Share

Bab 4

Penulis: El Baarish
last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-28 21:24:41

Salsa 4

.

"Salsabila."

"Hadir, Bu."

Begitu nama lengkapku yang tertera di absen sekolah dan ijazah. Orang-orang kerap memanggilku Salsa. Aku menyukai nama yang indah itu, tapi sayangnya nasibku tak seindah itu.

"Duh, udah gede ya anak adopsinya Mirna."

"Iya, dulu dibawa ke sini pas umur 5 bulan. Gak terasa ya udah segede ini."

Di umur yang ke sepuluh tahun, aku mengetahui satu hal yang menyakitkan dalam hidup ini. Orang-orang yang dari kecil kuanggap sebagai keluarga, nyatanya bukan. Mereka bukan orangtuaku, bukan Ayah dan Mama kandungku, bukan adikku.

Semua yang kumiliki bukan milikku. 

Aku tahu itu semua dari pembicaraan saudara-saudara Mama dan Ayah, saat lebaran aku diajak pulang ke kampung nenek. 

Mama dan Ayah tak pernah bicara yang sebenarnya padaku. Ia bahkan tak pernah menyinggung tentang statusku.

Kata orang, aku adalah anak adopsi dari panti asuhan. Bayi yang masih merah ditemukan menangis di depan toko orang, tergeletak dalam balutan kain jarik. Lalu, setelah itu aku dibawa ke panti asuhan untuk diasuh dan memperpanjang hidup di sana. Setelah itu, beberapa bulan kemudian barulah diadopsi oleh Mama dan Ayah yang sudah bertahun-tahun menikah, tapi belum dikarunia anak.

Mereka mengadopsiku untuk memancing kehadiran seorang bayi dalam rahim Mama. Lima tahun setelah mengadopsiku, akhirnya Mama hamil.

Setelah mendengar itu wajahku murung, aku pergi dari depan semua orang. Hari lebaran yang menjadi luka untuk pengetahuanku tentang diri sendiri.

Mungkin dulu saat aku masih kecil, mereka juga sering menyebut statusku. Namun, saat itu aku belum bisa mencerna banyak kalimat. Belum bisa mengingat lebih banyak hal dalam hidup. Saat aku umur sepuluh tahun, aku bisa mengingat semua itu dengan utuh, sampai saat ini.

Aku keluar dari rumah nenek, dan memeluk lutut seraya menangis. Entah mengapa hati ini rasanya hancur berkeping-keping. Duniaku terasa runtuh, entah oleh sebab harapan atau anggapan yang telah mendasar dalam hatiku.

Tetangga-tetangga juga bilang seperti itu, yang membuat aku semakin yakin akan statusku di rumah itu.

"Salsa ... kamu tetap anak Mama, Nak!" ucap Mama saat itu menenangkanku. 

Kalimat mama seolah menjelaskan bahwa apa yang dikatakan orang-orang adalah benar adanya. Ia tak menjelaskan bagaimana detailnya, hanya mengiyakan apa yang aku dengar dari mereka.

Namun, ia sama sekali tak masalah dengan status itu.

Mungkin terlalu dini untuk aku ketahui, tapi lebih baik daripada tidak mengetahui sama sekali. Lebih baik jika nanti aku bertanya-tanya kenapa diperlakukan beda, karena jawabannya sudah keketahui sejak kecil.

Aku menangis makin keras, semua upaya Mama untuk mendiamkanmu, menenangkanku rasanya semakin membuat batinku terisak.

"Anak Mama, Salsa dan Tiara. Di mata Mama kalian sama." Begitu kata Mama saat itu.

Mama memelukku, dan aku menangis sepuasnya di pelukan wanita itu. Ia menciumi puncak kepalaku, dan saat itu aku merasa tenang.

Aku percaya. Bahkan begitu percaya akan kalimat-kalimatnya. Aku memegang kata-katanya. Karena memang hanya mereka yang aku punya di dunia ini.

Namun, semakin lama aku merasa semakin ditepikan oleh Mama. Lama kelamaan perlakuannya semakin berubah. Aku merasa semua kalimatnya dulu adalah kebohongan.

Entah karena aku sudah mengetahui kenyataan, lalu hal-hal kecil yang melukai kuanggap perbedaan. Atau memang yang terjadi sebenarnya memang perbedaan antara aku dan Tiara. Semata karena aku bukan bagian dari darah dagingnya, lalu terlihatlah semua perlakuan yang jauh dari Tiara.

Sesama anak kandung juga terkadang terjadi perbedaan dalam keluarga, itu melukai hati anak. Apalagi aku yang jelas-jelas bukan anak kandung mereka.

"Tiara dulu ya," ucap Mama sambil menyuruhku keluar dari kamar mandi. 

Padahal aku yang dulu mengantri setelah Ayah, karena kamar mandi kami cuma satu, jadi setiap pagi harus menunggu siap satu persatu. Tiara memang selalu bangun terlambat, dan saat ia bangun, ia pasti akan merengek meminta didulukan apa-apa.

Perlakuan-perlakuan kecil seperti itu pada akhirnya menjadi kebiasaan dan keharusan. Harus Tiara duluan, lalu karena sudah terbiasa diutamakan, gadis itu menjadi manja dan suka nyuruh seolah perintahnya adalah kewajiban untuk orang lain.

"Sekalian sepatu aku, Sa." Tiara memasukkan sepatunya ke dalam ember saat aku tengah mencuci sepatu.

Tiara kecil pernah memanggilku dengan sebutan kakak, lalu saat ia tahu aku bukan kakak kandungnya, ia hanya memanggilku Salsa.

Saat Tiara masih kecil, aku bisa memaklumi meski kesal saat ia nyuruh-nyuruh. Namun, saat itu usiaku sudah kelas tiga SMA, dan Tiara sudah mau masuk SMP. Aku tidak bisa memakluminya lagi.

Aku mengambil kembali sepatu yang basah itu, mengeluarkannya dari ember seraya menyerahkan pada Tiara yang baru saja berbalik ingin pergi.

"Kamu harus terbiasa melayani diri sendiri, Tiara!" ucapku.

Tiara berbalik dan menatapku kesal.

"Sepasang sepatu aja kamu cuci bikin patah itu tanganmu ya?" Gadis itu nyolot.

"Bukan begitu. Tapi kamu harus mandiri, Tiara!" kataku lagi.

"Halah, bilang aja malas!" gerutunya.

Karena mendengar keributan di luar, Mama keluar dari kamar dan berdiri di pintu.

"Kenapa sih?" tanya Mama.

"Salsa, Ma. Masa disuruh cuci satu sepatu aja malas banget sih."

Mama menatapku, lalu menatap sepatu yang sedang kusikat.

"Sekalian ya, Sa. Tiara lagi gak enak badan," bela Mama yang memang selalu di pihak Tiara.

Gak enak badan apanya, tadi kulihat dia baik-baik saja. Wajahnya juga garang.

Tak hanya itu. Tak hanya sampai di situ. Setiap hariku selalu dipenuhi dengan suara Mama dan Tiara yang menyuruh ini itu. Kadang aku merasa sedang mengalami nasib seperti Cinderella, hingga aku berharap akan ada pangeran yang menjemputmu dengan kuda putihnya dan membawaku pergi dari sini dengan cara yang terhormat.

Namun, aku tersenyum miris. Itu hanya terjadi dalam dongeng.

.

"Mama! Mama!" 

Dari dalam kamar dapat kudengar suara Tiara berteriak, entah apa lagi kali ini yang membuat suaranya begitu memekakkan telinga.

Hari masih terlalu pagi, masih pukul enam. Bahkan Ayah baru saja berangkat kerja. Namun, entah apa yang salah dengan anak itu. 

"Kenapa sih, Tiara?" tanya Mama agak panik, khawatir jika anak satu-satunya terjadi apa-apa.

"Liat deh, Ma!" Tiara menunjukkan layar ponselnya pada Mama.

Seketika mata Mama langsung terbelalak, lalu keduanya berteriak bersamaan. Teriakan kesenangan yang bahkan membuatku ikut penasaran ada apa.

"Kenapa, Ma?" Aku memberanikan diri bertanya, meskipun aku tahu sejak beberapa hari yang lalu hubungan kami memang tidak terlalu baik.

Tiara dan mama saling menatap mendengar pertanyaanku, lalu mulut keduanya sedikit dimiringkan entah apa maksudnya.

"Tiara diterima kerja di perusahan," jawab Mama seraya menunjukkan nama Tiara di layar ponsel itu.

"Alhamdulillah," ucapku ikut senang. Setidaknya Tiara akan menghasilkan duit sendiri. Tak lagi menadahkan tangan pada Ayah dan Mama atau malah mencuri uangku.

"Sudah interview?" tanyaku lagi. 

"Udah dong, masa belum sih, ini udah pengumuman final." Tiara nyolot. Masih ada dendam mungkin denganku.

Aku mengangguk saja.

Lalu, Mama memeluk putri satu-satunya, ia banjiri dengan ciuman dan kecupan berkali-kali.

"Anak Mama emang pinter," pujinya. Ia berbinar menatap Tiara dengan penuh kebanggaan.

Tiara tersenyum bahagia.

"Siapa dulu dong mamanya," kata Tiara.

Keduanya saling berpelukan lagi. Membuatku mengukir senyum miris di bibirku. Ada yang terasa terkoyak dalam hati, seperti sebuah rasa cemburu karena kerap dibedakan.

"Gak rugi emang Mama nyekolahin kamu tinggi-tinggi," ucap mama.

Aku menghela napas lelah, lalu berlalu menuju kamar. Aku sudah bekerja bertahun-tahun sejak tamat SMA, dan menghasilkan uang sendiri. Sering malah membantu kecukupan kebutuhan keluarga, bahkan sesekali saat uang aytah tak cukup, aku yang menambah biaya untuk bayar uang semester Tiara. Tak peduli meski uang gajianku habis, yang penting Ayah tak harus berhutang sana sini.

Namun, jangankan rasa bangga, berterimakasih saja Mama tak pernah padaku. Ah, apa pantas aku mengharapkan rasa terima kasih dari mama yang merawatku?

Mungkin bukan kata terima kasih, tapi rasa dihargai semua upayaku selama ini.

Bukan aku tak ikhlas, tapi aku hanya ingin dilihat dan diperlakukan sama seperti Tiara.

Aku ingat saat dulu baru tamat SMA, Mama bilang tak bisa membiayaiku untuk kuliah.

"Kita bukan orang kaya, gaji Ayah hanya sedikit yang bisa dikumpulin buat biaya kuliah. Tapi mungkin hanya untuk satu orang kuliah, jadi Tiara saja yang kuliah ya sampai nanti menunggu uangnya cukup," kata Mama terang-terangan waktu itu.

Aku menatap Ayah yang hanya diam. Aku mengerti bagaimana keadaan ekonomi keluarga ini, tapi jauh dalam lubuk hatiku ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Aku ingin menjadi dokter, tapi mimpi itu harus kukubur dalam-dalam.

Ayah juga menatapku, ia pasti ingat tentang mimpiku itu. Namun, biaya pendidikan kedokteran tentu tidak murah. Untuk meraih beasiswa, kurasa kemampuanku belum mencukupi.

"Begini saja, Salsa menganggur dulu satu tahun. Nanti kalau ada rezeki lebih, kamu juga akan kuliah."

Aku ingin bahagia dengan kalimat Ayah, tapi akhirnya aku hanya menggeleng karena tak ingin memberatkan Ayah dengan memberinya hutang harapan dari anaknya ini.

"Biar Tiara saja yang kuliah, Ayah. Salsa akan cari kerja."

Tahun demi tahun akhirnya Tiara masuk kuliah. Ayah jadi lebih giat bekerja dan bahkan pulang sampai malam. Lalu, tahun ke tiga Tiara kuliah, Ayah bahkan menjual mobilnya untuk biaya pendidikan Tiara.

Aku mengamati keadaan sulit itu. Lalu, haruskah menambah kesulitan Ayah?

Sekali lagi, darah lebih kental dari air. Aku harus tahu diri siapa yang harus diutamakan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   42. Dunia Pasti Berputar

    Salsa 42.Setelah menikah, aku dan Ken balik ke kontrakan masing-masing. Dia membocengku di atas motor besarnya, awalnya sedikit tak nyaman, tapi lama kelamaan jadi nyaman karena aku juga pakai kulot, jadi lebih bisa untuk naik ke motornya."Kenapa gak pake mobil?" protesku saat melihat ia malah mengeluarkan motor dari garasi rumahnya."Memangnya jalan di sana besar kayak di sini?" jawabnya.Iya juga. Akan lebih susah jika naik mobil karena jalannya sempit, apalagi jalan menuju kontrakanku.Kami kembali bukan untuk melanjutkan hidup di sana, tapi untuk menyelesaikan beberapa hal dengan pemilik kontrakan.Kami tiba, dan sepakat untuk ke kontrakaknku dulu. Di sana aku bertemu Pak Budi dan istrinya, aku berpamitan pada mereka serta mengucapkan banyak terima kasih."Sering-seringlah main ke sini, Sa. Gak terasa ya kita udah sama-sama selama beberapa bulan ini. Kamu udah saya anggap seperti anak perempuan saya. Kek ada rasa berat gitu berpisah sama kamu." Bu Mariani membelai bahuku.Meman

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   41. Salsa dan Ken Menikah

    Salsa 41.Minggu depan aku dan Ken akan resmi menikah. Seminggu yang lalu, ia dan keluarganya datang melamar secara resmi. Aku meminta Ayah untuk tidak terlalu menyibukkan diri menyiapkan acara pertunangan yang mewah, sederhana saja, dan Ken juga setuju dengan semua usulku.Tiara kondisinya lebih sering lemas dan hanya terbaring di kamar. Ia juga memtuskan untuk resign dari pekerjaan karena merasa malu untuk kembali bekerja di sana.Ia lebih banyak diam saat ini, sepertinya mentalnya benar-benar sedang down. Rasa mualnya seringkali membuat ia tak bisa makan, semua makanan yang ia coba masukkan ke mulut, langsung keluar kembali. Mama yang senantiasa ada dan merawatnya.Aku pernah melihat Tiara menangis di dekat kamar mandi. Ia duduk merangkul lutut dan memegang perutnya. Aku bahkan ikut menangis melihatnya, karena mengerti posisinya pasti sulit. Sulit mengandung seorang anak tanpa didampingi suami.Mama juga melihatnya, aku menatap Mama dan ia memberi aba-aba agar aku membantu memapah

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   40. Tiara Kini

    Salsa 40."Mas Andre, Ma …," Tiara memangis dengan kerasnya di pelukan Mama. Aku belum terlalu mengerti situasi, tapi kulihat di sana Andre sudah dalam kawasan polisi. Tangannya diborgol mungkin agar tidak melawan. Wajahnya sedikit lebam, sepertinya ia memang melawan dan mendapat pukulan dari polisi.Namun, nampaknya Mama mengerti keadaan ini, tapi aku tak berani bertanya. Antara takut melukai hatinya dan takut kena marah.Tiara menangis terus menerus, dan Andre menjelaskan banyak hal pada polisi dengan marah, lalu mengiba agar mereka tidak menangkapnya.Aku mengamati rumah dan sekelilingnya, sudah ada garis polisi yang dilingkari. Tak lama kemudian Ayah datang, dengan masih memgenakan jaket itu dia turun dari motor. Sepertinya Ayah ngebut di jalan agar cepat sampai ke sini. Mungkin Tiara langsung menelepon, dan Ayah meninggalkan pekerjaannya dan langsung ke sini.Ayah bertanya banyak hal pada polisi yang memegang sebuah berkas laporan penangkapan Andre. Lebih tepatnya meminta penj

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   39. Andre Ditangkap

    Salsa 39."Ada apa, Reza?" tanyaku pada lelaki itu yang terlihat sungkan karena ada Ken bersamaku.Reza diam di tempat, sementara aku menatap Ken yang juga menatapku dan bertanya lewat tatapan. Bertanya siapa lelaki itu, lalu ketika aku mengangguk samar, ia baru mengerti bahwa Reza adalah orang yang pernah diceritakan dulu, mantanku.Aku minta izin pada Ken agar memberiku waktu beberapa menit mengobrol dengan Reza. Bukan untuk melanjutkan hubungan kami yang telah dilalui banyak drama, tapi untuk benar-benar mengakhiri apa yang telah kami mulai.Beberapa hari yang lalu, aku melihat kontak Reza sudah bisa dihubungi, itu artinya ia sudah membuka blokiran WhatsApp-ku. Tapi, aku tak lagi peduli karena aku pernah melalui hari-hari dengan harapan bahwa Reza datang dan meminta maaf, lalu kami baikan. Namun, lelaki itu tak datang, yang artinya ia memuat harapanku pupus.Lalu, lama kelamaan saat hari demi hari berlalu, aku mulai bisa berdamai dengan rasa yang pernah ada untuknya. Pun, perlahan

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   38. Kedatangan Reza

    Salsa 38."Tinggal Lo-nya aja yang pulang. Mama udah ngerestui hubungan kita.""Hah?" Hingga malam tiba, di kepalaku masih terngiang-ngiang kalimat Ken.Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakannya tadi siang, karena aku tahu bahwa Mama tak semudah itu untuk memafkanku atau merestuiku.Saat bertemu tadi siang, aku pun tak banyak bicara dengan Ken. Hanya mengangguk ya atau bilang tidak sebagai tanggapan. Masih belum terlalu bisa menerima kebohongannya, meskipun sudah perlahan memafkan.Sambil sesekali aku mencuri menatapnya heran, entah apa yang ia lakukan hingga Mama menurut saja padanya. Entah keberanian apa yang dimiliki oleh Ken, padahal jelas saja saat kuceritakan masalahku dengan Mama, ia tampak menilai bahwa Mama adalah orang yang tak bijaksana sebagai orang dewasa.Namun, semua kebingungan itu terjawab sudah saat aku bertanya pada Ayah melalui sambungan telepon."Ya, Ken memang datang ke rumah bertemu Mama.""Masa sih?" "Iya, Sa. Mama santai dan adem aja tuh ketemu sam

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   37. Kamu Harus Pulang

    Salsa 37.Malam ini saat aku pulang ke rumah, sudah ada Ayah menunggu di teras. Ia memang sudah memberitahuku untuk datang tadi siang, tapi kuncinya terlanjur kubawa yang membuat Ayah harus menunggu di depan rumah. Mungkin Pak Budi juga tidak melihat Ayah, kalau tidak pastilah sudah heboh dijamu macam-macam di rumahnya seperti yang sudah-sudah. Ayah juga tak mau merepotkan sepertinya.Seperti biasa, aku diantar oleh Yuli yang sudah seperti ojek online saat pulang. Kerap kali Yuli menolak uang bensin yang kuberikan, tapi setelah kupaksa akhirnya kami patungan bensin. "Udah lama, Yah?" tanyaku begitu sampai.Ayah menggeleng."Sepuluh menit yang lalu ada kayaknya," jawab Ayah."Sengaja ngepasin jam kamu pulang, biar gak kelamaan nunggu di luar." Ayah menambahkan.Aku hanya mengangguk. Langsung mengambil tangan Ayah dan menyalaminya. Di belakangku Yuli juga menyalami Ayah, lalu pamit pergi. Yuli dan Ayah sudah pernah bertemu beberapa kali sebelumnya, saat hari libur Ayah pernah mengunju

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status