Share

Bab 3

Salsa 3

.

Pagi ini, aku terbangun seperti biasa. Tubuh ini seolah telah mengirimkan sinyal kapan harus bangun pagi. Selesai salat subuh, aku langsung bergerak ke dapur. Di sana, aku melihat Mama sedang memasak untuk sarapan pagi.

Hening. Suasana begitu kaku, karena Mama masih tampak marah padaku. Ucapanku semalam untuk Tiara benar-benar membuatnya marah hingga mendiamkanku.

"Apa yang bisa dibantu, Ma?" tanyaku saat melihat tak ada piring kotor yang harus kucuci. Mama belum selesai masak, makanya belum ada tumpukan piring kotor di wastafel.

Tak ada jawaban, Mama tetap diam, dan melanjutkan memotong beberapa sayuran untuk dicampurkan ke dalam telur.

Sejenak aku menatapnya. Cukup membuat suasana tak nyaman dengan keadaan serba salah seperti ini. Meskipun Mama kerap memperlakukanku tak adil, tapi aku merasa takut jika ia mulai tak bicara padaku. Aku takut menjadi anak durhaka.

Ah, tapi kan, aku bukan anaknya. Apakah ada surga di telapak kaki seorang ibu asuh?

Aku menggeleng dengan kepala yang terasa berat. Karena tak mendapat perhatian, aku keluar dari dapur dan menuju ruang tamu untuk mengeluarkan motor agar bisa nyapu.

Setelah nyapu dalam dan luar, aku kembali masuk. Kini langkahku menuju kamar mandi dan melihat cucian yang ternyata cuma ada satu dua, tanggung kalau dicuci.

Jadilah aku menggosok kamar mandi agar terlihat sibuk dan berguna.

Ya, berguna. Semakin hari setelah menyadari bahwa aku bukan anak kandung Ayah dan Mama, aku merasa semakin tak nyaman. Ada batas-batas yang tak boleh kulewati seperti dalam keluarga kandung.

Mungkin itu juga yang dimaksud dengan ungkapan darah lebih kental dari air. Hubungan darah akan memperjelas mana yang harus diutamakan.

Dan … dalam kisahku, aku hanya tepian. Sementara pusatnya adalah Tiara.

"Itu buat Tiara, ya!" seringkali saat aku mengambil lauk duluan, Mama selalu memperingatkan hak Tiara. Hal yang membuatku semakin sungkan.

Jadinya, saat makan, aku akan menunggu. Menunggu sebagai orang paling terakhir yang mengambil lauk.

Seperti pagi ini, Mama dengan cekatan menyiapkan sarapan di meja makan. Aku ingin membantunya, tapi takut dimarahi. Saat aku melihat Ayah, aku baru berani membantu, karena jika pun kena marah, kuyakin Ayah akan membela.

"Tunggu Tiara dulu!" ucap Mama dingin saat melihat aku dan Ayah duduk di kursi.

Kemudian ia bergegas membangunkan putri semata wayangnya, Mutiara. Aku tak tahu apakah Tiara salat subuh atau tidak, tapi ia memang punya kebiasaan telat bangun lagi jika tidak ke kampus.

Ia selalu menunggu dibangunkan, diusap-usap punggungnya sampai bangun. Seingatku, gadis itu tak pernah bangun sendiri jika Mama tak membangunkannya.

Ia selalu menunggu Mama memperlakukannya dengan manja.

"Kenapa langsung makan sih?" sentak Mama saat ia sudah kembali dari kamar Tiara dan melihat aku dan Ayah sudah makan duluan.

"Keburu lapar kalau harus nunggu Tuan Putri bangun, cuci muka dan jalan ke meja makan lama banget," jawab Ayah dengan santai. Ia kembali mengambil telur dadar di dalam piring dan meletakkannya di piringku dan piring sendiri.

Aku menunduk, takut pada Mama. Sempat kulihat mulutnya mengomel pelan entah apa. Kesal mungkin.

Tiara datang dan langsung duduk dengan wajah merengut. Ayah langsung menyodorkan sepiring nasi goreng juga telur dan kerupuk.

.

"Ini uang kamu yang diambil Tiara, Ayah kembalikan ya," ucap Ayah sambil menyerahkan uang enam ratus ribu untukku.

Aku menatap Ayah dengan begitu sayangnya. Berarti Ayah tahu apa yang terjadi semalam antara aku, Mama dan Tiara.

Aku menggeleng, mana mungkin aku menerima bayaran dari Ayah. 

"Gak usah, Yah. Mending buat belanja sehari-hari aja. Aku nyuruh bayar ke Tiara juga bukan karena pelit, tapi biar dia bertanggung jawab aja." 

Kini Ayah yang menggeleng. "Ayah tau maksud kamu. Tapi, selagi Ayah ada uang, ambilah. Kamu tabung aja," 

Akhirnya dengan terpaksa aku mengambil uang itu yang sengaja dilebihkan Ayah untuk jajanku katanya. Padahal aku punya uang jajan.

"Kasih terus uang yang banyak, padahal dia ada duit sendiri tuh!" Tiba-tiba dari dalam, Mama protes.

"Dia yang pelit, eh malah Mama yang diomelin."

Ayah menggeleng, "jangan terlalu dimasukin ke hati," ucapnya pelan.

"Ingat, Mas! Tiara juga butuh duit buat perawatan tuh," ucap Mama seolah sedang memperingatkan Ayah bahwa ada satu lagi yang harus ia berikan uang. Bahwa Tiara lebih penting karena ia anak kandung.

"Aku lagi bayar uang yang diambil Tiara, Ma. Itu artinya sama saja seperti aku ngasih uang ke Tiara, kan?" Ayah memperjelas.

Mama diam, tapi kuyakin hatinya tak puas. Dari biacarnya bisa kutebak bahwa semalam Ayah mungkin menegurnya setelah bertanya apa yang terjadi.

"Udahlah, kita udah telat. Ayo kerja!" kata Ayah.

Aku melihat jam di tangan, benar saja sudah telat karena keasikan ngobrol sama Ayah. Akhirnya kuberanikan diri menemui Tiara di kamar untuk meminta kunci motornya. Jam segini nunggu angkot atau ojek agak lama, dan padat.

"Aku pinjam motornya ya," pintaku. Aku tak bisa berangkat bersama Ayah karena saat sampai persimpangan kami beda arah.

Tiara yang baru selesai mandi pagi, langsung menyerahkan kunci padaku. Aku mengerutkan dahi, tidak biasanya ia seroyal ini denganku.

Kami punya dua motor. Satu dibawa oleh Ayah bekerja, satu lagi untukku dan Tiara. Meskipun aku jarang sekali memakainya, karena setiap hari Tiara yang pakai untuk kuliah. Aku pergi bekerja dengan ojek atau angkutan umum.

Setelah mendapatkan kunci, aku langsung keluar dari kamar Tiara. Aku menstarter motor matic dan siap bekerja setelah pamit ke Ayah dan Mama.

"Aku berangkat ya," ucapku sambil menyalami tangan orangtua angkatku. 

Mama tampak masih marah, karena ia bahkan memalingkan wajahnya saat aku salam. Padahal, bukankah ia yang menamparku semalam?

Motor matic yang dikendarai terus melaju. Namun, sampai di persimpangan aku merasa tarikan gasnya melambat. Sedikit panik karena takut motor ini rusak. Bisa habis diomeli Tiara. Bisa habis uangku jika harus memperbaikinya.

Tiba-tiba mesinnya mati, motor terhenti di tengah jalan yang membuatku harus menepi. Kucoba menstarter, tapi tak bisa. Kemudian aku melihat meteren bahan bakar minyak yang membuatku geleng kepala.

Demi memastikan, aku buka bagasi motor dan mengecek bensinnya. Benar-benar kosong. Hampir saja aku mengumpat Tiara, pantas saja saat aku minta kunci langsung dikasih, rupanya tanpa sadar ia ingin menyuruhku mengisi bensin untuk motornya.

Aku berdecak kesal, karena di sekitar sini tak ada kios yang jual bensin eceran. Terpaksa aku harus mendorong pelan untuk sampai ke kios di depan sana.

"Kenapa, Sa?" 

Ah, Ayah. Aku bernapas lega saat melihat motornya berhenti di depanku.

"Habis bensin," kataku.

Ayah pun menarik napas panjang. Ia sama sepertiku yang menduga Tiara sengaja kasih motor tanpa bensin biar diisiin.

"Tunggu di sini, Ayah akan belikan di depan sana."

Aku mengangguk, dan dengan sabar menunggu Ayah kembali dengan membawa bensin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status