Seminggu sudah Ibu dan Dara pergi. Ayah kembali tak banyak bicara. Namun tak ada lagi rasa tangis dan sesal di hatinya. Mungkin asalkan mereka bahagia, itu sudah cukup baginya.
Mengurus Ayah tidaklah sesulit yang Ibu katakan. Meski dengan bantuan tongkat yang dia apit di kedua belah ketiak, dia masih sanggup untuk berjalan. Tak perlu dibantu untuk hanya sekedar ke kamar mandi dan mengganti pakaian. Ayah masih sanggup melakukannya sendiri.
Yang Ibu kesalkan hanya karena Ayah tak sanggup lagi bekerja dan menghasilkan uang. Selebihnya, Ayah masih bisa melakukan.
Ibu memang sungguh tak tahu diri. Selepas kematian suami pertamanya_Ayah kandungku_kami terus hidup dalam kesusahan. Keluarga Ayah sama sekali tak ada yang ingin menolong, karena pernikahan mereka memang tanpa restu dari keluarga Ayah.
Untunglah Ibu bertemu dengan Ayahku yang sekarang. Mereka kemudian menikah dan derajat kami mulai terangkat. Hidup kamipun mulai membaik. Serta kasih sayang Ayah begitu besar terhadap kami. Setidaknya itulah yang kudengar dari cerita Ibu.
Tak berselang lama, Ibu mengandung dan melahirkan adikku, Dara. Namun kasih sayang Ayah tak pernah berkurang sedikitpun terhadapku. Tak ada pilih kasih serta membeda-bedakan mana anak kandung dan anak tiri. Dari dialah aku bisa merasakan kasih sayang dari seorang Ayah yang tak pernah kurasakan dari Ayah kandungku.
."Sudah malam, Yah. Tidak masuk?" Kususul Ayah di teras depan, dan duduk di kursi yang satunya.
"Ayah masih ingin mencari angin. Kalau kau mengantuk tidurlah duluan, biar nanti Ayah yang mengunci pintu," sahutnya sembari memandang lurus ke depan.
Apakah Ayah masih berharap Ibu dan Dara akan segera pulang? Selepas kepergian mereka, hampir setiap malam Ayah menunggu di teras hingga larut malam. Berulang-ulang kali aku menghubungi dan memberi tahukan Dara apa yang terjadi. Namun dia masih bersikap acuh dan tak mau tahu.
"Disini enak. Kami bisa bekerja dengan santai. Tante Retno juga berjanji akan membantu biaya kuliahku. Kau tahu sendiri kan, kalau dia hidup sebatangkara tanpa keluarga di rumah ini. Jika aku bersikap baik dan menurut padanya, dia pasti membuatku menjadi anak angkatnya," balas Dara melalui pesan whatsappnya.
"Kau punya orang tua yang lengkap, Dara. Tidak seharusnya kau ingin menjadi anak orang lain." Kubalas lagi pesan itu.
"Halah. Bilang saja kakak iri. Kalau kakak bosan bersama Ayah, kakak bisa datang dan menyusul kami. Kakak tahu sendiri kan, bagaimana baiknya sahabat Ibu yang satu ini."
Kuabaikan pesan itu dan tak lagi membalasnya. Kutatap lekat wajah Ayah yang masih mematung memandang ke arah jalan.
Kasihan Ayah. Seandainya saja Ibu dan Dara tidak gegabah dalam menghabiskan semua harta dan uang asuransi, tentu kami tak akan hidup sesulit ini. Ibu terlalu silau melihat harta, hingga akhirnya rumah besar itu terjual dan kami hanya sanggup membeli sepetak rumah kecil ini. Itupun dibeli atas nama Ibu, bukan Ayah.
"Baiklah, Yah. Sarah tidur duluan, ya." Aku pun masuk dan membiarkannya sendiri.
."Aku benar-benar meminta maaf. Tapi saat ini, Dara membutuhkan banyak uang untuk masuk universitas." Ibu muncul di suatu pagi saat aku dan Ayah sedang sarapan."Apa maksud Ibu?" Perasaanku mulai tak enak.
"Ibu akan menjual rumah ini. Uang penjualan bisa kita bagi dua," ucap Ibu tanpa basa-basi.
"Kau... sungguh tidak tahu diri." Kini Ayah mulai tegas. "Kau bisa saja membuangku yang sudah tidak berguna ini, tapi dimana letak hati nuranimu sebagai seorang Ibu yang tega mengusir anaknya dari rumahnya sendiri. Apa kau pikir hasil pembagian rumah kecil ini masih bisa untuk membeli sebuah rumah lagi?"
"Abang harus mengerti. Ini semua demi masa depan Dara. Bukankah Abang sudah berjanji untuk membahagiakan kami, keluarga Abang? Tapi mana buktinya? Aku bahkan sudah menghabiskan banyak uang untuk pengobatan Abang. Baik ke rumah sakit ataupun orang pintar. Tapi hasilnya, Abang tetap saja seperti ini." Tuk kesekian kalinya Ibu menangis.
Tapi bagiku itu terlihat seperti air mata buaya. Tak ada gurat kesedihan terlihat di wajahnya. Wanita seperti apa yang telah melahirkanku selama ini. Tidakkah dia bisa berhenti mengganggu kehidupan Ayah?
"Abang bisa tinggal bersama keluarga Abang. Biarkan Sarah ikut bersamaku. Dia tidak pantas menanggung beban Abang. Dia bahkan bukan anak kandung Abang. Hanya kepadakulah dia wajib mengabdi dan berbakti."
"Cukup, Bu. Cukup!" bentakku. "Ayah tetaplah Ayah. Selamanya Sarah akan menjadi anak Ayah. Lebih baik Sarah berpisah dengan Ibu dari pada harus berpisah dengan Ayah. Silahkan jual rumah ini dan berikan setengah bagian kami. Lalu jangan lagi usik keluarga kami."
"Sarah!" Ibu berteriak histeris. "Sadar kau Sarah. Kau masih sangat muda. Jangan habiskan hidupmu untuk mengurus orang lain. Masa depanmu masih panjang. Kuliah dan bergaullah dengan banyak orang. Jangan habiskan waktumu untuk hal yang sia-sia."
"Sia-sia? Apa Sarah juga harus pergi andaipun Ibu yang sakit? Bagaimana perasaan Ibu jika suatu hari Ibu sakit dan anak-anak Ibu menelantarkan Ibu?"
"Kalau kau sudah selesai, keluar saja dari rumah ini. Kembalilah saat kau sudah dapatkan pembeli," ujar Ayah. Tak ada lagi raut kesedihan di wajahnya. Hatinya mungkin telah mati untuk menangisi istri dan darah dagingnya sendiri.
"Baik, Bang. Aku juga tidak mau berlama-lama di rumah ini. Dan kamu Sarah, jangan pernah menyesali keputusanmu saat ini."
Ayah mengehembuskan nafas dengan kuat. Seolah-olah melepaskan sesak yang dari tadi menyerang. Benar, Ayah sudah terlihat lebih tegar. Rasa amarah telah terpatri di hatinya. Pantang baginya tuk kembali memohon dan menghiba. Ya, seperti itulah Ayah yang kukenal selama ini. Dia itu, Ayahku.
*********
Lagi-lagi Ibu membohongi kami. Uang hasil penjualan rumah tak pernah sampai ke tangan kami.
"Biaya masuk dan persiapan kuliah Dara saja masih kurang. Harga rumah kecil dan terletak di kawasan sempit itu juga tak seberapa. Nanti kalau ada uang berlebih, Ibu bayarkan uang bagian kau." Ibu beralasan.
Persiapan kuliah seperti apa yang dimaksudkan Ibu? Pakaian baru? Tas baru? Sepatu baru? Aku kenal betul bagaimana gaya hidup mereka. Dengan membeli semua itulah makanya uang asuransi dan penjualan rumah besar Ayah habis dengan cepat. Mereka tetap saja lebih mengutamakan gengsi ketimbang berhemat untuk hari esok.
Aku dan Ayah hanya bisa menggerutu di dalam hati. Menjawabpun percuma. Dengan rasa kesal di hati, kubantu Ayah membereskan apa yang akan kami bawa.
Kujual semua isi rumah agar tak perlu repot-repot membawanya pindah. Kulkas, lemari, tempat tidur, mesin cuci, semua kujual murah. Dengan begitu aku bisa memperoleh uang dengan cepat.
Kugunakan uang tersebut untuk mengontrak sebuah rumah kecil yang tak jauh dari kampus dan cafe. Cukup mahal memang, tapi setidaknya aku tak perlu lagi khawatir meninggalkan Ayah seorang diri. Hanya dengan meminjam sepeda motor karyawan yang lain, aku bisa dengan cepat menjenguk Ayah.
"Kalau biaya tinggal di panti jompo mahal tidak?" tanya Ayah saat malam tiba.
"Mahal," ketusku. "Jadi, jangan harap Sarah akan membawa Ayah kesana."
Ayah tertawa kecil. Tawa yang sudah lama tak terlihat dan menampakkan barisan gigi yang masih utuh itu.
"Nanti kau capek bolak-balik. Ayah hanya akan merepotkan saja. Kalau Ayah di panti jompo, kau bisa tinggal di kafe milik temanmu."
"Tinggal di sana tidak enak. Terlalu ramai. Berbagi kamar dengan Dara pun Sarah tidak bisa tidur nyenyak, apalagi harus tidur beramai-ramai dengan karyawan yang lain." Lagi-lagi aku beralasan.
Hana memang memiliki mess di lantai dua dan tiga kafe miliknya. Masing-masing untuk karyawan pria dan wanita. Ayah benar. Kalau dari dulu aku tinggal di sana, aku bisa menghemat pengeluaran, karena jarak dari kafe ke kampus bisa di tempuh dengan berjalan kaki.
Namun aku enggan melakukannya. Aku tetap tak bisa meninggalkan Ayah yang sedang sakit dan selalu dimarahi Ibu. Aku memutuskan untuk tetap pulang ke rumah dan merawat Ayah.
"Bagaimana kuliahnya, lancar?" Aku mengangguk. Ayah mulai banyak bertanya dan perhatian seperti dulu. Aku senang karena akhirnya Ayah dan aku bisa mengobrol dengan banyak hal.
"Lancar, Yah. Sarah senang, walau harus menganggur dulu beberapa tahun, namun impian Ayah untuk melihat Sarah menjadi mahasiswi sudah terkabul. Doakan saja semua cepat selesai dan Sarah akan segera menyandang gelar sarjana."
"Hem... Ayah bangga sama kamu."
"Tentu saja, Sarahkan anak Ayah," ucapku manja. Ayah kembali tertawa.
.Hari ini aku mendapatkan gaji bulanan dari Hana. Tak seperti biasanya, kali ini tak ada rengekan dari Dara yang selalu meminta jatah padaku. Meski hanya untuk membeli kuota dan parfum.
'Mungkin saat ini dia masih punya banyak uang,' batinku dalam hati.
Aku mengutip dan memasukkan apa-apa yang kubutuhkan ke dalam keranjang. Swalayan ini sudah lama menjadi langgananku. Selain murah, barang yang dijual juga sangat lengkap.
Tak terasa keranjang belanjaanku sudah penuh. Aku melangkah untuk mengantri di meja kasir. Sudah ada beberapa orang di sana yang berjejer untuk meminta struk pembayaran.
Pria di depanku tiba-tiba menoleh dan menyapa.
"Kasir?"
Kuangkat wajahku sedikit ke atas untuk melihat wajahnya. Tinggi badannya memang sedikit jauh di atasku, membuatku harus mendongak bila ingin bicara padanya.
"Kau lagi," sahutku malas.
"Sudah kubilang kan, kalau kita pernah bertemu."
"Tentu saja, kita baru bertemu kemarin di kafe."
"Tidak, aku yakin kita pernah bertemu seperti ini sebelumnya. Mungkin secara tidak sengaja seperti ini." Dia menyingkir dan memberikan tempatnya padaku, kemudian berdiri di belakangku.
"Tidak sengaja? Ouh, aku pikir kau mengikutiku," ucapku sambil maju selangkah.
"Hey, apa kau pikir aku ini tidak punya pekerjaan lain?" Aku hanya menoleh kebelakang sebentar, kemudian mengangkat bahu. Tak perduli.
Struk belanjaan sudah kudapatkan. Ku tenteng beberapa kantong belanjaan dan berjalan menuju keluar. Kudengar dia menyebutkan salah satu merek rokok kepada kasir, kemudian setengah berlari menyusulku.
"Butuh bantuan?" tawarnya, sembari melirik kantong plastikku yang kupegang di kedua tangan.
"Ini tidak berat," jawabku setenang mungkin.
"Ah, aku lupa siapa namamu. Aku Andar." Dia berjalan mundur menghadapku. Urakan sekali.
"Bukankah kau baru saja memanggilku kasir?"
"Ah! Itu karena aku ingat kau sebagai seorang kasir. Lagipula, hari ini kau tidak memakai nametage. Jadi aku tidak punya bahan contekan."
"Kau tidak perlu tahu ataupun mengingat namaku. Apalagi sampai meminta nomorku. Aku benar-benar tidak punya waktu untuk dekat dengan seseorang."
"Apa?" Dia bertanya dengan suara tawa seperti mengejek. Tidak, bukan mengejek. Hanya merasa tak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. "Kau benar-benar berpikir kalau aku sedang berusaha mendekatimu?"
"Kalau aku salah, kau boleh pergi." Aku meninggalkan swalayan dan berjalan pulang. Inilah yang membuatku senang tinggal di daerah ini, semua tujuan bisa kutempuh dengan berjalan kaki. Mulai dari kampus, kafe, bahkan swalayan.
Ya, bukankah hanya tempat-tempat seperti itu saja yang wajib kukunjungi?
Terdengar suara klakson sepeda motor dari belakang. Kuyakin itu pemuda tadi. Dia berlari menuju parkiran begitu melihatku sudah mulai meninggalkan halaman ruko lima pintu itu.
"Kau tinggal di sekitar sini? Naiklah, kebetulan kita searah," ucapnya sambil mengendarai pelan motor sportnya.
Aku hanya menoleh sekilas kemudian tersenyum, "Kebetulan lagi?" sindirku.
"Ah, sudahlah kalau tidak mau. Dasar gadis sombong." Motornya kemudian melaju menjauhiku. Aku hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala melihatnya.
Bukan baru sekali ini saja ada pria yang berusaha menarik perhatianku. Namun aku masih enggan membagi waktu untuk hanya sekedar bergaul dan dekat dengan seseorang seperti yang Ibu inginkan. Masih banyak hal yang harus aku kerjakan untuk membuat Ayah bahagia.
********
"Kakekmu meninggal, Sarah. Datanglah dan beri penghormatan terakhir. Bagaimanapun juga, dia orang tua Ayah kandungmu," ucap Ibu via panggilan w******p.
"Mereka sama sekali tak mengenalku. Haruskah aku datang?" sahutku saat sedang bertugas di kafe.
"Mereka mengenalmu. Ibu akan mengirimkan alamatnya."
Haruskah? Kata Ibu, dia pernah membawaku sekali ke sana. Saat mengantarkan jasad ayah untuk dimakamkan di kampung halaman. Saat itu, aku masih berada dalam gendongan. Kira-kira berusia dua tahun. Aku bahkan sama sekali tak mengingatnya. Apakah tidak apa-apa, jika tiba-tiba aku datang?
"Tidak apa-apa. Pergilah sampai malam ketiga usai. Ayah baik-baik saja," bujuk Ayah, setelah kuceritakan usulan Ibu.
"Ayah tidak apa-apa, kalau Sarah bertemu keluarga itu?"
"Meski hati dan kasih sayang Ayah sudah menjadi milikmu, namun darah dan daging mereka tetap mengalir di tubuhmu. Temui dan kenali mereka saat masih ada waktu."
"Baik, Yah. Besok Sarah akan pergi."
.Aku sampai di stasiun kereta api hampir tengah hari. Menaiki kereta yang tiketnya sudah kupesan dari malam tadi di minimarket berwarna merah. Kereta berangkat tepat pukul dua belas siang. Tak lupa aku membawa buku bacaan agar tak bosan menikmati perjalanan yang memakan waktu kurang lebih lima jam.Kereta mulai melaju perlahan sesaat setelah terdengar suara bunyi khas kereta api. Untuk pertama kalinya aku menaiki kendaraan seperti ini. Menuju tempat asing, dimana kedua orang tua kandungku lahir, saling mengenal, kemudian... aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
Aku memandang ke arah jendela, hamparan sawah membentang di sepanjang jalan. Ternyata naik kereta sangat menyenangkan, tak ada kendaraan yang lalu lalang dengan asap knalpot yang membuat nafas sesak. Hanya ada pemandangan indah dan juga tampilan dapur rumah-rumah penduduk.
Kampung halaman, aku datang...
**********Kereta berhenti di stasiun tujuanku. Kulirik benda berbentuk bulat kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Memang tepat lima jam perjalanan yang sudah kutempuh. Bisa kupastikan karena aku juga melakukan hal yang sama pada tangan kiriku sesaat setelah kereta bergerak, tepat jam dua belas teng. Kubaca lagi alamat yang dikirimkan Ibu. Semenjak dia menjual rumah, nomor ponselnya berubah. Biasanya dia menghubungi lewat ponsel Dara. Seperti dugaanku, sebentar lagi uang hasil penjualan rumah akan segera habis sebelum tahun ajaran baru dimulai. Dan angan-angan Dara untuk kuliah hanya akan tinggal cerita saja. Aku memanggil becak yang berderet-deret di di pintu luar stasiun. Kusebutkan alamat tersebut dan dengan cepat dia mengiyakan. Jalan yang kulewati hanyalah jalan lintas yang di sepanjang jalan kiri dan kanan berbaris pohon-pohon sawit. Terdapat juga rumah-rumah berbentuk serupa. Pastilah itu mess bagi karyawan yang telah disediakan o
Ibu terus saja menghubungi sekembalinya aku dari kampung. Dia terus saja mendesak agar aku berkata jujur. Barulah kutahu apa maksud dan tujuannya menyuruhku ke sana. "Percuma saja kau kuliah. Kalau pikiranmu masih blo on juga," ketus Ibu saat ku angkat panggilannya."Sudahlah, Bu. Jangan serakah. Apa Ibu pikir Sarah tidak malu? Mereka menerima Sarah saja itu sudah cukup." Aku membela diri."Memang kau tidak berguna. Seharusnya kau bilang keadaan kau yang sebenarnya. Setidaknya mereka bisa memberikan kehidupan yang layak buat kau. Tak tahu kah bahwa Ibu juga memikirkan keadaan kau di sana?""Kalau Ibu memikirkan Sarah, seharusnya Ibu tidak pergi meninggalkan kami. Ibu sama sekali tidak pantas memperlakukan Ayah seperti itu.""Terserah kau sajalah. Kau sendiri yang merasakan kesusahan itu.".Aku kembali menghela nafas. Bersandar pada kursi kasir agar hilang penat tubuh dan pikiran. Kulihat pemuda tempo hari yang mengaku bernama Andar kembali masuk dan duduk di kursi pojok. Dia sama s
"Lebih tidak masuk akal kalau aku memanggilnya dengan sebutan Om. Dia bahkan lebih cocok jadi adikku.""Ha? Kok bisa?""Dia hanya lebih tua tiga tahun dariku. Tapi wajahnya jelas lebih muda dibandingkan aku. Bisa kau naikkan gajiku bulan ini? Aku butuh biaya untuk perawatan agar terlihat lebih muda.""Dasar tidak waras. Kenapa tidak sekalian kau memintaku untuk membelikanmu sabun mandi dan juga pasta gigi. Berhenti berhemat. Belum cukup juga tabungan untuk hadiah Ayahmu itu?""Kenapa membahasnya sekarang? Cepatlah, aku takut Paman terlalu lama menunggu.""Aku baru tahu kalau kau punya Paman. Apa dia tampan?" godanya. Aku memutar bola mata, malas. Lekas ku rebut kunci mobil yang masih menjuntai di tangannya."Terima kasih, Bos. Nanti aku jelaskan lagi.""Heh, aku potong gajimu kalau sampai malam tidak kembali, ya?" teriaknya saat aku bergegas keluar. Kulirik dari ekor mata, sesosok yang dari tadi duduk di kursi pojok itu, langsung memutar kepala mengikuti arah langkahku yang melewatin
"Dan kembali membuat Ibuku dibenci? Ayolah Han, walaupun begitu dia tetap Ibuku.""Terserah kau saja. Awas lecet mobilku. Seenaknya saja mengaku-ngaku," sinisnya. Begitulah Hana. Sedari dulu selalu bersikap judes dan suka marah-marah. Bukan hanya padaku, tapi juga pada semua orang termasuk para karyawannya. Tapi dibalik semua itu, dialah satu-satunya sahabat yang bisa menerimaku apa adanya. Kujemput Paman Harun di depan hotel. Dia langsung keluar begitu tahu aku datang. "Bagaimana tidurnya, Paman? Nyenyak, kan?" Aku berbasa-basi. "Aku pikir kau benar-benar akan mengantarku ke hotel." Dia terlihat kesal. Aku tertawa kecil. Merasa lucu karena aku membawanya ke hotel kelas melati. Hanya itu kemampuanku saat ini. "Paman kan sudah biasa tidur di kamar kost. Apa bedanya dengan hotel itu?""Kalau tahu begitu, aku cari hotel sendiri saja. Begini rupanya kalau mengharapkan sesuatu yang gratis," keluhnya. Aku kembali tertawa. Kali ini cukup keras begitu melihat wajahnya yang super kecew
"Bagaimana penampilan Sarah hari ini, Yah?" tanyaku yang kini berdiri dan bergaya di depan Ayah. "Memangnya mau kemana? Bukannya kau bilang hari ini tidak kuliah?" tanya Ayah heran."Sarah kerja dari pagi, Yah. Buat mengganti jam kerja yang kemarin Sarah pakai buat mengantar Paman Harun.""Lalu kenapa tiba-tiba mendadak mempermasalahkan soal penampilan? Pasti Hana protes karena cafenya sepi, sampai-sampai kau disuruh berdandan. Iya, kan?" tuding ayah."Bukan Hana, Yah. Tapi orang lain.""Siapa?"Aku menceritakan apa yang terjadi kemarin dengan pria bernama Andar. Namun Ayah malah tertawa mendengar celotehku. "Dia hanya ingin mencari perhatian kau saja. Kelihatannya kau juga menyukai pemuda itu. Siapa namanya?""Andar.""Nah, kau saja mengingat nama itu.""Tapi bukan berarti Sarah menyukainya, Yah.""Iya, kau tidak sedang menyukainya. Hanya berusaha terlihat cantik di depannya. Begitu kan?" ledek Ayah. "Terserah Ayah sajalah." Ayah tertawa keras melihatku yang sedang merajuk. "Baikl
Tapi nyatanya apa? Mengabdi? Dia bahkan bukan Paman kandungku. Apa sebelumnya dia itu selalu dimanja oleh keluargaku? Apa karena posisinya sebagai anak bungsu? Ah terserahlah."Setelah tukang ledeng pergi, Paman cari makan di luar saja. Aku masih ada urusan," bantahku.Dia diam saja. Sama sekali tak menjawab. Dia berlalu santai menuju kamar mandi begitu membayar malaikat yang menyelamatkan air di rumahnya. Kesempatan itu tentu saja kugunakan untuk kabur dan segera pergi meninggalkannya. Aku kembali ke halaman depan dan mendapatkan mobil Hana. Kurogoh saku celana guna mengambil kunci. Tak ada. Kuperiksa kembali tas mungilku yang hanya berisi sebuah dompet dengan hanya beberapa lembar uang di dalamnya. Hasilnya juga sama. Aku kembali ke dalam, mungkin tanpa sadar aku meletakkan asal di atas meja. Juga tak ada. Ada apa ini? Dimana kuletakkan kunci itu? Kalau begini, Paman bisa saja sudah selesai mandi dan kembali menerorku. Aku kembali ke mobil, siapa tahu kuncinya tertinggal di dala
Kupandangi wajah Ayah yang sedang berdiri membuka tutup ricecoocer. Mengambil piring yang tadi dia masukkan. Kubiarkan saja dia bersusah payah. Kalau kularang, dia pasti akan merasa membebani dan mengancam minta dimasukkan ke panti jompo. "Paman kau pasti kapok mengajak pergi-pergi lagi. Banyak sekali yang kau minta.""Sudah Sarah bilang, Sarah tidak pernah minta. Itu hanya upah karena Sarah sudah menemaninya.""Apa dia betah tinggal di sana?""Hem. Kelihatannya begitu. Dia rajin memposting ruangan demi ruangan di grup keluarga. Ayah mau melihatnya?"Ayah menggeleng. "Lebih baik Ayah bertemu dengannya secara langsung.".Aku berjalan kaki keluar rumah menuju cafe. Memikirkan apa yang tadi dikatakan Ayah. Bukannya aku malu atau tak ingin mengenalkan Paman Harun kepadanya. Aku hanya tak ingin keluarga Siagian tahu kalau keluargaku sekarang tak sesempurna itu. "Butuh tumpangan?" motor sport berwarna merah itu kembali memotong langkahku. "Menjauhlah. Aku tak ingin lagi bicara padamu."
Aku diam terpaku. Tak lagi bisa mengatakan sesuatu. Kenapa bisa orang ini ada di sini? Seseorang yang paling aku hindari, pada akhirnya akan bertemu denganku setiap hari. Kebetulan, ataukah takdir? "Kau tidak dengar?" Paman Harun menatapku curiga. Dia bukan lagi anak kecil yang bisa seenaknya aku permainkan. Tak mungkin lagi bagiku untuk mengelak."Maaf, Paman. Memang beginilah keadaanku." Aku menunduk malu. ."Kenapa kau harus berbohong seperti ini?" Dia bertanya setelah kuceritakan semua yang terjadi. "Aku terpaksa, Paman," jawabku lemah. "Siapa yang memaksamu?""Tidak ada.""Aku akan memberi tahu Nenek," ujarnya, sambil meraih ponsel dari atas meja kafe, tempat kami duduk saat ini. Namun dengan cepat aku mencegahnya. "Jangan, Paman. Jangan libatkan mereka. Mereka tidak harus tahu.""Mereka keluargamu. Mereka juga bertanggung jawab untuk hidupmu, termasuk aku." Dia sama sekali tak perduli dengan permintaanku. Dia bangkit dan berdiri. Menggeser layar ponsel seperti mencari seb