"Lalu siapa ayahnya?" tuntut Ryan segera.
"Aku tak bisa menjelaskannya sekarang," jawab Titi, "Em... intinya dia bukan anakmu." Ia harap kata-kata itu bisa menjelaskan semuanya, tapi tentu bagi Ryan itu penjelasan rancu yang tak bisa dibilang 'jelas'. Ia tidak bisa mengungkapkan semuanya, ini berbahaya bagi Sifa dan dirinya. Ia juga tak ingin Ryan terlibat dalam masalahnya. Masalahnya kalau Ryan tahu, bisa jadi ayah kandung Sifa akan menemukan mereka. Sebab, ayah Sifa punya hubungan kekerabatan dengan Ryan! Ya, Titi diberitahukan kakaknya--ibu kandung Sifa saat wanita itu hamil. Entah bagaimana mereka terjebak dengan pria yang berasal dari keluarga sama. "Kalau kamu begini, justru aku semakin yakin kalau Sifa adalah anakku." Titi menghela napas. Bagaimana ia menjelaskannya? Dulu, Ryan dan Titi adalah sepasang kekasih fenomenal di kampus mereka. Selain karena Ryan adalah Ketua BEM yang masuk jajaran pria tampan di kampus, pria itu adalah bagian dari keluarga konglomerat. Banyak perempuan yang mengejar Ryan, tapi sayangnya pria itu hanya fokus pada kuliah, sampai kedatangan Titi sebagai mahasiswa baru mengubah segalanya. Ryan mendekatinya dan dan mengajaknya menjalin kasih. Awalnya semua berjalan lancar. Bahkan saat Ryan lanjut kuliah S2 di Singapura, mereka masih bersama. Hanya saja, keluarga Ryan mendadak menjodohkan pria itu dengan perempuan yang setara dengannya. Titi dilema. Namun, dia sadar diri dan memilih mundur, terlebih ibu Ryan turun tangan–mengancam Titi untuk menjauhi anaknya. Sayangnya, Ryan kesal dan marah. Ia ingin Titi tetap bersamanya meski ia sudah tunangan. Titi jelas menolak menjadi pihak ketiga. Keduanya bertengkar hebat, hingga insiden itu terjadi. Mereka melakukan hubungan badan yang selama ini tidak mereka lakukan. Padahal, Titi memiliki prinsip untuk tidak melakukannya. Hancur, Titi lantas pergi tanpa pamit. Dihapusnya semua media sosial, bahkan jejak selama 6 tahun belakangan ini. Sementara Sifa? Bocah itu kini berusia 5 tahun. Wajar kalau Ryan merasa curiga bahwa mungkin Sifa adalah anak mereka, kan? "Saya mohon Pak, saya akan kasih tau Bapak saat waktunya tiba," ucap Titi, pada akhirnya. Namun, siapapun dapat mendengar keputusasaan di sana. Ryan sontak membuang nafas kasar. “Baiklah. Tapi, jangan pernah coba membohongiku.” Titi merasakan tubuhnya gemetar mendengar ucapan pria itu. Dia dapat merasakan ancaman di balik ucapan Ryan. Jadi, Titi sontak mengangguk. Sayangnya, sampai keesokan harinya pun, Titi tidak menemukan jawaban! "Ehem!" Titi berjingkat kaget. Ketika ia menoleh, ia tambah kaget karena ada Ryan yang berdiri di samping bilik kerja miliknya. "Lagi ngapain?" sapanya. Hah? Pertanyaan macam apa yang dilontarkan pria tampan ini di tengah-tengah karyawan yang sedang bekerja? "Hem, sedang berpikir sejenak, Pak. Maafkan saya karena tidak fokus." "Ya gak apa. Melamun juga healing," balasnya santai. Meski supel, Ryan bukan tipe yang memberikan obrolan sereceh itu pada Staff biasa. Maka dari itu, beberapa karyawan heran dan terkejut melihat itu. Bahkan senior sekaligus teman kerja Titi pun bertanya setelah Ryan pergi, "Si Bos kenal lo, Ti?" "Dia Kating gue," jawab Titi cepat. "Wanjir! Pantesan keliatan akrab. Ada apa lagi kalian berdua, yakin cuma kating dan adek tingkat biasa?" curiganya. "Kita satu organisasi di BEM. Makanya kami kenal doang, Kak. Gak lebih." "Serius? Tapi, gue jadi kepo. Ceritain dong pas si bos masih kuliah," ujar Olive memohon. Tak hanya itu, beberapa karyawan perempuan yang menyukai Ryan ikut nimbrung, mendengar cerita tentang Ryan saat kuliah. Mereka memiliki background universitas yang berbeda. Kalaupun sama, mereka angkatan yang baru 2-4 tahun lulus, sehingga tidak bertemu Ryan saat itu. "Dari dulu, dia supel dan selalu bersemangat. Karena dia Ketua Organisasi, dia vokal dan gak pernah takut tiap ngadain demo. Mungkin karena Bapaknya kaya?" jelas Titi seadanya, “Cuma sekarang, dia lebih dewasa.” Ya, tentu saja Titi menceritakan hanya sebatas pengetahuan umum saja! Tidak mungkin ia menceritakan sisi Ryan yang hanya diperlihatkan pada Titi saat menjalin kasih, kan? Bisa-bisa hubungan masa lalu mereka ketahuan! Sayangnya sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal membuat Titi panik, terlebih kala ia men-cek foto profilnya yang ternyata adalah Ryan! [Nanti Sore, saya mau ajak kalian ke wahana permainan baru yang dibuka di Mall.] Titi terkesiap. Dia hendak menolak. Namun belum sempat melakukannya, Ryan sudah kembali mengirim pesan. [Ini perintah, bukan tawaran.]Toko tiga lantai itu kini bukan lagi sekadar tempat usaha. Ia tumbuh menjadi hal yang menarik, jadi pilihan. Bukan simbol kekayaan, melainkan simbol pilihan hidup yang jujur. Di sudut pasar kota yang dulu tak banyak dilirik karena suram dan peralihan pasar ke toko online, kini toko itu jadi destinasi. Orang datang bukan hanya untuk membeli, tapi untuk merasakan desain tata letak mini market dengan suasana yang hangat, rapi, dan familiar dengan budaya Indonesia. Ciri khas Titi yang dituangkan ke dalam setiap sudut ruang. Titi kini dikenal sebagai arsitek dan konsultan ruang komersial dengan pendekatan emosional. Padahal background pendidikannya IT. Meski begitu, ia terus belajar hal baru sehingga ia bisa menguasai bidang itu dan sedang mengambil kuliah S1 bidang Arsitekur. Ia tidak pernah membanggakan siapa suaminya. Justru karena itu, ia dihargai lebih. Sementara Ryan, setelah tiga tahun menyelamatkan perusahaan keluarga dari jurang kehancuran, ia memutuskan untuk benar-benar
Beberapa bulan berlalu sejak percakapan itu. Titi dan Ryan kembali ke Jakarta, ke rumah kecil yang kini mereka sebut rumah sungguhan—bukan tempat sementara, bukan pelarian. Di dalamnya, rencana toko tiga lantai yang dulu hanya obrolan sarapan mulai tumbuh jadi bangunan nyata. Titi sibuk dengan desain interior dan konsep ruang, sementara Ryan fokus pada izin usaha, pemasok, dan jaringan distribusi. Di luar itu, X-Tec—perusahaan teknologi yang Ryan bangun dari nol bersama Tristan—berkembang pesat. Walau Ryan tidak lagi muncul di depan publik, ia tetap pemegang kendali utama di balik layar. Tristan menjadi wajah X-Tec, menjalankan semua hal teknis dan administratif, sementara Ryan fokus mengembangkan arah dan strategi pasar. Namun, di tengah ketenangan itu, masalah datang bukan dari bisnis pribadi Ryan, tapi dari perusahaan keluarga yang dulu ditinggalkannya. Malam itu, Tristan datang ke rumah tanpa kabar. Wajahnya terlihat serius, bahkan cemas. Setelah basa-basi sebentar dengan Tit
Pagi harinya, Titi masih penasaran apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh Ryan. Akan tetapi, bukannya menjawab, Ryan justru terus menghindarinya. Mereka pun sarapan di restoran hotel. Suasananya masih lengang. Udara dingin pegunungan yang terselip lewat celah jendela besar terasa segar, menyatu dengan aroma roti panggang dan kopi. Titi duduk di meja pojok, mengenakan hijab motif bunga kecil dengan blus santai dan rok Plisket. Di hadapannya, sisa sarapan mereka tinggal setengah potong buah dan dua cangkir kopi yang sudah hangat. Ryan belum bicara sejak tadi. Pria itu hanya duduk, memainkan sendok kecil di atas meja, sesekali melirik ke taman luar yang dihiasi kabut tipis. Tapi Titi tahu, pikirannya ada di tempat lain. “Yan,” panggil Titi pelan. Ryan menoleh. Matanya seperti menyimpan sesuatu yang sudah terlalu lama mengendap. “Kamu masih inget mau cerita soal apa?” Ryan mengangguk. Pelan, seperti menguatkan diri. “Aku nggak bener-bener jatuh miskin, Ti.” Titi diam. Reak
Malam itu, kamar mereka terasa terlalu sunyi untuk dua orang yang baru saja mengikat janji. Lampu tidur di sudut ruangan menyala temaram, memantulkan cahaya lembut ke dinding putih bersih dan langit-langit tinggi khas Hotel bintang 5. Lantai hangat, kasur empuk, seprai bersih beraroma lavender, semua serba sempurna—hanya saja, udara di antara mereka masih mengandung kegugupan. Titi duduk di tepi ranjang dengan rambut basah tergerai. Ia memberanikan diri untuk membuka hijabnya tadi. Setelah mengganti baju dengan piyama katun tipis berwarna salem, hasil pinjaman dari penginapan. Ryan berdiri di balkon, menatap langit yang gelap total tanpa bintang. “Dingin banget,” gumamnya sambil merapatkan jaket ke tubuh. Titi hanya menjawab dengan anggukan kecil, meski Ryan tidak bisa melihat dari belakang. Begitu ia kembali masuk ke kamar, Titi sudah naik ke atas kasur, menarik selimut sampai dada dan memeluk bantal seperti anak kecil. Di titik itu, Ryan terkejut dengan Titi yang membuka hijab
Setelah matahari naik tinggi dan sesi sunrise selesai, mereka kembali ke penginapan untuk sarapan dan istirahat. Titi tertidur di sofa kamar hotel tanpa sempat mengganti baju. Raut wajahnya masih terlihat lelah, tapi juga tenang. Setelah dipindahkan ke kasur oleh Ryan. Ia memperhatikan istrinya itu diam-diam dari balik meja kecil, sambil menyeruput kopi hangat. Rasanya seperti mimpi, bisa pergi bareng Titi, senagai suami istri, dalam momen yang tak terlalu formal tapi bermakna. Ia tak berani membangunkan Titi. Tapi saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, dan sopir jeep sudah menunggu di lobi, Ryan mendekat, menyentuh lembut bahu Titi. “Sayang, bangun dulu, yuk. Kita masih ada spot foto yang bagus di kaki Bromo.” Titi membuka matanya perlahan, masih malas-malasan. “Kaki siapa?” Ryan terkekeh sambil mengelus kepalanya. “Kaki Bromo. Bukan kaki orang. Ayo, udah aku siapin outfit kamu juga.” Titi menatapnya curiga. “Kamu nyiapin baju aku?” “Tenang, aku nggak s
Mobil Jeep itu sampai di tempat parkir, sebelum mereka harus jalan ke atas sedikit untuk mencapai spot terkenal itu. Melihat sunrise dan moment luar biasa yang akan mereka abadikan.Lampu-lampu senter dan kilatan kamera para wisatawan lain jadi satu-satunya penerang. Udara pukul tiga dini hari itu terasa menusuk tulang, tapi Ryan malah semangat luar biasa.'Si Anak Gunung ini memang luar biasa', batin Titi.Padahal ia sudah membayangkan betapa lelahnya ke Spot sunrise, meskipun hanya naik sedikit saja sekitar 200 meter.“Turun dulu, pelan-pelan,” ujar Ryan sambil membukakan pintu jeep untuk Titi.Titi menggeliat kecil, masih setengah mengantuk. Tapi detik berikutnya, Ryan malah mengangkatnya untuk turun.Titi terkejut sejenak, ia agak malu juga. Namun ia baru ingat, kalau Ryan memang seperti itu tanpa memandang tempat.Ia menyelipkan tangan ke dalam saku jaket, berjaan pelan di samping Ryan saat suaminya itu meraih bahunya dan menggiringnya menuju jalur pendakian kecil. Kepalanya