“100 juta?” lirih Titi dengan tatapan kosong.
Biaya penalti kontrak kerjanya bila mundur sebelum waktu yang ditentukan sungguh besar. Tapi, ia pun bingung karena perusahaan startup yang menjadi kantor barunya ternyata milik sang mantan kekasih yang ditinggalkannya tanpa alasan yang jelas. Haruskah dia bertahan di sana dan menebalkan muka saja demi Sifa, keponakan yang sejak bayi dititipkan sang kakak? Terlebih, tabungannya menipis dan sekarang sulit sekali mencari pekerjaan. "Titi, sedang apa kamu di sini?" Deg! Mendengar suara bariton yang familiar itu, Titi yang sedang ingin menjemput Sifa–terkesiap. Bagaimana bisa Ryan–mantan kekasihnya–mendadak ada di depan teras TK ini? "Saya menjemput adik saya, Pak," jawab wanita itu cepat, mencari alasan. Namun, Ryan tampak mengernyitkan dahi. "Seingat saya, kamu anak bungsu?" "Ya... em, Ibu saya menikah lagi dan mereka punya anak," ucap Titi sembari merutuki diri sendiri. Bagaimana bisa dia lupa jika Ryan tahu tentang seluruh latar belakangnya? Titi hanya dapat berharap Ryan segera pergi dan melupakan apa yang terjadi. Untungnya, doa Titi terkabul! Meski masih terlihat bingung, Ryan tampak mengangguk paham. “Bapak sendiri sedang apa di sini?” ucap Titi mengalihkan pembicaraan “Oh. Saya sedang memeriksa proyek yang kebetulan akan dibangun di sekitar sini.” Kini giliran Titi yang mengangguk. Hanya saja saat Titi hendak pamit, anak-anak TK mulai berhamburan keluar! Bersamaan dengan itu, seorang gadis kecil yang cantik dengan hijab mungil itu langsung memeluk Titi yang rutin menjemputnya. "Mama!" teriaknya kencang dan penuh kebahagiaan. "Mama?" ulang Ryan dengan alis terangkat. Pria tampan itu sontak menatap Sifa yang tampak berusia 5 tahun. Bocah itu putih dan memiliki mata sipit, khas orang Asia Timur yang mirip … dengannya. Padahal, Titi dan keluarganya memiliki bentuk mata almond! Segera, Ryan menatap Titi seolah minta penjelasan. Titi jelas menyadari itu. Sayangnya belum sempat ia memberikan alasan, guru TK dari Sifa keluar dan menghampirinya. "Mama-nya Sifa, ini ada pemberitahuan. Minggu depan datang ya...." Titi mengangguk dengan senyum paksa sambil menerimanya. Belum lagi, ia sedikit tertekan di bawah tatapan Ryan saat ini. "Oh ini Bapaknya Sifa, ya?" Kini nasib Titi benar-benar di ujung tanduk karena Guru putrinya itu terus saja berbicara, "Wah, senangnya bisa ketemu Bapaknya Sifa yang ganteng. Semoga sering ke sini jemput anaknya ya, Pak. Kasian Sifa, kadang dikatain temannya karena gak pernah bawa Bapaknya." Dan bukannya menolak, Ryan malah seolah menikmati peran singkatnya itu dengan mengangguk sembari tersenyum sopan! Hanya saja, itu tak bertahan lama. Begitu Guru paruh baya itu pamit dan kembali menemui beberapa wali murid, Ryan tampak menatapnya dalam. “Titi, ikut aku ke mobil!” perintahnya tiba-tiba. “Tapi, Pak.” Sayangnya, Ryan segera memberi isyarat pada sopirnya untuk membukakan pintu. "Silakan, Nona!" ujar sang sopir mempersilahkan. Titi terkejut, sementara Sifa terlihat girang. "Wah, naik mobil. Asyiiiik!" "Enggak Say..." Terlambat. Sifa kini sudah turun dari gendongan Titi dan segera masuk ke mobil mewah itu. Di tengah kebingungannya, Ryan berdiri di belakang Titi dan membisikan sesuatu yang sontak membuatnya tak bisa menolaknya, "Turuti aku atau aku akan membuatmu malu di sini." *** Srak! Di dalam mobil, Ryan menutup pembatas antara sopir dan jok penumpang. Sifa duduk di tengah, diapit Ryan dan Titi yang belum bicara. Ia menikmati perjalanan pulang dengan mobil mewah yang belum pernah ia naiki. "Wah, gede banget. Wanginya enak!" Ia terus mengucapkan kata-kata yang menunjukkan betapa antusiasnya ia naik mobil mewah itu. Sementara Ryan mulai tak tahan untuk tidak bertanya pada mantan kekasihnya itu. "Apakah kamu bisa menjelaskan semua ini sekarang, Titi?" tanya Ryan dingin. Titi memainkan kedua tangannya takut. Ia melihat Sifa yang masih sangat senang, sampai akhirnya ia berkata. "Tolong, kita bicarakan setelah Sifa tidur." Titi tahu Ryan bukan orang yang bisa menunggu, tapi untungnya pria itu mau mendengarnya. Sayangnya, Sifa yang kini tak bisa diajak bekerjasama. Gadis mungil kesayangan Titi itu tak lama tertidur pulas. Tampaknya, ia lelah dengan aktivitas di sekolahnya hari ini. Begitu lima menit setelah Sifa terlelap, Ryan pun langsung bertanya lagi. "Dia anakku, kan?" tanya Ryan. Titi langsung menggeleng, "Bukan, Bos. Dia bukan anakmu.""Jadi anak ini, anak kandungmu?" tanya Adi dengan raut kaget. Sifa sendiri yang ditatap begitu langsung takut dan memeluk Titi. "Pak, jangan kayak gitu ah... Sifa jadi takut," ujar Titi. Adi pun langsung mengangguk, sementara itu Ryan mendekati Sifa dan mengajaknya keluar, agar keluarga itu bisa bicara dengan leluasa tanpa menakut-nakuti anak kecil tidak bersalah itu.Kl"Kenapa ini bisa terjadi?" tanya Adi.Hal itu membuat ruangan yang minimalis itu, menjadi sunyi.Bangunan rumah itu seperti bangunan di desa pada umumnya luas tetapi, ditinggali oleh orang yang tidak kaya.Artinya mereka mungkin punya tanah di mana-mana dan rumah yang luas tapi, bukan berarti mereka memiliki uang banyak, sehingga mereka hanya bertahan hidup dari hasil panen mereka sendiri.Meskipun mungkin orang-orang Desa ini lebih Seattle karena mereka ada di posisi di mana--jika mereka kehabisan beras mereka bisa memiliki hasil panen. Tidak seperti orang kota, mereka benar-benar harus membeli semua bahan makana
Di sepanjang perjalanan, Ryan duduk di jok depan di samping sopir. Sementara Titi, Melati dan Sifa di jok tengah. Jok belakang untuk membawa barang-barang yang akan jadi bahan lamaran untuk Titi, dan di atas mobil ada barang bawaan mereka semua. "Ma, kita mau ketemu Kakek dan Nenek?" tanya Sifa semangat. Ia memeluk boneka beruangnya dengan alami, karena itu boneka kesukaannya bahkan saat tidur ia membawanya. "Iya, Sayang. Pasti kamu gak sabar kan, kan?" tanya Titi sambil menggoda. "Iya, Ma! Akhirnya aku bisa cerita sama temen-temen baru aku tentang kampung halaman, soalnya sebelumnya aku diejek karena gak punya cerita," ujar Sifa. Hal itu langsung membuat Melati dan Titi tertohok, keadaan mereka yang tidak memungkinkan membuat Sifa terlantar. Melihat situasinya yang tegang, Ryan pun mengajak Sifa untuk mengobrol hal dan membuat suasana kembali seperti semula.Ia tahu kalau perbincangan itu sangat sensitif bagi Melati dan Titi, jadi ia mencoba untuk menengahi.Tiba jam 22.
"Cie Mama dilamar Papi, cie...." ujar Sifa dengan antusias.Titi pun terkejut dengan hal itu, "Sayang, kok kamu tahu sih?"Itu karena ia tidak pernah mengajari Sifa seperti itu."Aku pernah lihat temen aku bilang kayak gitu."Titi benar-benar tidak fokus pada Ryan yang sedang menunggu jawabannya, ia malah fokus pada Sifa.Sifa sudah mengerti arti dari Will you marry me, meskipun bahasa inggris Sifa bagus, tapi itu perkataan yang biasanya tidak dijadikan sample untuk pengajaran anak-anak."Ih.. kamu anak kecil harusnya nggak usah tahu.$Ryan terkekeh, "Hehe... ggak papa dong Sayang, dia harus tahu."Titi menghela napas, ia khawatir anak sekecil Sifa terpapar konten bucin sejak dini."Gimana, mau kan nikah sama aku?" tanya Ryan lagi memancing.Titi mulai kesal, "Ryan, kamu suka banget ngelakuin hal-hal yang enggak berguna ya? Lagian aku kan udah bilang kalau aku nggak punya pilihan. Ya udah berarti kita nikah," balas Titi sewot."Tuh dengar kan Sifa? Kamu bisa panggil Papa setelah Papi
Melihat kebingbangan Titi, Ryan pun menggenggam tangannya. "Sayang, maaf kalo aku gak mengungkapkannya secara baik-baik. Tapi pikirkanlah, aku akan bertanggungjawab sepenuhnya pada kalian...." Titi masih diam, berpikir keras. "Titi, maukah kamu menikah denganku?" tanya Ryan berlutut. Hal itu membuat Titi merasa risih, dan melepas tangan Ryan. "Apaan sih bangun, gak usah sok berlutut kek gitu, kek pangeran aja." "Aku emang pangeran kan?" "Ih, PD." "Dulu kan kamu pernah bilang kayak gitu, My Prince!" Titi pun memutar bola matanya dan pergi ke dapur untuk membuat makan siang. "Kenapa kamu masih di sini? Pergi sana!" usirnya. "Ya ampun. Kok ngusir kayak gitu. Aku kan belum dapat jawaban." "Emang aku punya pilihan lain?" tanya Titi balik. "Berarti kita fix nikah ya," ujar Ryan. "Iya, tapi kan kita gak seiman, aku gak boleh nikah sama cowok non muslim. Gak bisalah." "Bisa, nih!" Ryan tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan di sana ada foto ia menyalami seorang Ustaz te
Titi diserang lagi oleh orang-orang yang memiliki banyak followers, sepertinya kini ia bukan lagi hanya menghadapi Queen tapi juga para influencer terkenal. "Titi...." Titi langsung masuk dan menutup pintu tanpa mau mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Ryan. Ia tak ingin lagi dekat-dekat dengan Ryan, katakanlah ia tak tau diri, tapi ia juga berhak mendapatkan kompensasi rumah ini setelah Ryan benar-benar merusak semuanya. Di luar banyak orang yang menggerebek, menanyakan terkait hubungannya dengan Ryan dan menuduhnya macam-macam seperti yang dikatakan para influencer itu. Ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh Ryan sekarang, karena Ryan dikelilingi oleh banyak orang yang menggerebek rumahnya.Sementara, ia memilih untuk melindungi Sifa yang tadi terlihat ketakutan.Ia meminta maaf pada Sifa karena telah membawanya kepada dunia yang seperti ini."Maafin Mama ya...""Mama nggak salah, orang itu yang tiba-tiba ke sini. Bikin ribut! Mama nggak salah," ujar Sifa.Sifa lagi-la
Ryan menemui Tristan di apartemen Tristan, keduanya sudah janjian di sana karena Tristan yang meminta. Ada beberapa masalah yang tidak bisa ia tangani sendiri, ia kesulitan setelah Ryan mengundurkan secara resmi dari kepemimpinannya.Selama ini ia merupakan pemimpin di kantor tersebutx tetapi bukan sebagai pengambil keputusan sepenuhnya. Jadi, ia masih kesulitan dalam mengambil keputusan ketika menghadapi masalah sendiri tanpa bantuan Ryan."Gue nggak tahu kalau ternyata selama ini lu ngadepin begitu banyak orang yang emang udah niat nipu dari awal."Ryan terkekeh, "Di dunia bisnis emang kayak gitu, kalau lu nggak berani keras sama mereka, lu nggak punya pegangan yang bikin mereka tunduk sama lu. Lu bisa dimanfaatin sama mereka terus kalo gak punya power.""Ya gimana gue punya power, gue gak sekaya lu anjir. Mereka udah bermaksud untuk manfaatin gue dan sekarang gue gak mungkin pasrah gitu aja kan? Nasib perusahaan di tangan gue," keluh Tristan."Ya nggak pasrah juga, sini gue kasi