แชร์

Part 4

ผู้เขียน: Manda Azzahra
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-10-05 17:26:41

Ibu terus saja menghubungi sekembalinya aku dari kampung. Dia terus saja mendesak agar aku berkata jujur. Barulah kutahu apa maksud dan tujuannya menyuruhku ke sana. 

"Percuma saja kau kuliah. Kalau pikiranmu masih blo on juga," ketus Ibu saat ku angkat panggilannya.

"Sudahlah, Bu. Jangan serakah. Apa Ibu pikir Sarah tidak malu? Mereka menerima Sarah saja itu sudah cukup." Aku membela diri.

"Memang kau tidak berguna. Seharusnya kau bilang keadaan kau yang sebenarnya. Setidaknya mereka bisa memberikan kehidupan yang layak buat kau. Tak tahu kah bahwa Ibu juga memikirkan keadaan kau di sana?"

"Kalau Ibu memikirkan Sarah, seharusnya Ibu tidak pergi meninggalkan kami. Ibu sama sekali tidak pantas memperlakukan Ayah seperti itu."

"Terserah kau sajalah. Kau sendiri yang merasakan kesusahan itu."

.

Aku kembali menghela nafas. Bersandar pada kursi kasir agar hilang penat tubuh dan pikiran. Kulihat pemuda tempo hari yang mengaku bernama Andar kembali masuk dan duduk di kursi pojok. 

Dia sama sekali tak melihat ke arahku. Jual mahal? Ataukah marah? Padahal dia bisa masuk ke kafe lain jika tak ingin melihatku. 

Perlahan dia mulai menyulut sebatang rokok. Sehisap, dua hisap, hingga habis. Sesaat kemudian mulai melirikku. Seketika pandangan kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandangan. Aku merasa kalah karena dia terus menantang. 

Kubuka kembali buku yang baru setengahnya kubaca. Mencoba menyamarkan rasa yang tiba-tiba muncul di dada. Apa ini? Kenapa aku jadi malu dan merasa kalah dengan tatapan matanya? Tidakkah seharusnya aku percaya diri dan kembali menantang tatapan itu? 

"Kemarin kemana?" Pria jangkung dengan kaos lengan panjang itu sudah berdiri di depanku. Dia masih mau menyapaku? 

"Penting?" jawabku masih dengan mode angkuh. 

"Jangan sok cuek. Kau dari tadi memperhatikan aku," lanjutnya lagi penuh percaya diri. 

"Memangnya kau punya mata, di samping kepalamu itu? Kau menghadap ke tembok dan sibuk memainkan laptopmu. Bagaimana mungkin kau berpikir kalau aku memperhatikanmu!" Aku berusaha mengelak. 

Kulihat senyum seringai di wajah itu. Tersenyum? Dia senang dengan perkataanku? Oh, tidak. Kata-kataku tadi, malah semakin menguatkan kalau aku memperhatikan dan tahu gerak-geriknya. Tidak, bukan memperhatikan. Hanya kebetulan melihat saja, tapi mungkin berulang-ulang. 

"Kau mau apa? Sudah kubilang aku tidak punya waktu untukmu." Aku menyerah.

"Apa semua pria yang kau temui selalu menunjukkan sikap sepertiku? Maksudnya menggoda untuk bisa dekat denganmu? Tapi maaf, bagiku kau tidak begitu cantik."

Mataku membulat dan mulai mendesis. Debar yang tadi kurasakan di dada mulai berubah menjadi rasa marah. Mungkin lebih tepatnya kecewa. Apa dia buta? Atau tidak normal? 

"Kembali saja ke meja. Jangan lagi berbicara kepadaku." Aku bangkit dari kursi, kemudian menuju bar untuk meracik minumanku sendiri.

"Waw, lumayan. Terlihat menggiurkan," ucapnya setelah aku berjalan angkuh membawa segelas jus. 

Cepat sekali dia berubah pikiran. Baru saja dia mengatakan kalau aku ini tidak cantik, tapi tak berselang lama dia kembali menggodaku. 

"Sopanlah kalau berbicara. Bagaimana jika Ibu atau saudara perempuanmu diperlakukan seperti itu?"

"Tidak masalah!" ketusnya. "Memang kenapa?"

"Dasar kau pria mesum. Pikiranmu memang tidak waras."

"Kau ini bicara apa?"

"Apa maksudmu dengan kata "menggiurkan"? Apa menurutmu itu sopan?"

"Ya ampun. Apa hanya karena itu kau marah-marah? Kau benar. Kata itu memang salah. Seharusnya aku bisa mengatakan dengan kata "menyegarkan," bukan? Maaf, nilai bahasaku kurang saat di sekolah. Kau puas sekarang?"

"Menyegarkan? Bisakah kau tidak memberikan penilaian pada tubuhku?"

"Tubuhmu? Hish... " Dia kemudian tertawa. "Apa kau pikir aku sedang membicarakan tubuhmu?" Dia melirik gelas panjang berisi jus semangka yang berada di tanganku. 

"Haish...." Kuhentakkan kaki dan langsung meninggalkannya. "Berhenti mengikutiku!" ketusku saat melihatnya ikut melangkahkan kaki. 

Lagi-lagi dia tertawa. Mungkin merasa puas karena sudah berhasil membuatku marah. Inikah caranya membalas keangkuhanku? Baguslah, setidaknya dia menambah satu lagi daftar orang yang harus kuhindari. 

.

'Aku sudah sampai, kapan kau bisa mengantarku mencari tempat tinggal?' Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. 

Namun aku tahu kalau itu dari Paman Harun, setelah melihat foto profil dan isi pesannya.

'Kapan Paman sampai? Sekarang dimana?' balasku. 

'Di stasiun kereta. Bisa jemput aku sekarang?'

'Aku sedang bekerja. Kenapa tidak bilang sebelumnya?'

'Aku sudah bilang seminggu yang lalu.'

Haish... 

"Pesan taxi online saja. Cari hotel dan menginap di sana.'

'Tega sekali. Kau itu benar keponakanku atau bukan? 

Eh? Kenapa dia harus mengungkit-ungkit hal itu? Baru satu minggu aku menjadi keponakannya. Dan kini aku harus menuruti apapun keinginannya? 

Kulihat Hana baru saja kembali dan masuk ke kafe. Dengan cepat aku menghampiri.

"Pinjam mobil, Bos," rayuku. 

"Jalan kaki saja, rumahmu sekarang sudah dekat," ketusnya seperti biasa saat aku mulai meminta sesuatu. 

"Bukan melihat Ayah, tapi Pamanku."

"Paman? Bahasa apa itu? Kuno sekali," ledeknya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
Sumpah seneng aku ceritanya dan kata" nya
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • DIA AYAHKU   Part 111 ( Ending )

    Kami kembali ke rumah Paman setelah acara akad selesai. Meninggalkan Ayah untuk menjalani prosesi kekeluargaan yang sangat sederhana. Entah bagaimana cara Tante Retno meyakinkan orang tuanya, bahwa pilihannya secara logika yang tak masuk di akal. Benarkah ada cinta yang serupa itu? Ah, beruntungnya Ayahku. Buah dari kesabaran dan juga ketulusan hatinya selama ini. Hingga bertemu pula lah dia dengan wanita yang punya hati sehebat itu. .Aku merebahkan diri di atas ranjang, menumpahkan segala rasa yang sulit aku ungkapkan. Bahagia, sedih, kecewa, aku bahkan tak tahu harus menangisi perihal yang mana. Untuk kali kedua, Ibu dan Dara meninggalkan kami. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk mencari-cari, karena itu adalah keinginan mereka sendiri. Kelak, Dara sendirilah yang akan mengemis dan mencari-cari Ayah sebagai satu-satunya wali untuk menikahkannya. Menemukan kami, bukanlah hal yang sulit. Teringat saat kami masih di kampung, setelah Nenek memberikan restu untukku dan juga Paman, A

  • DIA AYAHKU   Part 110

    Di kamar ini, aku menatap cermin untuk berhias diri. Ditemani Hana yang juga tampil menawan tanpa kacamata. Sebuah gaun brokat berwarna coklat muda menempel sempurna di tubuhku, dengan bawahan rok span batik berwarna senada. Hari ini, hari yang membuatku begitu gugup. Dimana kami akan menapaki kehidupan yang berbeda dari sebelumnya. Semua orang sudah bersiap-siap menunggu di luar. Menyambut hari bahagia di tempat yang sudah ditentukan. Aku melirik wajah Hana, rona bahagia juga terpancar di wajahnya. Hana menyentuh bahuku dengan perasaan yang entah bagaimana. Yang jelas, untuk saat ini aku tak mau mendengar kata-kata mutiara dari mulutnya, yang akan membuat maskaraku luntur karena air mata.Kami melangkah keluar dari kamar. Menuju para sanak saudara yang sudah berbaris rapi dengan corak baju yang serupa. Kupandangi sosok Ayah dengan kemeja putih lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana bahan, serta ikat pinggang. Dipakaikan juga oleh Nenek sebuah jas berwarna hitam, tentu saja

  • DIA AYAHKU   Part 109

    "Nenek bilang apa, Paman?" aku menemani Paman memancing di sungai yang agak jauh dari rumah. Bukan perkara tidak ada lauk, tapi ini kebiasaannya saat pulang kampung yang sulit untuk dihilangkan. Mungkin juga untuk menghindari pertemuan dengan Nenek seperti yang Unde katakan tadi. "Tidak tahu. Biarkan saja. Tidak usah dipikirkan," gerutunya. Wajahnya terlihat tidak sedang baik-baik saja. "Paman bertengkar?""Tidak.""Jangan bohong, aku melihat Paman menghindar saat Nenek lewat tadi.""Kau bicara apa?" dia menggoyang-goyangkan pancingannya. "Jangan lagi seperti itu. Paman bilang, sudah dewasa. Tidak baik mendiamkan Nenek terus-terusan. Kalau tahu begini, aku tidak akan bilang pada Paman yang sebenarnya," aku mengancam. "Kau marah?""Iya. Katanya mau bicara. Kalau hanya diam-diam begini, kapan selesainya?" "Wah, kau ini agresif sekali. Sudah tidak sabar, ya?" dia tersenyum nakal."Benar, aku ingin bebas melakukan apapun terhadap Paman. Kenapa? Apa aku terlihat seperti wanita nakal?

  • DIA AYAHKU   Part 108

    Selesai mandi dan makan malam, kami semua berkumpul di ruang tengah yang sangat luas. Sengaja di buat seperti itu karena kebanyakan sanak famili yang datang lebih suka duduk bersila, ketimbang di kursi. Suasana kekeluargaan akan lebih terjalin dengan akrab. Alena dan Raya duduk di sebelahku, merasa senang karena membawakan mereka oleh-oleh berupa tas slingbag dan masing-masing sepatu sneakers yang kami beli bersama Tante Retno. Kedua remaja yang kini duduk di bangku kelas dua SMP itu begitu sumringah, terlebih lagi Raya. Helm kuda poni yang kemarin sempat ku ambil kembali, kini khusus kubawakan untuknya. Tak ada lagi gunanya bagiku untuk menyimpan masa lalu. Kedua Undeku datang bersama keluarga dengan membawa makanan yang sangat banyak. Dibawakan juga buah manggis dari ladang. Sungguh kami benar-benar merasa disambut oleh keluarga ini. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kaki Ayah, pekerjaan Ayah, dan juga menyangkut pautkan wanita yang kini duduk di seberang Ayah. Aku juga b

  • DIA AYAHKU   Part 107

    Paman melajukan mobil dengan sangat handal. Sesekali melirikku dari balik kaca spion sambil tersenyum. Aku membalas senyum manis itu, seolah-olah kami saling berbicara tanpa suara. Entah bagaimana dengan Tante Retno dan juga Ayah, apakah mereka juga melakukan hal yang sama atau tidak. Bukankah yang namanya jatuh cinta itu tidak pernah memandang dari segi usia? Semua orang bisa saja berbuat konyol dan hal-hal tidak masuk akal lainnya. Seperti kami ini misalnya. Nekat pulang kampung layaknya satu keluarga, padahal belum ada ikatan apa-apa. Perjalanan yang melelahkan membuat kami sesekali berhenti. Banyak tempat pemberhentian di tepi-tepi jalan, dengan pondok es kelapa muda sebagai pemikatnya. Kami lebih memilih makan siang di tempat seperti itu, ketimbang berhenti di rumah makan atau restoran. Hal ini juga demi menghormati pengorbanan Tante Retno yang sudah memasak dari jam empat subuh tadi. Demi apa akupun tak tahu, sampai melakukan hal semacam ini. "Demi rasa kekeluargaan, kita h

  • DIA AYAHKU   Part 106

    Aku tak tahu kisah apa yang kini telah kujalani. Bisa-bisanya aku menjalin hubungan akrab dengan Tante Retno, begitu aku berhasil membujuk Ayah untuk pergi ke acara reuni bersamanya. Tak jarang Tante Retno mengajakku untuk menemaninya menemui klien. Bertukar pikiran dengan gambar fashion yang kini sedang di kelolanya. Dia terlihat sangat baik dan ramah, juga tulus. Selalu mengunjungi Ayah dan membantuku memasak layaknya seorang Ibu. Pernah Paman menyinggung soal pernikahan di depan keduanya, Tante Retno terlihat malu-malu, sementara Ayah, seperti biasa terlihat datar dan tanpa ekspresi."Ada-ada saja kau, Harun. Menikah denganku sama saja mendaftarkan diri menjadi pembantu," tegas Ayah. "Apa yang bisa diharapkan lagi dariku ini.""Tapi, Bang. Itu... " Paman sedikit menggaruk rambutnya. "Ada apa?""Itu... ""Itu apa?""Maksudku..., masih bisa kan, membuat adik buat Sarah?" wajah polosnya begitu serius seperti tanpa dosa. Sementara wajah Tante Retno dan Ayah tampak tegang dan juga me

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status