Salsa 7
.
Hari ini aku dan teman-teman diizinkan pulang lebih awal karena hari gajian, dan langsung digantikan dengan shif lain.
Teman-teman mengajakku nongkrong di sebuah cafe, menikmati hasil kerja keras kata mereka. Biar gak kerja melulu, ngabisin duit sesekali. Padahal kami cuma ngopi dan makan beberapa makanan yang disediakan di cafe.
"Jangan asik kerja aja kita ya. Nyantai sesekali biar kek orang-orang kaya," kata salah satu temanku yang memang terkenal heboh.
Ada empat orang kami di sini, semuanya perempuan. Kami masuk kerja di supermarket pada waktu yang berbeda, Alina yang paling lama bekerja di sana. Aku masih ingat saat dulu ia yang megulurkan tangan untuk berkenalan denganku. Ia yang mengajarkanku ini itu tentang cara bekerja di sana.
Nasib kami hampir sama. Sama-sama pejuang rupiah, banting tulang demi sebuah kehidupan yang lebih layak.
"Elah ngomongin kaya, berkecukupan aja gue udah syukur banget," celutuk salah satu yang lainnya lagi.
"Iya," sahutku membenarkan.
Kaya dengan berkecukupan memang beda kan. Ada orang yang kaya, tapi tidak pernah merasa cukup. Ada pula orang yang sederhana, tapi ia merasa cukup karena rasa syukur.
"Kapan nih kita liburan rame-rame gitu, keknya seru deh."
"Lu yang minta cuti ya ke bos. Cutinya rame-rame sekalian biar sekalian dipecat!" gelak Alina seraya menggeleng.
Semua ikut tertawa atas usulan salah satu teman yang tak masuk akal itu. Mana bisa sekali cuti rame-rame, siapa yang akan ngurusin supermarket yang lumayan besar itu.
"Eh, Sa, itu kan …," ucapan Alina menggantung seolah takut untuk melanjutkan kalimatnya.
Sontak aku menoleh ke arah mata Alina memandang. Di pintu cafe, aku melihat Tiara masuk ke dalam dengan masih mengenakan pakaian kerjanya. Gadis itu tampak bergitu bersemangat untuk masuk dan ingin duduk. Ia datang bersama seorang lelaki yang tampan dengan penampilan rapi mengenakan jas kantor.
Tiba-tiba mata Tiara menatap sosokku yang juga sedang menatapnya. Lalu, tanpa pikir panjang ia bangun dari kursi dan menggandeng tangan lelaki itu, kemudian pergi dari cafe itu.
Tiara memang tak pernah suka berdekatan denganku, atau mengunjungi tempat yang sama denganku. Ia malu. Malu jika orang-orang tahu, bahwa ia memiliki kakak yang tak secantik dirinya.
"Cewek itu siapa, Sa?" tahya salah satu teman yang tak mengenal Tiara.
"Adikku." Aku menjawab tegas. Dia memang adikku meski bukan adik kandung, tapi selamanya dia tetap bagian dari hidupku.
"Cantik ya, Sa." Salah satu teman memuji.
Seketika langsung dipelototi oleh Alina. Gadis itu memang paling bisa menjaga hatiku, paling peka diantara teman-temanku.
"Iya," kataku lemah.
"Lu juga cantik kok, Sa," ucapnya lagi seolah baru sadar bahwa aku terluka secara tak sengaja karena pujiannya untuk Tiara membuatku sejenak membandingkan diri dengan adikku.
"Yaelah, aku gapapa kali," kataku lagi agar temanku itu tak merasa bersalah.
Mau gimana lagi kalau takdirku memang seperti ini. Memiliki kulit agak gelap, gigi yang sedikit tak beraturan. Toh, standar kecantikan adalah buatan manusia yang tidak ada batasnya. Lalu, kenapa aku harus minder?
Aku mengalihkan pembicaraan, agar tak lagi larut dalam hal kehidupan yang kurasa tidak beruntung. Karena perasaan dan penghakiman diri seperti itu membuat seseorang menjadi lemah.
Kami mengobrol banyak hal. Namun, aku mulai tak fokus karena mengingat Tiara. Entah siapa lagi lelaki yang bersamanya kali ini. Gadis itu memang terkenal play girl, merasa diri cantik, lalu mempermainkan banyak lelaki.
Di desaku saja banyak lelaki yang menyukai Tiara. Bahkan ibu-ibu mereka terkadang dengan tidak malunya ingin Tiara menjadi menantu mereka.
Hal itu sering kudengar saat mama belanja sayur di tukang sayur keliling yang berhenti di dekat rumah.
"Tiara cantik banget ya, Bu Mirna. Menantu idaman tuh,"
Mama hanya senyum kesenangan karena anaknya dipuji cantik.
"Kalaulah boleh, saya pengen Andi dan Tiara kenalan. Maklumlah anak saya udah lama menjomblo, udah saatnya nikah."
"Kira-kira kalau mereka dijodohin, mau nggak ya?"
"Anak saya udah mapan, kerjanya di Jakarta."
Mama tersenyum lagi. "Urusan jodoh, biarlah Tiara sendiri yang pilih, Bu. Anak sekarang mah beda sama kita dulu."
Mendengar itu, mereka hanya menganggukkan kepala mengerti. Meski kuyakin masih ada keinginan besar mereka untuk menjodohkan Tiara dengan anak-anak mereka.
Ekspresi mama hanya biasa saja, karena tahu betul siapa saja yang dimaksud ibu-ibu itu. Mama tahu apa pekerjaannya, tahu tingkah lakunya, dan ia tak mau Tiara terjebak dalam pilihan yang salah.
Lebih tepatnya, yang mereka sebut mapan hanyalah pekerja serabutan dengan gaji tak seberapa. Atau pekerja sepertiku.
Mama memang selalu menjaga dan membanggakan Tiara. Belum lagi saat mobil baru Tiara diantar ke rumah. Para tetangga khas orang kampung melongok ke luar jendela demi menyaksikan mobil baru Tiara.
"Emang sih kalau kerja di perusahaan bikin cepet kaya. Beda kelas sama yang kerja serabutan," kata salah satu tetangga.
Mama hanya tersenyum bangga.
Sementara aku tersenyum malu. Malu pada pemikiran dan hal-hal yang tak mereka ketahui. Malu pada hal yang mereka banggakan.
Barang kreditan.
.
Esoknya aku bekerja seperti biasa. Masih menaiki angkutan umum seperti biasa karena Tiara sudah menjual motornya.
Saat aku tiba di depan tempatku bekerja, tiba-tiba seorang lelaki menarik tanganku hingga hampir membuatku menjerit. Namun, melihat siapa yang menarikku, aku hanya menatapnya, pun ia kembali melepas tanganku.
"Apa?" tanyaku marah. Aku menatap tajam padanya, lalu beralih pada lengan yang tadi dipegangnya, seperti berbekas, dan aku membenci perbuatannya.
"Lo kakaknya Tiara, kan?" tanyanya.
"Iya," jawabku.
"Bahagia ya dia sekarang?"
Entah ada maksud apa lelaki ini menanyakan Tiara padaku.
Lelaki bertubuh tinggi, kulitnya putih, overall dia memang tampan. Aku tahu dia adalah pacar Tiara, yang aku tak tahu kenapa dia malah mencariku.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
Maksudku apa urusannya dia bertanya tentang adikku.
"Sia lan banget cewek itu ya, habis meras gue, malah minta putus tanpa alasan yang jelas. Sekarang dia punya gebetan baru, kan?" cerocosnya tampak begitu kesal.
Aku menautkan dua alis, sejenak memikirkan apa yang sedang lelaki itu bicarakan. Lalu, mengingat kejadian kemarin saat Tiara masuk cafe bersama seorang lelaki dengan gaya keren khas orang kaya itu. Aku baru bisa menyimpulkan bahwa itu memang benar pacar baru Tiara.
"Terus mau kamu apa?" tanyaku.
"Gue mau dia balikin semua barang yang udah gue beli ke dia. Semua uang yang udah gue keluarin buat jalan sama dia,"
Aih! Aku merapatkan gigiku dengan geram. Geram pada Tiara yang matre, juga pada lelaki did depanku ini yang terkesan tak tahu malu dan perhitungan.
Sejenak aku menatapnya, "minta ke dia langsung. Emangnya aku ini Tiara?" kataku.
Aku berbalik ingin pergi dari hadapannya. Enak saja Tiara yang bermasalah malah mengajakku ikutan dalam masalahnya.
"Oke," ucap lelaki itu dengan nada dingin.
Aku berhenti sebentar. Entah mengapa nada dinginnya membuatku takut dan berpikir macam-macam. Berbagai pikiran buruk melintas di kepalaku. Aku takut Tiara diculik, dilece hkan, atau bahkan di bu nuh. Aku takut.
Tapi, aku juga tak punya banyak uang untuk membayar semua hal yang dinikmati oleh Tiara. Aku tak tahu cewek matre itu sudah menghabiskan berapa banyak uang lelaki ini. Mau bilang ke ayah juga takut menghawatirkannya.
Setelah berkecamuk dalam pikiran, aku berbalik dan kembali menatap padanya. Mencoba berbicara baik-baik padanya.
"Maaf, kalau boleh tau, Tiara harus bayar berapa ya?" tanyaku.
"Aku gak hitung totalnya. Tapi, hitungan kasar aja, sekitar tiga juta."
Mataku membelalak mendengar itu. Kemudian sesaat aku terpejam dan menikmati tekanan dan ketakutan secara bersamaan.
Mau kabur mengindari lelaki itu malah takut Tiara kenapa-napa. Mau tidak percaya, tapi aku mnegenal Tiara dengan baik.
"Yaudah, berapa nomor rekeningnya?" Akhirnya aku bertanya. Mengalah pada keadaan.
Lelaki itu menyebutkan beberapa angka nomor rekeningnya. Kemudian, aku mengirimkan sejumlah uang yang disebut. Aku menghela napas lelah, dalam hati begitu sedih karena uang tabungan untuk membeli motor baru jadi berkurang lagi.
"Jangan macam-macam dengan adikku. Jangan cari perkara dengan keluargaku." Aku sedikit mengancam agar ia takut, karena lelaki itu lebih muda dariku.
Lalu, aku berbalik pergi ingin masuk ke tempat kerja.
"Tunggu!" panggilnya lagi.
"Apa lagi?" gerutuku seolah masalah ini tak ada ujungnya.
"Gue kembalikan uang lo. Berapa nomor rekeningnya?" tanya lelaki itu.
Aku yang masih bingung sekilas menatap keseriusannya. Kemudian, aku menunjukkan ponselku yang tertulis nomor rekening di sana. Mungkin dia berubah pikiran, syukurlah uangku selamat.
Beberapa saat kemudian, sebuah notifikasi muncul di ponselku. Benar ia mengirimkan kembali uang itu, tapi entah kenapa.
"Tadinya gue pengen bisa kembali bersama Tiara apapun caranya, gue seperti cinta mati. Tapi, beberapa saat yang lalu, gue sudah tau bagaimana sebenarnya gadis itu."
Aku benar-benar bingung, apa sebenarnya mau lelaki itu.
"Lo nggak seperti yang selalu dia ceritakan. Menyebalkan, pelit, pemalas dan semua keburukan lainnya."
Salsa 8."Salsa, minumannya udah beres?" tanya Mama yang sejak tadi mondar mandir melihat semua kesiapan acara hari ini."Udah, Ma." Aku menjawab lelah.Hari ini Tiara bertunangan dengan lelaki yang waktu itu kulihat di cafe. Sebulan setelah hari itu, mereka bertunangan.Tiara beberapa kali sempat mengajak lelaki itu untuk bertamu ke rumah, bertemu orangtuaku. Kali terakhir ia datang, ia mengutarakan niat untuk melamar Tiara.Gadis itu pun menyetujuinya, karena terlalu lelah menghadapi para lelaki yang menyukainya.Bahkan minggu lalu saat aku pulang bekerja, ada tamu yang datang untuk melamar Tiara."Begini, Bu. Sebenarnya Tiara udah punya pacar." Mama menolak dengan halus."Gimana kalau sama Salsa aja?" tanya Mama."Kakaknya yang item itu?" tanya ibu dari lelaki itu.Seketika aku merasa ada yang mengiris hati. Meski bukan pertama kali bullying fisik itu aku terima, tetap saja bikin sakit hati. Mereka terlalu memandang fisik, dan terlalu kentara memperbedakanku dengan Tiara."Haruska
Salsa 9.Setelah pertunangan Tiara, hari demi hari berlalu berganti minggu dan bulan. Dia bahagia, sementara aku tertekan.Sejak Tiara tunangan, aku makin disudutkan sebagai perawan tua yang tak nikah nikah. Seringkali saat aku melewati kerumunan ibu-ibu yang mengenaliku, mereka menyebutku tak beruntung, tidak seperti Tiara."Gak cantik, makanya gak ada yang mau." Begitu kata ibu-ibu di sekitar tempatku tinggal.Tekanan itu tak hanya dibagi padaku, tapi juga pada Mama yang merasa risih dengan semua penilaian orang-orang.Mama tertekan, jadi ia sekarang mengembalikan tekanan itu padaku.Mama meminta Tiara untuk mencarikan jodoh untukku. Ya, karena aku mengakui tidak punya pacar. Aku memang tidak pernah punya hubungan khusus dengan laki-laki. Mengenal laki-laki saja hanya sebatas teman sekelas saat masih sekolah, atau teman bekerja. Tak lebih dari itu."Malam besok dia datang. Kamu harus dandan cantik ya. Pusing kepala Mama kalau harus dengar julukan perawan tua untukmu."Saat itu aku
Salsa 10.Setelah kejadian malam itu, aku pikir suasana akan tetap tenang. Namun, suasana di rumah makin kaku dan dingin. Mama dan Ayah saling diam, sama-sama masih marah karena merasa pasangannya bersalah.Mama dan Tiara mendiamkanku, terlalu marah karena aku menolak lelaki itu.Kupikir setelah kejadian itu, setelah ketegangan yang terjadi dalam rumah ini, Mama akan berhenti menjodohkanku dengan siapa pun yang ia mau.Rupanya tidak.Aku tinggal di kalangan masyarakat yang masih mempercayai mitos bahwa seorang adik tak boleh melangkahi kakaknya untuk menikah. Akan ditimpakan kesialan dalam pernikahannya jika melangkahi seorang kakak.Tiara dan Mama masih menganut mitos sesat itu. Menyesatkan pemikiran saja.Hingga mereka begitu gencarnya mencari jodoh untukku agar Tiara bisa segera menikah.Entah bagaimana cara Mama merayu Ayah, hingga aku kembali dihadapkan dengan calon suami yang akan menikahiku. Atau memang Ayah tak tahu hingga malam itu.Aku sudah berpakaian rapi dan bersih, lalu
Salsa 11.Pagi ini suasana di meja makan begitu dingin dan kaku. Tak ada yang berbicara, tak ada yang menyapa. Mama pun tampak murung dan sepertinya tidak bersemangat karena pertengkaran semalam. Mama hanya memasak nasi goreng dan telur ceplok, juga teh di meja yang masih mengepulkan asap.Hanya suara sendok yang berdenting bertemu piring.Ayah makan dengan cepat, setelah menyudahi makannya ia langsung bangun dari kursi dan menyambar jaket di belakangnya."Ayah pergi ya, Sa." Ayah pamit padaku. Tapi, tidak pada Mama dan Tiara seperti biasanya."Hati-hati, Yah!" kataku.Aku merasa ngeri dengan sikap diam Ayah pada Mama dan Tiara. Kupikir setelah Ayah pergi, mereka akan mengomeliku dan memarahiku habis-habisan. Namun, nyatanya tidak.Tiara malah menyudahi makan yang belum selesai, diikuti oleh Mama. Tinggallah aku seorang diri di meja makan. Tak menunggu lama aku langsung menghabiskan makan, dan membersihkan meja dan piring kotor di dapur.Aku bersiap untuk pergi bekerja.Aku memanask
Salsa 12."Mas, duit belanjanya abis!" kata Mama setelah kami selesai makan pagi ini.Ayah tak menyahut, bahkan tak menatap Mama yang sedang berbicara. Lelaki paruh baya itu masih mendiamkannya, tak lagi terlihat keharmonisan antara keduanya, padahal sudah seminggu sejak kejadian malam itu. Lagi-lagi aku merasa bersalah atas pertengkaran mereka."Ayah pamit ya, Sa." Selalu setiap akan bekerja ayah akan berpamitan padaku. Tampak tak peduli lagi pada Mama dan Tiara."Iya," jawabku sambil memeringatkannya untuk hati-hati di jalan.Ayah berangkat. Sementara Mama dan Tiara mulai menatap sengit padaku.Aku langsung masuk kamar dan menyiapkan diri untuk bekerja. Lalu, saat aku selesai, kuhampiri Mama yang sedang duduk bengong menonton televisi. Aku tahu sebenarnya hatinya juga gusar dengan keadaan yang sedang berlaku. Namun, salah sendiri, kenapa harus sekeras itu untuk menjodohkanku dengan lelaki yang tak cocok denganku."Ma …," panggilku.Wanita itu tak menoleh, matanya masih terus menata
Salsa 13."Reza, nikah yuk!" ucapku dengan tangan yang memilih ujung baju. Terkadang keberanian memang datang saat keadaan benar-benar mendesak. Padahal biasanya aku tak seberani itu.Reza kaget dan menatapku. Ia pasti tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.Reza adalah temanku saat SMA, satu-satunya teman lelaki yang masih kontekan hingga sekarang. Sering balas story WA atau sekadar chat tanya kabar.Jujur saja, selain sebagai teman, tak ada rasa lebih untuk lelaki itu. Entah dengan dia, kurasa tidak juga.Setelah sehari semalam menunggu untuk bertemu Reza, akhirnya sore ini setelah pulang bekerja aku bertemu dengannya. Semalam aku tak bisa tidur karena pikiran terus mencari jalan keluar dari masalahku. Akhirnya ide itu muncul. Ide gi la untuk mengajak Reza menikah denganku.Lelaki itu bekerja di cafe yang lumayan dekat dengan tempat kerjaku, jadi aku meminta kesediannya untuk bertemu. Padahal sebelumnya aku tak pernah mengajak orang bertemu apalagi lelaki. Aku dan Reza mem
Salsa 14."Apa? Menikah?" tanya Ayah masih tak percaya dengan ucapanku.Aku mengangguk tersenyum menyakinkan Ayah."Sama siapa?" tanya Ayah lagi. Pasalnya Ayah memang tahu bahwa selama ini aku tak punya hubungan spesial dengan lelaki."Minggu depan dia akan melamar, Yah.""Kamu nggak lagi ditekan sama Mama atau Tiara, kan?" Ayah khawatir.Aku menggeleng. "Enggak, Yah. Ini keputusanku."Ayah bernapas lega, ia bahkan meraup wajahnya dengan telapak tangan, penuh kelegaanMama dan Tiara saling menatap bingung, karena aku sama sekali tidak menceritakan apa pun ke mereka."Sama siapa?" tanya Tiara."Reza, teman SMA-ku."Aku menjelaskan banyak hal pada keluargaku agar mereka tahu. Aku juga menjelaskan tentang hubunganku yang lebih serius dengan Reza selama sebulan ke belakang.Satu yang tidak kujelaskan, bahwa aku menemui Reza dan memintanya untuk menikahiku agar tak lagi dipaksa Mama untuk menerima pinangan dari sembarang lelaki."Heleh, cupu cupu pacaran juga Lo ternyata ya! Sok alim pula
Salsa 15.Tiara akhirnya menikah setelah melakukan beberapa persiapan untuk data di kantor KUA. Seperti biasa, jika ia yang punya acara akulah yang sibuk.Sibuk disuruh ini itu untuk keperluannya.Sampai semalam sebelum acara, aku diajaknya untuk menukar sepatu mewah yang akan dipakainya nanti saat menikah. Katanya sepatu itu kurang cocok dengan baju dan tema pernikahannya. Aku seketika menarik napas panjang untuk segala keluhan tentang Tiara, padahal sepatu itu cocok menurutku. Aku memang bukan tipe yang fashionable, tapi aku sedikit tahu tentang bagaimana memasangkan warna-warna outfit.Yang menurut Tiara tak cocok, hanya beberapa aksen di atas sepatu yang berwarna cokelat terang, sementara tema pernikahannya berwarna putih.Tiara mana mau mengerti jika aku ingin istirahat setelah pulang bekerja. Sementara ia mengambil cuti beberapa hari untuk mempersiapkan pernikahan. Toh ia menikah dengan manager di kantornya bekerja.Hingga pagi tiba aku masih sibuk menyiapkan ini itu untuknya.