Share

Bab 7. Perempuan Malang

Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi seolah Kak Alyssa sedang kebelet ingin bersemedi di toilet. Aku sendiri sibuk merapalkan doa, sudah lama tidak menaiki kendaraan roda empat membuat jantung berdegup cepat bagai pacuan kuda. Memang nasib menjadi istri rasa pembantu karena untuk belanja bulanan pun harus pakai angkot bahkan jalan kaki sekitar setengah kilometer untuk menghemat ongkos.

Berulang kali aku melirik pada Kak Alyssa yang fokus menyetir. Di telinga kirinya terpasang earphone menandakan dia menikmati musik sendirian. Kami memang saudara kandung, tetapi lama tanpa komunikasi membuat aku merasa canggung. Terlebih karena Kak Alyssa menemukan aku dalam keadaan memalukan.

"Turun!" pinta Kak Alyssa sedikit ketus, tidak seperti tadi.

Aku menurut, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari bibir yang semakin kering karena lapar dan haus. Kaki mengayun cepat mengikuti langkah Kak Alyssa. Rumah tiga tingkat yang semakin mewah, di depan berjejer beberapa mobil keluaran terbaru. Pasti begitu nyaman mengendarainya ke mana-mana.

Ternyata keberuntungan tidak bernasab. Kak Alyssa begitu menikmati hidup, sementara aku harus tersiksa karena salah dalam memilih. Mungkin rida orang tua memang harus kita kejar agar bahagia menjalani kehidupan rumah tangga. Mengingat Mas Dimas menciptakan pilu dalam dada.

"Sekarang masuk kamar, mandi dan ganti pakaian. Jelek kalau pakai itu, nanti dikira tukang kebun lagi!" perintah Kak Alyssa, sedikit tersenyum sebelum melanjutkan, "kamar lama kami, ya. Lantai dua."

"Iya, Kak." Hanya dua kata yang kini bisa terucap dari mulut. Sedikit ragu, aku melangkah menaiki lima belas anak tangga menuju lantai dua di mana kamar berada.

Kamar yang begitu luas karena ada empat ruangan lagi di dalamnya. Untuk ruang ganti, kamar mandi, toilet dan juga khusus olahraga. Akan tetapi, ruangan untuk olahraga jarang aku pakai karena lebih sering melakukannya di luar bersama teman. Sekarang, tangan kanan ini memegang handle pintu, memutar perlahan sampai daun pintu terbuka lebar.

Masih sama, tertata begitu rapi seperti saat aku tinggalkan empat tahun silam. Aku menarik napas panjang sembari menutup pintu kamar rapat. Melangkah menuju ruang ganti, membuka lemari paling besar. Isinya berbeda, bahkan hampir dari semua pakaian adalah keluaran terbaru. Aku mengukir senyum, apa Kak Alyssa yang melakukannya?

Setelah menghabiskan waktu hampir dua jam, kini aku tampil dengan penampilan terbaru. Di saat yang sama, pintu kamar terketuk dua kali. "Kak Alyssa? Masuk saja, Kak. Nggak dikunci."

"Kamu udah siap?" Perempuan yang usianya tiga tahun di atasku itu melongo. "Nggak cocok."

Aku mengangguk lemah, sebelum akhirnya menunduk sedih. Bagaimana mungkin bisa terlihat cocok jika wajah penuh jerawat, kulit kusam bersisik bahkan rambut kering dan lepek. Bagai pelayan yang mencoba tampil seperti seorang putri. Oh tidak, bahkan pelayan kerajaan pun jauh lebih pantas daripada aku.

"Mulai hari ini kamu akan melakukan perawatan khusus. Aku yang mengurus semuanya dan jangan banyak protes!"

"Kak? Kenapa harus perawatan? Aku mau cari kerja–"

"No! Kalau kamu tinggal di sini, berarti harus bersikap seperti dulu lagi. Papa sudah mengaktifkan kartu ATM kamu lagi bahkan dikasih bonus sebagai ganti selama empat tahun menderita dengan syarat harus menuruti keinginan aku."

Keinginan? Aku melipat bibir, lalu menelan saliva. Apa maksud Kak Alyssa dengan keinginan? Entah kenapa perasaanku menjadi semakin tidak enak. Meskipun seorang perempuan, tetapi dia itu kadang tidak punya hati dan sulit memaafkan.

"Hei, kenapa diam? Kamu nggak mau nurut dan jadi gelandangan seumur hidup?!" Kak Alyssa menepuk pundakku keras, aku sampai meringis menahan sakit.

"Keinginan apa, Kak? Jangan bercanda, deh!"

Kak Alyssa menggeleng perlahan. Dia mengitariku seraya memindai dari kaki sampai kepala. Aku merasa risih, terlebih ini pertemuan pertama kami setelah beberapa tahun berlalu. Entah apa yang ada dalam pikirannya, mungkin sibuk menghina atau menertawakan karena dulu aku bersikukuh menjalin hubungan dengan Dimas, lalu bersumpah akan hidup sukses dan bahagia.

Namun, pada kenyataannya berbeda. Semua mimpi dan harapan yang melambung begitu tinggi harus terpatahkan. Sebenarnya sudah berulang kali aku ingin lari dari kenyataan, tetapi seolah tidak ada tempat bernaung. Dunia begitu kejam, membiarkan Mas Dimas mempermainkan perasaan aku.

"Sebelum itu, kamu ceritakan kenapa bisa jadi burik begini. Aku cuma tahu kalau kamu melakukan semua pekerjaan rumah sendirian!" Kak Alyssa menghempaskan bokong pada sofa di sudut kamar.

Kaki gemetaran, air mata seketika membendung. Luka menganga, sangat menyakitkan. Aku menarik napas panjang lagi dan membuangnya kasar. Ingin rasanya mendaki gunung sampai ke puncak, lalu berteriak untuk melonggarkan dada yang terasa sesak.

"Sejak angkat kaki dari sini, aku datang ke panti asuhan, memohon agar mereka mau menerima aku. Alhamdulillah, dikasih kesempatan satu minggu sampai setahun berikutnya. Mas Dimas, kan, nggak pernah tahu kalau aku ini anak orang kaya, jadi nggak mikir ada masalah sampai kami menikah. Awal-awal pernikahan masih bahagia, pas tinggal sama mertua langsung berubah, Kak."

"Gimana maksudnya?"

"Iya, jadi Mas Dimas dihasut sama ibu dan adiknya si Nila itu buat ceraiin aku saja karena tidak pernah hamil. Lambat laun karena Mas Dimas menolak, aku justru dijadikan babu sama mereka kalau lagi bertiga di rumah. Kadang terpaksa jualan kue keliling demi mengisi perut karena ibu mertua melarang aku makan. Mas Dimas gak pernah tahu. Cuman entah gimana ceritanya dia ikut-ikutan marah setiap ibu mengadu aku ini gak becus lah, ongkang kaki doang lah. Aku dihina, difitnah bahkan hampir bunuh diri karena depresi, Kak. Sampai kemarin Mas Dimas menceraikan aku, ternyata tadi baru ketahuan dia sudah punya calon."

"Calon istri?"

Aku mengangguk, kemudian kembali melanjutkan cerita tentang kejadian kemarin dan flashback beberapa kali ke masa lalu. Intinya ibarat mengeluarkan unek-unek agar tidak berat memendam sendirian terlalu lama. Sebenarnya ada perasaan ragu memberitahu Kak Alyssa ketika melihat semburat merah di matanya.

"Jangan bilang Sandra yang kamu maksud itu Sandra Chandrawinata?"

"Entahlah, Kak. Dia cuma menyebut nama Sandra, tidak menyertakan nama belakang."

Rahang Kak Alyssa mengetat sempurna dengan kedua tangan terkepal sampai gemetaran. Aku tahu amarahnya kini memuncak sampai ke ubun-ubun. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak atau akan mendapat bentakan lagi. Kesalahan ada padaku, jadi lebih baik menurut saja.

"Kalau dia benar Sandra Chandrawinata, aku pastikan gadis itu tidak akan pernah bahagia. Sekarang adalah saatnya!"

Tatapan tajam mematikan. Aku ketakutan, hanya bisa menggenggam tangan sendiri untuk meminimalisir rasa gugup. Apa maksud dari Kak Alyssa? Amarahnya benar-benar berkobar dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk meredam.

"Apa, Kak?"

"Sesuai rencana awal, aku ingin kamu membunuh Dimas sekeluarga. Sandra biar menjadi urusanku. Bagaimana, kamu sepakat?!"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Bintu Hasan
kan diusir dari rumah:)
goodnovel comment avatar
for you
masa iya anak orang kaya bisa sebodoh itu jadi babu suaminya selama 4thn
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status