แชร์

CHAPTER 149. BAYANGAN YANG DITINGGALKAN

ผู้เขียน: Selena Vyera
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-30 20:00:44

Kadang yang paling mematikan bukan peluru — tapi keputusan untuk tidak lagi menunggu.

Blackstone dini hari.

Hujan tipis masih menggaruk kaca, tapi di dalam, udara jauh lebih panas: bau darah kering, asap mesiu, dan kecemasan yang berdetak seperti mesin yang dipaksa hidup.

Lampu-lampu darurat mengiris, membelah bayangan menjadi potongan-potongan tajam.

Helena berdiri di balkon kecil, mantel hitamnya terkoyak, jemari masih berlumur bekas darah Wolf.

Dari sini, kota tampak pucat — rumah-rumah berjajar seperti gigi yang menahan napas. Ia menatap jauh, menimbang sesuatu yang tak bisa diukur dengan hitungan biasa: pilihan.

Kevin muncul dari belakang, langkahnya sunyi seperti keputusan yang baru matang.

Perban melilit bahunya; darah belum sepenuhnya kering. Ia berdiri terlalu dekat sehingga napasnya menyentuh leher Helena.

Ada sesuatu di matanya — bukan hanya amarah, melainkan kepemilikan yang
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 149. BAYANGAN YANG DITINGGALKAN

    Kadang yang paling mematikan bukan peluru — tapi keputusan untuk tidak lagi menunggu.Blackstone dini hari.Hujan tipis masih menggaruk kaca, tapi di dalam, udara jauh lebih panas: bau darah kering, asap mesiu, dan kecemasan yang berdetak seperti mesin yang dipaksa hidup.Lampu-lampu darurat mengiris, membelah bayangan menjadi potongan-potongan tajam.Helena berdiri di balkon kecil, mantel hitamnya terkoyak, jemari masih berlumur bekas darah Wolf.Dari sini, kota tampak pucat — rumah-rumah berjajar seperti gigi yang menahan napas. Ia menatap jauh, menimbang sesuatu yang tak bisa diukur dengan hitungan biasa: pilihan.Kevin muncul dari belakang, langkahnya sunyi seperti keputusan yang baru matang.Perban melilit bahunya; darah belum sepenuhnya kering. Ia berdiri terlalu dekat sehingga napasnya menyentuh leher Helena.Ada sesuatu di matanya — bukan hanya amarah, melainkan kepemilikan yang

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 148. API YANG DIPERKOKOH

    Kadang pembakaran terbaik bukan soal menyambar—tapi tentang menahan bara sampai ia menjadi senjata.Ruang medis darurat Blackstone berdenyut di bawah lampu darurat yang berkedip tak beraturan.Bau antiseptik dan besi bercampur; lantai baja licin oleh noda darah yang belum sempat dibersihkan.Para medis bergerak cepat, namun setiap gerak terasa seperti film lambat — karena malam itu semua napas sebagai hukuman.Wolf terbaring di ranjang lapis baja, bahunya dibalut kain, napasnya seliwer dalam irama terputus.Helena duduk di kursi samping, kedua tangannya tetap menekan perban, kepala menunduk, bibirnya, yang tadi masih basah oleh darah orang lain, kini kaku menolak untuk menangis.Ia membiarkan darahnya sendiri kering di ujung jemari, seolah setiap noda adalah bekal yang memperkuat tekadnya.Kevin berdiri di ambang pintu, mantel hitamnya basah tersisa hujan, bahunya ma

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 147. NERAKA YANG TERTAHAN

    Kadang bukan peluru yang paling berbahaya, melainkan siapa yang kau pilih untuk tetap hidup.Blackstone masih berguncang.Darah menetes di lantai baja, bercampur dengan mesiu yang belum hilang.Wolf tergeletak di lantai, napasnya tersengal, darah merembes dari bahunya yang tertembus.Helena menekankan kedua tangannya pada luka itu, darah mengalir di jemarinya.“Bertahan, Wolf… jangan berani tinggalkan aku!” suaranya pecah, lebih perintah daripada doa.Wolf membuka mata setengah, menatap Helena samar.Tatapannya masih dingin, tapi ada kilatan yang berbeda—seperti seorang pria yang akhirnya melihat gadis kecil yang dulu ia lindungi kini berdiri sebagai wanita yang tidak lagi bisa ia sentuh.“Helena…” suaranya serak.“Jangan… gemetar. Kau… lebih kuat dari yang kau pikirkan.”Helena menggertakkan gigi. Air matanya tertahan, tapi bara di dadanya tidak padam.“Diam. Simpan napasmu untuk bertahan.”Kevin di sisi lain terengah, bahunya berdarah. Tapi rasa sakit fisik bukan yang paling membunu

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 146. DARAH YANG MEMBAYAR API

    Kadang pengkhianat bukan datang untuk menang. Kadang mereka datang untuk memastikan luka tetap hidup.Blackstone bergetar.Sirene merah meraung, lampu darurat berkedip seperti nadi kota yang dipaksa berdetak dalam racun.Udara sesak oleh mesiu, darah, dan bisik musuh yang menyelinap lewat celah pintu baja.Wolf berdiri paling depan. Senjatanya mengaum, tubuh tegaknya jadi benteng sebelum yang lain sempat bergerak.Dor! Dor!Dua tubuh jatuh, darahnya memercik dinding.Tapi suara balasan lebih cepat.TRAK!Satu peluru menghantam sisi tubuh Wolf. Dadanya berguncang, bahunya terdorong ke belakang. Darah hitam-merah langsung menyembur, menodai lantai baja Blackstone.“Wolf!”Helena menjerit, langkahnya otomatis berlari mendekat. Tangannya menahan tubuh pria itu agar tidak jatuh.Darah mengalir deras di jemari kecilnya, panasnya menusuk kulit seperti api.Wolf masih berusaha berdiri. Senjatanya tetap terangkat, matanya dingin, tapi nafasnya terpotong pendek.“Jangan… jangan lepaskan barisan

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 145. API DALAM RUANG TERKUNCI

    Kadang musuh tak perlu menghantam dari luar. Cukup mengunci pintu, dan menunggu kita saling membakar dari dalam.Blackstone malam itu, Sirene merah masih meraung, tapi nadanya berubah.Bukan lagi alarm invasi, melainkan alarm sabotase—panjang, menusuk, seperti detak jantung yang dipaksa berlari tanpa oksigen. Lampu darurat berkedip-kedip, setiap kilatan mencabik wajah mereka seperti pisau yang menolak berhenti.Helena berdiri di depan meja taktis yang sudah mati.Pistolnya masih hangat, tapi bukan senjata itu yang membuat tangannya kaku—melainkan kesadaran bahwa ruang ini, benteng terkuat Alexander, kini telah jadi kandang.“Pintu timur terkunci manual,” lapor Wolf, matanya menyapu panel dinding.Suaranya rendah, tapi tegas. “Seseorang menutupnya dari sistem inti. Kita terjebak.”Kevin mendekat ke Helena, tubuhnya merapat, bahu menyentuh bahu. Tangannya masih menahan jemari Helena, seakan genggaman itu adalah rantai terakhir yang menambatkannya di dunia ini.“Kalau ada pintu terkunci

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 144. DARAH YANG MENUNGGU

    Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang. Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat. Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton. Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan. Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca. Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat. “Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra. “Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.” Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu. Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan. “Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau dia

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status