LOGIN
“Anaya ….” Ciuman di pipi dan bisikan Damar menelusup lembut di telinga Anaya. Membangunkannya dari tidur yang lelap.
Perlahan, ia membuka mata. Di kamar yang gelap, ia tertegun mendapati suaminya duduk begitu dekat di sisinya. “Ada apa?” Suara korek api terdengar memantik, diikuti cahaya yang remang menerangi ruang. Anaya tersenyum. “Selamat ulang tahun yang ke dua empat … Sayangku!” ucap Damar sambil menyulut sumbu lilin kecil di atas sesuatu dalam piring yang dipegang tangan kirinya. “Terima kasih ….” Anaya bangkit duduk. “Tiup lilinnya!” Damar mendekatkan piring di tangannya ke hadapan istrinya. Bukannya langsung menuruti perintah Damar, Anaya malah tergelak melihat isi piring yang terterangi cahaya. Hanya nasi dan lilin, tak ada yang lain. “Kok, cuma nasi?” tanya Anaya sambil menahan tawa. “Nggak ada makanan lain di dapur. Cuma ada sisa nasi di rice cooker.” Damar ikut tertawa. “Kenapa nggak modal beli apa dulu gitu.” Anaya heran. “Sekarang ini masih jam empat pagi. Aku juga baru bangun dan ingat kalau kamu ulang tahun. Lagian, suruh siapa kamu malas ngisi makanan di kulkas.” Damar berkelit. Anaya tidak keberatan. Sesungguhnya, ia tidak mempermasalahkan apapun yang diberikan Damar. “Malam nanti kita undang keluarga ngerayain ulang tahunmu di Sari Rasa. Kamu bebas pilih makanan enak yang kamu suka. Nanti aku belikan cheese cake.” Damar berjanji. “Sekarang, yang penting kamu tiup dulu lilin ini, dan make a wish!” Mata Anaya terpejam. Dalam hati dia berdoa. Cukup lama. Ketika ia membuka mata, dalam sekali hembusan, lilin itu mati. Kamar kembali gelap. “Terima kasih, Mas!” Anaya memeluk suaminya erat. “Semoga kamu bahagia selalu.” Damar membalasnya, dan memberikan kecupan hangat di keningnya. “Apa doamu tadi?” “Aku berdoa, semoga kita selalu bersama. Semoga kamu selalu setia … dan semoga aku segera hamil,” bisik Anaya. “Ya, semoga Tuhan segera memberikan kita keturunan. Soal setia … kayaknya dari dulu aku sudah setia. Cuma ada kamu di hatiku. Aku pasti akan menemani kamu selamanya,” yakin Damar. “Awas, kalau bohong terus sampai ada yang lain!” Anaya pura-pura mengancam. “Aku nggak pernah bohongin kamu,” bantah lelaki yang sudah dua tahun menjadi suaminya itu. Jemari Damar bergerak menggelitik pinggang Anaya. Membuat perempuan itu kegelian dan berusaha melepaskan diri. Namun, Damar malah semakin mengeratkan dekapannya. Ketika ciuman-ciuman lembut mulai merambah lehernya, Anaya cuma bisa pasrah. *** Tepat jam tujuh pagi, Anaya sudah siap berangkat ke kantor. Begitu juga Damar. Anaya yang hampir tidak pernah memasak, memesan katering sarapan pagi yang sudah diantar setengah jam lalu. Seperti biasa, mereka memakannya di mobil. “Jam sembilan nanti, aku diajak bosku pergi ke Kepulauan Seribu,” kata Damar setelah Anaya selesai menyuapinya nasi goreng. “Lah … katanya mau ngerayain ulang tahunku nanti malam.” Anaya merengut. Perjalanan ke pulau-pulau itu, pastinya memakan waktu berjam-jam menggunakan kapal. “Kami naik helikopter, jadi perjalanan jauh lebih cepat … dan nggak lama juga di sana. Hanya menengok lokasi pembangunan resort.” Damar menenangkan Anaya. “Yakin?” Anaya ragu. “Yakin! Aku sudah reservasi acara di Sari Rasa jam tujuh malam. Sebelum itu, aku sudah sampai sana.” Damar melirik Anaya. Anaya mengangguk sambil memasukkan potongan semangka ke mulutnya. “Mama dan papaku sudah aku beritahu untuk datang. Kak Sita dan Kak Dewi juga sudah.” Damar menyebutkan nama kedua kakaknya. “Ayahku bagaimana?” tanya Anaya. “Seperti biasa … nggak merespon,” jawab Damar pelan. Wajah Anaya seketika muram. Ia memalingkannya ke jendela samping. Menatap arus jalanan yang padat. Hatinya menahan kecewa. “Sudahlah … nggak usah kamu pikirkan.” Tangan kiri Damar, menggenggam jemari istrinya. Anaya menggeleng. Sesungguhnya, ia tetap berharap ayahnya akan memberi perhaian di hari ulang tahunnya. Namun, lelaki yang sudah bercerai dari ibunya saat dirinya berusia 12 tahun itu sepertinya sudah tidak peduli lagi kepadanya. Sayangnya, sejak ibunya meninggal empat tahun lalu, hanya ayahnya yang menjadi kerabat terdekat. Damar mengantarkan Anaya sampai di lobi gedung kantornya. Keduanya saling tatap dan tersenyum penuh cinta sebelum berpisah dan larut dalam aktivitas masing-masing. Selepas sore, Anaya sudah berada kembali di rumah. Ia termangu lama menatap dirinya di depan cermin. Gaun hijau pupus yang dikenakannya, tampak terlalu ketat di tubuhnya. Damar menyukainya. Namun, mama mertuanya pasti akan langsung melotot dan mengritiknya. “Pasti ini gara-gara Kak Damar sering ngajak aku jajan malam-malam. Jadinya, aku tambah gendut.” Anaya menyalahkan kebiasaan suaminya yang hampir tiap malam mengajak istrinya makan di luar. Agak kesulitan, Anaya melepaskan pakaian semi sutra tanpa lengan tersebut. Ia lalu membuka lemari dan mencari-cari lagi busana yang tepat. Matanya terpaku pada gaun hitam selutut berkerah sabrina. Ia memakainya saat kencan pertamanya dengan Damar tiga tahun yang lalu. Meski tak yakin, ia mencobanya juga. Di luar dugaan, baju itu ternyata masih pas di tubuhnya. “Baiklah … aku akan pakai ini saja.” Anaya langsung memutuskan. Dikenakannya kalung mutiara sebagai pelengkap. Alarm pengingat di ponselnya, tiba-tiba menjerit. Ia tersadar harus segera berangkat. Jangan sampai keluarga Damar tiba lebih dahulu di restoran favorit mereka. Jam tujuh kurang lima belas menit, Anaya sudah duduk manis di meja kayu panjang yang sudah disediakan. Damar belum datang. Pesan dan telefonnya tidak dijawab. Kala Anaya mulai gelisah, mertuanya muncul. Anaya menyambutnya dengan pembawaan santun. “Mana Damar?” tanya Marini, mamanya Damar. “Masih di jalan,” jawab Anaya sambil mencium tangan ayah mertuanya. “Sudah sampai mana dia?” tanya Marini lagi. “Belum tahu, Ma. Sudah ditelfon, tapi belum dibalas.” Anaya mempersilahkan mertuanya duduk. “Kamu kok pakai baju hitam, sih? Kayak acara berkabung aja.” Marini mengomentari penampilan Anaya. Anaya terhenyak. Walau mama mertuanya itu terkenal suka nyinyir, ia tak menyangka akan dikatai demikian. Meski hatinya jengah, Anaya yang sudah terlatih menghadapi Marini tetap mampu tersenyum. “Ih, mama! Baju ini yang milihin Mas Damar, loh!” Marini menghela nafas. Damar adalah putra kesayangannya. Ia tak berani mendebat pilihan anak bungsunya. Tidak perlu ia tahu bahwa Anaya memanfaatkan kelemahannya itu. Anaya mencoba menelefon kembali suaminya. Ia berubah resah karena nomor yang ditujunya tidak aktif. Pesan yang dikirim pun hanya tercentang satu. “Damar mana?” Pertanyaan itu muncul berulang-ulang saat kedua kakak suaminya datang berurutan, beserta keluarga masing-masing. Sungguh ia bingung bagaimana menjawab. Ia tak tahu di mana suaminya saat ini. “Kapan terakhir kalian berkomunikasi” tanya Marini. “Tadi siang. Mas Damar ngasih kabar dia lagi di Pulau Panjang, dan sedang bersiap kembali ke Jakarta pakai helikopter perusahaan.” Kegelisahan Anaya tampak jelas. Jantungnya berdebar lebih cepat. Pelayan datang membawakan buku menu. Anaya mempersilahkan tamunya memesan makanan dan minuman. Di tengah rasa cemas, ponselnya berbunyi. Nomor yang tidak dikenal muncul di layar. “Halo … selamat malam ….” Anaya menjawab hati-hati. “Selamat malam … apakah ini dengan Ibu Anaya?” tanya suara di seberang sana. Suara perempuan. “Iya … dengan siapa ini?” tanya Anaya curiga. “Saya Siska …,” jawab wanita itu tercekat. “Siska mana?” Dada Anaya berdegup kencang. “Mohon maaf Ibu … saya Manajer HRD di kantor Pak Damar …, “ sambung Siska. “Saya bermaksud menyampaikan berita duka … helikopter yang ditumpangi Pak Damar tadi siang jatuh di tengah laut ….” “Kak Damar …?”Lima tahun kemudian.Anaya terjaga oleh suara alarm ponselnya yang diletakkan di atas nakas. Ia baru hendak menyingkap selimut ketika merasakan ada beban berat menaiki ranjang dan kemudian, tangan kekar yang hangat mendekapnya dari belakang. Ia menahan diri untuk tidak bergerak. Namun, hembusan napas yang hangat menggelitik telinganya. Ia terjebak, tak bisa bergerak leluasa.“Selamat pagi istriku.” Suara Arlo lembut menyapanya.“Selamat pagi? Kapan datang?” tanya Anaya. “Baru aja.” Arlo menjawab. “Aku harus bangun.” Anaya mencoba mengangkat tangan suaminya yang melingkari bagian atas tubuhnya.“Jangan!” Arlo mengeratkan pelukannya.“Ini sudah pagi, ‘kan? Aku harus menyiapkan sarapan dan juga bekal Sasha.” Anaya mencoba memberikan pengertian.“Setengah jam lagi.” Arlo membenamkan mukanya di rambut harum Anaya.Anaya pasrah walau otaknya langsung mengkalkulasi dampak penundaan waktu tiga puluh menit bagi rencana aktivitasnya hari ini.“Tapi, jangan macam-macam. Aku takut Sasha tiba-ti
Gerakan di kandungan Anaya seolah memberikan jawaban. Tangannya spontan meraba sisi kanan perutnya. Ia selalu terpesona merasakan sensasi kehidupan di dalam tubuhnya. “Kenapa?” Arlo khawatir melihat ekspresi Anaya.“Tadi aku dalam hati nanya, boleh nggak kalau aku ngobrol sama Bapak. Eh, dia langsung nendang.” Anaya mengerjap membagikan takjubnya. “Oh, ya?” Arlo ikut terkagum. “Artinya boleh kalau begitu. Kalau nggak, dia pasti diam aja.”Anaya tersenyum membelai perutnya yang tertutup blus katun longgar sederhana.“Sudah berapa bulan?” Mata Arlo tertuju pada tangan Anaya yang sudah tidak mengenakan cincin kawin.“Tujuh,” jawab Anaya.“Aku tebak … dia perempuan,” kata Arlo yakin.“Kok, tahu?” Anaya terbelalak kaget. “Bapak ini cenayang, ya?”“Bukan! Aku cuma nebak aja.” Arlo tertawa. “Ya, tapi kok bisa pas nebaknya.” Anaya setengah heran.“Perasaan aja,” kata Arlo.Pesanan Arlo datang. Jus kombinasi apel dan wortel. Anaya tersenyum memperhatikan lelaki itu menyesap minuman rekom
Kabar kehamilan Anaya, membuat semua orang senang sekaligus iba. Ia sendiri tertawa bahagia, tapi kemudian untuk pertama kalinya sejak hari kecelakaan, ia menangis. Penantian dan doa panjang agar ia mendapatkan keturunan justru terkabul setelah Damar tiada. Marini meminta Anaya tinggal bersamanya, tetapi ditolak tegas. Ia memilih tetap di rumahnya. Mertuanya itu mengalah dan mengirimkan asisten rumah tangga untuk mengurus dan menemani.Anaya memutuskan keluar dari pekerjaannya. Dengan kehamilannya, ia merasa tidak sanggup bekerja terikat waktu dan dikejar target. Meskipun keluarga Damar berjanji menjamin kebutuhan finansialnya, Anaya tidak mau berdiam diri. Dengan tabungannya, ia berniat membuka kedai pasta dan salad di lokasi bisnis pada kawasan permukiman ia tinggal.“Kamu lagi hamil, Anaya. Buat apa kerja begitu?” Marini langsung menentangnya.“Aku bisa gila kalau cuma berdiam diri aja. Lagian dekat dari rumah. juga ada karyawan yang bantu. Ada tukang masak, pelayan dan tukang yan
Udara di sekitar mendadak hening. Semua mata tertuju pada Anaya. Penuh tanda tanya. Sementara, suara Siska timbul tenggelam. Meskipun belum ada kabar terburuk, kata-kata ‘helikopter jatuh’ bagai firasat yang membekukan otak.“Anaya?!” Marini memanggil sembari mengguncang lengannya.Ia tersadar. Dengan mata nanar ia menatap mama mertuanya. Wajahnya pucat pasi.“Ada apa?” tanya Marini dengan nada cemas.“Kak Damar … kecelakaan …,” jawab Anaya lirih. “Ya, Tuhan!” ucap orang-orang di sekeliling Anaya, nyaris serempak.Suasana sekejap berubah. Semua menahan diri. Bahkan anak-anak kecil terdiam. Tubuh Anaya terasa ringan, sementara pikirannya melayang-layang. Ia diam saja saat Marini mengambil alih ponsel yang masih menempel di telinganya. Selanjutnya, semua terasa seperti mimpi panjang yang bernuansa abu-abu. Keributan di sekitarnya, terdengar mengambang. Kakinya tak menjejak bumi. Dirinya seperti berjarak dengan dunia nyata. Namun ia tak berdaya menguasai kembali kenyataan. Bersama me
“Anaya ….” Ciuman di pipi dan bisikan Damar menelusup lembut di telinga Anaya. Membangunkannya dari tidur yang lelap. Perlahan, ia membuka mata. Di kamar yang gelap, ia tertegun mendapati suaminya duduk begitu dekat di sisinya. “Ada apa?” Suara korek api terdengar memantik, diikuti cahaya yang remang menerangi ruang. Anaya tersenyum.“Selamat ulang tahun yang ke dua empat … Sayangku!” ucap Damar sambil menyulut sumbu lilin kecil di atas sesuatu dalam piring yang dipegang tangan kirinya. “Terima kasih ….” Anaya bangkit duduk.“Tiup lilinnya!” Damar mendekatkan piring di tangannya ke hadapan istrinya.Bukannya langsung menuruti perintah Damar, Anaya malah tergelak melihat isi piring yang terterangi cahaya. Hanya nasi dan lilin, tak ada yang lain. “Kok, cuma nasi?” tanya Anaya sambil menahan tawa.“Nggak ada makanan lain di dapur. Cuma ada sisa nasi di rice cooker.” Damar ikut tertawa.“Kenapa nggak modal beli apa dulu gitu.” Anaya heran.“Sekarang ini masih jam empat pagi. Aku juga







