Share

Bab 5

Salsa 5

.

Tiara mulai bekerja di perusahaan tempat ia diterima. Kebiasaannya yang terlambat perlahan mulai sedikit hilang, mungkin karena takut karena masih awal masa bekerja.

Aku tetap bekerja seperti biasa, dalam versi yang beda dengan Tiara. Meskipun sama-sama karyawan, tapi dalam lingkup yang berbeda. Untuk pandangan Mama dan orang-orang kampung, bekerja di perusahaan itu tetap dianggap paling oke dan berkelas.

Bahkan sering Mama membanggakan Tiara di depan teman-temannya. Aku mendengarnya saat lewat di jalan menuju halte.

Aku bangun lebih awal dari biasanya agar bisa mandi lebih awal, karena kalau Tiara sudah masuk kamar mandi, bisa sampai setengah jam dia sana. Entah luluran, maskeran, atau apa pun itu perawatannya. Katanya harus tampil cantik dan jangan malu-maluin.

Jangan malu-maluin seperti penampilanku.

Hari demi hari berganti bulan. Tiara menerima gaji pertama dari perusahaan tempat ia bekerja.

Gadis itu selalu histeris, sejak di luar pagar ia sudah berteriak memanggil Mama sambil memasukkan motor ke halaman rumah.

"Mama …!" teriaknya.

Mama keluar dari rumah. Aku juga baru pulang bekerja, duduk di teras sambil mengurut betis yang terasa pegal.

"Kenapa, Tiara?" tanya Mama.

Tira tak menjawab, tapi ia mematikan mesin motornya dan mendekat pada wanita paruh baya itu yang menunggunya berbicara.

"Tebak deh, aku bawa apa?" Tiara malah balik tanya.

"Hmmm … apa sih?" Kening Mama bertaut seolah malas disuruh mikir-mikir, tapi tetap tersenyum.

"Bawa calon suami?" tebak Mama dengan nada becanda, karena memang tak ada orang lain diantaranya kami. 

Tiara tersenyum malu mendengarnya.

"Surprise!" Tiara menoleh ke belakang dan mengambil dua paper bag yang tadi ada di motornya.

"Buat Mama!" Tiara menyerahkan satu paper bag untuk Mama.

"Wah … apa ini?" tanya Mama dengan mata yang berbinar.

"Buka aja lah, Ma." Kemudian aku melihat Mama membuka isi paper bag di tangannya dan terlihatlah sepasang baju cantik berwarna navy.

"Suka nggak, Ma?" tanya Tiara.

Wajah Mama masih terlihat berbinar tanda ia memang menyukai baju yang dibelikan Tiara.

"Kamu emang bagus seleranya, Ti," kata mama memuji Tiara.

"Makasih ya, Sayang. Mama mau coba dulu nih," ucap mama, kemudian beranjak pergi tanpa peduli kehadiranku di salah satu kursi teras.

Semakin lama, aku merasa seperti orang asing di rumah ini. Terlebih setelah Tiara bekerja. Semua hal hanya tentang Tiara. Lauk makan untuk Tiara. Tiara harus duluan, dan aku harus mengalah.

Ah, bukankah memang selalu seperti itu?

"Ayuk, Ma!" ajak Tiara.

Kemudian saat akan melewatimu, Mama bertanya lagi pada Tiara.

"Itu satu lagi buat siapa?"

"Ini buat Ayah, Ma." Tiara mengangkat satu paper bag lagi seolah ingin menunjukkan padaku bahwa aku tak akan dapat hadiah darinya. Sisa paper bag hanya satu, dan itu untuk Ayah, bukan untukku.

Jujur, beberapa menit lalu, aku sempat berharap bahwa Tiara akan memberiku hadiah di hari gajian pertamanya. Ya, sebagai momen yang nanti akan kuingat seumur hidupku.

Namun, harapanku melesat dan terpaksa harus kubungkam rasa bahagia itu karena aku memang tak pernah dianggap ada di kehidupannya.

Aku tersenyum miris, lalu sejenak menghela napas lelah.

Aku lelah sekali. Bukan dengan pekerjaan saja, tapi lebih pada keadaan hidup.

Terkadang aku ingin mencaritahu siapa diriku, dari mana asalku, siapa orangtua yang telah begitu tega membuangku dan membiarkan hidupku sengsara seperti ini.

Aku masih duduk di teras, sempat kudengar dari dalam Mama bertanya kenapa Tiara tak membelikanku hadiah.

"Dia sendiri pelit ke aku, Ma. Jadi, jangan harap aku bisa royal ke dia." Aku bisa mendengar jawaban Tiara.

"Iya juga sih," ucap Mama yang membuat hati ini remuk lagi entah yang ke berapa kali.

Mama sama sekali tak pernah melihat apa yang kuberikan untuknya. Wanita itu tak pandai menghargai pemberianku. Bahkan daster yang hari ini dipakai, itu aku yang belikan. Sandal yang sering ia pakai untuk pergi ke pasar, itu aku yang hadiahkan.

Aku tak pernah bertanya ia mau apa, tapi selalu menerka apa yang membuatnya bahagia saat mengenakannya.

.

Pukul sepuluh malam, aku mendengar suara ketukan pintu kamar. Mata ini sudah hampir terpejam karena saking lelahnya. Namun, aku lekas bangun dan membuka pintu karena kupikir ayah yang mengetuk pintu.

Nyatanya Tiara yang berdiri di depan pintu dengan muka masam dan menatap tajam padaku.

Sekilas terlihat senyum sinis dari gadis itu, aku sampai bingung dibuatnya. Kali ini kesalahan apa lagi yang coba ia ciptakan.

Kemudian dari saku piyamanya, Tiara mengeluarkan beberapa uang berwarna merah.

"Lo marah karena gue ambil duit lo, kan?" sinis Tiara.

Aku menatap duit itu sekilas, lalu menatapnya, baru teringat sesuatu rupanya ia masih dendam dengan kemarahanku waktu itu.

"Ini gue bayar, gue tambahin seratus ribu. Puas lo!" 

Tak menyangka, Tiara melempar lembaran uang itu ke wajahku. Gigiku spontan kurapatkan karena geram, rasanya ingin menjambak rambut lurus gadis itu sampai puas. Namun, entah mengapa malah air mata yang keluar. Mengenaskan sekali mental dan hidupku.

Lembaran-lembaran uang itu jatuh berserakan di lantai dekat kakiku.

Aku masih menatap nanar padanya, "jaga sikapmu, Tiara!" Aku mulai meradang melihat sikapnya yang sama sekali tak sopan.

"Lo yang mulai duluan!"

Aku menggigit bibir dengan susah, tapi berusaha untuk tidak menangis di depan Tiara hanya sia-sia. 

"Bagaimana pun, aku ini kakakmu, Tiara!" Seolah kehabisan kata untuk marah, aku malah memperingatkannya tentang status kami.

"Huh … siapa juga yang mau punya kakak jelek kayak Lo!" ejek Tiara.

Kembali kupejamkan mata yang terasa hangat, dan ingin menangis lebih keras.

"Tiara!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan Ayah dari pintu depan.

Ayah menatap tajam pada Tiara yang membuat gadis itu sedikit surut dan langsung diam.

"Di mana etikamu, hah?" bentaknya.

Ayah mendekat pada kami, mungkin ingin mendamaikan keadaan.

"Jangan kamu sombongkan diri, Tiara. Jangan lupa dari siapa Ayah meminta uang saat tak cukup membayar uang semestermu." Ayah memperingatkan.

Aku merasa lega karena Ayah pulang tepat waktu. Tepat saat harga diriku direndahkan oleh anak kandungnya.

Karena suara teriakan Ayah, akhirnya Mama juga ikut terbangun dan keluar dari kamar. Malam ini wanita paruh baya itu tidur lebih cepat karena merasa tak enak badan.

Mama melihat lembaran uang yang berserakan itu, lalu menatap kami dari persatu.

Tiara hanya diam saat dibentak oleh Ayah. Tak ada yang bisa ia kelitkan karena ia tahu mungkin Ayah sudah melihat kejadian kami sejak awal, siapa yang salah dan siapa yang mengalah.

"Ambil uang itu, Tiara! Berikan secara baik-baik untuk kakakmu!" kata Ayah dengan tegas.

Tiara mendengkus kesal, lalu ia menatap Ayah sejenak sebelum menatap tajam padaku.

"Aku hanya membayar uangnya. Belain aja terus anak pancingan itu!"

Tiara mendumel, lalu berlalu dari hadapan kami semua.

Mama menatapku kesal. Namun, tak berkata apa-apa karena di depan Ayah. Kemudian ia pergi juga.

"Jangan ambil uang itu, Salsa. Pertahankan harga dirimu," kata ayah padaku.

"Sampai kapan pun, jangan ambil uang itu!" ulangnya lagi.

Jadilah uang itu tetap di depan kamarku. Bahkan hingga aku bangun pagi, uang itu masih tetap ada.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Andrina Hendarfin
pingin nangis bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status