Alisha menatap Dani yang kini tengah uring-uringan di meja kerjanya. Perempuan ini menatap sekitarnya, kemudian perlahan menghampiri lelaki itu. "Bapak, lagi sakit, ya atau kondisi Tante masih memerihatinkan?" Dani sejenak termenung mendengar suara Alisha."Maaf, ini kesalahan saya. Andai saja saya tidak bertemu Anda...." Alisha sekuat tenaga menahan air matanya, tapi ia tak berdaya. Airmata itu mengalir begitu derasnya. "Aku harus membayar utang bapakku," katanya dengan suara pasrah. Dani kemudian menyodorkan tisu yang berada di mejanya untuk menyeka airmata Alisha. "Jadi kamu nggak perlu merasa bersalah.""Tapi kalau bukan karena saya, kamu nggak mungkin begini, kan? Nggak mungkin mamamu datang terus hal itu terjadi, kan?" Ia menatap Dani, seolah ia yang paling bersalah di dunia ini."Lupakan itu!" kilahnya. "Bagaimana kondisi bayimu?" Alisha terdiam sejenak, tangannya kini menyentuh perutnya. "Aku mungkin akan berhenti bekerja sampai anak ini lahir. Tunggu kandunganku berusia li
Alisha tidak dapat menahan muntahnya, ia memuntahkan makanannya di sebelah pohon mangga yang ada di depan kantor. Penderitaannya itu disaksikan oleh beberapa karyawan. Mereka mulai berbisik membicarakan kemungkinan Alisha hamil atau mungkin karena Alisha tengah masuk angin saja. "Kamu kenapa, Lis?" tanya Yeni. Alisha terkejut, baru menyadari bahwa kini ia tengah menjadi pusat perhatian mereka dan karena malu ia terpaksa pergi tanpa mengindahkan Yeni."Sakit apa dia, sih? Aneh." Yeni bergumam sambil melihat ke arah perginya Alisha."Dia hamilkah?" tanya Siska. Yeni menggeleng. "Aku juga nggak tahu.""Ada lakinya nggak, sih?" "Ih, mana kutahu juga. Belum nanya, sih." Yeni tertawa sambil menepuk pundak Siska."Kali aja hamil, kan?""Mungkin cuma demam. Soalnya dia punya penyakit maag." Siska mengangguk-angguk. "Ouh, bisa jadi." "Belum sarapan juga tadi, sih," ujarnya sambil mengingat-ingat kejadian pagi tadi."Ya, mungkin karena itu. Ah, masih banyak kerjaanku. Nanti aku ke kosanmu
Alisha menekuk buku yang kini berada di atas meja. Ia tidak menyadari perbuatannya, hanya satu fokusnya adalah ucapan Dani semalam. Masih terngiang permintaan tolong lelaki itu. "Tolong bantu aku, Lish. Aku banyak utang, harus menikahi Melinda. Bisakah kamu menjauh dariku?" pinta Dani di malam itu. Alisha mencintai Dani, tetapi bila menjauhinya, lalu bagaimana ia akan bertahan sendirian di sana? "Bu Lish, kamu sudah baikkan?" tanya Siska. Alisha terkejut, ia segera merapikan buku yang telah lecek ditekuk olehnya. "Aku nggak papa, kok." "Bos Dani bilang kamu nggak boleh lagi bersih-bersih di ruangannya." Alisha tersenyum sedih. Itu artinya ia tidak bisa lagi melihat Dani sedekat kemarin. "Makasih, ya, infonya." "Kamu ada masalah?" Siska diam-diam memerhatikan perubahan sikap Alisha setelah beberapa hari kemarin. "Nggak ada, kok." "Bener?" Alisha menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Iya, nggak ada apa-apa.""Ya, sudah, deh. Aku lanjut kerja dulu, ya. Soalnya tugas bersih-be
Alisha melangkah mundur saat lelaki itu kian mendekat padanya. "Aku akan teriak!" "Ah, tenang aja. Kita di sini gak macam-macam, kok. Cuma semacam aja, kok," katanya sambil menyentuh pundak Alisha dan langsung ditepis oleh perempuan itu. "Mundur!" Ancam Alisa dengan tas di tangannya. Siap menyerang bila lelaki itu nekat maju.Lelaki yang sebenarnya memiliki senyum yang lumayan manis, tapi mengesalkan itu, kini mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah, tapi Alisha tahu bahwa di pikiran lelaki itu pasti menyimpan niat yang jahat padanya. "Jangan berpikir yang lain-lain. Kamu kan kesepian. Apa salahnya aku dan kamu di sini, berdua?""Gak! Aku bisa tidur sendirian." "Ah, sok, jual mahal, lu. Tadi kamu muntah, kan? Hamil, kan?" Alisha terkejut sekaligus marah. Wajahnya merah juga menahan malu yang tak mampu dibendung lagi. Mungkin saja semua sudah menyadari kehamilannya. Kini ia sangat malu, tapi demi mempertahankan harga dirinya ibu muda ini membantah keras perkataan itu. "P
Alisha berusaha untuk berdiri, tetapi pandangannya seketika berkunang-kunang, membuatnya semakin tidak berdaya. Kini kebencian akan lelaki itu membuatnya bersumpah akan mengutuknya bila sampai berani menyentuhnya. "Sakit, ya, sayang? Ayo, sini, biar kubantu." Lelaki ini menyentuh pundak kanan Alisha, tetapi perempuan itu dengan sisa tenaganya menepisnya. "Jangan jual mahallah.""Pergi!" teriak Alisha. Suaranya serak."Tuh, kan, tambah parah. Sini!""Pergi kau!" teriaknya. Kini suara Alisha lantang. Entah datang darimana tenaga itu, ia dapat berteriak hingga terdengar sampai ke luar kantor."Loh, ada suara cewek?" Satpam baik ini sontak terkejut sambil melihat ke arah pintu kantor. Sejenak ia menatap tanah kemudian berkata, "Apa jangan-jangan..." Tanpa mau membuang waktu lagi, ia segera berlari ke dalam kantor untuk mencari Alisha. "Ah, sial. Kenapa kamu gak mau diajak bersenang-senang, sih? Cuma sebentar. Setelah itu kita ke Rumah sakit." Ia mengepalkan tinju ke wajah Alisha. Walau
Melinda tiba di Rumah sakit. Perempuan ini langsung melabrak Dani. "Ngapain kamu di sini, hah? Apa kamu lupa sama perjanjian kita?" tanya Melinda sambil menatap marah."Aku gak lupa." "Terus?" "Aku cuma gak tega kalau ada yang sakit terus gak ditolongin." Melinda tersenyum sinis sambil mengalihkan tatapan ke arah kiri, lalu ia kembali menatap lelaki itu. "Jangan bohong, Dani. Akui saja kalau kamu sama dia ada main di belakangku." Dani mendesah kesal, tapi ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. "Jawab! Iya, kan?" "Ini Rumah sakit, Melinda. Lebih baik kita jangan berdebat di sini." "Peduli amat," ujarnya sambil melirik ke arah pintu kamar pasien di hadapannya. Dokter Feni keluar dari kamar rawat Alisha. Ia langsung akan mendatangi Dani, tetapi Dani langsung mencegahnya dengan langsung mengajaknya menjauh dari Melinda. "Kenapa mereka menjauh?" Melinda penasaran. Ia perlahan mendekati mereka. "Dia dan bayinya berhasil selamat, tapi kondisinya sangat memerihatinkan," ujar Dokte
Kerena terbawa amarah, Dani terpaksa menarik ibunya kemudian menampar wajah Melinda. Ibunya terkejut melihat kelancangan Dani. "Dani!" bentak Ibunya Dani. Swarini yang tidak terima anaknya ditampar oleh Dani. Akhirnya ia membalas tamparan itu pada Alisha. Plak! "Auh!" jerit Alisha. Ia hampir terjatuh, tetapi Dani dengan sigap menopang tubuhnya."Lisha," sebut Dani."Mama!" Melinda langsung berlari merangkul ibunya. Ia merengek memperlihatkan pipinya yang merah karena perlakuan Dani."Dani, apa kamu gak malu bersikap begitu? Kamu lebih memilih perempuan itu daripada mama. Padahal belum tentu itu anakmu."Dani hanya diam sambil mengusap punggung Alisha. Pintu dibuka dengan paksa oleh dua orang polisi. Rupanya suster tadi langsung melapor pada Dokter Feni, kemudian Dokter Feni langsung menghubungi polisi. "Tahan saja mereka, Pak," kata Dani. Membuat ibu, Swarini dan Melinda terkejut. Wajah Dani kini datar. Ia tak ragu dengan keputusannya untuk menuntut perlakuan mereka."Dani, apa k
Alisha terkejut saat melihat seorang lelaki kini tengah berdiri di depan pintu kamar rawatnya. Ia panik dan segera meminta Madin untuk membantu satpam mengusir lelaki itu."Tua, tolong jauhkan dia dariku!" Ia menunjuk ke arah lelaki yang ternyata adalah Anwar.Madin segera mendatangi lelaki itu. "Dia gak mau ketemu kamu. Tolong pergi dari sini sebelum saya lapor polisi." Lelaki itu berontak ketika Madin akan menyeretnya. "Aku cuma mau ngomong sebentar sama perempuan itu." Setelah berkata pada Madin, ia lalu beralih berbicara pada perempuan itu. "Tolong, dengar dulu Alisha! Dengarkan aku!" Alisha berpaling ke arah kiri, tak Sudi melihatnya lagi. Madin semakin bingung tentang lelaki itu, tetapi ia tak ingin membuang waktu dengan bertanya. Lelaki ini segera menyeretnya dengan sekuat tenaga hingga akhirnya ia dan satpam mampu menyeret lelaki itu yang terus berteriak memanggil nama Alisha."Aku harus ngomong sama dia! Tolong lepaskan aku!" "Pergi dari sini!" usir Satpam, sambil mendoro