Share

Bab 3

Author: El Baarish
last update Last Updated: 2023-08-28 21:24:08

Salsa 3

.

Pagi ini, aku terbangun seperti biasa. Tubuh ini seolah telah mengirimkan sinyal kapan harus bangun pagi. Selesai salat subuh, aku langsung bergerak ke dapur. Di sana, aku melihat Mama sedang memasak untuk sarapan pagi.

Hening. Suasana begitu kaku, karena Mama masih tampak marah padaku. Ucapanku semalam untuk Tiara benar-benar membuatnya marah hingga mendiamkanku.

"Apa yang bisa dibantu, Ma?" tanyaku saat melihat tak ada piring kotor yang harus kucuci. Mama belum selesai masak, makanya belum ada tumpukan piring kotor di wastafel.

Tak ada jawaban, Mama tetap diam, dan melanjutkan memotong beberapa sayuran untuk dicampurkan ke dalam telur.

Sejenak aku menatapnya. Cukup membuat suasana tak nyaman dengan keadaan serba salah seperti ini. Meskipun Mama kerap memperlakukanku tak adil, tapi aku merasa takut jika ia mulai tak bicara padaku. Aku takut menjadi anak durhaka.

Ah, tapi kan, aku bukan anaknya. Apakah ada surga di telapak kaki seorang ibu asuh?

Aku menggeleng dengan kepala yang terasa berat. Karena tak mendapat perhatian, aku keluar dari dapur dan menuju ruang tamu untuk mengeluarkan motor agar bisa nyapu.

Setelah nyapu dalam dan luar, aku kembali masuk. Kini langkahku menuju kamar mandi dan melihat cucian yang ternyata cuma ada satu dua, tanggung kalau dicuci.

Jadilah aku menggosok kamar mandi agar terlihat sibuk dan berguna.

Ya, berguna. Semakin hari setelah menyadari bahwa aku bukan anak kandung Ayah dan Mama, aku merasa semakin tak nyaman. Ada batas-batas yang tak boleh kulewati seperti dalam keluarga kandung.

Mungkin itu juga yang dimaksud dengan ungkapan darah lebih kental dari air. Hubungan darah akan memperjelas mana yang harus diutamakan.

Dan … dalam kisahku, aku hanya tepian. Sementara pusatnya adalah Tiara.

"Itu buat Tiara, ya!" seringkali saat aku mengambil lauk duluan, Mama selalu memperingatkan hak Tiara. Hal yang membuatku semakin sungkan.

Jadinya, saat makan, aku akan menunggu. Menunggu sebagai orang paling terakhir yang mengambil lauk.

Seperti pagi ini, Mama dengan cekatan menyiapkan sarapan di meja makan. Aku ingin membantunya, tapi takut dimarahi. Saat aku melihat Ayah, aku baru berani membantu, karena jika pun kena marah, kuyakin Ayah akan membela.

"Tunggu Tiara dulu!" ucap Mama dingin saat melihat aku dan Ayah duduk di kursi.

Kemudian ia bergegas membangunkan putri semata wayangnya, Mutiara. Aku tak tahu apakah Tiara salat subuh atau tidak, tapi ia memang punya kebiasaan telat bangun lagi jika tidak ke kampus.

Ia selalu menunggu dibangunkan, diusap-usap punggungnya sampai bangun. Seingatku, gadis itu tak pernah bangun sendiri jika Mama tak membangunkannya.

Ia selalu menunggu Mama memperlakukannya dengan manja.

"Kenapa langsung makan sih?" sentak Mama saat ia sudah kembali dari kamar Tiara dan melihat aku dan Ayah sudah makan duluan.

"Keburu lapar kalau harus nunggu Tuan Putri bangun, cuci muka dan jalan ke meja makan lama banget," jawab Ayah dengan santai. Ia kembali mengambil telur dadar di dalam piring dan meletakkannya di piringku dan piring sendiri.

Aku menunduk, takut pada Mama. Sempat kulihat mulutnya mengomel pelan entah apa. Kesal mungkin.

Tiara datang dan langsung duduk dengan wajah merengut. Ayah langsung menyodorkan sepiring nasi goreng juga telur dan kerupuk.

.

"Ini uang kamu yang diambil Tiara, Ayah kembalikan ya," ucap Ayah sambil menyerahkan uang enam ratus ribu untukku.

Aku menatap Ayah dengan begitu sayangnya. Berarti Ayah tahu apa yang terjadi semalam antara aku, Mama dan Tiara.

Aku menggeleng, mana mungkin aku menerima bayaran dari Ayah. 

"Gak usah, Yah. Mending buat belanja sehari-hari aja. Aku nyuruh bayar ke Tiara juga bukan karena pelit, tapi biar dia bertanggung jawab aja." 

Kini Ayah yang menggeleng. "Ayah tau maksud kamu. Tapi, selagi Ayah ada uang, ambilah. Kamu tabung aja," 

Akhirnya dengan terpaksa aku mengambil uang itu yang sengaja dilebihkan Ayah untuk jajanku katanya. Padahal aku punya uang jajan.

"Kasih terus uang yang banyak, padahal dia ada duit sendiri tuh!" Tiba-tiba dari dalam, Mama protes.

"Dia yang pelit, eh malah Mama yang diomelin."

Ayah menggeleng, "jangan terlalu dimasukin ke hati," ucapnya pelan.

"Ingat, Mas! Tiara juga butuh duit buat perawatan tuh," ucap Mama seolah sedang memperingatkan Ayah bahwa ada satu lagi yang harus ia berikan uang. Bahwa Tiara lebih penting karena ia anak kandung.

"Aku lagi bayar uang yang diambil Tiara, Ma. Itu artinya sama saja seperti aku ngasih uang ke Tiara, kan?" Ayah memperjelas.

Mama diam, tapi kuyakin hatinya tak puas. Dari biacarnya bisa kutebak bahwa semalam Ayah mungkin menegurnya setelah bertanya apa yang terjadi.

"Udahlah, kita udah telat. Ayo kerja!" kata Ayah.

Aku melihat jam di tangan, benar saja sudah telat karena keasikan ngobrol sama Ayah. Akhirnya kuberanikan diri menemui Tiara di kamar untuk meminta kunci motornya. Jam segini nunggu angkot atau ojek agak lama, dan padat.

"Aku pinjam motornya ya," pintaku. Aku tak bisa berangkat bersama Ayah karena saat sampai persimpangan kami beda arah.

Tiara yang baru selesai mandi pagi, langsung menyerahkan kunci padaku. Aku mengerutkan dahi, tidak biasanya ia seroyal ini denganku.

Kami punya dua motor. Satu dibawa oleh Ayah bekerja, satu lagi untukku dan Tiara. Meskipun aku jarang sekali memakainya, karena setiap hari Tiara yang pakai untuk kuliah. Aku pergi bekerja dengan ojek atau angkutan umum.

Setelah mendapatkan kunci, aku langsung keluar dari kamar Tiara. Aku menstarter motor matic dan siap bekerja setelah pamit ke Ayah dan Mama.

"Aku berangkat ya," ucapku sambil menyalami tangan orangtua angkatku. 

Mama tampak masih marah, karena ia bahkan memalingkan wajahnya saat aku salam. Padahal, bukankah ia yang menamparku semalam?

Motor matic yang dikendarai terus melaju. Namun, sampai di persimpangan aku merasa tarikan gasnya melambat. Sedikit panik karena takut motor ini rusak. Bisa habis diomeli Tiara. Bisa habis uangku jika harus memperbaikinya.

Tiba-tiba mesinnya mati, motor terhenti di tengah jalan yang membuatku harus menepi. Kucoba menstarter, tapi tak bisa. Kemudian aku melihat meteren bahan bakar minyak yang membuatku geleng kepala.

Demi memastikan, aku buka bagasi motor dan mengecek bensinnya. Benar-benar kosong. Hampir saja aku mengumpat Tiara, pantas saja saat aku minta kunci langsung dikasih, rupanya tanpa sadar ia ingin menyuruhku mengisi bensin untuk motornya.

Aku berdecak kesal, karena di sekitar sini tak ada kios yang jual bensin eceran. Terpaksa aku harus mendorong pelan untuk sampai ke kios di depan sana.

"Kenapa, Sa?" 

Ah, Ayah. Aku bernapas lega saat melihat motornya berhenti di depanku.

"Habis bensin," kataku.

Ayah pun menarik napas panjang. Ia sama sepertiku yang menduga Tiara sengaja kasih motor tanpa bensin biar diisiin.

"Tunggu di sini, Ayah akan belikan di depan sana."

Aku mengangguk, dan dengan sabar menunggu Ayah kembali dengan membawa bensin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   42. Dunia Pasti Berputar

    Salsa 42.Setelah menikah, aku dan Ken balik ke kontrakan masing-masing. Dia membocengku di atas motor besarnya, awalnya sedikit tak nyaman, tapi lama kelamaan jadi nyaman karena aku juga pakai kulot, jadi lebih bisa untuk naik ke motornya."Kenapa gak pake mobil?" protesku saat melihat ia malah mengeluarkan motor dari garasi rumahnya."Memangnya jalan di sana besar kayak di sini?" jawabnya.Iya juga. Akan lebih susah jika naik mobil karena jalannya sempit, apalagi jalan menuju kontrakanku.Kami kembali bukan untuk melanjutkan hidup di sana, tapi untuk menyelesaikan beberapa hal dengan pemilik kontrakan.Kami tiba, dan sepakat untuk ke kontrakaknku dulu. Di sana aku bertemu Pak Budi dan istrinya, aku berpamitan pada mereka serta mengucapkan banyak terima kasih."Sering-seringlah main ke sini, Sa. Gak terasa ya kita udah sama-sama selama beberapa bulan ini. Kamu udah saya anggap seperti anak perempuan saya. Kek ada rasa berat gitu berpisah sama kamu." Bu Mariani membelai bahuku.Meman

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   41. Salsa dan Ken Menikah

    Salsa 41.Minggu depan aku dan Ken akan resmi menikah. Seminggu yang lalu, ia dan keluarganya datang melamar secara resmi. Aku meminta Ayah untuk tidak terlalu menyibukkan diri menyiapkan acara pertunangan yang mewah, sederhana saja, dan Ken juga setuju dengan semua usulku.Tiara kondisinya lebih sering lemas dan hanya terbaring di kamar. Ia juga memtuskan untuk resign dari pekerjaan karena merasa malu untuk kembali bekerja di sana.Ia lebih banyak diam saat ini, sepertinya mentalnya benar-benar sedang down. Rasa mualnya seringkali membuat ia tak bisa makan, semua makanan yang ia coba masukkan ke mulut, langsung keluar kembali. Mama yang senantiasa ada dan merawatnya.Aku pernah melihat Tiara menangis di dekat kamar mandi. Ia duduk merangkul lutut dan memegang perutnya. Aku bahkan ikut menangis melihatnya, karena mengerti posisinya pasti sulit. Sulit mengandung seorang anak tanpa didampingi suami.Mama juga melihatnya, aku menatap Mama dan ia memberi aba-aba agar aku membantu memapah

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   40. Tiara Kini

    Salsa 40."Mas Andre, Ma …," Tiara memangis dengan kerasnya di pelukan Mama. Aku belum terlalu mengerti situasi, tapi kulihat di sana Andre sudah dalam kawasan polisi. Tangannya diborgol mungkin agar tidak melawan. Wajahnya sedikit lebam, sepertinya ia memang melawan dan mendapat pukulan dari polisi.Namun, nampaknya Mama mengerti keadaan ini, tapi aku tak berani bertanya. Antara takut melukai hatinya dan takut kena marah.Tiara menangis terus menerus, dan Andre menjelaskan banyak hal pada polisi dengan marah, lalu mengiba agar mereka tidak menangkapnya.Aku mengamati rumah dan sekelilingnya, sudah ada garis polisi yang dilingkari. Tak lama kemudian Ayah datang, dengan masih memgenakan jaket itu dia turun dari motor. Sepertinya Ayah ngebut di jalan agar cepat sampai ke sini. Mungkin Tiara langsung menelepon, dan Ayah meninggalkan pekerjaannya dan langsung ke sini.Ayah bertanya banyak hal pada polisi yang memegang sebuah berkas laporan penangkapan Andre. Lebih tepatnya meminta penj

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   39. Andre Ditangkap

    Salsa 39."Ada apa, Reza?" tanyaku pada lelaki itu yang terlihat sungkan karena ada Ken bersamaku.Reza diam di tempat, sementara aku menatap Ken yang juga menatapku dan bertanya lewat tatapan. Bertanya siapa lelaki itu, lalu ketika aku mengangguk samar, ia baru mengerti bahwa Reza adalah orang yang pernah diceritakan dulu, mantanku.Aku minta izin pada Ken agar memberiku waktu beberapa menit mengobrol dengan Reza. Bukan untuk melanjutkan hubungan kami yang telah dilalui banyak drama, tapi untuk benar-benar mengakhiri apa yang telah kami mulai.Beberapa hari yang lalu, aku melihat kontak Reza sudah bisa dihubungi, itu artinya ia sudah membuka blokiran WhatsApp-ku. Tapi, aku tak lagi peduli karena aku pernah melalui hari-hari dengan harapan bahwa Reza datang dan meminta maaf, lalu kami baikan. Namun, lelaki itu tak datang, yang artinya ia memuat harapanku pupus.Lalu, lama kelamaan saat hari demi hari berlalu, aku mulai bisa berdamai dengan rasa yang pernah ada untuknya. Pun, perlahan

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   38. Kedatangan Reza

    Salsa 38."Tinggal Lo-nya aja yang pulang. Mama udah ngerestui hubungan kita.""Hah?" Hingga malam tiba, di kepalaku masih terngiang-ngiang kalimat Ken.Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakannya tadi siang, karena aku tahu bahwa Mama tak semudah itu untuk memafkanku atau merestuiku.Saat bertemu tadi siang, aku pun tak banyak bicara dengan Ken. Hanya mengangguk ya atau bilang tidak sebagai tanggapan. Masih belum terlalu bisa menerima kebohongannya, meskipun sudah perlahan memafkan.Sambil sesekali aku mencuri menatapnya heran, entah apa yang ia lakukan hingga Mama menurut saja padanya. Entah keberanian apa yang dimiliki oleh Ken, padahal jelas saja saat kuceritakan masalahku dengan Mama, ia tampak menilai bahwa Mama adalah orang yang tak bijaksana sebagai orang dewasa.Namun, semua kebingungan itu terjawab sudah saat aku bertanya pada Ayah melalui sambungan telepon."Ya, Ken memang datang ke rumah bertemu Mama.""Masa sih?" "Iya, Sa. Mama santai dan adem aja tuh ketemu sam

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   37. Kamu Harus Pulang

    Salsa 37.Malam ini saat aku pulang ke rumah, sudah ada Ayah menunggu di teras. Ia memang sudah memberitahuku untuk datang tadi siang, tapi kuncinya terlanjur kubawa yang membuat Ayah harus menunggu di depan rumah. Mungkin Pak Budi juga tidak melihat Ayah, kalau tidak pastilah sudah heboh dijamu macam-macam di rumahnya seperti yang sudah-sudah. Ayah juga tak mau merepotkan sepertinya.Seperti biasa, aku diantar oleh Yuli yang sudah seperti ojek online saat pulang. Kerap kali Yuli menolak uang bensin yang kuberikan, tapi setelah kupaksa akhirnya kami patungan bensin. "Udah lama, Yah?" tanyaku begitu sampai.Ayah menggeleng."Sepuluh menit yang lalu ada kayaknya," jawab Ayah."Sengaja ngepasin jam kamu pulang, biar gak kelamaan nunggu di luar." Ayah menambahkan.Aku hanya mengangguk. Langsung mengambil tangan Ayah dan menyalaminya. Di belakangku Yuli juga menyalami Ayah, lalu pamit pergi. Yuli dan Ayah sudah pernah bertemu beberapa kali sebelumnya, saat hari libur Ayah pernah mengunju

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status