LOGINUdara di sekitar mendadak hening. Semua mata tertuju pada Anaya. Penuh tanda tanya. Sementara, suara Siska timbul tenggelam. Meskipun belum ada kabar terburuk, kata-kata ‘helikopter jatuh’ bagai firasat yang membekukan otak.
“Anaya?!” Marini memanggil sembari mengguncang lengannya.
Ia tersadar. Dengan mata nanar ia menatap mama mertuanya. Wajahnya pucat pasi.
“Ada apa?” tanya Marini dengan nada cemas.
“Kak Damar … kecelakaan …,” jawab Anaya lirih.
“Ya, Tuhan!” ucap orang-orang di sekeliling Anaya, nyaris serempak.
Suasana sekejap berubah. Semua menahan diri. Bahkan anak-anak kecil terdiam. Tubuh Anaya terasa ringan, sementara pikirannya melayang-layang. Ia diam saja saat Marini mengambil alih ponsel yang masih menempel di telinganya.
Selanjutnya, semua terasa seperti mimpi panjang yang bernuansa abu-abu. Keributan di sekitarnya, terdengar mengambang. Kakinya tak menjejak bumi. Dirinya seperti berjarak dengan dunia nyata. Namun ia tak berdaya menguasai kembali kenyataan.
Bersama mertua dan salah seorang suami kakak iparnya, Anaya pergi ke kantor Damar. Di sana, sudah ada tim krisis yang bertampang tegang. Semua sibuk mencari informasi dan berkoordinasi.
Anaya menunggu di ruangan yang sudah disediakan bersama keluarga dari pilot dan penumpang lainnya. Cemas dan khawatir seperti kabut pekat yang menggantung.
Menjelang Subuh, Manajer Hubungan Masyarakat perusahaan mengumumkan bahwa kecelakaan helikopter terjadi akibat kerusakan mesin ditambah dengan cuaca yang buruk. Tim Search And Rescue (SAR) berhasil mengevakuasi semua penumpang yang telah tidak bernyawa dalam kondisi yang memprihatinkan, kecuali Damar. Jenazah pria tersebut tidak ada di sekitar lokasi bencana. Hanya sepatu dan jaketnya yang ditemukan mengapung.
Sebagian besar yang hadir meraung berduka. Anaya termasuk yang tidak. Tidak ditemukannya tubuh Damar, membuatnya berharap, suaminya itu masih hidup.
***
Hari-hari berjalan lambat. Seminggu sudah Anaya menanti berita tentang Damar. Atasannya memberikan cuti tidak terbatas agar ia tidak terbebani pekerjaan selama menjalani dukanya. Ia hampir tidak pernah tidur. Malam itu, ia duduk di sofa, dengan ponsel yang selalu berada di genggaman.
“Anaya … makanlah dulu.” Marini mendekati. Sejak malam terjadinya kecelakaan yang menimpa Damar, ia tidak pernah meninggalkan menantunya.
Anaya menggeleng lemah. Perutnya tidak menjerit lapar walaupun ia belum makan sejak pagi. “Aku nggak kepengen makan.”
“Tapi, perutmu harus diisi. Sita tadi datang, bawain makanan. Ada sup kepiting dan ayam kungpao. Mau Mama ambilkan?” Marini menawarkan.
“Nggak usah, Ma. Nanti aku ambil sendiri. Kalau sudah lapar, aku pasti makan.” Anaya menolak dengan nada halus.
Marini duduk di sebelah menantunya. Pandangan keduanya terpaku pada televisi yang menyala. Namun, pikiran mereka tertuju pada satu lelaki yang sama.
“Belum ada kabar dari Papa dan Kak Sita, Ma?” tanya Anaya, memecah kesunyian.
“Belum,” jawab Marini.
Setiap hari, ayah mertua dan kakak iparnya itu menyambangi kantor Damar dan perusahaan penyedia jasa helikopter. Namun, tak ada perkembangan baru. Tak ada secuil pun jejak baru yang ditemukan.
“Besok, aku mau sewa kapal di Marina. Aku mau ikut mencari Kak Damar,” kata Anaya.
“Kamu mau ikut mencari kemana?” Marini menoleh. “Kalau boleh dan bisa, Mama juga pasti sudah ikut mencari langsung. Nggak betah juga hanya menunggu kabar kayak begini.”
“Mencari ke tempat-tempat yang belum didatangi Tim SAR. Mungkin ke pulau-pulau sekitar,” jawab Anaya.
“Tim SAR pasti sudah mencari ke semua tempat. Mereka orang-orang pintar yang ahli dan punya peralatan lengkap. Mama pernah ditunjukkin foto peta pencarian mereka. Sudah pasti mereka punya perhitungannya.”
“Tapi, kenapa Kak Damar belum ketemu juga?” tanya Anaya.
“Aku nggak tahu.” Marini memencet hidungnya menahan tangis.
Tiga minggu kemudian, Tim SAR menyatakan Damar hilang dan kemungkinan besar telah wafat. Pencarian pun dihentikan.
Orang tua dan kakak-kakak Damar kembali menangis. Anaya tidak mengeluarkan air mata. Jauh dan terpencil di lubuk hatinya, ada keyakinan bahwa suaminya masih ada di suatu tempat.
Sebulan lagi berlalu. Meskipun berat, keluarga Damar memutuskan menerima kenyataan bahwa anggota keluarga mereka itu sudah tiada.
Anaya sudah tentu menolak. “Kak Damar masih hidup!”
“Kalau dia masih hidup, pasti dia sudah ditemukan atau menghubungi kita mengabarkan keberadaannya.” Marini memberikan alasan.
“Kalau Kak Damar sudah mati, juga pasti ada buktinya.” Anaya menyanggah.
“Bukti langsung memang tidak ada Anaya. Tapi, sudah jelas ‘kan bahwa dia memang ada di dalam helikopter nahas itu. Tim penyelamat sudah menyatakan tidak mungkin dia selamat. Kamu harus mengikhlaskan,” balas Marini.
“Nggak, Ma. Aku belum ikhlas.” Hati Anaya jengkel dengan pendapat mertuanya.
“Kamu harus belajar ikhlas!” Suara Marini meninggi. “Jangan sampai kamu pikir, cuma kamu yang kehilangan Damar. Aku ibunya … yang mengandung, melahirkan dan membesarkan dia. Di antara semuanya, hatiku yang paling hancur karena harus kehilangan anak lelaki satu-satunya.”
Pernyataan Marini membuat Anaya terdiam. Ia tersindir. Kepedihannya seolah tak ada artinya dibandingkan dengan apa yang dirasakan mertuanya. Namun, mungkin memang demikian nyatanya.
“Aku nggak mungkin bisa ngelupain Kak Damar, Ma.” Anaya berkata lirih.
“Aku nggak menyuruh kamu melupakan dia. Tapi, kita … terutama kamu, jangan sampai larut dalam kesedihan. Kamu harus realistis, jangan meratap terus. Relakan kepergiannya. Jalanmu masih panjang.” Marini memberikan wejangan.
Akhirnya, setelah negosiasi panjang, Anaya mempersilahkan Marini dan keluarga besar Damar, membuatkan acara pemakaman simbolik dengan menguburkan sepatu dan jaket yang ditemukan serta satu set pakaian lelaki malang itu.
Selang seminggu kemudian, Marini memberikan akta kematian Damar. “Kamu simpan ini, kami sudah punya salinannya.”
Anaya terpana menerimanya. Selembar kertas itu seperti penegas berakhirnya hubungan ia dan suaminya. Sekaligus juga, pupusnya harapan Damar akan kembali.
“Dengan surat itu, kamu bisa mengurus klaim asuransi dan pesangon Damar. Papa juga akan membantu urus proses balik nama aset keluarga yang sudah dihibahkan menjadi atas nama kamu. Maaf kalau kamu pikir, kami tidak peka karena membicarakan soal harta peninggalan Damar. Tapi, soal begini memang lebih baik disampaikan terbuka dan tidak ditunda-tunda penyelesaiannya. Kami tidak akan mengusik semua yang menjadi hakmu.” ujar Marini.
Tangan Anaya yang masih memegang akta kematian Damar gemetar. Dadanya sesak.
“Mulai sekarang, kamu jadi wanita bebas. Tentukan masa depanmu sendiri. Kami tidak akan keberatan kalau kamu mencari pendamping hidup lagi.” Marini tersenyum tulus.
Pernyataan Marini membuat Anaya jengah. Tanpa sadar, ia memalingkan muka.
Sepeninggal mertuanya, Anaya berbaring di kamarnya, termenung. Dirinya yang sudah tidak lagi memiliki ibu sedangkan ayahnya tidak peduli, seketika merasa sendirian. Ditinggal suami, dan dilepas mertuanya. Kepalanya mendadak pusing dan perutnya mual. Semakin ditahan, perutnya semakin bergejolak.
Tertatih ia berjalan menuju kamar mandi, dan memuntahkan isi perutnya hingga lemas. Setelah membersihkan diri, ia duduk di meja rias. Ia iba sendiri memandang pantulan sosoknya di cermin. Mata kuyu, wajah pucat dan rambut yang kusut.
Ketika akan mengambil sisir, matanya teralihkan pada kalender meja. Sudah berganti bulan, tapi ia belum membalik lembarannya. Perlahan ia meraihnya. Ia membaca ulang coretan-coretan yang biasa dibuatnya untuk menandai kejadian atau rencana penting. Sebuah perasaan aneh tumbuh di hatinya kala menyadari waktu terakhir ia mendapatkan haid. Sudah dua bulan berlalu. Ia pasti luput memperhatikan karena harus kehilangan Damar tiba-tiba.
Dengan jantung berdebar, Anaya memesan alat tes kehamilan di apotik yang menyediakan layanan online. Begitu tiba, ia langsung menggunakannya. Lima menit kemudian, ia terperangah.
“Positif … aku hamil?!”
Lima tahun kemudian.Anaya terjaga oleh suara alarm ponselnya yang diletakkan di atas nakas. Ia baru hendak menyingkap selimut ketika merasakan ada beban berat menaiki ranjang dan kemudian, tangan kekar yang hangat mendekapnya dari belakang. Ia menahan diri untuk tidak bergerak. Namun, hembusan napas yang hangat menggelitik telinganya. Ia terjebak, tak bisa bergerak leluasa.“Selamat pagi istriku.” Suara Arlo lembut menyapanya.“Selamat pagi? Kapan datang?” tanya Anaya. “Baru aja.” Arlo menjawab. “Aku harus bangun.” Anaya mencoba mengangkat tangan suaminya yang melingkari bagian atas tubuhnya.“Jangan!” Arlo mengeratkan pelukannya.“Ini sudah pagi, ‘kan? Aku harus menyiapkan sarapan dan juga bekal Sasha.” Anaya mencoba memberikan pengertian.“Setengah jam lagi.” Arlo membenamkan mukanya di rambut harum Anaya.Anaya pasrah walau otaknya langsung mengkalkulasi dampak penundaan waktu tiga puluh menit bagi rencana aktivitasnya hari ini.“Tapi, jangan macam-macam. Aku takut Sasha tiba-ti
Gerakan di kandungan Anaya seolah memberikan jawaban. Tangannya spontan meraba sisi kanan perutnya. Ia selalu terpesona merasakan sensasi kehidupan di dalam tubuhnya. “Kenapa?” Arlo khawatir melihat ekspresi Anaya.“Tadi aku dalam hati nanya, boleh nggak kalau aku ngobrol sama Bapak. Eh, dia langsung nendang.” Anaya mengerjap membagikan takjubnya. “Oh, ya?” Arlo ikut terkagum. “Artinya boleh kalau begitu. Kalau nggak, dia pasti diam aja.”Anaya tersenyum membelai perutnya yang tertutup blus katun longgar sederhana.“Sudah berapa bulan?” Mata Arlo tertuju pada tangan Anaya yang sudah tidak mengenakan cincin kawin.“Tujuh,” jawab Anaya.“Aku tebak … dia perempuan,” kata Arlo yakin.“Kok, tahu?” Anaya terbelalak kaget. “Bapak ini cenayang, ya?”“Bukan! Aku cuma nebak aja.” Arlo tertawa. “Ya, tapi kok bisa pas nebaknya.” Anaya setengah heran.“Perasaan aja,” kata Arlo.Pesanan Arlo datang. Jus kombinasi apel dan wortel. Anaya tersenyum memperhatikan lelaki itu menyesap minuman rekom
Kabar kehamilan Anaya, membuat semua orang senang sekaligus iba. Ia sendiri tertawa bahagia, tapi kemudian untuk pertama kalinya sejak hari kecelakaan, ia menangis. Penantian dan doa panjang agar ia mendapatkan keturunan justru terkabul setelah Damar tiada. Marini meminta Anaya tinggal bersamanya, tetapi ditolak tegas. Ia memilih tetap di rumahnya. Mertuanya itu mengalah dan mengirimkan asisten rumah tangga untuk mengurus dan menemani.Anaya memutuskan keluar dari pekerjaannya. Dengan kehamilannya, ia merasa tidak sanggup bekerja terikat waktu dan dikejar target. Meskipun keluarga Damar berjanji menjamin kebutuhan finansialnya, Anaya tidak mau berdiam diri. Dengan tabungannya, ia berniat membuka kedai pasta dan salad di lokasi bisnis pada kawasan permukiman ia tinggal.“Kamu lagi hamil, Anaya. Buat apa kerja begitu?” Marini langsung menentangnya.“Aku bisa gila kalau cuma berdiam diri aja. Lagian dekat dari rumah. juga ada karyawan yang bantu. Ada tukang masak, pelayan dan tukang yan
Udara di sekitar mendadak hening. Semua mata tertuju pada Anaya. Penuh tanda tanya. Sementara, suara Siska timbul tenggelam. Meskipun belum ada kabar terburuk, kata-kata ‘helikopter jatuh’ bagai firasat yang membekukan otak.“Anaya?!” Marini memanggil sembari mengguncang lengannya.Ia tersadar. Dengan mata nanar ia menatap mama mertuanya. Wajahnya pucat pasi.“Ada apa?” tanya Marini dengan nada cemas.“Kak Damar … kecelakaan …,” jawab Anaya lirih. “Ya, Tuhan!” ucap orang-orang di sekeliling Anaya, nyaris serempak.Suasana sekejap berubah. Semua menahan diri. Bahkan anak-anak kecil terdiam. Tubuh Anaya terasa ringan, sementara pikirannya melayang-layang. Ia diam saja saat Marini mengambil alih ponsel yang masih menempel di telinganya. Selanjutnya, semua terasa seperti mimpi panjang yang bernuansa abu-abu. Keributan di sekitarnya, terdengar mengambang. Kakinya tak menjejak bumi. Dirinya seperti berjarak dengan dunia nyata. Namun ia tak berdaya menguasai kembali kenyataan. Bersama me
“Anaya ….” Ciuman di pipi dan bisikan Damar menelusup lembut di telinga Anaya. Membangunkannya dari tidur yang lelap. Perlahan, ia membuka mata. Di kamar yang gelap, ia tertegun mendapati suaminya duduk begitu dekat di sisinya. “Ada apa?” Suara korek api terdengar memantik, diikuti cahaya yang remang menerangi ruang. Anaya tersenyum.“Selamat ulang tahun yang ke dua empat … Sayangku!” ucap Damar sambil menyulut sumbu lilin kecil di atas sesuatu dalam piring yang dipegang tangan kirinya. “Terima kasih ….” Anaya bangkit duduk.“Tiup lilinnya!” Damar mendekatkan piring di tangannya ke hadapan istrinya.Bukannya langsung menuruti perintah Damar, Anaya malah tergelak melihat isi piring yang terterangi cahaya. Hanya nasi dan lilin, tak ada yang lain. “Kok, cuma nasi?” tanya Anaya sambil menahan tawa.“Nggak ada makanan lain di dapur. Cuma ada sisa nasi di rice cooker.” Damar ikut tertawa.“Kenapa nggak modal beli apa dulu gitu.” Anaya heran.“Sekarang ini masih jam empat pagi. Aku juga







