terakhir yang menjaga kewarasan.“Lena…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan doa. “Kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi.”Tapi Helena menoleh cepat. Mata hitamnya terbakar.“Aku tidak bisa hanya berdiri lagi, Kev.”Suara itu membuat Kevin terdiam sepersekian detik.Bukan rengekan. Bukan ketakutan. Itu pernyataan.Wolf menoleh sekilas,

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 141. BAYANGAN YANG MENYUSUP

    Kadang musuh paling mematikan bukan yang menembak dari kejauhan… tapi yang duduk di meja yang sama denganmu.Gudang generator Blackstone meraung pelan, tapi tak cukup memberi cahaya penuh. Ruang taktis hanya disinari lampu darurat merah, membuat semua wajah tampak seperti dipulas darah.Pintu baja bergetar—dari luar, seseorang memaksa sistem manual.Wolf sudah mengangkat senjata, tubuh tegak di samping pintu. Matanya tak bergerak, seperti anjing pemburu yang mencium darah.“Ini bukan serangan luar,” katanya datar.“Seseorang pakai akses dalam.”Kevin berdiri tegak di depan Helena, pistol sudah terarah. Jemarinya masih menahan tangan Helena, seolah memastikan perempuan itu tak akan direbut sekali pun oleh kegelapan.“Kalau mereka bisa sampai pintu ini,” gumamnya dingin, “artinya racun sudah menetes jauh ke dalam.”Dendy tidak bergerak.Tapi justru diam itulah yang membuat udara makin berat. Ia berdiri di ujung meja taktis, cahaya merah menorehkan garis keras di wajahnya.“Buka pintu,”

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 140. DARAH DI ATAS MEJA

    Ketika meja taktis berubah jadi altar, darah yang menetes bukan hanya dari musuh—tapi dari orang yang seharusnya berdiri di sisi kita.Lorong Blackstone masih bergetar oleh sisa langkah.Hujan di luar menetes ke kaca baja, tapi di dalam, udara lebih berat dari kabut di Belegrive.Malam itu, Blackstone terasa lebih senyap dari biasanya. Senyap yang tidak menenangkan—senyap yang menunggu dentum pertama. Bahkan bayangan di dinding seolah menyimpan rahasia yang bisa menusuk dari belakang.Kevin berjalan paling depan, mantel hitamnya masih basah, Helena tepat di sisinya. Ia menggenggam jemari Helena seolah takut dunia bisa mencuri perempuan itu kapan saja.Tidak ada lagi ruang tarik-ulur. Malam Belegrive sudah memutus semua keraguan—Kevin Xavier berdiri di samping Helena Morgan bukan sekadar perlindungan, tapi klaim.Helena merasakan tekanan jemari Kevin. Bukan sekadar genggaman, melainkan

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 139 . API YANG TAK PERNAH PADAM

    Mereka pikir peluru yang mematikan—padahal, yang lebih berbahaya adalah rasa yang tak pernah mati.Udara di luar gudang B-12 masih terasa berat.Helena berjalan keluar lebih dulu, napasnya teratur tapi dadanya bergetar.Tangannya masih dingin karena menggenggam pisau tadi, namun yang benar-benar membakar bukan darah di pipi Sylvania—melainkan getaran Kevin yang masih menempel di kulitnya.Kevin menyusul di sampingnya, diam, tapi matanya terus mengawasi setiap gerakannya.Aura protektifnya begitu pekat hingga membuat para pengawal Caspian menahan diri untuk tidak mengejar.Dendy keluar terakhir, langkahnya presisi, pistol masih tergenggam seolah perang berikutnya bisa meledak kapan saja.Jalan beton di luar basah oleh hujan sisa, lampu jalan memantulkan cahaya pucat.Hening. Sampai akhirnya Kevin berhenti, menatap Helena lurus.“Kau terlalu berani,” suaranya rendah, lebih mirip geraman.Helena mendongak, tatapannya menyalak. “Kalau aku tidak berani, kita semua sudah jadi catatan kaki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status