Share

Bab 2

Salsa 2

.

Pukul enam sore aku tiba di rumah. Rasanya seluruh tubuhku terasa remuk karena lelah melayani pembeli dari pagi sampai sore. Aku pulang diantar oleh temanku yang katanya kasihan lihat aku naik ojek atau angkutan umum untuk pulang, udah mau magrib katanya.

"Kamu enak ya, pulang langsung makan. Gak harus masak lagi," kata temanku saat kami berada di atas motor. Ia mengeluh karena ibunya sakit menahun, dan terpaksa melakukan semuanya sendiri.

Spontan senyum miringku tersungging. Kini aku berada di depan tumpukan piring dan dapur yang kotor. Setelah salat magrib, aku langsung gegas membersihkannya. Semua pekerjaan aku selesaikan di malam hari.

Tak cukup sampai di situ, karena setelah cuci piring aku harus menyetrika setumpuk pakaian keluarga. 

Ya, keluarga yang terkadang aku hanya merasa seperti sampah di mata mereka.

Aku menggeleng meski temanku tak bisa melihatnya.

"Kadang sih. Tapi pulang kerja aku nggak bisa langsung bersihin diri atau istirahat."

"Lah, kenapa? Bukannya kamu bilang punya adik dan ibu di rumah?" tanyanya.

"Iya," aku hanya mengiyakan saja. Kuyakin ia pasti penasaran kenapa. Namun, biar saja semua derita kusimpan sendiri. Dewi teman baru dalam hidupku, ia baru saja bekerja di tempat yang sama denganku.

Berbeda dengan Indah, yang sudah hapal betul gimana keluargaku.

Setelah wisuda, Tiara hanya santai di rumah. Kadang hanya leha-leha seraya mencari pekerjaan melalui website di ponselnya. Untuk pekerjaan rumah, ia sama sekali tak pernah menyentuhnya. Takut kuku panjang cantiknya patah. Alasan tangannya bakalan kasar, wajahnya jadi kusam.

Tiara seperti itu. Bahkan ia tak pernah mencuci baju sendiri yang padahal pakai mesin cuci.

Sementara Mama, ia hanya memasak dan ke pasar.

Selebihnya semua pekerjaan rumah aku yang melakukannya. 

Mulai setelah subuh, aku bergegas keluarin motor keluar biar bisa nyapu. Nyapu dalam dan luar. Kemudian setelah Mama selesai masak, aku mencuci piring di dapur. Juga mencuci baju yang seringnya merangkap semua baju keluarga.

"Ini baju mahal ya, gue beli sejuta. Jangan sampai luntur. Pisahin sama baju yang lain," perintah Tiara saat aku sedang mencuci baju.

"Aku gak bisa kasih jaminan," kataku seraya mengembalikan bajunya. Jelas saja aku tak mau memancing keributan, karena Tiara itu banyak protesnya.

"Malas banget sih lo sama adik sendiri!" Tiara mulai bela diri tanpa tahu diri.

"Kamu lagi ngatain diri sendiri," ucapku menyindir dan berharap ia paham.

"Cuciin sekalian kenapa sih, Sa?" Mama tiba-tiba datang dari kamar.

"Apa nggak bisa Ma, Tiara ngurus hidup sendiri?" tanyaku mulai kesal atas semua pembelaan Mama untuk adikku.

"Tiara itu capek, biarin dia tenangin pikiran dulu. Baru aja selesai wisuda, biarin dia napas dulu, kek."

Selalu itu alasannya. Dulu pas Tiara kuliah, ia selalu dibela untuk tidak melakukan pekerjaan rumah. Hal itu membuat anak malas itu semakin besar kepala. Merengek dengan manja dengan alasan lelah dan beribu alasan malas lainnya.

Aku menghela napas begitu kesalnya. "Emangnya selama ini dia nggak napas, Ma?" sentakku.

"Berani ya kamu ngomong gitu sama Mama. Ini adikmu lho!"

Lagi-lagi aku yang malah didebatkan. Jadinya aku diam dan mengalah. Kadang aku merasa benar-benar ingin bertemu dengan orangtuaku yang bahkan wajahnya saja tak pernah kulihat.

Aku juga masih bertanya-tanya kenapa mereka menitipkanku di panti asuhan. Dari manakah asalku sebenarnya. Atau memang orangtuaku juga membuangku karena tak menginginkannya?

Di rumah ini, aku melakukan semua pekerjaan, sampai kadang tak sempat makan dan harus makan di tempat kerja.

.

Malam ini, aku selesai lebih cepat karena hanya mencuci piring. Aku segera masuk ke kamar. Melihat kasur rasanya seperti ibu hamil yang ngidam rujak, seingin itu aku untuk tidur. 

Namun, sebelum tidur aku mengecek uang gajiku yang kemarin kuletakkan di dalam lemari. Kuletakkan begitu saja, bukan di tempat rahasia tempatku menyimpan uang selama ini selain di bank. Biasanya aku nyimpan di bank, tapi juga punya pegangan untuk kebutuhan sehari-hari.

Gajiku satu juta bulan ini kuletakkan begitu saja. Kini saat aku melihatnya, aku harus membelalakkan mata karena duit itu tinggal lima ratus ribu.

Bukan pertama kali ia mengambil uangku. Sudah terlalu sering, dan aku tidak memperdebatkan. Kadang seratus ribu, kadang lima puluh ribu atau uang lebih sia jajanku yang kuletakkan di atas nakas juga ia ambil. Semua itu untuk uang tambahan nongkrong sama teman-temannya yang banyak gaya itu.

Aku langsung keluar kamar, dugaanku mengatakan bahwa Tiara yang mengambil uangku. Pantas saja tadi pas aku pulang, rambutnya udah lurus lagi seperti habis dibonding. Padahal biasanya rambutnya ikal, masih tetap cantik.

"Tiara," panggilku. Aku berusaha menahan emosi. 

Ia seperti biasa, tidur di depan televisi sambil scroll ponsel. Mama juga ada di situ. Ayah belum pulang dari bekerja, seperti biasa ia akan pulang pukul sepuluh malam atau tak tentu.

"Apa?" jawabnya tak pernah dengan nada lembut.

"Kamu ngambil duit aku ya?" tanyaku. Aku semakin mendekat padanya dan Mama.

Ia bangun dari tidurnya, Mama juga sama dan kini menatapku dengan raut tak suka.

"Kamu kok nuduh sih, Sa?" tanya Mama.

"Aku tanya, Ma!" sanggahku.

"Iya, tapi pertanyaan kamu itu bermaksud menuduh."

"Terserah, Ma. Aku cuma butuh jawaban," jawabku mulai kesal seperti biasa saat menghadapi mereka.

"Iya, kenapa memangnya?" Tiara buka suara. Ia mengaku mengambil uangku.

Aku tersenyum miris. Setipis itukah rasa malunya hingga ia berani menjawab seperti itu. Entah berapa banyak lagi kesabaran yang kumiliki. Aku benar-benar sudah tak nyaman bersama mereka. Aku diperlakukan seperti pembantu dan direndahkan terus menerus.

"Kamu masih punya malu nggak sih?" tanyaku.

"Kurang ajar banget mulut lo ya!" geram Tiara.

"Kenapa sih, pelit amat sama adik sendiri. Duit kamu sama dengan duit Tiara juga! Kita sama di sini sebagai keluarga." Aku sudah muak mendengar pembelaan Mama yang tak ada habisnya untuk Tiara.

"Gak ada rumus seperti itu, Ma! Mama terlalu belain Tiara, dan itu bikin dia makin besar kepala!" Suaraku mulai sedikit meninggi, berharap Mama paham dan bisa berlaku adil.

"Kalau mau duit itu kerja, Tiara! Jangan bisanya cuma nyolong duit orang!" cercaku.

"Salsa!" Mama meneriaki namaku.

"Apa, Ma? Yang aku bilang benar kan, Tiara cuma leha-leha di rumah. Lalu, apa gunanya dia sarjana?" Aku makin tak terkendali.

Dan … akibat tak bisa mengendalikan diri, akhirnya tangan Mama melayang di pipiku. Wajahku perih, dan kini aku mulai berderai air mata. Entah di mana salahku saat berusaha mempertahankan apa yang harusnya menjadi milikku.

"Dia baru tamat kuliah, lagi nyari kerja. Kejam saat kamu memaki adikmu seperti itu!" ucap Mama.

Selalu saja seperti itu alasannya. Tiara kuliah, dia tak sempat kerja.

Aku mengusap air mata, lalu menatap Mama dan Tiara secara bersamaan.

"Di dunia ini gak cuma Tiara yang kuliah, Ma. Di luar sana mereka kuliah juga, dan masih bisa kerja part time demi bisa cari uang buat biaya hidup!" Hati dan pipiku perih, jadi sekalian saja kulampiaskan semua unek-unek dalam hati.

"Stop! Gak usah banyak bacot. Entar gigi lo makin maju, jijik gue tengoknya." Tiara melayangkan sebelah tangannya di hadapan mulutku seperti isyarat untuk menutup mulutku.

Aku menghela napas lelah atau kalah. Entahlah.

"Aku gak mau tau, kamu harus ganti duit aku, Tiara!" ucapku dingin. Lalu pergi dari hadapan mereka.

"Anak gak tau diuntung!" maki Mama.

Kemudian bersamaan dengan itu, kudengar Ayah memberi salam, ia pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status