Share

CHAPTER 13. ULTIMATUM

Penulis: Selena Vyera
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-21 19:30:43

Tiga pria duduk di satu meja. Bukan untuk berdamai, tapi untuk mengukur siapa yang akan lebih dulu mengubur siapa.

Beberapa saat sebelum Kevin menelpon,

Ruang negosiasi di District Xavier terasa seperti perang dingin yang menunggu letupan.

Dinding abu kelam, lampu gantung berpendar redup, dan meja kaca panjang memisahkan dua dinasti yang selama ini hanya saling mengenal lewat darah dan dendam.

Di sisi kanan, Ronald Xavier bersandar santai, dengan senyum sinis yang mengendap di wajahnya—seolah sedang menunggu semua orang kehabisan kesabaran duluan.

Di sisi kiri, David Morgan duduk nyaris tanpa bergerak. Punggungnya tegak, kedua tangan bertaut di atas meja. Diam... tapi ancamannya terasa seperti peti perang yang hanya akan terbuka untuk satu hal: pembalasan.

Dendy Alexander duduk di tengah antara keduanya. Jas hitamnya sempurna, dan jari-jarinya mengetuk pelan sisi meja—ritmis, tenang, tapi setia
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 80. PELUKAN YANG TAK PERNAH SEMBUH

    Malam itu, Helena duduk di sisi ranjang, masih menggenggam jemari Kevin yang baru saja tadi bergerak. Kevin membuka matanya lebih lebar. Napasnya masih berat, tapi tatapannya mulai jelas. “Kau benar-benar di sini,” gumam Kevin parau, seperti mengucapkan nama Tuhan dengan rasa takut dan rindu. Helena tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu meletakkan dahinya di dada Kevin yang hangat. “Aku takut kau tidak akan kembali lagi,” bisik Helena. Kevin berusaha mengangkat tangannya, meski lemah, lalu menyentuh belakang kepala Helena dengan gerakan pelan. “Kalau kau tidak datang,” bisiknya, “kukira aku akan pergi... selamanya.” Helena menarik wajahnya perlahan. Mereka saling menatap. Terlalu dekat. Terlalu terbuka. “Jangan pernah ucapkan itu lagi,” suara Helena parau. “Kalau kau pergi selamanya, aku...”

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 79. JEDA SEBELUM TUSUKAN

    Cahaya pagi belum benar-benar menembus jendela kaca buram ruang rawat utama Blackstone.Aroma antiseptik masih kental, menyatu dengan bau darah dan waktu yang tak bergerak.David Morgan terbaring di atas ranjang. Kedua matanya terbuka, menatap langit-langit.Nafasnya pelan, tapi stabil. Jemarinya sudah bisa mengepal, walau belum penuh tenaga.Dendy berdiri di sisi ranjang, membelakangi jendela. Diam. Tegap. Seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkan David—bahkan saat maut nyaris mengambil alih.David mengedip sekali. Lalu memutar kepala perlahan menatap mata sahabatnya.“Sylvania, Bicara apa?”Diam mengeras sejenak.Dendy menghela napas pelan. “Sudah kutemui.”“Dia muncul sebagai ‘penyintas’ dari reruntuhan Xavier. Bawa folder penuh peta, jalur suplai dari barat laut, dan klaim pasukan cadangan yang dulu pernah kulatih.”David mengernyit. “Dia tawarkan aliansi?”“Bukan aliansi. Di

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 78. LUKA BERBIBIR RACUN

    Gudang tua di Velmora Selatan berdiri sunyi dalam kabut dan bau oli yang pekat.Di dalamnya, satu meja panjang dari baja berdiri di tengah ruangan.Dendy Alexander melangkah masuk.Langkahnya tenang, presisi. Tanpa pengawal. Tanpa suara.Sylvania berdiri di ujung meja.Gaun gelapnya menyatu dengan bayangan.Bibir merahnya melengkung seperti ancaman manis.Rambutnya digelung rapi, lehernya terbuka, seperti menawarkan kelemahan. Tengkuk tertatto lambang resmi keluarga Xavier.“Dendy,” sapa Sylvania lembut.“Kau datang juga.”Dendy tak menjawab.Ia menarik kursi, duduk. Meja baja menjadi jarak dingin di antara mereka.“Langsung saja.”katanya datar.Sylvania tersenyum kecil.Tangannya bergerak membuka folder berisi peta digital.“Jika David jatuh, semuanya runtuh. Kau tahu itu. Aku punya jalur suplai. Aku punya pasukan. Dan aku punya… kelemahan yang mere

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 77. DINDING YANG MENGINTIP API

    Lorong-lorong Blackstone tak pernah benar-benar tidur.Tapi malam ini, langkah Helena terasa seperti bunyi pengkhianatan yang disembunyikan dalam bisikan.Ia melangkah diam-diam keluar dari ruang rawat David.Pintu ia tutup setengah, cukup agar suara derit tak terdengar oleh siapa pun.Cahaya redup dari lampu dinding menyentuh sisi wajahnya, tapi tak bisa menembus kegelapan yang tumbuh di dadanya.Langkahnya pelan menuruni tangga darurat menuju lantai empat. Nafasnya pelan, tapi dada bergolak.Ruang taktis Blackstone menyala dari balik kaca mat dobel baja. Panel kontrol aktif.Proyeksi peta menyala biru pucat di dinding. Di tengah ruangan, Dendy berdiri membelakangi pintu.Helena bersembunyi di balik dinding setengah terbuka.Ia tak tahu kenapa ia di sini. Mungkin ingin tahu. Mungkin ingin memastikan.Atau mungkin—ia ingin membuktikan bahwa rasa curiganya bukan luka kosong."...Kalau d

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 76. CIUMAN LAMA

    Lorong lantai lima belas Blackstone tak berubah. Tapi langkah Helena… tak lagi sama. Cahaya lampu langit-langit memantul di ubin putih, terang tapi tak hangat. Bau disinfektan menempel di hidung. Tapi yang paling menusuk… adalah sepi yang merayap dari balik pintu terbuka itu. Helena berdiri di ambang ruang rawat David. Hening. Langkahnya tertahan. Dunia terasa mengambang. Jari-jarinya yang selama ini sigap membungkus pistol, kini hanya gemetar menahan emosi yang membusuk di tulang. Ia menarik napas, lalu menghembuskannya sepelan mungkin. Suara napas sendiri kadang bisa terdengar seperti pengkhianatan. Masih hidup, bisiknya dalam hati. Kau masih di sini. Langkahnya pelan memasuki ruangan. Seolah jika terlalu cepat… sesuatu akan

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 75. AKU MASIH DISINI

    Bukan darah yang menahannya. Bukan luka.Tapi satu alasan: agar dia tetap bisa bilang… aku masih di sini.Lampu-lampu langit-langit di Lantai 15 Blackstone menyala konstan—terlalu konstan. Dingin. Terang. Tak kenal waktu. Tapi dada Helena… masih gelap.Tak ada suara tangis. Tak ada jeritan. Tapi waktu terasa seperti menahan napas bersamanya.Helena duduk di lantai luar ruang intensif. Punggungnya bersandar ke dinding, lutut dilipat, dagu bertumpu.Jaketnya terlepas entah ke mana. Keringat dingin menggantikan rasa takut.Di balik dinding kaca buram itu—dua pria sedang bertarung. Bukan di medan perang. Tapi di atas meja bedah.David Morgan. Kevin Xavier.Suara mesin EKG terdengar samar. Nada monoton. Nada hidup. Tapi bagi Helena, setiap bunyi seperti cambuk di rongga dadanya.Wolf duduk tak jauh dari Helena. Tegak. Tangannya bertaut di pangkuan. Satu kaki menggoyang pelan, cemas terselubung dalam dia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status