Share

7. Suami Idaman

Author: Blue Rose
last update Huling Na-update: 2024-12-05 19:30:54

"Gak mungkin, bjir! Pas kita ngobrol-ngobrol juga ada saat di mana dia nunjukkin kalo dia masih normal, kagak gay juga. Tapi lebih ke perasaan sih, dia tipe yang gak mau sama orang yang gak dia pengen," jelas Tristan yang kebetulan paling dekat dengan Ryan.

"Udah fix sih, kalo dia gagal move on," ujar Rey.

"Iya, tapi ngomong-ngomong. Lo gak nemenin bini lo?"

Rey pun nyengir, kemudian pamit pergi.

Gosip ini membuatnya sekejap lupa bahwa hari ini adalah harinya.

Sepeninggalannya, pria-pria tampan itu mengobrolkan hal lain dan pulang sejam kemudian.

Hanya saja, Tristan tampak kesal karena dirinyalah yang harus membawa pulang Ryan, sementara Steven pulang dengan Hans!

•••

"Tanam-tanam Ubi, tak perlu dibajak...."

Sifa menyanyi dalam perjalanan mereka ke sekolah.

Pagi-pagi sekali, Titi mengantarkan pesanan customernya.

Setelah itu, bertolak naik angkot ke sekolah Sifa yang semi daycare itu.

"Seneng banget sih, anak Mama. Kenapa nih?"

Namun, bukannya menjawab Sifa malah tertawa tidak jelas. "Hihi, rahasia!"

Titi pun terkekeh mendengarnya.

Sayangnya, setelah selesai dengan pekerjaannya. Titi harus lembur dan tak bisa izin terlebih dahulu.

"Bu, gak ada keringanan? Izin dulu, abis itu saya kerjakan," bujuk Titi pada sang Manajer.

"No! Kali ini enggak, Bos lagi bad mood," ujar sang Manajer.

Titi pun merasa ingin menangis, tapi bagaimana lagi?

Ia harus memenuhi semua pekerjaannya, ini juga demi agar ia bertahan hidup.

Wanita itu pun menelpon sekolah Sifa, untuk lebih lama menjaganya sampai ia pulang.

Gurunya pun menyetujuinya.

Hanya saja, kelegaan itu tak berlangsung lama karena pekerjaannya baru selesai di jam 7 malam!

"Astaghfirullah! Jam 7, Sifa...."

Segera, ia mengambil ponselnya dan menghubungi guru sang putri. "Hallo, Bu Indah! Apakah Sifa masih sama Ibu?"

"Hallo? Enggak, Bu. Bukannya tadi Sifa udah dijemput sama Bapaknya," ujar Bu Indah, kebingungan.

"Loh, Bapak?"

"Iya yang kemarin ke sekolah, terus Sifa manggilnya Papa. Bahkan saya dikasih nomernya kalau ada apa-apa," balas sang guru lalu mengirimkan nomornya pada Titi.

Deg!

"Namanya Pak Ryan?" tanya Titi.

"Iya, Bu. Ada apa sih? Pak Ryan itu Bapaknya Sifa kan?"

"Ya udah Bu, terima kasih."

Titi pun segera menghubungi nomor pribadi Ryan.

"Hallo, Pak. Apakah Bapak bersama Sifa?" tanya Titi panik.

"Iya, di kontrakan kalian nih."

Titi terkejut dan langsung pulang.

Bagaimana bisa bosnya yang serba mewah itu ke kontrakannya yang terbilang sangat sederhana dan di lingkungan yang dihuni oleh rakyat jelata?

Meskipun dulu juga Ryan sering main ke kost-nya yang lebih buruk lagi sih….

Untungnya, tak butuh waktu lama untuknya sampai di kontrakan.

Hanya saja baru masuk, Titi sudah disuguhkan pemandangan yang mengherankan.

Ryan sedang memasak sesuatu.

Ia bukannya khawatir, karena Ryan juga hobi masak sejak mereka pacaran dulu. Tapi, di ruang tamu, sudah ada banyak mainan baru yang sedang dibuka oleh Sifa.

"Sifa..." gumamnya.

Ryan yang sedang menggunakan celemek masak menoleh padanya. "Lembur ya?"

Entah kenapa Titi malah berkaca-kaca dan merasa kesal dengan semuanya. Ia berjalan masuk ke kamarnya dengan Sifa.

Untungnya ia memang membuat sekat di bagian kamar itu karena awalnya tidak ada sekat sama sekali.

Jadi ia mengganti kerudungnya dengan kerudung instan dan keluar kamar setelah membersihkan make upnya sebelum kembali menemui Ryan.

"Kenapa Bapak ke sini?" tanya Titi akhirnya pada Ryan yang sudah selesai masak dan memindahkan masakan itu ke piring-piring yang ada di rak piring.

"Nemenin Sifa, dia nunggu kamu lembur katanya."

Titi menghela napas kesal.

"Lebih baik Bapak pulang saja. Maaf, ini karena saya tidak nyaman. Ini kontrakan alias tempat privat kami. Takut ada fitnah."

Ryan tak menggubris, ia membawa makanannya melewati Titi ke ruang tamu.

Di kontrakan tiga petak itu, ada dua kipas di ruang tamu yang terus berputar nonstop.

Suasananya yang panas dan semua yang ada di sana terasa gerah.

Ryan pun membuka celemeknya.

Ia memang masih memakai pakaian kantor.

Hanya saja, jas dan dasinya sudah dilepas dan terlihat tergantung di gantungan berdiri bercabang milik Titi.

Meski sudah terlihat beberapa kali mengelap keringat dengan tisu, Ryan masih beraroma wangi, yang membuat Titi insecure sendiri.

Ia belum ganti baju.

Bau badannya pasti tidak enak karena habis naik bus dan angkot, lalu berjalan di trotoar yang pastinya terkontaminasi polusi udara yang tidak sehat.

"Mama sini, kita makan enak. Masakannya Papi dong!"

Titi hanya bisa tersenyum singkat, lalu duduk di depan Ryan dan di samping Sifa yang bersemangat memakan makanan itu.

Menu makanan kali ini sayur lodeh kangkung, sop ceker, dan ayam goreng.

Bukankah ini makanan kesukaan Titi?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   Epilog - Tiga Tahun Kemudian

    Toko tiga lantai itu kini bukan lagi sekadar tempat usaha. Ia tumbuh menjadi hal yang menarik, jadi pilihan. Bukan simbol kekayaan, melainkan simbol pilihan hidup yang jujur. Di sudut pasar kota yang dulu tak banyak dilirik karena suram dan peralihan pasar ke toko online, kini toko itu jadi destinasi. Orang datang bukan hanya untuk membeli, tapi untuk merasakan desain tata letak mini market dengan suasana yang hangat, rapi, dan familiar dengan budaya Indonesia. Ciri khas Titi yang dituangkan ke dalam setiap sudut ruang. Titi kini dikenal sebagai arsitek dan konsultan ruang komersial dengan pendekatan emosional. Padahal background pendidikannya IT. Meski begitu, ia terus belajar hal baru sehingga ia bisa menguasai bidang itu dan sedang mengambil kuliah S1 bidang Arsitekur. Ia tidak pernah membanggakan siapa suaminya. Justru karena itu, ia dihargai lebih. Sementara Ryan, setelah tiga tahun menyelamatkan perusahaan keluarga dari jurang kehancuran, ia memutuskan untuk benar-benar

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   83. END

    Beberapa bulan berlalu sejak percakapan itu. Titi dan Ryan kembali ke Jakarta, ke rumah kecil yang kini mereka sebut rumah sungguhan—bukan tempat sementara, bukan pelarian. Di dalamnya, rencana toko tiga lantai yang dulu hanya obrolan sarapan mulai tumbuh jadi bangunan nyata. Titi sibuk dengan desain interior dan konsep ruang, sementara Ryan fokus pada izin usaha, pemasok, dan jaringan distribusi. Di luar itu, X-Tec—perusahaan teknologi yang Ryan bangun dari nol bersama Tristan—berkembang pesat. Walau Ryan tidak lagi muncul di depan publik, ia tetap pemegang kendali utama di balik layar. Tristan menjadi wajah X-Tec, menjalankan semua hal teknis dan administratif, sementara Ryan fokus mengembangkan arah dan strategi pasar. Namun, di tengah ketenangan itu, masalah datang bukan dari bisnis pribadi Ryan, tapi dari perusahaan keluarga yang dulu ditinggalkannya. Malam itu, Tristan datang ke rumah tanpa kabar. Wajahnya terlihat serius, bahkan cemas. Setelah basa-basi sebentar dengan Tit

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   82. Rahasia

    Pagi harinya, Titi masih penasaran apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh Ryan. Akan tetapi, bukannya menjawab, Ryan justru terus menghindarinya. Mereka pun sarapan di restoran hotel. Suasananya masih lengang. Udara dingin pegunungan yang terselip lewat celah jendela besar terasa segar, menyatu dengan aroma roti panggang dan kopi. Titi duduk di meja pojok, mengenakan hijab motif bunga kecil dengan blus santai dan rok Plisket. Di hadapannya, sisa sarapan mereka tinggal setengah potong buah dan dua cangkir kopi yang sudah hangat. Ryan belum bicara sejak tadi. Pria itu hanya duduk, memainkan sendok kecil di atas meja, sesekali melirik ke taman luar yang dihiasi kabut tipis. Tapi Titi tahu, pikirannya ada di tempat lain. “Yan,” panggil Titi pelan. Ryan menoleh. Matanya seperti menyimpan sesuatu yang sudah terlalu lama mengendap. “Kamu masih inget mau cerita soal apa?” Ryan mengangguk. Pelan, seperti menguatkan diri. “Aku nggak bener-bener jatuh miskin, Ti.” Titi diam. Reak

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   81. Malam Pertama?

    Malam itu, kamar mereka terasa terlalu sunyi untuk dua orang yang baru saja mengikat janji. Lampu tidur di sudut ruangan menyala temaram, memantulkan cahaya lembut ke dinding putih bersih dan langit-langit tinggi khas Hotel bintang 5. Lantai hangat, kasur empuk, seprai bersih beraroma lavender, semua serba sempurna—hanya saja, udara di antara mereka masih mengandung kegugupan. Titi duduk di tepi ranjang dengan rambut basah tergerai. Ia memberanikan diri untuk membuka hijabnya tadi. Setelah mengganti baju dengan piyama katun tipis berwarna salem, hasil pinjaman dari penginapan. Ryan berdiri di balkon, menatap langit yang gelap total tanpa bintang. “Dingin banget,” gumamnya sambil merapatkan jaket ke tubuh. Titi hanya menjawab dengan anggukan kecil, meski Ryan tidak bisa melihat dari belakang. Begitu ia kembali masuk ke kamar, Titi sudah naik ke atas kasur, menarik selimut sampai dada dan memeluk bantal seperti anak kecil. Di titik itu, Ryan terkejut dengan Titi yang membuka hijab

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   80. Kasih Sayang Ugal-ugalan

    Setelah matahari naik tinggi dan sesi sunrise selesai, mereka kembali ke penginapan untuk sarapan dan istirahat. Titi tertidur di sofa kamar hotel tanpa sempat mengganti baju. Raut wajahnya masih terlihat lelah, tapi juga tenang. Setelah dipindahkan ke kasur oleh Ryan. Ia memperhatikan istrinya itu diam-diam dari balik meja kecil, sambil menyeruput kopi hangat. Rasanya seperti mimpi, bisa pergi bareng Titi, senagai suami istri, dalam momen yang tak terlalu formal tapi bermakna. Ia tak berani membangunkan Titi. Tapi saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, dan sopir jeep sudah menunggu di lobi, Ryan mendekat, menyentuh lembut bahu Titi. “Sayang, bangun dulu, yuk. Kita masih ada spot foto yang bagus di kaki Bromo.” Titi membuka matanya perlahan, masih malas-malasan. “Kaki siapa?” Ryan terkekeh sambil mengelus kepalanya. “Kaki Bromo. Bukan kaki orang. Ayo, udah aku siapin outfit kamu juga.” Titi menatapnya curiga. “Kamu nyiapin baju aku?” “Tenang, aku nggak s

  • DIA BUKAN ANAKMU, BOSS!   79. Foto Estetik

    Mobil Jeep itu sampai di tempat parkir, sebelum mereka harus jalan ke atas sedikit untuk mencapai spot terkenal itu. Melihat sunrise dan moment luar biasa yang akan mereka abadikan.Lampu-lampu senter dan kilatan kamera para wisatawan lain jadi satu-satunya penerang. Udara pukul tiga dini hari itu terasa menusuk tulang, tapi Ryan malah semangat luar biasa.'Si Anak Gunung ini memang luar biasa', batin Titi.Padahal ia sudah membayangkan betapa lelahnya ke Spot sunrise, meskipun hanya naik sedikit saja sekitar 200 meter.“Turun dulu, pelan-pelan,” ujar Ryan sambil membukakan pintu jeep untuk Titi.Titi menggeliat kecil, masih setengah mengantuk. Tapi detik berikutnya, Ryan malah mengangkatnya untuk turun.Titi terkejut sejenak, ia agak malu juga. Namun ia baru ingat, kalau Ryan memang seperti itu tanpa memandang tempat.Ia menyelipkan tangan ke dalam saku jaket, berjaan pelan di samping Ryan saat suaminya itu meraih bahunya dan menggiringnya menuju jalur pendakian kecil. Kepalanya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status