Share

6. Keserakahan Tiara

Author: El Baarish
last update Last Updated: 2023-10-15 07:28:30

Salsa 6

.

Malam ini Ayah pulang lebih awal sehingga kami bisa makan malam bersama. Jarang-jarang kami bisa makan bersama di malam hari seperti ini, karena ayah hampir selalu pulang malam hari.

Ia kini bekerja di sebuah pabrik pengolahan coklat. Biasanya kerja dari pagi sampai malam, paling cepat pulang sore.

Menu makan malam ini adalah ayam goreng dan sayur sop. Kami semua makan dengan lahap, tak terkecuali Tiara yang sudah menghabiskan dua paha ayam di piringnya. Nasinya memang sedikit, tapi dia boros lauk, yang kadang aku sampai tak kebagian. Entah karena sengaja atau memang dia rakus.

Aku melihat satu sayap ayam tersisa di piring, aku ingin mengambilnya karena lebih suka bagian ayam yang ada tulang-tulangnya. 

Namun, dengan gerak cepat tiba-tiba Tiara mengambil sisa sayap di piring itu dan meletakkannya di piring sendiri.

Ayah yang melihat itu seketika menatap Tiara dengan menggeleng tak suka. Kemudian ia mengambil sayap ayam itu dan mencoba membelahnya menjadi dua.

Aku menggeleng, "gak usah, Yah. Salsa makan dengan sayur, dan kerupuk udah cukup, kok." 

Aku menolak karena tak ingin memancing keributan dengan Tiara. Aku bisa menebak gadis itu pasti akan marah jika hal yang ia inginkan dibatasi.

"Anak Ayah ada dua." Ayah menunjukkan dua jarinya, ia angkat ke atas seolah menjelaskan bahwa aku dan Tiara berstatus sama. Tak ada perbedaan.

"Jadi, apa pun yang ada di rumah ini, kalian bagi berdua. Saling menghargai dan berbagi, entah hal kecil atau besar." Ayah membelah sayap ayam itu menjadi dua bagian dan diletakkan di piringku dan piring Tiara.

Rasanya mataku sudah berembun, karena terharu dengan sikap dan kata-kata Ayah. Padahal aku tak terlalu ingin pun makan sayap ayam itu, tapi karena melihat masih tersisa, jadi aku mengambilnya.

Ayah memang tak selalu ada setiap waktu untuk membelaku. Namun, di banyak kesempatan saat ada Ayah, aku merasa seperti meneguk air dalam keadaan dahaga dan panas yang bersangatan. Ayah mampu mendinginkan suasana, dan menghangatkan hatiku.

Tiara hanya diam, ia sekilas menatapku dan tatapannya beralih pada bagian sayap di piringnya. Mama juga diam tak bersuara.

Tentang uang malam itu, sempat masih berserakan di depan kamarku untuk beberapa hari. Lalu, beberapa hari berikutnya uang itu sudah tak ada lagi. Aku pun tak tahu siapa yang mengambilnya. Ayah, Mama, atau Tiara sendiri yang mengambilnya.

Aku tetap tak menyentuh, hanya sedikit menggeser uang itu agar posisinya tak mengganggu jalan aku keluar masuk kamar. Sebenarnya tak tega juga aku melihat uang berserak di lantai, dan terabaikan, seperti tak menghargai uang yang telah susah dicari.

.

"Ayah," panggil Tiara saat kami sedang duduk bersama di ruang keluarga.

"Hmmm …," sahut Ayah yang sedang fokus menyimak acara berita.

Sejenak Tiara menatap Mama yang duduk di sampingnya.

"Kita jual motor aja ya!" katanya.

Seketika aku pun menoleh ke arah Tiara, penasaran kenapa ia ingin menjual motornya.

Kami memiliki dua motor di rumah, satu untuk Ayah dan satu lagi dipakai Tiara. Seharusnya untuk kami berdua, tapi Tiara tak pernah memberiku kesempatan untuk membawa motor ke tempat kerja. Tidak juga ia berbaik hati untuk mengantarku meski hanya sebentar, toh arah tempat kerjaku dan kampusnya sama.

Ayah mengerutkan kening, bingung.

"Buat apa? Motor kamu kan masih baru. Nanti kerja naik apa?" tanya Ayah.

"Beli mobil, Yah." Tiara menjawab dengan enteng.

Sontak Ayah kembali menatap Tiara. "Udah punya duit kamu?" tanya Ayah.

"Ya nyicil, Yah. Ditambah uang jual motor itu, kan jadi lumayan uang mukanya."

Ayah langsung menggeleng tidak setuju. Ia tentu tahu Tiara belum punya uang sebanyak itu. Memikirkan uang cicilan setiap bulan bukanlah hal yang mudah, bikin tambah sakit kepala. 

Tiara mendekat pada Ayah dan mulai merengek seperti kebiasaannya.

"Aku punya tabungan, Yah. Boleh ya," pinta Tiara.

"Nanti gajiku semuanya akan kupakai untuk bayar cicilan," bujuknya.

"Itu bukan hal yang mudah, Tiara. Sakit kepala nanti kamu mikirin cicilan. Umur kamu masih muda, jangan ngada-ngada pake kredit mobil segala." Ayah memberi nasehat.

"Uang tabungan Ayah kan ada, kita pakai saja dulu. Toh nanti juga mobilnya dipakai buat rame-rame ya."

Ayah tetap menggeleng. Ia masih tak setuju.

"Ayah gak punya uang sebanyak itu," kata ayah.

"Palingan cuma ada 5 jutaan, itu pun Ayah simpan buat kebutuhan sehari-hari."

Tiara mendengkus pelan, ia menyandarkan punggungnya di dinding. Kemudian ia duduk tegap lagi dan menatapku.

"Sama Salsa kan ada uangnya, dia kerja udah lama. Masa gaada tabungan sih?" ucap Tiara dengan entengnya.

Aku menggeleng dengan kuat. Tidak mau ikut campur dalam memperbanyak gaya Tiara. Tabunganku ingin kupakai untuk membeli motor sendiri, agar tidak lagi harus naik angkutan umum.

"Dasar pelit Lo!" cerca Tiara untukku.

Tak heran, ia memang selalu mengataiku pelit.

"Jaga mulutmu, Tiara!" sela Ayah.

Gadis itu merengut kesal karena aku selalu dibela ayah.

"Kalau pun kamu beli mobil, motor itu untuk Salsa pergi bekerja. Jangan dijual!" kata ayah dengan tegas.

"Ck! Belain aja terus! Yang anak kandung itu aku, Yah! Bukan Salsa." Tiara mulai marah karena permintaannya tak dituruti.

"Iya, Mas. Lagian Tiara kan bukan buat foya-foya, tapi buat beli mobil biar lebih semangat kerjanya." Mama mulai bersuara tampak membela.

"Aku malu, Yah. Cuma aku sendiri yang pergi bekerjanya cuma naik motor. Mana cuacanya sekarang lagi panas banget malah," keluh Tiara.

Aku berpaling sejenak, karena muak melihat Tiara yang bertingkah selangit seperti itu. Mana mungkin cuma dia yang kerjanya naik motor. Ada-ada saja alasannya.

Ayah tampak menghembuskan napas lewat mulutnya. Kurasa ia juga kualahan menasehati Tiara yang keras kepala dan manja.

"Terserah kamu aja deh. Asalkan tanggung jawab atas beban yang kamu ciptakan sendiri!" Akhirnya Ayah mengalah, karena Tiara terus merengek.

Padahal ia tahu betul bahwa Tiara baru bekerja beberapa bulan di sana, belum pun sampai setahun. Mana bisa uangnya terkumpul untuk beli mobil. Tapi , persetujuannya mungkin hanya untuk mengajarkan Tiara tentang tanggungjawab.

Tiara bersorak girang, spontan ia menoleh pada Mama yang juga ikut senang.

"Tapi jangan libatkan Ayah untuk mikir cicilan bulanannya." Ayah memperingatkan.

Aku menunduk dan mulai merasakan kesedihan dalam hati. Lagi-lagi karena ketidakadilan mereka di rumah ini.

Sekilas bisa kulihat Ayah menatapku.

"Ada dua pilihan, Tiara!" kata ayah.

Tiara yang baru saja berteriak girang seketika diam menatap Ayah seraya menanti apa yang akan dikatakan lelaki itu.

"Kalau kamu jual motornya, berarti gak ada uang tambahan dari Ayah. Ayah mau kumpulin untuk beli motor baru buat Salsa."

Mataku seketika berbinar mendengar penuturan ayah. Aku bahagia jika Ayah memang berniat membelikan motor baru untukku.

Aku sendiri pun masih mengumpulkan uang membelikan motor untuk diri sendiri. Entah siapa duluan yang akan terkumpul uangnya, aku atau Ayah. Intinya mendengar rencana Ayah saja membuatku bahagia. Aku merasa ada arti baginya.

Sementara Tiara berdecak kesal. Memang tak pernah ia menyukai sesuatu yang berpihak padaku.

"Aku pilih jual motornya," kata Tiara. Ia tahu mana yang lebih menguntungkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   42. Dunia Pasti Berputar

    Salsa 42.Setelah menikah, aku dan Ken balik ke kontrakan masing-masing. Dia membocengku di atas motor besarnya, awalnya sedikit tak nyaman, tapi lama kelamaan jadi nyaman karena aku juga pakai kulot, jadi lebih bisa untuk naik ke motornya."Kenapa gak pake mobil?" protesku saat melihat ia malah mengeluarkan motor dari garasi rumahnya."Memangnya jalan di sana besar kayak di sini?" jawabnya.Iya juga. Akan lebih susah jika naik mobil karena jalannya sempit, apalagi jalan menuju kontrakanku.Kami kembali bukan untuk melanjutkan hidup di sana, tapi untuk menyelesaikan beberapa hal dengan pemilik kontrakan.Kami tiba, dan sepakat untuk ke kontrakaknku dulu. Di sana aku bertemu Pak Budi dan istrinya, aku berpamitan pada mereka serta mengucapkan banyak terima kasih."Sering-seringlah main ke sini, Sa. Gak terasa ya kita udah sama-sama selama beberapa bulan ini. Kamu udah saya anggap seperti anak perempuan saya. Kek ada rasa berat gitu berpisah sama kamu." Bu Mariani membelai bahuku.Meman

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   41. Salsa dan Ken Menikah

    Salsa 41.Minggu depan aku dan Ken akan resmi menikah. Seminggu yang lalu, ia dan keluarganya datang melamar secara resmi. Aku meminta Ayah untuk tidak terlalu menyibukkan diri menyiapkan acara pertunangan yang mewah, sederhana saja, dan Ken juga setuju dengan semua usulku.Tiara kondisinya lebih sering lemas dan hanya terbaring di kamar. Ia juga memtuskan untuk resign dari pekerjaan karena merasa malu untuk kembali bekerja di sana.Ia lebih banyak diam saat ini, sepertinya mentalnya benar-benar sedang down. Rasa mualnya seringkali membuat ia tak bisa makan, semua makanan yang ia coba masukkan ke mulut, langsung keluar kembali. Mama yang senantiasa ada dan merawatnya.Aku pernah melihat Tiara menangis di dekat kamar mandi. Ia duduk merangkul lutut dan memegang perutnya. Aku bahkan ikut menangis melihatnya, karena mengerti posisinya pasti sulit. Sulit mengandung seorang anak tanpa didampingi suami.Mama juga melihatnya, aku menatap Mama dan ia memberi aba-aba agar aku membantu memapah

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   40. Tiara Kini

    Salsa 40."Mas Andre, Ma …," Tiara memangis dengan kerasnya di pelukan Mama. Aku belum terlalu mengerti situasi, tapi kulihat di sana Andre sudah dalam kawasan polisi. Tangannya diborgol mungkin agar tidak melawan. Wajahnya sedikit lebam, sepertinya ia memang melawan dan mendapat pukulan dari polisi.Namun, nampaknya Mama mengerti keadaan ini, tapi aku tak berani bertanya. Antara takut melukai hatinya dan takut kena marah.Tiara menangis terus menerus, dan Andre menjelaskan banyak hal pada polisi dengan marah, lalu mengiba agar mereka tidak menangkapnya.Aku mengamati rumah dan sekelilingnya, sudah ada garis polisi yang dilingkari. Tak lama kemudian Ayah datang, dengan masih memgenakan jaket itu dia turun dari motor. Sepertinya Ayah ngebut di jalan agar cepat sampai ke sini. Mungkin Tiara langsung menelepon, dan Ayah meninggalkan pekerjaannya dan langsung ke sini.Ayah bertanya banyak hal pada polisi yang memegang sebuah berkas laporan penangkapan Andre. Lebih tepatnya meminta penj

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   39. Andre Ditangkap

    Salsa 39."Ada apa, Reza?" tanyaku pada lelaki itu yang terlihat sungkan karena ada Ken bersamaku.Reza diam di tempat, sementara aku menatap Ken yang juga menatapku dan bertanya lewat tatapan. Bertanya siapa lelaki itu, lalu ketika aku mengangguk samar, ia baru mengerti bahwa Reza adalah orang yang pernah diceritakan dulu, mantanku.Aku minta izin pada Ken agar memberiku waktu beberapa menit mengobrol dengan Reza. Bukan untuk melanjutkan hubungan kami yang telah dilalui banyak drama, tapi untuk benar-benar mengakhiri apa yang telah kami mulai.Beberapa hari yang lalu, aku melihat kontak Reza sudah bisa dihubungi, itu artinya ia sudah membuka blokiran WhatsApp-ku. Tapi, aku tak lagi peduli karena aku pernah melalui hari-hari dengan harapan bahwa Reza datang dan meminta maaf, lalu kami baikan. Namun, lelaki itu tak datang, yang artinya ia memuat harapanku pupus.Lalu, lama kelamaan saat hari demi hari berlalu, aku mulai bisa berdamai dengan rasa yang pernah ada untuknya. Pun, perlahan

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   38. Kedatangan Reza

    Salsa 38."Tinggal Lo-nya aja yang pulang. Mama udah ngerestui hubungan kita.""Hah?" Hingga malam tiba, di kepalaku masih terngiang-ngiang kalimat Ken.Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakannya tadi siang, karena aku tahu bahwa Mama tak semudah itu untuk memafkanku atau merestuiku.Saat bertemu tadi siang, aku pun tak banyak bicara dengan Ken. Hanya mengangguk ya atau bilang tidak sebagai tanggapan. Masih belum terlalu bisa menerima kebohongannya, meskipun sudah perlahan memafkan.Sambil sesekali aku mencuri menatapnya heran, entah apa yang ia lakukan hingga Mama menurut saja padanya. Entah keberanian apa yang dimiliki oleh Ken, padahal jelas saja saat kuceritakan masalahku dengan Mama, ia tampak menilai bahwa Mama adalah orang yang tak bijaksana sebagai orang dewasa.Namun, semua kebingungan itu terjawab sudah saat aku bertanya pada Ayah melalui sambungan telepon."Ya, Ken memang datang ke rumah bertemu Mama.""Masa sih?" "Iya, Sa. Mama santai dan adem aja tuh ketemu sam

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   37. Kamu Harus Pulang

    Salsa 37.Malam ini saat aku pulang ke rumah, sudah ada Ayah menunggu di teras. Ia memang sudah memberitahuku untuk datang tadi siang, tapi kuncinya terlanjur kubawa yang membuat Ayah harus menunggu di depan rumah. Mungkin Pak Budi juga tidak melihat Ayah, kalau tidak pastilah sudah heboh dijamu macam-macam di rumahnya seperti yang sudah-sudah. Ayah juga tak mau merepotkan sepertinya.Seperti biasa, aku diantar oleh Yuli yang sudah seperti ojek online saat pulang. Kerap kali Yuli menolak uang bensin yang kuberikan, tapi setelah kupaksa akhirnya kami patungan bensin. "Udah lama, Yah?" tanyaku begitu sampai.Ayah menggeleng."Sepuluh menit yang lalu ada kayaknya," jawab Ayah."Sengaja ngepasin jam kamu pulang, biar gak kelamaan nunggu di luar." Ayah menambahkan.Aku hanya mengangguk. Langsung mengambil tangan Ayah dan menyalaminya. Di belakangku Yuli juga menyalami Ayah, lalu pamit pergi. Yuli dan Ayah sudah pernah bertemu beberapa kali sebelumnya, saat hari libur Ayah pernah mengunju

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status