Share

CHAPTER 40. BINATANG LUKA

Author: Selena Vyera
last update Last Updated: 2025-07-04 20:00:46

Malam itu, Velmora mencatat: binatang luka mulai memburu.

Ronald Xavier berdiri di depan peta besar yang menempel di dinding beton markasnya.

Sisa pecahan gelas berserakan di lantai; bau alkohol, asap rokok, dan amarah memenuhi udara.

Napasnya berat, bahunya naik-turun seperti binatang yang menahan amuk.

Matanya menatap peta jalur suplai yang kini tercabik.

“Dua tempat... dalam satu malam... Montavaro dan Dresvane...” gumamnya, nyaris seperti erangan.

Seorang anak buah mendekat, tangan gemetar sambil menyerahkan tablet kecil.

“T-Tuan... ini... rekaman dari mata-mata kita... drone yang sempat merekam...” bisiknya takut.

Ronald menyambar tablet itu.

Matanya membelalak saat sorot tajam Kevin Xavier muncul di layar — dingin, presisi, mematikan. Gambar Kevin menghabisi satu per satu pasukan Ronald terputar tanpa amp
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 94. PENYUSUP DI NIGHTSPIRE

    Hujan masih turun deras di atas Nightspire. Jam digital di layar taktis menunjukkan pukul 02.47 dini hari.Di luar, tak ada suara lain—kecuali angin dan desir air yang menyapu dinding benteng tua itu. Tapi di balik kegelapan, empat siluet mendekat.Mereka bukan bayangan biasa.Mereka adalah sisa dari warisan yang pernah disumpah tak akan memberi ampun.Wolf membuka sensor perimeter pertama. Jari-jarinya cekatan menonaktifkan sistem thermal tanpa suara.Di belakangnya, Helena menyusul, menyusuri celah sempit antara dinding pengaman dan pagar elektrik.Di sisi lain, David dan Kevin masuk lewat jalur bawah tanah yang dulu digunakan keluarga Morgan untuk menyelundupkan artefak bersejarah.Nightspire bukan sekadar rumah. Ia adalah labirin paranoia. Penuh lorong tersembunyi, kamera buta, dan pintu rahasia yang hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang sudah lama mati."Kontak visual, dua penjaga," bisik Wolf, matanya t

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 93. JEJAK BERDARAH

    Hujan turun deras di atas atap Blackstone malam itu.Tapi di ruang taktis, yang terdengar hanya satu suara:Peta digital terus berputar.Titik-titik biru mewakili sistem.Tapi satu titik merah… berdetak seperti nadi.Bukan karena datanya aktif. Tapi karena kebencian mereka sudah cukup untuk membakar satu kota—dan satu nama yang berkedip merah.Raymond Morgan.David berdiri di depan layar.Tangan disilangkan. Rahangnya mengeras.Di ruangan itu, tidak ada suara batin yang benar-benar diam.Mereka semua punya alasan pribadi kenapa Raymond tak bisa dibiarkan hidup.Tapi hanya satu yang akan mengeksekusi—dan malam ini, alasan pribadi tak lagi penting.Yang penting: siapa yang cukup dingin untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai David Morgan saat masih hidup.“Dia bukan hanya pengkhianat,” ucap David pelan. “Dia akar.”

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 92. SATU NAMA YANG DIKUNCI

    Lorong menuju blok interogasi bawah diselimuti cahaya redup dan aroma besi tua.Hanya langkah kaki mereka yang terdengar. Kevin di depan, Helena di belakangnya, Wolf menutup formasi.Pintu logam setebal 30 cm menyambut mereka seperti rahang monster.Di baliknya—Jude Cravell. Koordinator jaringan Blackstone. Hari ini, pengkhianat."Kita sudah siap," ucap Helena lewat saluran taktis.Dendy menjawab, "Sinyal luar dialihkan. Rekaman hanya ke drive manual. Tak ada akses sistem."Wolf membuka kunci pintu pertama. Helena menekan tombol taktis untuk mengunci semua akses belakang."Begitu kau masuk, tak ada keluar sampai selesai," bisik Helena pada Kevin.Kevin hanya menoleh sekilas. Tak ada senyum. Tak ada ragu."Buka pintunya."Pintu terbuka.Ruangan itu kosong. Hanya satu kursi di tengah ruangan.Dan di atasnya—Jude Cravell.Terikat. Mata terbuka. Tapi tubuhn

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 91. RUANG DINGIN, RENCANA PANAS

    Ruang briefing Blackstone tak pernah seasing ini.Bau logam dari kabel terbakar kemarin masih samar terasa. Lampu sudah menyala kembali, sistem dipulihkan, tapi suara-suara yang dulu akrab… berubah sunyi.David duduk di ujung meja.Di sisi kirinya, Dendy Alexander membaca ulang laporan dari Gravemount.Di sisi kanan, Wolf berdiri dengan tangan menyilang, layar taktis aktif di belakangnya.Lalu Kevin masuk.Dengan Helena satu langkah di belakangnya.Mereka tak menggenggam tangan. Tapi siapa pun bisa merasakan: mereka datang sebagai satu garis—dan tak akan mudah dipisahkan.David menoleh. “Kau tidur?”Kevin duduk tanpa menjawab. Tapi senyum tipisnya menyimpan luka yang tak sedang ia sembunyikan.“Tidur, ya. Tapi tidak damai.”Dendy menoleh sekilas ke Kevin. “Kau tampak lebih... terjaga pagi ini.”“Karena mimpi buruk lebih ju

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 90. RITUAL YANG MASIH TERASA

    Pagi datang tanpa suara.Tapi yang terasa lebih dulu… bukan sinar matahari.Melainkan napas Kevin di tengkuk Helena.Tubuh mereka masih berpelukan di ranjang.Selimut jatuh setengah ke lantai.Keringat dingin. Nafas berat. Tapi damai—dalam versi yang hanya mereka mengerti.Kevin tidur memeluk Helena dari belakang. Lengan kanannya melingkar di perut Helena, sementara lengan kirinya menyentuh bekas luka di bahu perempuan itu.Tapi matanya tidak sepenuhnya terpejam.Ia hanya diam. Memastikan napas di depannya masih ada.Memastikan detak jantung itu belum pergi.Dan saat bibirnya menyentuh rambut Helena… ia tahu: pagi ini belum mencuri segalanya darinya.Helena menggenggam tangan Kevin yang memeluknya.Ia mencium punggung tangan lelaki itu—lambang eksekutor utama yang telah menghabisi banyak jiwa.Tapi anehnya, Kevin dan Helena menikmati ritu

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 89. KAMAR TANPA KUNCI

    Malam itu seharusnya tenang.Biasanya, setelah misi berdarah, Kevin dan Helena akan tidur dalam satu ranjang—menenangkan sunyi yang tak bisa dipulihkan siapa pun kecuali mereka sendiri.Tapi malam ini… ranjang itu kosong.Tubuh Helena dingin tanpa dekap Kevin.Dan Kevin—meski masih di kamar—tak benar-benar hadir. Di sisi kirinya, tempat Helena biasa tidur, hanya ada selimut yang kehilangan wangi.Helena sempat mencoba memejamkan mata di ruang taktis. Tapi napasnya berat. Dada sesak. Ia menyerah lima menit lewat tengah malam.Tanpa aba-aba, kakinya membawanya ke lorong sayap timur. Bukan karena rindu fisik—tapi karena jiwanya tak bisa tidur jika Kevin tak ada di jangkauannya.Dan saat tiba di depan pintu itu—yang biasanya tak pernah tertutup—Helena tahu, mereka sedang saling menyiksa diam-diam.Ia berdiri sejenak. Tak mengetuk. Hanya mendorong pelan.Pintu tidak terkunci.Helena masuk. Menutup p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status