17 VIVIAN
“Ra, besok Lo ada waktu ga? Gw mau ngajak Lo makan siang,” kata Dito di telpon.“Besok Gw ada kerjaan tambahan di Dufan.”“Ya udah enggak apa-apa, kita makan di sana aja gimana?”“Ya udah.”“Sampai besok ya.”KeesokannyaAku menjaga stand es krim. Karena sekarang hari libur, pengunjung jadi lebih banyak.“Strawberry dan lemonnya satu ya. Ren, Kamu mau apa?” kata seorang wanita.“Terserah,” katanya singkat.Perempuan itu memesankan rasa yang sama. Reno terkejut melihatku, begitu juga aku.
Ya ampun, sesempit ini kah dunia? Perempuan itu merangkul lengan Reno dan mengajaknya pergi.
Perempuan mana lagi yang jadi korbannya dia? Dito sudah datang menjemputku, tapi aku memintanya menunggu sepuluh menit lagi karena belum waktunya istirahat.
Sepuluh menit k
18 DI TEMPAT PESTAKami pergi ke tempat pesta ulang tahunnya. Sebagai tuan rumah, tentunya Reva tiba lebih dulu sebelum tamu-tamu berdatangan. Dekorasinya dibuat sangat bagus.Satu persatu para tamu datang. Saat Reva sudah mulai sibuk dengan tamu-tamu yang datang, aku mencari tempat duduk yang dekat dengan lampu hias. Malam ini langit terlihat cerah.Aku melihat Dito mengobrol dengan Reva. Mereka melambaikan tangan kepada seseorang. Ya ampun, dia juga datang. Aku langsung berdiri, mencari tempat yang lebih tersembunyi. Aku menunduk dan berusaha menutupi mukaku dengan tas.“Lo kenapa?” Aku menoleh, Reno berdiri di hadapanku. Dia kaget melihat penampilanku, ingin mengatakan sesuatu tapi dibatalkannya. Mungkin tidak ingin mengacaukan acara Reva karena pertengkaran kami.“Ra, kemana aja sih Lo Gw cari-cari. Ayo sini Gw kenalin sama cowok, ganteng banget Ra,” kata Reva berbisik.Aku menurut hanya karena i
19 JADIANCuaca yang buruk membuat kondisi kesehatan pun memburuk. Reva juga dirawat di rumah sakit. Aku juga sering menginap di rumah sakit untuk menemani Reva. Reva itu lebih kaya saudara daripada teman. Akhir-akhir ini aku kurang tidur, dan sejujurnya aku takut untuk tertidur, takut untuk bermimpi. Aku juga sering bermimpi tentang foto yang kulihat di ruang baca dulu. Aku melihat Reno dan Vivian di halaman depan. Aku duduk di depan kamar dengan memejamkan mata.“Lo sakit?” tanya Reno.Aku kembali memejamkan mataku.“Kenapa sih Lo singit banget. Apalagi kalau lihat Gw sama Vivian. Lo enggak suka sama Vivian?”“Gw kasihan sama Reva.”“Mang kenapa Reva?”“Lo enggak tahu atau pura-pura enggak tahu sih?”“Iya, Gw tahu Reva sakit. Kemarin Gw habis nengokin di rumah sakit.”Aku hanya diam saja. Bodoh banget
20 BERKUNJUNG KE MAKAM DAN PANTISemua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Sekarang Reva jadi lebih sering bersama Dito. Mungkin setelah Reva lulus, mereka akan menikah.Aku jadi merindukannya. Kusibukkan diriku dengan bekerja dan mengerjakan skripsi. Sudah tiga bulan aku enggak pernah ke rumah Reno.Setiap kali kesana selalu ada Vivian, dan Reno selalu melihat kearahku dengan pandangan penuh rasa iba. Itu sangat menyebalkan.Beberapa formulir beasiswa ke luar negeri berhamburan di meja. Sudah sejak SMA aku mendapat tawaran beasiswa ke luar negeri. Tapi akhirnya kutolak karena akan sulit berziarah ke makam ibu. Kalau aku kuliah di Jakarta, setidaknya aku masih bisa berziarah. Namun akhir-akhir ini, entah kenapa aku sangat ingin pergi.Bel berbunyi, saat kubuka pintu Reno langsung masuk sebelum sempat kuusir.“Lo kemana aja, enggak pernah pulang? Tiap kali Gw kesini enggak pernah ada. Telpon enggak pernah diangkat
21 Lagi-lagi aku diam di sepanjang perjalanan. Ini seperti mimpi. Aku memejamkan mataku, berpikir siapa orang itu. Tapi aku tetap tidak bisa menebaknya. Aku tidak mengenal satu pun teman ibuku. Atau mungkin teman ayah, entahlah. “Ran, lo mikirin siapa orang itu? Coba entar gue tanya ke bokap, mungkin bokap tahu,” kata Reno. “Jangan! Lo jangan pernah nanya sama bokap lo!” Reno mengangguk, karena mungkin dia merasa ini bukan urusannya. Kereta api berjalan dengan pelan. Aku menyandarkan kepalaku ke jendela, karena perjalanan masih jauh. Aku merasa lelah, lebih dari sekedar lelah fisik. Bisakah aku berdamai dengan keadaan ini? Walau bagaimana pun aku memberontak, masa laluku tetap tidak dapat berubah. Bisakah aku bersandar pada seseorang dan menggenggam tangan seseorang? Aku merasa kesepian, bu. Bu, kenapa pria itu datang dengan seorang istri dan tiga o
22 SURAT DARI IBU Rasanah anak ibu yang baik. Maafkan ibu yang tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk kamu. Maafkan ibu yang selama ini sudah susah memilih jalan. Maafkan ibu atas semua kesalahan ibu padamu dan membuat kamu menderita .... Sebagai seorang anak yang besar di panti asuhan, ibu sering kali melihat teman-teman ibu di adopsi. Ada saatnya ibu juga ingin pergi, namun ada saatnya ibu ingin tinggal. Suatu waktu, ibu dipilih untuk diadopsi oleh seorang pengusaha yang bekerja di Singapura. Ibu bimbang, sangat bimbang ... namun akhirnya ibu menolaknya. Ibu tidak tahu apakah keputusan ibu ini tepat atau tidak, namun ibu sudah menolaknya. Setelah lulus SMA, ibu punya kesempatan untuk bekerja di luar kota bersama teman ibu yang berbeda panti asuhan. Dia teman yang sangat baik, namun tidak pernah di adopsi oleh siapapun. Lalu kami bertemu dengan Hendro dan Ajeng, dan sejak saat itu kami
23 JANGAN-JANGAN AMNESIA Hujan sangat deras. Di rumah tidak ada siapa-siapa. Saat-saat ibu meninggal muncul dalam ingatanku. Saat itu juga hujan turun dengan deras. Hanya suara hujan dan petir yang menjadi saksi kepergiannya. Aku berlari keluar sekencang mungkin. Kenapa jadi begini, kenapa harus begini? Ibu, aku merindukanmu. Bisakah kita bertemu secepat mungkin. Nafasku terengah-engah di tengah derasnya hujan dan jalan yang menanjak. Beberapa kali aku terjatuh. Lampu-lampu kota terlihat dari atas bukit tempatku berdiri saat ini. Bu, aku ingin pergi sama seperti ketika kau pergi saat itu. Maafkan aku bu, aku benar-benar merasa malu akan sikapku selama ini. Aku maju perlahan, melihat kilauan lampu yang seolah ikut menertawakan kebodohanku. Saat sudah di tepi tebing, kakiku terpeleset karena tumpukan tanah yang licin dan aku kehilangan keseimbangan. Seseorang menarik tanganku dan memelukku dengan erat. “Jangan lakukan itu. Jangan
24 MEMASAK UNTUK KELUARGA RENO Hari ini aku keluar dari rumah sakit namun menggunakan kursi roda. Aku kembali tinggal di rumah orang tua Reno, Reno juga akhirnya ikut tinggal lagi di sana. Untuk sementara waktu kamarku dipindahkan ke lantai bawah karena akan sulit bagiku naik turun tangga. Reva dan Dito juga ikut mengantarku pulang. “Untung gw udah lulus kuliah, kalau enggak mendingan mati aja, deh! Gw juga bisa kehilangan beasiswa,” kataku, lebih ke diri sendiri. “Jangan bicara seperti itu. Emang beasiswa lebih penting daripada nyawa?” tanya Reno. “Iya, lah. Kalau bukan dari beasiswa dan kerja rodi gimana gw bisa sampai kuliah? Dari hasil patungan orang-orang?” “Rana, ayo makan!” kata Rika mengalihkan pembicaraan. Ini juga untuk pertama kalinya aku berada di ruang makan. Selama bertahun-tahun aku tinggal di sini, aku belum pernah benar-benar makan masakan ibunya Reno. Berbagai jenis sayur dan lauk d
25 DOKTER SARAF DAN DOKTER MATA Aku berdiri di balkon, menatap kosong ke arah kolam renang, memikirkan segala peristiwa yang terjadi dalam hidupku. “Akhir-akhir ini lo aneh. Malaikat mana yang bikin lo kaya gini?” tanya Reno mengagetkanku. “Malaikat pencabut nyawa, lah. Lo kan tau gw hampir mati.” “Enggak lucu, deh!” “Siapa juga yang lagi melucu?” “Bisa enggak sih, kalau ngomong sama gw enggak pake urat?” “Emangnya lo tukang bakso?” “Dikasih tau ngeyel mulu sih, lo?” “Udah hobi sih, gimana, dong?” Dia mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala. *** Aku mengetuk pintu kantor papanya Reno. Om Hendro kaget melihatku. “Rana, ada apa?” tanyanya dengan wajah tersenyum. Aku memandang wajah pria yang kini tak muda lagi itu, namun masih menunjukkan ketampanan dan karisma yang kuat. “Aku hanya mau ngembaliin ini,” kataku