Share

6. Keserakahan Tiara

Salsa 6

.

Malam ini Ayah pulang lebih awal sehingga kami bisa makan malam bersama. Jarang-jarang kami bisa makan bersama di malam hari seperti ini, karena ayah hampir selalu pulang malam hari.

Ia kini bekerja di sebuah pabrik pengolahan coklat. Biasanya kerja dari pagi sampai malam, paling cepat pulang sore.

Menu makan malam ini adalah ayam goreng dan sayur sop. Kami semua makan dengan lahap, tak terkecuali Tiara yang sudah menghabiskan dua paha ayam di piringnya. Nasinya memang sedikit, tapi dia boros lauk, yang kadang aku sampai tak kebagian. Entah karena sengaja atau memang dia rakus.

Aku melihat satu sayap ayam tersisa di piring, aku ingin mengambilnya karena lebih suka bagian ayam yang ada tulang-tulangnya. 

Namun, dengan gerak cepat tiba-tiba Tiara mengambil sisa sayap di piring itu dan meletakkannya di piring sendiri.

Ayah yang melihat itu seketika menatap Tiara dengan menggeleng tak suka. Kemudian ia mengambil sayap ayam itu dan mencoba membelahnya menjadi dua.

Aku menggeleng, "gak usah, Yah. Salsa makan dengan sayur, dan kerupuk udah cukup, kok." 

Aku menolak karena tak ingin memancing keributan dengan Tiara. Aku bisa menebak gadis itu pasti akan marah jika hal yang ia inginkan dibatasi.

"Anak Ayah ada dua." Ayah menunjukkan dua jarinya, ia angkat ke atas seolah menjelaskan bahwa aku dan Tiara berstatus sama. Tak ada perbedaan.

"Jadi, apa pun yang ada di rumah ini, kalian bagi berdua. Saling menghargai dan berbagi, entah hal kecil atau besar." Ayah membelah sayap ayam itu menjadi dua bagian dan diletakkan di piringku dan piring Tiara.

Rasanya mataku sudah berembun, karena terharu dengan sikap dan kata-kata Ayah. Padahal aku tak terlalu ingin pun makan sayap ayam itu, tapi karena melihat masih tersisa, jadi aku mengambilnya.

Ayah memang tak selalu ada setiap waktu untuk membelaku. Namun, di banyak kesempatan saat ada Ayah, aku merasa seperti meneguk air dalam keadaan dahaga dan panas yang bersangatan. Ayah mampu mendinginkan suasana, dan menghangatkan hatiku.

Tiara hanya diam, ia sekilas menatapku dan tatapannya beralih pada bagian sayap di piringnya. Mama juga diam tak bersuara.

Tentang uang malam itu, sempat masih berserakan di depan kamarku untuk beberapa hari. Lalu, beberapa hari berikutnya uang itu sudah tak ada lagi. Aku pun tak tahu siapa yang mengambilnya. Ayah, Mama, atau Tiara sendiri yang mengambilnya.

Aku tetap tak menyentuh, hanya sedikit menggeser uang itu agar posisinya tak mengganggu jalan aku keluar masuk kamar. Sebenarnya tak tega juga aku melihat uang berserak di lantai, dan terabaikan, seperti tak menghargai uang yang telah susah dicari.

.

"Ayah," panggil Tiara saat kami sedang duduk bersama di ruang keluarga.

"Hmmm …," sahut Ayah yang sedang fokus menyimak acara berita.

Sejenak Tiara menatap Mama yang duduk di sampingnya.

"Kita jual motor aja ya!" katanya.

Seketika aku pun menoleh ke arah Tiara, penasaran kenapa ia ingin menjual motornya.

Kami memiliki dua motor di rumah, satu untuk Ayah dan satu lagi dipakai Tiara. Seharusnya untuk kami berdua, tapi Tiara tak pernah memberiku kesempatan untuk membawa motor ke tempat kerja. Tidak juga ia berbaik hati untuk mengantarku meski hanya sebentar, toh arah tempat kerjaku dan kampusnya sama.

Ayah mengerutkan kening, bingung.

"Buat apa? Motor kamu kan masih baru. Nanti kerja naik apa?" tanya Ayah.

"Beli mobil, Yah." Tiara menjawab dengan enteng.

Sontak Ayah kembali menatap Tiara. "Udah punya duit kamu?" tanya Ayah.

"Ya nyicil, Yah. Ditambah uang jual motor itu, kan jadi lumayan uang mukanya."

Ayah langsung menggeleng tidak setuju. Ia tentu tahu Tiara belum punya uang sebanyak itu. Memikirkan uang cicilan setiap bulan bukanlah hal yang mudah, bikin tambah sakit kepala. 

Tiara mendekat pada Ayah dan mulai merengek seperti kebiasaannya.

"Aku punya tabungan, Yah. Boleh ya," pinta Tiara.

"Nanti gajiku semuanya akan kupakai untuk bayar cicilan," bujuknya.

"Itu bukan hal yang mudah, Tiara. Sakit kepala nanti kamu mikirin cicilan. Umur kamu masih muda, jangan ngada-ngada pake kredit mobil segala." Ayah memberi nasehat.

"Uang tabungan Ayah kan ada, kita pakai saja dulu. Toh nanti juga mobilnya dipakai buat rame-rame ya."

Ayah tetap menggeleng. Ia masih tak setuju.

"Ayah gak punya uang sebanyak itu," kata ayah.

"Palingan cuma ada 5 jutaan, itu pun Ayah simpan buat kebutuhan sehari-hari."

Tiara mendengkus pelan, ia menyandarkan punggungnya di dinding. Kemudian ia duduk tegap lagi dan menatapku.

"Sama Salsa kan ada uangnya, dia kerja udah lama. Masa gaada tabungan sih?" ucap Tiara dengan entengnya.

Aku menggeleng dengan kuat. Tidak mau ikut campur dalam memperbanyak gaya Tiara. Tabunganku ingin kupakai untuk membeli motor sendiri, agar tidak lagi harus naik angkutan umum.

"Dasar pelit Lo!" cerca Tiara untukku.

Tak heran, ia memang selalu mengataiku pelit.

"Jaga mulutmu, Tiara!" sela Ayah.

Gadis itu merengut kesal karena aku selalu dibela ayah.

"Kalau pun kamu beli mobil, motor itu untuk Salsa pergi bekerja. Jangan dijual!" kata ayah dengan tegas.

"Ck! Belain aja terus! Yang anak kandung itu aku, Yah! Bukan Salsa." Tiara mulai marah karena permintaannya tak dituruti.

"Iya, Mas. Lagian Tiara kan bukan buat foya-foya, tapi buat beli mobil biar lebih semangat kerjanya." Mama mulai bersuara tampak membela.

"Aku malu, Yah. Cuma aku sendiri yang pergi bekerjanya cuma naik motor. Mana cuacanya sekarang lagi panas banget malah," keluh Tiara.

Aku berpaling sejenak, karena muak melihat Tiara yang bertingkah selangit seperti itu. Mana mungkin cuma dia yang kerjanya naik motor. Ada-ada saja alasannya.

Ayah tampak menghembuskan napas lewat mulutnya. Kurasa ia juga kualahan menasehati Tiara yang keras kepala dan manja.

"Terserah kamu aja deh. Asalkan tanggung jawab atas beban yang kamu ciptakan sendiri!" Akhirnya Ayah mengalah, karena Tiara terus merengek.

Padahal ia tahu betul bahwa Tiara baru bekerja beberapa bulan di sana, belum pun sampai setahun. Mana bisa uangnya terkumpul untuk beli mobil. Tapi , persetujuannya mungkin hanya untuk mengajarkan Tiara tentang tanggungjawab.

Tiara bersorak girang, spontan ia menoleh pada Mama yang juga ikut senang.

"Tapi jangan libatkan Ayah untuk mikir cicilan bulanannya." Ayah memperingatkan.

Aku menunduk dan mulai merasakan kesedihan dalam hati. Lagi-lagi karena ketidakadilan mereka di rumah ini.

Sekilas bisa kulihat Ayah menatapku.

"Ada dua pilihan, Tiara!" kata ayah.

Tiara yang baru saja berteriak girang seketika diam menatap Ayah seraya menanti apa yang akan dikatakan lelaki itu.

"Kalau kamu jual motornya, berarti gak ada uang tambahan dari Ayah. Ayah mau kumpulin untuk beli motor baru buat Salsa."

Mataku seketika berbinar mendengar penuturan ayah. Aku bahagia jika Ayah memang berniat membelikan motor baru untukku.

Aku sendiri pun masih mengumpulkan uang membelikan motor untuk diri sendiri. Entah siapa duluan yang akan terkumpul uangnya, aku atau Ayah. Intinya mendengar rencana Ayah saja membuatku bahagia. Aku merasa ada arti baginya.

Sementara Tiara berdecak kesal. Memang tak pernah ia menyukai sesuatu yang berpihak padaku.

"Aku pilih jual motornya," kata Tiara. Ia tahu mana yang lebih menguntungkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status