Share

Part 3

Kereta berhenti di stasiun tujuanku. Kulirik benda berbentuk bulat kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. 

Memang tepat lima jam perjalanan yang sudah kutempuh. Bisa kupastikan karena aku juga melakukan hal yang sama pada tangan kiriku sesaat setelah kereta bergerak, tepat jam dua belas teng. 

Kubaca lagi alamat yang dikirimkan Ibu. Semenjak dia menjual rumah, nomor ponselnya berubah. Biasanya dia menghubungi lewat ponsel Dara. Seperti dugaanku, sebentar lagi uang hasil penjualan rumah akan segera habis sebelum tahun ajaran baru dimulai. Dan angan-angan Dara untuk kuliah hanya akan tinggal cerita saja. 

Aku memanggil becak yang berderet-deret di di pintu luar stasiun. Kusebutkan alamat tersebut dan dengan cepat dia mengiyakan. 

Jalan yang kulewati hanyalah jalan lintas yang di sepanjang jalan kiri dan kanan berbaris pohon-pohon sawit. Terdapat juga rumah-rumah berbentuk serupa. Pastilah itu mess bagi karyawan yang telah disediakan oleh pemiliknya. 

Sepanjang perjalanan tak ada pembicaraan. Mungkin karena aku juga terlalu cuek dan hanya menatap layar ponsel. Tak lama, kendaraan roda tiga itu menepi dan berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Abang tukang becak pergi setelah aku memberikan upah yang kami sepakati tadi. 

Masih ada tanda-tanda bahwa rumah ini baru saja ditimpa kemalangan. Meski sudah tak ramai orang, namun tenda dan kursi-kursi pelastik masih terpasang dan tersusun di halaman depan. Rumah ini tak terlalu besar. Namun jauh lebih bagus dari rumah-rumah di sekelilingnya. 

Aku menaiki teras dan mengetuk pintu depan yang sudah terbuka. 

"Assalamualaikum!" seruku dari depan pintu. Beberapa orang menoleh dan memberi isyarat agar aku segera masuk. Mungkin mereka pikir aku salah satu dari pelayat yang datang. 

Aku masuk dan duduk di ambal yang terbentang memenuhi semua ruangan. Jenazah Kakek sudah tak lagi ada. Mungkin sudah dimakamkan pagi atau siang tadi. Ini dikarenakan Kakek sudah meninggal dari kemarin sore. 

Aku masih duduk bersandar memperhatikan orang-orang yang masih berada di dalam rumah. Mungkin hanya tinggal beberapa kerabat yang juga datang dari jauh. Di sudut ruangan kulihat seorang wanita tua berjilbab coklat susu sedang membacakan ayat Alquran. Matanya sembab seperti habis menangis yang tiada henti. Itukah Nenekku? 

Aku bahkan tidak tahu apakah wajah Ayah kandungku mirip dengannya atau tidak. Tapi dilihat dari sikapnya yang begitu merasa kehilangan, pastilah dia seorang istri yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya, Kakekku. 

Perlahan aku mendekat. Dengan ragu aku duduk di sampingnya. Belum berani menegur karena dia masih terlihat khusu' sambil sesekali menarik ingusnya akibat menahan tangis. 

Dia berhenti membaca setelah menyadari kehadiranku. Aku mengangguk, menyapanya tanpa berkata apa-apa. Entah harus kumulai dari mana semua ini. 

"Siapa kau? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya," ucap wanita tua dengan banyak kerutan di wajahnya. 

"Sarah. Sarah Nauli Siagian," kusebutkan nama lengkap beserta marga Ayahku. 

"Ouh, boru Siagian juga rupanya. Mungkinlah kita bersaudara ," tuturnya seramah mungkin.

Memanglah sepengetahuanku, bagi suku Batak, jika bertemu dengan yang satu marga selalu dianggap saudara. Bahkan terkadang ada yang tidak diperbolehkan menikah, meskipun tidak ada ikatan darah diantara mereka.

"Tentu kita keluarga, Nek," jawabku harap-harap cemas. Entah kepercayaan diri dari mana sampai-sampai aku tak malu mengungkapkan jati diri. 

"Oh, benarkah? Maaf, mungkin aku sudah terlalu tua. Tidak lagi dapat mengingat dengan baik. Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Siapa Ayahmu?"

"Komandan Siagian," jawabku tegas. Ya, itulah nama Ayah kandungku. Putra tertua dari Maruli Siagian, almarhum Kakekku yang baru saja meninggal. 

Menurut cerita Ibu, Kakek memberikan nama itu karena berharap Ayahku menjadi seorang abdi negara. Sayang sekali, Ayah memiliki penyakit asma, sehingga gugur saat sedang mengikuti seleksi. 

Mata tua itu kini memandang ke arahku dengan air mata yang sedang menggenang menunggu tumpah. Terlihat seperti dia menahannya, namun tak kuasa hingga dia mengalihkan pandangan membelakangiku. Bahunya berguncang, seketika suara tangis sesenggukan terdengar. 

Aku memberanikan diri menyentuh bahu yang masih naik turun itu. Dia diam saja, tak berusaha untuk menepisnya. Apa itu artinya dia menerima keberadaanku sebagai cucunya? 

"Sudah, Mak. Ikhlaskan Ayah. Ayah sudah tenang di sana," seorang wanita paruh baya dengan jilbab yang diikat tali belakang seperti mukena datang kemudian mengusap-usap bahu nya. 

"Kau siapa?" wanita dengan usia berkisar empat puluhan itu bertanya padaku.

Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, Nenek memegang tangannya.

"Antarkan dia ke kuburan," perintah Nenek pelan.  Wanita yang tadi memanggilnya Mamak itu pastilah salah satu adik perempuan Ayahku. Ibu juga bercerita kalau Ayah hanya memiliki dua adik perempuan, sehingga Ayahlah satu-satunya anak lelaki dari Kakek dan Nenek. 

   

                   ***********

Sepulang dari makam Kakek, yang tepat bersebelahan dengan makam Ayah, aku diajak kembali oleh Unde (Bibi) Tiwi. Begitu dia memintaku memanggilnya setelah kuberitahu percakapanku dengan Nenek. 

Hari hampir magrib, para kerabat kembali menyusun kursi di halaman luar dan membersihkan karpet di bagian dalam. Malam kedua tahlilan almarhum Kakek akan diadakan setelah sholat. 

Tak memakan waktu lama, acara pembacaan doa sudah selesai. Para pelayat sudah pulang, sementara keluarga besar Ayahku berkumpul di ruang tengah. 

"Sini, Sarah," Unde Tiwi memberikan kode dengan kepalanya agar aku duduk di sampingnya.

Semua mata memandang kepadaku. Seorang wanita mirip Unde Tiwi, dua orang pria yang lebih tua dari mereka yang kuyakini adalah masing-masing suami mereka. Ada juga dua anak perempuan yang mulai  beranjak remaja, serta dua orang anak laki-laki yang berbeda usia jauh. Mereka pastilah saudara-saudara sepupuku meski aku tak tahu dari indukan yang mana. 

Ada satu orang lagi yang ikut bergabung dengan kami. Seorang pemuda yang usianya mungkin hanya beberapa tahun di atasku. Siapa dia? Setahuku Ayah hanya memiliki dua orang adik. Lantas kenapa dia bergabung dengan keluarga inti di rumah ini? 

"Apa kau sudah menikah?" Nenek membuka percakapan. Kuyakin beliau pasti sudah bercerita tentang siapa aku kepada mereka. 

"Belum, Nek. Sarah masih kuliah," jawabku. 

Beberapa pasang mata itu kembali memandang ke arahku. Masing-masing mengernyit seperti keheranan. 

"Memangnya sudah berapa usiamu? Seharusnya kau sudah lama lulus dan sudah menikah," tutur Nenek lagi. 

Benar, usiaku kini sudah dua puluh empat tahun. Jika semua berjalan sesuai rencana, tentu apa yang Nenek katakan itu benar. Aku sudah lama mendapatkan gelar sarjana, bekerja, bahkan mungkin memikirkan masa depan. Tapi kenyataannya apa? 

"Sarah harus bekerja dulu, Nek. Makanya terlambat mendaftar."

"Bekerja? Apa uang Ayahmu masih kurang, sehingga kau harus repot-repot bekerja?"

"Apa maksud Nenek? Uang Ayah tidak sebanyak itu."

"Kudengar Ibumu menikahi pria kaya di kota sana. Semasa pengantin baru dia berkeliling kampung ini untuk memamerkan suami barunya dengan mobil mewah. Kaupun ikut digendongnya waktu itu."

Ibu? Dia sampai melakukan itu? Jadi keluarga ini belum tahu apa yang sudah menimpa kami? Baiklah. Aku juga harus membuat mereka berpikir seperti itu. Atau mereka akan mengira aku datang hanya untuk mengemis dan meminta bagian dari harta warisan Kakek. 

Kata tetangga yang tadi duduk di dapur bersamaku saat tahlil berlangsung, hampir separuh dari kebun sawit di perkampungan ini adalah milik keluarga Siagian. Juga pangkalan gas elpiji yang berada di ujung jalan. Semuanya milik Kakek. 

Pantas saja begitu banyak yang datang untuk ikut membacakan doa pada malam ini. Rupanya keluarga Kakek adalah keluarga terpandang dan juga disegani. Kenapa Ibu tak pernah bercerita? 

"Lihat Pamanmu itu. Waktu usianya dua puluh dua tahun, sudah mendapatkan gelar sarjana hukum. Sebentar lagi akan melanjutkan s2nya," ucap Nenek bangga. "Sudah tinggal menyusun skripsi kah kau?"

Aku menyengir sambil menggaruk rambutku. "Sarah baru semester empat, Nek."

                      **********

Ternyata keluarga Ayah tidak seseram yang kubayangkan. Semuanya berbeda dari bayanganku. Tak ada teriakan, pengusiran, bahkan menyuruhku tes dna agar pengakuanku sebagai putri tunggal Ayah dapat dipertanggungjawabkan. 

Juga tak ada pertikaian diantara mereka untuk memperbutkan warisan Kakek. Apa hal itu hanya ada di sinetron dan drama Korea saja? 

"Dulu saat kau kecil, Unde pernah menggendong mu," ucap Unde Tiwi, adik bungsu perempuan Ayah. Eh tunggu, masih ada adik Ayah yang lebih muda. 

"Apa setelah Ayah melahirkan, Nenek melahirkan lagi, Nde?" tanyaku penasaran. Unde tertawa. 

"Maksudmu Harun?"

"Harun? Namanya Harun?"

"Hush, jangan sembarangan. Dia itu tetap Paman kau. Bertuturlah. Boleh kau panggil dia Paman ataupun Om seperti panggilan di kota-kota. Ayah mengambil dan merawatnya menjadi anak sendiri. Pun, Harun sudah mengetahui sejak awal. Bukan dari bayi dia kami asuh," Unde menerangkan.

Aku hanya mengangguk mendengar penuturan Unde Tiwi. Dulu, selepas malam ketujuh meninggalnya Ayahku, Ibu dan Nenek bertengkar hebat. Ibu memutuskan untuk pergi dan membawaku. 

"Kakek sudah melarang kalian pergi, lalu membiarkan Ibumu untuk menetap agar kebutuhan kalian dapat terpenuhi. Meski Ibu dan Ayah kau kawin lari, tapi Mak dan Ayah tetap mau menerima karena ada kau."

Aku kembali tertegun. Memang tidak ada yang salah dengan keluarga Ayah, Ibulah yang terlalu egois dan penuh gengsi. 

"Minggu depan, Harun mulai bekerja di kota tempat tinggalmu. Ada firma hukum yang menerimanya bekerja. Kau kembalilah saja bersama dia," usul Unde. 

"Besok Sarah sudah harus kembali, Nde," tolakku secara halus. 

"Bah, baru juga sehari. Tunggulah sampai nujuh hari. Bersedekah nasi berkat kita di sini."

"Sarah harus kembali, Nde. Ayah sedang sakit. Tidak tenang rasanya lama-lama meninggalkan Ayah sendiri."

"Kenapa bisa sendiri? Kemana Ibumu?" selidik Unde. 

Aku yang keceplosan jadi gugup dibuatnya. Mereka tak harus tahu apa yang terjadi dengan keluargaku. Mereka akan semakin tidak menyukai Ibu. Namun aku tak menginginkan hal itu. Biarlah mereka tahu kami hidup bahagia,...dan kaya. 

                    **********

Aku berpamitan pagi-pagi sekali kepada seluruh keluarga. Aku sengaja mengambil keberangkatan pagi agar bisa cepat sampai di sana. Banyak hal yang aku tinggalkan secara mendadak. Termasuk Ayah. 

Aku menyalami mereka satu persatu. Mereka terlihat baik dan ramah. Hanya Nenek yang masih duduk di sudut ruangan tanpa sedikitpun menoleh ke arahku. Tapi sesekali pandangan kami bertemu. Dia melirikku dari jauh. 

"Sarah pamit ya, Nek," aku meraih dan mencium punggung tangan itu dengan takzim. 

"Kalau hanya sehari, baiknya tak usah pala datang. Hanya melelahkan diri sendiri," gerutunya. Aku tersenyum. 

"Apa itu artinya Sarah boleh main ke sini lagi?"

"Terserah kau saja. Menungguku mati pun boleh. Bukankah kau hanya datang saat ada kematian di rumah ini?"

.

Kereta melaju dengan kencang. Melewati jalanan yang kulalui saat datang. Teringat saat Paman Harun mengantarku ke stasiun. 

"Minggu depan bantulah aku mencari tempat tinggal. Daripada kamar kost, aku lebih suka sebuah rumah. Sesak nafas aku tinggal di kost-kostan selama kuliah," keluhnya. 

Sesak nafas? Kau bahkan tidak tahu seperti apa rumah yang aku tinggali sekarang. Hanya sebuah bangunan yang menyemper dari rumah induk seseorang. Hanya terdapat sebuah kamar, dapur kecil, kamar mandi dan ruang tamu dua kali dua yang dipakai Ayah untuk tidur. 

Miris. Kau dan keluarga Siagian yang lain tidak boleh tahu dengan keadaanku sekarang. Tetaplah menganggap kami sebagai orang kaya. Dengan begitu, tidak ada masalah uang diantara kita. 

"Apa kau sangat menyayangi Ayah kau yang sekarang?" tanyanya lagi. Mataku menyipit. Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu. 

"Kak Tiwi bilang kau lekas pulang karena beliau sakit. Kau pasti sangat mengkhawatirkannya."

"Tentu saja. Kasih sayang Ayah pertama kali kudapatkan darinya. Aku tak pernah menganggapnya sebagai Ayah tiri. Paman mungkin tidak mengerti, tapi perasaan ini... "

"Aku mengerti!" dia menyela ucapanku. "Aku mengerti sekali perasaan itu." kulihat bulir bening di pelupuk matanya. 

Orang itu, dia bernasib sama sepertiku. Hidup dengan orang tua yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan kita. Namun merawat dan memberikan kasih sayang layaknya darah daging sendiri. 

Apa karena dulu Kakek kehilangan Ayahku, sebagai satu-satunya anak lelaki? Sehingga dia merasa membutuhkan  pengganti? Ataukah hanya rasa kasihan karena Paman Harun kini hidup sebatangkara setelah kepergian orang tuanya? 

"Paman masih sedih atas kepergian Kakek?"

"Bagaimana perasaan kau terhadap Ayahmu kini, begitulah perasaanku sekarang. Hanya saja kau masih bisa pulang untuk segera melihatnya. Sedangkan aku?" suaranya mulai parau. 

"Kalau mau menangis, menangis saja. Aku tak akan bilang pada siapapun."

Aku tahu dari kemarin dia berusaha menahan kesedihan. Lalu pada tengah malam, tanpa sengaja kudengar suara sesenggukan dari balik kamar. Kusingkap tirai pembatas itu, dia duduk tersudut dengan wajah dibenamkan ke lutut seperti anak kecil. Kenapa dia harus bersembunyi jika hanya ingin menangis? 

"Aku hanya tak ingin terlihat lebih sedih dari mereka," ujarnya setelah menyeka sudut netranya. 

"Karena Paman takut, dikatakan mirip seperti perempuan jika menangis?" aku berasumsi. 

Dia sedikit menahan tawa. Lalu kembali mengemudikan mobil pick up untuk segera ke stasiun. 

.

Aku sudah tiba kembali tepat tengah hari. Kuperiksa telepon genggam yang dari tadi bergetar. Rupanya notifikasi grup chat baru yang sudah dimasukkan oleh seseorang. Aku bahkan tidak mengenali nomornya. "Keluarga besar Siagian". Itu nama grupnya. Entah siapa yang membuat nya. Mungkin Alena atau Raya, kedua sepupuku yang mulai beranjak remaja. 

Entah karena kepribadian ataukah kebiasaan masyarakat yang berbeda. Mereka yang tinggal di kampung lebih manusiawi dalam menilai suatu hubungan. Aku yang baru saja mereka temui, langsung diterima menjadi bagian dari keluarga. 

Ayah, aku tak sendiri. Terima kasih karena sudah mengizinkanku mengenal mereka. 

                *******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status