Share

Bab 4

Salsa 4

.

"Salsabila."

"Hadir, Bu."

Begitu nama lengkapku yang tertera di absen sekolah dan ijazah. Orang-orang kerap memanggilku Salsa. Aku menyukai nama yang indah itu, tapi sayangnya nasibku tak seindah itu.

"Duh, udah gede ya anak adopsinya Mirna."

"Iya, dulu dibawa ke sini pas umur 5 bulan. Gak terasa ya udah segede ini."

Di umur yang ke sepuluh tahun, aku mengetahui satu hal yang menyakitkan dalam hidup ini. Orang-orang yang dari kecil kuanggap sebagai keluarga, nyatanya bukan. Mereka bukan orangtuaku, bukan Ayah dan Mama kandungku, bukan adikku.

Semua yang kumiliki bukan milikku. 

Aku tahu itu semua dari pembicaraan saudara-saudara Mama dan Ayah, saat lebaran aku diajak pulang ke kampung nenek. 

Mama dan Ayah tak pernah bicara yang sebenarnya padaku. Ia bahkan tak pernah menyinggung tentang statusku.

Kata orang, aku adalah anak adopsi dari panti asuhan. Bayi yang masih merah ditemukan menangis di depan toko orang, tergeletak dalam balutan kain jarik. Lalu, setelah itu aku dibawa ke panti asuhan untuk diasuh dan memperpanjang hidup di sana. Setelah itu, beberapa bulan kemudian barulah diadopsi oleh Mama dan Ayah yang sudah bertahun-tahun menikah, tapi belum dikarunia anak.

Mereka mengadopsiku untuk memancing kehadiran seorang bayi dalam rahim Mama. Lima tahun setelah mengadopsiku, akhirnya Mama hamil.

Setelah mendengar itu wajahku murung, aku pergi dari depan semua orang. Hari lebaran yang menjadi luka untuk pengetahuanku tentang diri sendiri.

Mungkin dulu saat aku masih kecil, mereka juga sering menyebut statusku. Namun, saat itu aku belum bisa mencerna banyak kalimat. Belum bisa mengingat lebih banyak hal dalam hidup. Saat aku umur sepuluh tahun, aku bisa mengingat semua itu dengan utuh, sampai saat ini.

Aku keluar dari rumah nenek, dan memeluk lutut seraya menangis. Entah mengapa hati ini rasanya hancur berkeping-keping. Duniaku terasa runtuh, entah oleh sebab harapan atau anggapan yang telah mendasar dalam hatiku.

Tetangga-tetangga juga bilang seperti itu, yang membuat aku semakin yakin akan statusku di rumah itu.

"Salsa ... kamu tetap anak Mama, Nak!" ucap Mama saat itu menenangkanku. 

Kalimat mama seolah menjelaskan bahwa apa yang dikatakan orang-orang adalah benar adanya. Ia tak menjelaskan bagaimana detailnya, hanya mengiyakan apa yang aku dengar dari mereka.

Namun, ia sama sekali tak masalah dengan status itu.

Mungkin terlalu dini untuk aku ketahui, tapi lebih baik daripada tidak mengetahui sama sekali. Lebih baik jika nanti aku bertanya-tanya kenapa diperlakukan beda, karena jawabannya sudah keketahui sejak kecil.

Aku menangis makin keras, semua upaya Mama untuk mendiamkanmu, menenangkanku rasanya semakin membuat batinku terisak.

"Anak Mama, Salsa dan Tiara. Di mata Mama kalian sama." Begitu kata Mama saat itu.

Mama memelukku, dan aku menangis sepuasnya di pelukan wanita itu. Ia menciumi puncak kepalaku, dan saat itu aku merasa tenang.

Aku percaya. Bahkan begitu percaya akan kalimat-kalimatnya. Aku memegang kata-katanya. Karena memang hanya mereka yang aku punya di dunia ini.

Namun, semakin lama aku merasa semakin ditepikan oleh Mama. Lama kelamaan perlakuannya semakin berubah. Aku merasa semua kalimatnya dulu adalah kebohongan.

Entah karena aku sudah mengetahui kenyataan, lalu hal-hal kecil yang melukai kuanggap perbedaan. Atau memang yang terjadi sebenarnya memang perbedaan antara aku dan Tiara. Semata karena aku bukan bagian dari darah dagingnya, lalu terlihatlah semua perlakuan yang jauh dari Tiara.

Sesama anak kandung juga terkadang terjadi perbedaan dalam keluarga, itu melukai hati anak. Apalagi aku yang jelas-jelas bukan anak kandung mereka.

"Tiara dulu ya," ucap Mama sambil menyuruhku keluar dari kamar mandi. 

Padahal aku yang dulu mengantri setelah Ayah, karena kamar mandi kami cuma satu, jadi setiap pagi harus menunggu siap satu persatu. Tiara memang selalu bangun terlambat, dan saat ia bangun, ia pasti akan merengek meminta didulukan apa-apa.

Perlakuan-perlakuan kecil seperti itu pada akhirnya menjadi kebiasaan dan keharusan. Harus Tiara duluan, lalu karena sudah terbiasa diutamakan, gadis itu menjadi manja dan suka nyuruh seolah perintahnya adalah kewajiban untuk orang lain.

"Sekalian sepatu aku, Sa." Tiara memasukkan sepatunya ke dalam ember saat aku tengah mencuci sepatu.

Tiara kecil pernah memanggilku dengan sebutan kakak, lalu saat ia tahu aku bukan kakak kandungnya, ia hanya memanggilku Salsa.

Saat Tiara masih kecil, aku bisa memaklumi meski kesal saat ia nyuruh-nyuruh. Namun, saat itu usiaku sudah kelas tiga SMA, dan Tiara sudah mau masuk SMP. Aku tidak bisa memakluminya lagi.

Aku mengambil kembali sepatu yang basah itu, mengeluarkannya dari ember seraya menyerahkan pada Tiara yang baru saja berbalik ingin pergi.

"Kamu harus terbiasa melayani diri sendiri, Tiara!" ucapku.

Tiara berbalik dan menatapku kesal.

"Sepasang sepatu aja kamu cuci bikin patah itu tanganmu ya?" Gadis itu nyolot.

"Bukan begitu. Tapi kamu harus mandiri, Tiara!" kataku lagi.

"Halah, bilang aja malas!" gerutunya.

Karena mendengar keributan di luar, Mama keluar dari kamar dan berdiri di pintu.

"Kenapa sih?" tanya Mama.

"Salsa, Ma. Masa disuruh cuci satu sepatu aja malas banget sih."

Mama menatapku, lalu menatap sepatu yang sedang kusikat.

"Sekalian ya, Sa. Tiara lagi gak enak badan," bela Mama yang memang selalu di pihak Tiara.

Gak enak badan apanya, tadi kulihat dia baik-baik saja. Wajahnya juga garang.

Tak hanya itu. Tak hanya sampai di situ. Setiap hariku selalu dipenuhi dengan suara Mama dan Tiara yang menyuruh ini itu. Kadang aku merasa sedang mengalami nasib seperti Cinderella, hingga aku berharap akan ada pangeran yang menjemputmu dengan kuda putihnya dan membawaku pergi dari sini dengan cara yang terhormat.

Namun, aku tersenyum miris. Itu hanya terjadi dalam dongeng.

.

"Mama! Mama!" 

Dari dalam kamar dapat kudengar suara Tiara berteriak, entah apa lagi kali ini yang membuat suaranya begitu memekakkan telinga.

Hari masih terlalu pagi, masih pukul enam. Bahkan Ayah baru saja berangkat kerja. Namun, entah apa yang salah dengan anak itu. 

"Kenapa sih, Tiara?" tanya Mama agak panik, khawatir jika anak satu-satunya terjadi apa-apa.

"Liat deh, Ma!" Tiara menunjukkan layar ponselnya pada Mama.

Seketika mata Mama langsung terbelalak, lalu keduanya berteriak bersamaan. Teriakan kesenangan yang bahkan membuatku ikut penasaran ada apa.

"Kenapa, Ma?" Aku memberanikan diri bertanya, meskipun aku tahu sejak beberapa hari yang lalu hubungan kami memang tidak terlalu baik.

Tiara dan mama saling menatap mendengar pertanyaanku, lalu mulut keduanya sedikit dimiringkan entah apa maksudnya.

"Tiara diterima kerja di perusahan," jawab Mama seraya menunjukkan nama Tiara di layar ponsel itu.

"Alhamdulillah," ucapku ikut senang. Setidaknya Tiara akan menghasilkan duit sendiri. Tak lagi menadahkan tangan pada Ayah dan Mama atau malah mencuri uangku.

"Sudah interview?" tanyaku lagi. 

"Udah dong, masa belum sih, ini udah pengumuman final." Tiara nyolot. Masih ada dendam mungkin denganku.

Aku mengangguk saja.

Lalu, Mama memeluk putri satu-satunya, ia banjiri dengan ciuman dan kecupan berkali-kali.

"Anak Mama emang pinter," pujinya. Ia berbinar menatap Tiara dengan penuh kebanggaan.

Tiara tersenyum bahagia.

"Siapa dulu dong mamanya," kata Tiara.

Keduanya saling berpelukan lagi. Membuatku mengukir senyum miris di bibirku. Ada yang terasa terkoyak dalam hati, seperti sebuah rasa cemburu karena kerap dibedakan.

"Gak rugi emang Mama nyekolahin kamu tinggi-tinggi," ucap mama.

Aku menghela napas lelah, lalu berlalu menuju kamar. Aku sudah bekerja bertahun-tahun sejak tamat SMA, dan menghasilkan uang sendiri. Sering malah membantu kecukupan kebutuhan keluarga, bahkan sesekali saat uang aytah tak cukup, aku yang menambah biaya untuk bayar uang semester Tiara. Tak peduli meski uang gajianku habis, yang penting Ayah tak harus berhutang sana sini.

Namun, jangankan rasa bangga, berterimakasih saja Mama tak pernah padaku. Ah, apa pantas aku mengharapkan rasa terima kasih dari mama yang merawatku?

Mungkin bukan kata terima kasih, tapi rasa dihargai semua upayaku selama ini.

Bukan aku tak ikhlas, tapi aku hanya ingin dilihat dan diperlakukan sama seperti Tiara.

Aku ingat saat dulu baru tamat SMA, Mama bilang tak bisa membiayaiku untuk kuliah.

"Kita bukan orang kaya, gaji Ayah hanya sedikit yang bisa dikumpulin buat biaya kuliah. Tapi mungkin hanya untuk satu orang kuliah, jadi Tiara saja yang kuliah ya sampai nanti menunggu uangnya cukup," kata Mama terang-terangan waktu itu.

Aku menatap Ayah yang hanya diam. Aku mengerti bagaimana keadaan ekonomi keluarga ini, tapi jauh dalam lubuk hatiku ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Aku ingin menjadi dokter, tapi mimpi itu harus kukubur dalam-dalam.

Ayah juga menatapku, ia pasti ingat tentang mimpiku itu. Namun, biaya pendidikan kedokteran tentu tidak murah. Untuk meraih beasiswa, kurasa kemampuanku belum mencukupi.

"Begini saja, Salsa menganggur dulu satu tahun. Nanti kalau ada rezeki lebih, kamu juga akan kuliah."

Aku ingin bahagia dengan kalimat Ayah, tapi akhirnya aku hanya menggeleng karena tak ingin memberatkan Ayah dengan memberinya hutang harapan dari anaknya ini.

"Biar Tiara saja yang kuliah, Ayah. Salsa akan cari kerja."

Tahun demi tahun akhirnya Tiara masuk kuliah. Ayah jadi lebih giat bekerja dan bahkan pulang sampai malam. Lalu, tahun ke tiga Tiara kuliah, Ayah bahkan menjual mobilnya untuk biaya pendidikan Tiara.

Aku mengamati keadaan sulit itu. Lalu, haruskah menambah kesulitan Ayah?

Sekali lagi, darah lebih kental dari air. Aku harus tahu diri siapa yang harus diutamakan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status