Share

Bab 5

Author: El Baarish
last update Last Updated: 2023-08-28 21:25:23

Salsa 5

.

Tiara mulai bekerja di perusahaan tempat ia diterima. Kebiasaannya yang terlambat perlahan mulai sedikit hilang, mungkin karena takut karena masih awal masa bekerja.

Aku tetap bekerja seperti biasa, dalam versi yang beda dengan Tiara. Meskipun sama-sama karyawan, tapi dalam lingkup yang berbeda. Untuk pandangan Mama dan orang-orang kampung, bekerja di perusahaan itu tetap dianggap paling oke dan berkelas.

Bahkan sering Mama membanggakan Tiara di depan teman-temannya. Aku mendengarnya saat lewat di jalan menuju halte.

Aku bangun lebih awal dari biasanya agar bisa mandi lebih awal, karena kalau Tiara sudah masuk kamar mandi, bisa sampai setengah jam dia sana. Entah luluran, maskeran, atau apa pun itu perawatannya. Katanya harus tampil cantik dan jangan malu-maluin.

Jangan malu-maluin seperti penampilanku.

Hari demi hari berganti bulan. Tiara menerima gaji pertama dari perusahaan tempat ia bekerja.

Gadis itu selalu histeris, sejak di luar pagar ia sudah berteriak memanggil Mama sambil memasukkan motor ke halaman rumah.

"Mama …!" teriaknya.

Mama keluar dari rumah. Aku juga baru pulang bekerja, duduk di teras sambil mengurut betis yang terasa pegal.

"Kenapa, Tiara?" tanya Mama.

Tira tak menjawab, tapi ia mematikan mesin motornya dan mendekat pada wanita paruh baya itu yang menunggunya berbicara.

"Tebak deh, aku bawa apa?" Tiara malah balik tanya.

"Hmmm … apa sih?" Kening Mama bertaut seolah malas disuruh mikir-mikir, tapi tetap tersenyum.

"Bawa calon suami?" tebak Mama dengan nada becanda, karena memang tak ada orang lain diantaranya kami. 

Tiara tersenyum malu mendengarnya.

"Surprise!" Tiara menoleh ke belakang dan mengambil dua paper bag yang tadi ada di motornya.

"Buat Mama!" Tiara menyerahkan satu paper bag untuk Mama.

"Wah … apa ini?" tanya Mama dengan mata yang berbinar.

"Buka aja lah, Ma." Kemudian aku melihat Mama membuka isi paper bag di tangannya dan terlihatlah sepasang baju cantik berwarna navy.

"Suka nggak, Ma?" tanya Tiara.

Wajah Mama masih terlihat berbinar tanda ia memang menyukai baju yang dibelikan Tiara.

"Kamu emang bagus seleranya, Ti," kata mama memuji Tiara.

"Makasih ya, Sayang. Mama mau coba dulu nih," ucap mama, kemudian beranjak pergi tanpa peduli kehadiranku di salah satu kursi teras.

Semakin lama, aku merasa seperti orang asing di rumah ini. Terlebih setelah Tiara bekerja. Semua hal hanya tentang Tiara. Lauk makan untuk Tiara. Tiara harus duluan, dan aku harus mengalah.

Ah, bukankah memang selalu seperti itu?

"Ayuk, Ma!" ajak Tiara.

Kemudian saat akan melewatimu, Mama bertanya lagi pada Tiara.

"Itu satu lagi buat siapa?"

"Ini buat Ayah, Ma." Tiara mengangkat satu paper bag lagi seolah ingin menunjukkan padaku bahwa aku tak akan dapat hadiah darinya. Sisa paper bag hanya satu, dan itu untuk Ayah, bukan untukku.

Jujur, beberapa menit lalu, aku sempat berharap bahwa Tiara akan memberiku hadiah di hari gajian pertamanya. Ya, sebagai momen yang nanti akan kuingat seumur hidupku.

Namun, harapanku melesat dan terpaksa harus kubungkam rasa bahagia itu karena aku memang tak pernah dianggap ada di kehidupannya.

Aku tersenyum miris, lalu sejenak menghela napas lelah.

Aku lelah sekali. Bukan dengan pekerjaan saja, tapi lebih pada keadaan hidup.

Terkadang aku ingin mencaritahu siapa diriku, dari mana asalku, siapa orangtua yang telah begitu tega membuangku dan membiarkan hidupku sengsara seperti ini.

Aku masih duduk di teras, sempat kudengar dari dalam Mama bertanya kenapa Tiara tak membelikanku hadiah.

"Dia sendiri pelit ke aku, Ma. Jadi, jangan harap aku bisa royal ke dia." Aku bisa mendengar jawaban Tiara.

"Iya juga sih," ucap Mama yang membuat hati ini remuk lagi entah yang ke berapa kali.

Mama sama sekali tak pernah melihat apa yang kuberikan untuknya. Wanita itu tak pandai menghargai pemberianku. Bahkan daster yang hari ini dipakai, itu aku yang belikan. Sandal yang sering ia pakai untuk pergi ke pasar, itu aku yang hadiahkan.

Aku tak pernah bertanya ia mau apa, tapi selalu menerka apa yang membuatnya bahagia saat mengenakannya.

.

Pukul sepuluh malam, aku mendengar suara ketukan pintu kamar. Mata ini sudah hampir terpejam karena saking lelahnya. Namun, aku lekas bangun dan membuka pintu karena kupikir ayah yang mengetuk pintu.

Nyatanya Tiara yang berdiri di depan pintu dengan muka masam dan menatap tajam padaku.

Sekilas terlihat senyum sinis dari gadis itu, aku sampai bingung dibuatnya. Kali ini kesalahan apa lagi yang coba ia ciptakan.

Kemudian dari saku piyamanya, Tiara mengeluarkan beberapa uang berwarna merah.

"Lo marah karena gue ambil duit lo, kan?" sinis Tiara.

Aku menatap duit itu sekilas, lalu menatapnya, baru teringat sesuatu rupanya ia masih dendam dengan kemarahanku waktu itu.

"Ini gue bayar, gue tambahin seratus ribu. Puas lo!" 

Tak menyangka, Tiara melempar lembaran uang itu ke wajahku. Gigiku spontan kurapatkan karena geram, rasanya ingin menjambak rambut lurus gadis itu sampai puas. Namun, entah mengapa malah air mata yang keluar. Mengenaskan sekali mental dan hidupku.

Lembaran-lembaran uang itu jatuh berserakan di lantai dekat kakiku.

Aku masih menatap nanar padanya, "jaga sikapmu, Tiara!" Aku mulai meradang melihat sikapnya yang sama sekali tak sopan.

"Lo yang mulai duluan!"

Aku menggigit bibir dengan susah, tapi berusaha untuk tidak menangis di depan Tiara hanya sia-sia. 

"Bagaimana pun, aku ini kakakmu, Tiara!" Seolah kehabisan kata untuk marah, aku malah memperingatkannya tentang status kami.

"Huh … siapa juga yang mau punya kakak jelek kayak Lo!" ejek Tiara.

Kembali kupejamkan mata yang terasa hangat, dan ingin menangis lebih keras.

"Tiara!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan Ayah dari pintu depan.

Ayah menatap tajam pada Tiara yang membuat gadis itu sedikit surut dan langsung diam.

"Di mana etikamu, hah?" bentaknya.

Ayah mendekat pada kami, mungkin ingin mendamaikan keadaan.

"Jangan kamu sombongkan diri, Tiara. Jangan lupa dari siapa Ayah meminta uang saat tak cukup membayar uang semestermu." Ayah memperingatkan.

Aku merasa lega karena Ayah pulang tepat waktu. Tepat saat harga diriku direndahkan oleh anak kandungnya.

Karena suara teriakan Ayah, akhirnya Mama juga ikut terbangun dan keluar dari kamar. Malam ini wanita paruh baya itu tidur lebih cepat karena merasa tak enak badan.

Mama melihat lembaran uang yang berserakan itu, lalu menatap kami dari persatu.

Tiara hanya diam saat dibentak oleh Ayah. Tak ada yang bisa ia kelitkan karena ia tahu mungkin Ayah sudah melihat kejadian kami sejak awal, siapa yang salah dan siapa yang mengalah.

"Ambil uang itu, Tiara! Berikan secara baik-baik untuk kakakmu!" kata Ayah dengan tegas.

Tiara mendengkus kesal, lalu ia menatap Ayah sejenak sebelum menatap tajam padaku.

"Aku hanya membayar uangnya. Belain aja terus anak pancingan itu!"

Tiara mendumel, lalu berlalu dari hadapan kami semua.

Mama menatapku kesal. Namun, tak berkata apa-apa karena di depan Ayah. Kemudian ia pergi juga.

"Jangan ambil uang itu, Salsa. Pertahankan harga dirimu," kata ayah padaku.

"Sampai kapan pun, jangan ambil uang itu!" ulangnya lagi.

Jadilah uang itu tetap di depan kamarku. Bahkan hingga aku bangun pagi, uang itu masih tetap ada.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Andrina Hendarfin
pingin nangis bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   42. Dunia Pasti Berputar

    Salsa 42.Setelah menikah, aku dan Ken balik ke kontrakan masing-masing. Dia membocengku di atas motor besarnya, awalnya sedikit tak nyaman, tapi lama kelamaan jadi nyaman karena aku juga pakai kulot, jadi lebih bisa untuk naik ke motornya."Kenapa gak pake mobil?" protesku saat melihat ia malah mengeluarkan motor dari garasi rumahnya."Memangnya jalan di sana besar kayak di sini?" jawabnya.Iya juga. Akan lebih susah jika naik mobil karena jalannya sempit, apalagi jalan menuju kontrakanku.Kami kembali bukan untuk melanjutkan hidup di sana, tapi untuk menyelesaikan beberapa hal dengan pemilik kontrakan.Kami tiba, dan sepakat untuk ke kontrakaknku dulu. Di sana aku bertemu Pak Budi dan istrinya, aku berpamitan pada mereka serta mengucapkan banyak terima kasih."Sering-seringlah main ke sini, Sa. Gak terasa ya kita udah sama-sama selama beberapa bulan ini. Kamu udah saya anggap seperti anak perempuan saya. Kek ada rasa berat gitu berpisah sama kamu." Bu Mariani membelai bahuku.Meman

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   41. Salsa dan Ken Menikah

    Salsa 41.Minggu depan aku dan Ken akan resmi menikah. Seminggu yang lalu, ia dan keluarganya datang melamar secara resmi. Aku meminta Ayah untuk tidak terlalu menyibukkan diri menyiapkan acara pertunangan yang mewah, sederhana saja, dan Ken juga setuju dengan semua usulku.Tiara kondisinya lebih sering lemas dan hanya terbaring di kamar. Ia juga memtuskan untuk resign dari pekerjaan karena merasa malu untuk kembali bekerja di sana.Ia lebih banyak diam saat ini, sepertinya mentalnya benar-benar sedang down. Rasa mualnya seringkali membuat ia tak bisa makan, semua makanan yang ia coba masukkan ke mulut, langsung keluar kembali. Mama yang senantiasa ada dan merawatnya.Aku pernah melihat Tiara menangis di dekat kamar mandi. Ia duduk merangkul lutut dan memegang perutnya. Aku bahkan ikut menangis melihatnya, karena mengerti posisinya pasti sulit. Sulit mengandung seorang anak tanpa didampingi suami.Mama juga melihatnya, aku menatap Mama dan ia memberi aba-aba agar aku membantu memapah

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   40. Tiara Kini

    Salsa 40."Mas Andre, Ma …," Tiara memangis dengan kerasnya di pelukan Mama. Aku belum terlalu mengerti situasi, tapi kulihat di sana Andre sudah dalam kawasan polisi. Tangannya diborgol mungkin agar tidak melawan. Wajahnya sedikit lebam, sepertinya ia memang melawan dan mendapat pukulan dari polisi.Namun, nampaknya Mama mengerti keadaan ini, tapi aku tak berani bertanya. Antara takut melukai hatinya dan takut kena marah.Tiara menangis terus menerus, dan Andre menjelaskan banyak hal pada polisi dengan marah, lalu mengiba agar mereka tidak menangkapnya.Aku mengamati rumah dan sekelilingnya, sudah ada garis polisi yang dilingkari. Tak lama kemudian Ayah datang, dengan masih memgenakan jaket itu dia turun dari motor. Sepertinya Ayah ngebut di jalan agar cepat sampai ke sini. Mungkin Tiara langsung menelepon, dan Ayah meninggalkan pekerjaannya dan langsung ke sini.Ayah bertanya banyak hal pada polisi yang memegang sebuah berkas laporan penangkapan Andre. Lebih tepatnya meminta penj

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   39. Andre Ditangkap

    Salsa 39."Ada apa, Reza?" tanyaku pada lelaki itu yang terlihat sungkan karena ada Ken bersamaku.Reza diam di tempat, sementara aku menatap Ken yang juga menatapku dan bertanya lewat tatapan. Bertanya siapa lelaki itu, lalu ketika aku mengangguk samar, ia baru mengerti bahwa Reza adalah orang yang pernah diceritakan dulu, mantanku.Aku minta izin pada Ken agar memberiku waktu beberapa menit mengobrol dengan Reza. Bukan untuk melanjutkan hubungan kami yang telah dilalui banyak drama, tapi untuk benar-benar mengakhiri apa yang telah kami mulai.Beberapa hari yang lalu, aku melihat kontak Reza sudah bisa dihubungi, itu artinya ia sudah membuka blokiran WhatsApp-ku. Tapi, aku tak lagi peduli karena aku pernah melalui hari-hari dengan harapan bahwa Reza datang dan meminta maaf, lalu kami baikan. Namun, lelaki itu tak datang, yang artinya ia memuat harapanku pupus.Lalu, lama kelamaan saat hari demi hari berlalu, aku mulai bisa berdamai dengan rasa yang pernah ada untuknya. Pun, perlahan

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   38. Kedatangan Reza

    Salsa 38."Tinggal Lo-nya aja yang pulang. Mama udah ngerestui hubungan kita.""Hah?" Hingga malam tiba, di kepalaku masih terngiang-ngiang kalimat Ken.Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakannya tadi siang, karena aku tahu bahwa Mama tak semudah itu untuk memafkanku atau merestuiku.Saat bertemu tadi siang, aku pun tak banyak bicara dengan Ken. Hanya mengangguk ya atau bilang tidak sebagai tanggapan. Masih belum terlalu bisa menerima kebohongannya, meskipun sudah perlahan memafkan.Sambil sesekali aku mencuri menatapnya heran, entah apa yang ia lakukan hingga Mama menurut saja padanya. Entah keberanian apa yang dimiliki oleh Ken, padahal jelas saja saat kuceritakan masalahku dengan Mama, ia tampak menilai bahwa Mama adalah orang yang tak bijaksana sebagai orang dewasa.Namun, semua kebingungan itu terjawab sudah saat aku bertanya pada Ayah melalui sambungan telepon."Ya, Ken memang datang ke rumah bertemu Mama.""Masa sih?" "Iya, Sa. Mama santai dan adem aja tuh ketemu sam

  • DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN   37. Kamu Harus Pulang

    Salsa 37.Malam ini saat aku pulang ke rumah, sudah ada Ayah menunggu di teras. Ia memang sudah memberitahuku untuk datang tadi siang, tapi kuncinya terlanjur kubawa yang membuat Ayah harus menunggu di depan rumah. Mungkin Pak Budi juga tidak melihat Ayah, kalau tidak pastilah sudah heboh dijamu macam-macam di rumahnya seperti yang sudah-sudah. Ayah juga tak mau merepotkan sepertinya.Seperti biasa, aku diantar oleh Yuli yang sudah seperti ojek online saat pulang. Kerap kali Yuli menolak uang bensin yang kuberikan, tapi setelah kupaksa akhirnya kami patungan bensin. "Udah lama, Yah?" tanyaku begitu sampai.Ayah menggeleng."Sepuluh menit yang lalu ada kayaknya," jawab Ayah."Sengaja ngepasin jam kamu pulang, biar gak kelamaan nunggu di luar." Ayah menambahkan.Aku hanya mengangguk. Langsung mengambil tangan Ayah dan menyalaminya. Di belakangku Yuli juga menyalami Ayah, lalu pamit pergi. Yuli dan Ayah sudah pernah bertemu beberapa kali sebelumnya, saat hari libur Ayah pernah mengunju

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status