Beberapa cinta tak butuh nama.
Beberapa penjaga tak pernah butuh izin. Tapi malam itu, ketiganya berdiri— tak bersaing. Hanya saling mengukur luka, demi satu perempuan yang belum tahu apakah harus dilindungi… atau dibebaskan. Di rooftop markas itu, hanya lampu sorot kecil di ujung dinding yang menyala redup, menyoroti tiga sosok yang berdiri dalam diam. Helena berdiri di tengah. Tubuhnya masih memakai pakaian taktikal, jaket hitam terbuka sedikit menyingkap lambang Morgan di dada kiri.. Angin malam mengibaskan ujung rambut hitamnya yang mulai terurai dari ikatan. Dendy menyandar ke pagar beton. Satu tangan di saku, satu lagi menjepit rokok yang belum dinyalakan. Bukan lupa—dia tahu, sekali bara menyala, semua bisa ikut terbakar. Tatapannya takLorong lantai lima belas Blackstone tak berubah. Tapi langkah Helena… tak lagi sama. Cahaya lampu langit-langit memantul di ubin putih, terang tapi tak hangat. Bau disinfektan menempel di hidung. Tapi yang paling menusuk… adalah sepi yang merayap dari balik pintu terbuka itu. Helena berdiri di ambang ruang rawat David. Hening. Langkahnya tertahan. Dunia terasa mengambang. Jari-jarinya yang selama ini sigap membungkus pistol, kini hanya gemetar menahan emosi yang membusuk di tulang. Ia menarik napas, lalu menghembuskannya sepelan mungkin. Suara napas sendiri kadang bisa terdengar seperti pengkhianatan. Masih hidup, bisiknya dalam hati. Kau masih di sini. Langkahnya pelan memasuki ruangan. Seolah jika terlalu cepat… sesuatu akan
Bukan darah yang menahannya. Bukan luka.Tapi satu alasan: agar dia tetap bisa bilang… aku masih di sini.Lampu-lampu langit-langit di Lantai 15 Blackstone menyala konstan—terlalu konstan. Dingin. Terang. Tak kenal waktu. Tapi dada Helena… masih gelap.Tak ada suara tangis. Tak ada jeritan. Tapi waktu terasa seperti menahan napas bersamanya.Helena duduk di lantai luar ruang intensif. Punggungnya bersandar ke dinding, lutut dilipat, dagu bertumpu.Jaketnya terlepas entah ke mana. Keringat dingin menggantikan rasa takut.Di balik dinding kaca buram itu—dua pria sedang bertarung. Bukan di medan perang. Tapi di atas meja bedah.David Morgan. Kevin Xavier.Suara mesin EKG terdengar samar. Nada monoton. Nada hidup. Tapi bagi Helena, setiap bunyi seperti cambuk di rongga dadanya.Wolf duduk tak jauh dari Helena. Tegak. Tangannya bertaut di pangkuan. Satu kaki menggoyang pelan, cemas terselubung dalam dia
Angin baling-baling helikopter belum sepenuhnya reda saat roda-roda mereka menyentuh rooftop Alpha di Gedung Blackstone.Langkah-langkah tergesa langsung mengambil alih. Sirine medis tidak meraung, tapi tekanan suasana lebih keras dari suara apapun.Tim medis berlarian mendekat—dengan brankar, peralatan, dan darah yang belum tahu harus diselamatkan lebih dulu dari siapa.David dibopong keluar lebih dulu. Tubuhnya masih tegak, tapi darah dari sisi perutnya tak berhenti mengucur.Lalu Kevin. Punggungnya sobek, lengan kirinya nyaris tak bergerak, namun matanya masih terbuka—menatap seolah satu tarikan napas lagi akan ia paksa, demi bertahan.Helena melompat turun dari kabin, langkahnya terhuyung. Tapi matanya… bukan mata orang yang bisa ditahan.“Awas…” katanya, pelan namun tajam.Langkah tim medis yang hendak menyentuh Kevin terhenti.“Jangan sentuh mereka,” bisik Helena—matanya menaj
Tak ada yang bicara saat mereka melangkah keluar dari gudang.Bau darah Falcon masih melekat, tapi sunyi yang menggantung terlalu licik untuk disebut aman.David berjalan paling depan.Dendy dan Kevin di kanan-kiri. Wolf di belakang, menjaga Helena.Langkah mereka waspada, tapi tidak tergesa.Dua bayangan tiba-tiba meluncur dari sisi kanan dan kiri pintu utama—cepat, senyap, seperti dua panah kematian.Eksekutor Tristan. Berpakaian tempur hitam, wajah tertutup, hanya matanya yang menyala seperti mesin.Mereka tak melepaskan peluru. Tapi pedang.Pedang senyap, melengkung, tajam seperti niat untuk mengoyak waktu.Satu mengincar Kevin.Yang lain—langsung ke Dendy.Kevin sempat mengangkat bahu dan memutar tubuh, menghindar tepat sebelum pedang itu menembus dadanya.Dendy memutar tubuh seperti angin dan menangkis tebasan dengan bayonet pendek
Bau darah belum kering.Gudang itu tak lagi sekadar tempat negosiasi—tapi altar bagi siapa yang berani menantang garis tak terlihat bernama: Morgan.Falcon bersimpuh di lantai. Tangan kirinya berlumur darah. Nafasnya kasar, matanya masih menyala—bukan karena nyawa… tapi karena ego yang belum mati.David berdiri di depannya.Dendy di sisi kanan, laras pistolnya masih mengarah tanpa emosi.Kevin berjaga di dekat Helena. Matanya menyapu seluruh ruangan—siaga jika ada serangan lanjutan.Suara yang pecah pertama bukan tembakan. Tapi kalimat.“Aku bisa bantu kalian,” desis Falcon.“Sistem distribusi, jalur kanal timur, jalur udara dari Norvenia… semua masih di tanganku.”David tak bicara.Ia hanya menatap. Tatapan kosong yang membekukan waktu.Helena, dari balik kontainer, bisa melihat rahangnya mengeras.“Jangan buat dirimu makin kecil,” ucap Dendy pel
Langit di atas Blackstone pekat. Tak ada bintang. Hanya helikopter hitam berdiri seperti monster tak bersuara di tengah hanggar terbuka. Propeller belum menyala. Tapi udara sudah mulai dingin. Bukan dingin cuaca—melainkan dingin dari sesuatu yang akan segera terbakar. David berjalan paling depan. Jaket tempurnya terbuka sedikit, sarung tangan sudah terpasang. Dendy di kanan. Wolf di kiri. Kevin dan Helena menyusul beberapa langkah di belakang. Helena menggigit bagian dalam bibirnya. Langkahnya ragu satu detik, lalu stabil. Tapi Kevin merasakannya. Ia menoleh. Satu tatapan. “Don’t run,” bisiknya. Ia menggenggam tangan Helena—erat. Tak keras, tapi cukup membuat jantung Helena ingat bahwa ia tidak sendiri. Kevin bicara pelan, hanya untuknya. “Jangan keluar dar