Ibu terus saja menghubungi sekembalinya aku dari kampung. Dia terus saja mendesak agar aku berkata jujur. Barulah kutahu apa maksud dan tujuannya menyuruhku ke sana.
"Percuma saja kau kuliah. Kalau pikiranmu masih blo on juga," ketus Ibu saat ku angkat panggilannya.
"Sudahlah, Bu. Jangan serakah. Apa Ibu pikir Sarah tidak malu? Mereka menerima Sarah saja itu sudah cukup." Aku membela diri.
"Memang kau tidak berguna. Seharusnya kau bilang keadaan kau yang sebenarnya. Setidaknya mereka bisa memberikan kehidupan yang layak buat kau. Tak tahu kah bahwa Ibu juga memikirkan keadaan kau di sana?"
"Kalau Ibu memikirkan Sarah, seharusnya Ibu tidak pergi meninggalkan kami. Ibu sama sekali tidak pantas memperlakukan Ayah seperti itu."
"Terserah kau sajalah. Kau sendiri yang merasakan kesusahan itu."
.
Aku kembali menghela nafas. Bersandar pada kursi kasir agar hilang penat tubuh dan pikiran. Kulihat pemuda tempo hari yang mengaku bernama Andar kembali masuk dan duduk di kursi pojok.
Dia sama sekali tak melihat ke arahku. Jual mahal? Ataukah marah? Padahal dia bisa masuk ke kafe lain jika tak ingin melihatku.
Perlahan dia mulai menyulut sebatang rokok. Sehisap, dua hisap, hingga habis. Sesaat kemudian mulai melirikku. Seketika pandangan kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandangan. Aku merasa kalah karena dia terus menantang.
Kubuka kembali buku yang baru setengahnya kubaca. Mencoba menyamarkan rasa yang tiba-tiba muncul di dada. Apa ini? Kenapa aku jadi malu dan merasa kalah dengan tatapan matanya? Tidakkah seharusnya aku percaya diri dan kembali menantang tatapan itu?
"Kemarin kemana?" Pria jangkung dengan kaos lengan panjang itu sudah berdiri di depanku. Dia masih mau menyapaku?
"Penting?" jawabku masih dengan mode angkuh.
"Jangan sok cuek. Kau dari tadi memperhatikan aku," lanjutnya lagi penuh percaya diri.
"Memangnya kau punya mata, di samping kepalamu itu? Kau menghadap ke tembok dan sibuk memainkan laptopmu. Bagaimana mungkin kau berpikir kalau aku memperhatikanmu!" Aku berusaha mengelak.
Kulihat senyum seringai di wajah itu. Tersenyum? Dia senang dengan perkataanku? Oh, tidak. Kata-kataku tadi, malah semakin menguatkan kalau aku memperhatikan dan tahu gerak-geriknya. Tidak, bukan memperhatikan. Hanya kebetulan melihat saja, tapi mungkin berulang-ulang.
"Kau mau apa? Sudah kubilang aku tidak punya waktu untukmu." Aku menyerah.
"Apa semua pria yang kau temui selalu menunjukkan sikap sepertiku? Maksudnya menggoda untuk bisa dekat denganmu? Tapi maaf, bagiku kau tidak begitu cantik."
Mataku membulat dan mulai mendesis. Debar yang tadi kurasakan di dada mulai berubah menjadi rasa marah. Mungkin lebih tepatnya kecewa. Apa dia buta? Atau tidak normal?
"Kembali saja ke meja. Jangan lagi berbicara kepadaku." Aku bangkit dari kursi, kemudian menuju bar untuk meracik minumanku sendiri.
"Waw, lumayan. Terlihat menggiurkan," ucapnya setelah aku berjalan angkuh membawa segelas jus.
Cepat sekali dia berubah pikiran. Baru saja dia mengatakan kalau aku ini tidak cantik, tapi tak berselang lama dia kembali menggodaku.
"Sopanlah kalau berbicara. Bagaimana jika Ibu atau saudara perempuanmu diperlakukan seperti itu?"
"Tidak masalah!" ketusnya. "Memang kenapa?"
"Dasar kau pria mesum. Pikiranmu memang tidak waras."
"Kau ini bicara apa?"
"Apa maksudmu dengan kata "menggiurkan"? Apa menurutmu itu sopan?"
"Ya ampun. Apa hanya karena itu kau marah-marah? Kau benar. Kata itu memang salah. Seharusnya aku bisa mengatakan dengan kata "menyegarkan," bukan? Maaf, nilai bahasaku kurang saat di sekolah. Kau puas sekarang?"
"Menyegarkan? Bisakah kau tidak memberikan penilaian pada tubuhku?"
"Tubuhmu? Hish... " Dia kemudian tertawa. "Apa kau pikir aku sedang membicarakan tubuhmu?" Dia melirik gelas panjang berisi jus semangka yang berada di tanganku.
"Haish...." Kuhentakkan kaki dan langsung meninggalkannya. "Berhenti mengikutiku!" ketusku saat melihatnya ikut melangkahkan kaki.
Lagi-lagi dia tertawa. Mungkin merasa puas karena sudah berhasil membuatku marah. Inikah caranya membalas keangkuhanku? Baguslah, setidaknya dia menambah satu lagi daftar orang yang harus kuhindari.
.
'Aku sudah sampai, kapan kau bisa mengantarku mencari tempat tinggal?' Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Namun aku tahu kalau itu dari Paman Harun, setelah melihat foto profil dan isi pesannya.
'Kapan Paman sampai? Sekarang dimana?' balasku.
'Di stasiun kereta. Bisa jemput aku sekarang?'
'Aku sedang bekerja. Kenapa tidak bilang sebelumnya?'
'Aku sudah bilang seminggu yang lalu.'
Haish...
"Pesan taxi online saja. Cari hotel dan menginap di sana.'
'Tega sekali. Kau itu benar keponakanku atau bukan?
Eh? Kenapa dia harus mengungkit-ungkit hal itu? Baru satu minggu aku menjadi keponakannya. Dan kini aku harus menuruti apapun keinginannya?
Kulihat Hana baru saja kembali dan masuk ke kafe. Dengan cepat aku menghampiri.
"Pinjam mobil, Bos," rayuku.
"Jalan kaki saja, rumahmu sekarang sudah dekat," ketusnya seperti biasa saat aku mulai meminta sesuatu.
"Bukan melihat Ayah, tapi Pamanku."
"Paman? Bahasa apa itu? Kuno sekali," ledeknya.
"Lebih tidak masuk akal kalau aku memanggilnya dengan sebutan Om. Dia bahkan lebih cocok jadi adikku.""Ha? Kok bisa?""Dia hanya lebih tua tiga tahun dariku. Tapi wajahnya jelas lebih muda dibandingkan aku. Bisa kau naikkan gajiku bulan ini? Aku butuh biaya untuk perawatan agar terlihat lebih muda.""Dasar tidak waras. Kenapa tidak sekalian kau memintaku untuk membelikanmu sabun mandi dan juga pasta gigi. Berhenti berhemat. Belum cukup juga tabungan untuk hadiah Ayahmu itu?""Kenapa membahasnya sekarang? Cepatlah, aku takut Paman terlalu lama menunggu.""Aku baru tahu kalau kau punya Paman. Apa dia tampan?" godanya. Aku memutar bola mata, malas. Lekas ku rebut kunci mobil yang masih menjuntai di tangannya."Terima kasih, Bos. Nanti aku jelaskan lagi.""Heh, aku potong gajimu kalau sampai malam tidak kembali, ya?" teriaknya saat aku bergegas keluar. Kulirik dari ekor mata, sesosok yang dari tadi duduk di kursi pojok itu, langsung memutar kepala mengikuti arah langkahku yang melewatin
"Dan kembali membuat Ibuku dibenci? Ayolah Han, walaupun begitu dia tetap Ibuku.""Terserah kau saja. Awas lecet mobilku. Seenaknya saja mengaku-ngaku," sinisnya. Begitulah Hana. Sedari dulu selalu bersikap judes dan suka marah-marah. Bukan hanya padaku, tapi juga pada semua orang termasuk para karyawannya. Tapi dibalik semua itu, dialah satu-satunya sahabat yang bisa menerimaku apa adanya. Kujemput Paman Harun di depan hotel. Dia langsung keluar begitu tahu aku datang. "Bagaimana tidurnya, Paman? Nyenyak, kan?" Aku berbasa-basi. "Aku pikir kau benar-benar akan mengantarku ke hotel." Dia terlihat kesal. Aku tertawa kecil. Merasa lucu karena aku membawanya ke hotel kelas melati. Hanya itu kemampuanku saat ini. "Paman kan sudah biasa tidur di kamar kost. Apa bedanya dengan hotel itu?""Kalau tahu begitu, aku cari hotel sendiri saja. Begini rupanya kalau mengharapkan sesuatu yang gratis," keluhnya. Aku kembali tertawa. Kali ini cukup keras begitu melihat wajahnya yang super kecew
"Bagaimana penampilan Sarah hari ini, Yah?" tanyaku yang kini berdiri dan bergaya di depan Ayah. "Memangnya mau kemana? Bukannya kau bilang hari ini tidak kuliah?" tanya Ayah heran."Sarah kerja dari pagi, Yah. Buat mengganti jam kerja yang kemarin Sarah pakai buat mengantar Paman Harun.""Lalu kenapa tiba-tiba mendadak mempermasalahkan soal penampilan? Pasti Hana protes karena cafenya sepi, sampai-sampai kau disuruh berdandan. Iya, kan?" tuding ayah."Bukan Hana, Yah. Tapi orang lain.""Siapa?"Aku menceritakan apa yang terjadi kemarin dengan pria bernama Andar. Namun Ayah malah tertawa mendengar celotehku. "Dia hanya ingin mencari perhatian kau saja. Kelihatannya kau juga menyukai pemuda itu. Siapa namanya?""Andar.""Nah, kau saja mengingat nama itu.""Tapi bukan berarti Sarah menyukainya, Yah.""Iya, kau tidak sedang menyukainya. Hanya berusaha terlihat cantik di depannya. Begitu kan?" ledek Ayah. "Terserah Ayah sajalah." Ayah tertawa keras melihatku yang sedang merajuk. "Baikl
Tapi nyatanya apa? Mengabdi? Dia bahkan bukan Paman kandungku. Apa sebelumnya dia itu selalu dimanja oleh keluargaku? Apa karena posisinya sebagai anak bungsu? Ah terserahlah."Setelah tukang ledeng pergi, Paman cari makan di luar saja. Aku masih ada urusan," bantahku.Dia diam saja. Sama sekali tak menjawab. Dia berlalu santai menuju kamar mandi begitu membayar malaikat yang menyelamatkan air di rumahnya. Kesempatan itu tentu saja kugunakan untuk kabur dan segera pergi meninggalkannya. Aku kembali ke halaman depan dan mendapatkan mobil Hana. Kurogoh saku celana guna mengambil kunci. Tak ada. Kuperiksa kembali tas mungilku yang hanya berisi sebuah dompet dengan hanya beberapa lembar uang di dalamnya. Hasilnya juga sama. Aku kembali ke dalam, mungkin tanpa sadar aku meletakkan asal di atas meja. Juga tak ada. Ada apa ini? Dimana kuletakkan kunci itu? Kalau begini, Paman bisa saja sudah selesai mandi dan kembali menerorku. Aku kembali ke mobil, siapa tahu kuncinya tertinggal di dala
Kupandangi wajah Ayah yang sedang berdiri membuka tutup ricecoocer. Mengambil piring yang tadi dia masukkan. Kubiarkan saja dia bersusah payah. Kalau kularang, dia pasti akan merasa membebani dan mengancam minta dimasukkan ke panti jompo. "Paman kau pasti kapok mengajak pergi-pergi lagi. Banyak sekali yang kau minta.""Sudah Sarah bilang, Sarah tidak pernah minta. Itu hanya upah karena Sarah sudah menemaninya.""Apa dia betah tinggal di sana?""Hem. Kelihatannya begitu. Dia rajin memposting ruangan demi ruangan di grup keluarga. Ayah mau melihatnya?"Ayah menggeleng. "Lebih baik Ayah bertemu dengannya secara langsung.".Aku berjalan kaki keluar rumah menuju cafe. Memikirkan apa yang tadi dikatakan Ayah. Bukannya aku malu atau tak ingin mengenalkan Paman Harun kepadanya. Aku hanya tak ingin keluarga Siagian tahu kalau keluargaku sekarang tak sesempurna itu. "Butuh tumpangan?" motor sport berwarna merah itu kembali memotong langkahku. "Menjauhlah. Aku tak ingin lagi bicara padamu."
Aku diam terpaku. Tak lagi bisa mengatakan sesuatu. Kenapa bisa orang ini ada di sini? Seseorang yang paling aku hindari, pada akhirnya akan bertemu denganku setiap hari. Kebetulan, ataukah takdir? "Kau tidak dengar?" Paman Harun menatapku curiga. Dia bukan lagi anak kecil yang bisa seenaknya aku permainkan. Tak mungkin lagi bagiku untuk mengelak."Maaf, Paman. Memang beginilah keadaanku." Aku menunduk malu. ."Kenapa kau harus berbohong seperti ini?" Dia bertanya setelah kuceritakan semua yang terjadi. "Aku terpaksa, Paman," jawabku lemah. "Siapa yang memaksamu?""Tidak ada.""Aku akan memberi tahu Nenek," ujarnya, sambil meraih ponsel dari atas meja kafe, tempat kami duduk saat ini. Namun dengan cepat aku mencegahnya. "Jangan, Paman. Jangan libatkan mereka. Mereka tidak harus tahu.""Mereka keluargamu. Mereka juga bertanggung jawab untuk hidupmu, termasuk aku." Dia sama sekali tak perduli dengan permintaanku. Dia bangkit dan berdiri. Menggeser layar ponsel seperti mencari seb
Aku berpisah dari Paman di ujung jalan. Dia berangkat ke kantor dengan kemeja lama Ayah. Sungguh pakaian itu pas sekali untuk dia pakai. Teringat kembali saat dulu Ayah mengenakan baju itu. Begitu gagah dan sangat berwibawa. Jabatan yang nyaris sempurna di perusahaan asing tempatnya bekerja, membuat Ibuku tak pernah melepaskan pandangan darinya. Selalu minta ikut jika ada hajatan atau acara dari kantor. "Risma tak mau kalau Abang digoda sama wanita lain. Bahkan anak sekolahanpun bisa naksir, kalau Abang segagah ini," rajuk Ibu. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Kini Ibu bahkan tak ingin melihat tubuh kurus Ayah lagi. .Sepulang kuliah aku pergi menuju konter di ujung jalan. Lagi-lagi aku harus kecewa karena ponsel ini mati total. Kecil kemungkinan akan bisa normal kembali seperti semula. Kalaupun hidup, ada beberapa hal yang tidak bisa berfungsi lagi. Dan itu artinya aku harus mengganti ponsel ini dengan yang baru. Mereknya bukan main-main. Harganya berkisar hingga lima sampai enam ju
Aku membuang muka, tak menjawab. Apakah menggoda itu sama dengan bentuk merendahkan? Atau hanya aku saja yang terdengar sensitif? "Apa sekarang kita berteman?" Aku berharap. Dia mengernyitkan dahi. "Kau benar-benar sedang merayuku, agar aku meringankan tuntutan atas hapeku itu?""Apakah boleh? Bisakah aku seperti itu?""Kau ini wanita seperti apa?""Seperti apa maksudmu?""Kau sama sekali tak pandai dalam merayu. Kalau bukan aku, lelaki lain pasti tidak akan memperdulikanmu. Mereka bahkan tidak akan tertarik."Eh? Apa itu artinya dia tertarik? Aku berhasil? **********Minggu pagi. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Aku baru saja bangkit saat terdengar suara orang mengobrol. Ayah sedang sarapan bersama Paman Harun. Kapan dia datang? Ini bahkan masih terlalu pagi untuk ukuran hari libur. Dia kembali membawa banyak makanan untuk aku dan Ayah. Jumlahnya sama persis saat kubilang masih ada Ibu dan Dara di rumah."Sarapan, Sarah. Harun bawa banyak makanan."