Share

Part 4

Ibu terus saja menghubungi sekembalinya aku dari kampung. Dia terus saja mendesak agar aku berkata jujur. Barulah kutahu apa maksud dan tujuannya menyuruhku ke sana. 

"Percuma saja kau kuliah. Kalau pikiranmu masih blo on juga," ketus Ibu saat ku angkat panggilannya.

"Sudahlah, Bu. Jangan serakah. Apa Ibu pikir Sarah tidak malu? Mereka menerima Sarah saja itu sudah cukup." Aku membela diri.

"Memang kau tidak berguna. Seharusnya kau bilang keadaan kau yang sebenarnya. Setidaknya mereka bisa memberikan kehidupan yang layak buat kau. Tak tahu kah bahwa Ibu juga memikirkan keadaan kau di sana?"

"Kalau Ibu memikirkan Sarah, seharusnya Ibu tidak pergi meninggalkan kami. Ibu sama sekali tidak pantas memperlakukan Ayah seperti itu."

"Terserah kau sajalah. Kau sendiri yang merasakan kesusahan itu."

.

Aku kembali menghela nafas. Bersandar pada kursi kasir agar hilang penat tubuh dan pikiran. Kulihat pemuda tempo hari yang mengaku bernama Andar kembali masuk dan duduk di kursi pojok. 

Dia sama sekali tak melihat ke arahku. Jual mahal? Ataukah marah? Padahal dia bisa masuk ke kafe lain jika tak ingin melihatku. 

Perlahan dia mulai menyulut sebatang rokok. Sehisap, dua hisap, hingga habis. Sesaat kemudian mulai melirikku. Seketika pandangan kami bertemu, aku langsung mengalihkan pandangan. Aku merasa kalah karena dia terus menantang. 

Kubuka kembali buku yang baru setengahnya kubaca. Mencoba menyamarkan rasa yang tiba-tiba muncul di dada. Apa ini? Kenapa aku jadi malu dan merasa kalah dengan tatapan matanya? Tidakkah seharusnya aku percaya diri dan kembali menantang tatapan itu? 

"Kemarin kemana?" Pria jangkung dengan kaos lengan panjang itu sudah berdiri di depanku. Dia masih mau menyapaku? 

"Penting?" jawabku masih dengan mode angkuh. 

"Jangan sok cuek. Kau dari tadi memperhatikan aku," lanjutnya lagi penuh percaya diri. 

"Memangnya kau punya mata, di samping kepalamu itu? Kau menghadap ke tembok dan sibuk memainkan laptopmu. Bagaimana mungkin kau berpikir kalau aku memperhatikanmu!" Aku berusaha mengelak. 

Kulihat senyum seringai di wajah itu. Tersenyum? Dia senang dengan perkataanku? Oh, tidak. Kata-kataku tadi, malah semakin menguatkan kalau aku memperhatikan dan tahu gerak-geriknya. Tidak, bukan memperhatikan. Hanya kebetulan melihat saja, tapi mungkin berulang-ulang. 

"Kau mau apa? Sudah kubilang aku tidak punya waktu untukmu." Aku menyerah.

"Apa semua pria yang kau temui selalu menunjukkan sikap sepertiku? Maksudnya menggoda untuk bisa dekat denganmu? Tapi maaf, bagiku kau tidak begitu cantik."

Mataku membulat dan mulai mendesis. Debar yang tadi kurasakan di dada mulai berubah menjadi rasa marah. Mungkin lebih tepatnya kecewa. Apa dia buta? Atau tidak normal? 

"Kembali saja ke meja. Jangan lagi berbicara kepadaku." Aku bangkit dari kursi, kemudian menuju bar untuk meracik minumanku sendiri.

"Waw, lumayan. Terlihat menggiurkan," ucapnya setelah aku berjalan angkuh membawa segelas jus. 

Cepat sekali dia berubah pikiran. Baru saja dia mengatakan kalau aku ini tidak cantik, tapi tak berselang lama dia kembali menggodaku. 

"Sopanlah kalau berbicara. Bagaimana jika Ibu atau saudara perempuanmu diperlakukan seperti itu?"

"Tidak masalah!" ketusnya. "Memang kenapa?"

"Dasar kau pria mesum. Pikiranmu memang tidak waras."

"Kau ini bicara apa?"

"Apa maksudmu dengan kata "menggiurkan"? Apa menurutmu itu sopan?"

"Ya ampun. Apa hanya karena itu kau marah-marah? Kau benar. Kata itu memang salah. Seharusnya aku bisa mengatakan dengan kata "menyegarkan," bukan? Maaf, nilai bahasaku kurang saat di sekolah. Kau puas sekarang?"

"Menyegarkan? Bisakah kau tidak memberikan penilaian pada tubuhku?"

"Tubuhmu? Hish... " Dia kemudian tertawa. "Apa kau pikir aku sedang membicarakan tubuhmu?" Dia melirik gelas panjang berisi jus semangka yang berada di tanganku. 

"Haish...." Kuhentakkan kaki dan langsung meninggalkannya. "Berhenti mengikutiku!" ketusku saat melihatnya ikut melangkahkan kaki. 

Lagi-lagi dia tertawa. Mungkin merasa puas karena sudah berhasil membuatku marah. Inikah caranya membalas keangkuhanku? Baguslah, setidaknya dia menambah satu lagi daftar orang yang harus kuhindari. 

.

'Aku sudah sampai, kapan kau bisa mengantarku mencari tempat tinggal?' Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. 

Namun aku tahu kalau itu dari Paman Harun, setelah melihat foto profil dan isi pesannya.

'Kapan Paman sampai? Sekarang dimana?' balasku. 

'Di stasiun kereta. Bisa jemput aku sekarang?'

'Aku sedang bekerja. Kenapa tidak bilang sebelumnya?'

'Aku sudah bilang seminggu yang lalu.'

Haish... 

"Pesan taxi online saja. Cari hotel dan menginap di sana.'

'Tega sekali. Kau itu benar keponakanku atau bukan? 

Eh? Kenapa dia harus mengungkit-ungkit hal itu? Baru satu minggu aku menjadi keponakannya. Dan kini aku harus menuruti apapun keinginannya? 

Kulihat Hana baru saja kembali dan masuk ke kafe. Dengan cepat aku menghampiri.

"Pinjam mobil, Bos," rayuku. 

"Jalan kaki saja, rumahmu sekarang sudah dekat," ketusnya seperti biasa saat aku mulai meminta sesuatu. 

"Bukan melihat Ayah, tapi Pamanku."

"Paman? Bahasa apa itu? Kuno sekali," ledeknya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
Sumpah seneng aku ceritanya dan kata" nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status