Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi seolah Kak Alyssa sedang kebelet ingin bersemedi di toilet. Aku sendiri sibuk merapalkan doa, sudah lama tidak menaiki kendaraan roda empat membuat jantung berdegup cepat bagai pacuan kuda. Memang nasib menjadi istri rasa pembantu karena untuk belanja bulanan pun harus pakai angkot bahkan jalan kaki sekitar setengah kilometer untuk menghemat ongkos.
Berulang kali aku melirik pada Kak Alyssa yang fokus menyetir. Di telinga kirinya terpasang earphone menandakan dia menikmati musik sendirian. Kami memang saudara kandung, tetapi lama tanpa komunikasi membuat aku merasa canggung. Terlebih karena Kak Alyssa menemukan aku dalam keadaan memalukan.
"Turun!" pinta Kak Alyssa sedikit ketus, tidak seperti tadi.
Aku menurut, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari bibir yang semakin kering karena lapar dan haus. Kaki mengayun cepat mengikuti langkah Kak Alyssa. Rumah tiga tingkat yang semakin mewah, di depan berjejer beberapa mobil keluaran terbaru. Pasti begitu nyaman mengendarainya ke mana-mana.
Ternyata keberuntungan tidak bernasab. Kak Alyssa begitu menikmati hidup, sementara aku harus tersiksa karena salah dalam memilih. Mungkin rida orang tua memang harus kita kejar agar bahagia menjalani kehidupan rumah tangga. Mengingat Mas Dimas menciptakan pilu dalam dada.
"Sekarang masuk kamar, mandi dan ganti pakaian. Jelek kalau pakai itu, nanti dikira tukang kebun lagi!" perintah Kak Alyssa, sedikit tersenyum sebelum melanjutkan, "kamar lama kami, ya. Lantai dua."
"Iya, Kak." Hanya dua kata yang kini bisa terucap dari mulut. Sedikit ragu, aku melangkah menaiki lima belas anak tangga menuju lantai dua di mana kamar berada.
Kamar yang begitu luas karena ada empat ruangan lagi di dalamnya. Untuk ruang ganti, kamar mandi, toilet dan juga khusus olahraga. Akan tetapi, ruangan untuk olahraga jarang aku pakai karena lebih sering melakukannya di luar bersama teman. Sekarang, tangan kanan ini memegang handle pintu, memutar perlahan sampai daun pintu terbuka lebar.
Masih sama, tertata begitu rapi seperti saat aku tinggalkan empat tahun silam. Aku menarik napas panjang sembari menutup pintu kamar rapat. Melangkah menuju ruang ganti, membuka lemari paling besar. Isinya berbeda, bahkan hampir dari semua pakaian adalah keluaran terbaru. Aku mengukir senyum, apa Kak Alyssa yang melakukannya?
Setelah menghabiskan waktu hampir dua jam, kini aku tampil dengan penampilan terbaru. Di saat yang sama, pintu kamar terketuk dua kali. "Kak Alyssa? Masuk saja, Kak. Nggak dikunci."
"Kamu udah siap?" Perempuan yang usianya tiga tahun di atasku itu melongo. "Nggak cocok."
Aku mengangguk lemah, sebelum akhirnya menunduk sedih. Bagaimana mungkin bisa terlihat cocok jika wajah penuh jerawat, kulit kusam bersisik bahkan rambut kering dan lepek. Bagai pelayan yang mencoba tampil seperti seorang putri. Oh tidak, bahkan pelayan kerajaan pun jauh lebih pantas daripada aku.
"Mulai hari ini kamu akan melakukan perawatan khusus. Aku yang mengurus semuanya dan jangan banyak protes!"
"Kak? Kenapa harus perawatan? Aku mau cari kerja–"
"No! Kalau kamu tinggal di sini, berarti harus bersikap seperti dulu lagi. Papa sudah mengaktifkan kartu ATM kamu lagi bahkan dikasih bonus sebagai ganti selama empat tahun menderita dengan syarat harus menuruti keinginan aku."
Keinginan? Aku melipat bibir, lalu menelan saliva. Apa maksud Kak Alyssa dengan keinginan? Entah kenapa perasaanku menjadi semakin tidak enak. Meskipun seorang perempuan, tetapi dia itu kadang tidak punya hati dan sulit memaafkan.
"Hei, kenapa diam? Kamu nggak mau nurut dan jadi gelandangan seumur hidup?!" Kak Alyssa menepuk pundakku keras, aku sampai meringis menahan sakit.
"Keinginan apa, Kak? Jangan bercanda, deh!"
Kak Alyssa menggeleng perlahan. Dia mengitariku seraya memindai dari kaki sampai kepala. Aku merasa risih, terlebih ini pertemuan pertama kami setelah beberapa tahun berlalu. Entah apa yang ada dalam pikirannya, mungkin sibuk menghina atau menertawakan karena dulu aku bersikukuh menjalin hubungan dengan Dimas, lalu bersumpah akan hidup sukses dan bahagia.
Namun, pada kenyataannya berbeda. Semua mimpi dan harapan yang melambung begitu tinggi harus terpatahkan. Sebenarnya sudah berulang kali aku ingin lari dari kenyataan, tetapi seolah tidak ada tempat bernaung. Dunia begitu kejam, membiarkan Mas Dimas mempermainkan perasaan aku.
"Sebelum itu, kamu ceritakan kenapa bisa jadi burik begini. Aku cuma tahu kalau kamu melakukan semua pekerjaan rumah sendirian!" Kak Alyssa menghempaskan bokong pada sofa di sudut kamar.
Kaki gemetaran, air mata seketika membendung. Luka menganga, sangat menyakitkan. Aku menarik napas panjang lagi dan membuangnya kasar. Ingin rasanya mendaki gunung sampai ke puncak, lalu berteriak untuk melonggarkan dada yang terasa sesak.
"Sejak angkat kaki dari sini, aku datang ke panti asuhan, memohon agar mereka mau menerima aku. Alhamdulillah, dikasih kesempatan satu minggu sampai setahun berikutnya. Mas Dimas, kan, nggak pernah tahu kalau aku ini anak orang kaya, jadi nggak mikir ada masalah sampai kami menikah. Awal-awal pernikahan masih bahagia, pas tinggal sama mertua langsung berubah, Kak."
"Gimana maksudnya?"
"Iya, jadi Mas Dimas dihasut sama ibu dan adiknya si Nila itu buat ceraiin aku saja karena tidak pernah hamil. Lambat laun karena Mas Dimas menolak, aku justru dijadikan babu sama mereka kalau lagi bertiga di rumah. Kadang terpaksa jualan kue keliling demi mengisi perut karena ibu mertua melarang aku makan. Mas Dimas gak pernah tahu. Cuman entah gimana ceritanya dia ikut-ikutan marah setiap ibu mengadu aku ini gak becus lah, ongkang kaki doang lah. Aku dihina, difitnah bahkan hampir bunuh diri karena depresi, Kak. Sampai kemarin Mas Dimas menceraikan aku, ternyata tadi baru ketahuan dia sudah punya calon."
"Calon istri?"
Aku mengangguk, kemudian kembali melanjutkan cerita tentang kejadian kemarin dan flashback beberapa kali ke masa lalu. Intinya ibarat mengeluarkan unek-unek agar tidak berat memendam sendirian terlalu lama. Sebenarnya ada perasaan ragu memberitahu Kak Alyssa ketika melihat semburat merah di matanya.
"Jangan bilang Sandra yang kamu maksud itu Sandra Chandrawinata?"
"Entahlah, Kak. Dia cuma menyebut nama Sandra, tidak menyertakan nama belakang."
Rahang Kak Alyssa mengetat sempurna dengan kedua tangan terkepal sampai gemetaran. Aku tahu amarahnya kini memuncak sampai ke ubun-ubun. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak atau akan mendapat bentakan lagi. Kesalahan ada padaku, jadi lebih baik menurut saja.
"Kalau dia benar Sandra Chandrawinata, aku pastikan gadis itu tidak akan pernah bahagia. Sekarang adalah saatnya!"
Tatapan tajam mematikan. Aku ketakutan, hanya bisa menggenggam tangan sendiri untuk meminimalisir rasa gugup. Apa maksud dari Kak Alyssa? Amarahnya benar-benar berkobar dan aku tidak tahu bagaimana cara untuk meredam.
"Apa, Kak?"
"Sesuai rencana awal, aku ingin kamu membunuh Dimas sekeluarga. Sandra biar menjadi urusanku. Bagaimana, kamu sepakat?!"
“Mencintai itu insan. Rasa luka itu insan. Namun, masih mencintai di kala terluka adalah malaikat.”—Maulana Jalaluddin Rumi____________________________Cinta sejati tidak selalu lahir dari pertemuan indah yang melahirkan kenangan paling romantis. Cinta sejati bisa juga bermula dari kisah kelam, saling menghunus pedang, saling membunuh dengan harapan menang.Itu pernah terjadi di masa lalu dan dialami oleh banyak pasang manusia. Bukan hanya cinta jadi benci, tetapi benci jadi cinta pun ada. Itu kenyataan, bukan sebatas dongeng yang sering diceritakan oleh para manusia pecinta buku.Seperti Rosaline. Perempuan bergelar janda kembang itu senantiasa mengunjungi mantan suaminya bahkan kerap kali membantu Zanna untuk mengurus Alvino. Sejak dua hari yang lalu, keajaiban turun atas kemurahan hati Sang Pencipta. Lelaki itu membuka mata, keadaannya pun kian membaik. Sekarang tengah berada di ruang perawatan.Saat waktunya makan siang dan Zanna masih mengurus pekerjaan, Rosaline langsung mengam
"Minggir!" teriak Alvino sekeras mungkin di antara derasnya hujan.Enam manusia itu langsung menoleh bersamaan. Salah satu dari mereka tertawa kencang ketika yang lain mengunci pergerakan perempuan itu. Jika Alvino taksir, mungkin sekitar tiga puluh tahun.Seorang lelaki memakai ikat kepala merah di tengah. Sial. Mereka kembali bertemu. Namun, saat ini mungkin tidak ada gadis pembawa traffic cone karena sedang menuju rumah bersama kakaknya.Situasi yang sama untuk tujuan yang berbeda. Apakah ada yang memahami perasaan Alvino saat ini? Tentu saja dia ingin menyelamatkan perempuan itu. Dia paling tidak bisa melihat kekacauan apalagi mengingat bahwa dulu sang bunda pernah menderita.Tolong-menolonglah dalam kebaikan. Begitu nasihat yang selalu ayahnya tekankan."Kamu mau jadi pahlawan?!" bentak lelaki itu. Tubuhnya lebih tinggi dan kekar daripada Alvino sendiri.Dalam derasnya hujan, rasa takut mendominasi. Amarah membara di dalam dada menepis rasa dingin yang seharusnya membuat mereka s
Pada tahun itu, dia tidak melakukan kesalahan. Hanya keadaan yang memaksanya pergi; mengikuti takdir yang berjalan.Melepaskan sosok yang dicintai adalah pengorbanan besar—terutama jika demi kebaikanmu—lalu berjuang untuk lepas dari rasa sakit.Membunuh perasaan sendiri?Oh, tidak. Wajahmu telah terlukis indah di hatinya, tidak akan terlupakan, kecuali hati itu telah mati .... Kamu percaya dengan apa yang aku katakan?Jangan! Terkadang aku mengatakan sesuatu yang tidak pantas dibenarkan.~ Rosaline_________________Janda muda yang masih berstatus gadis itu menyempatkan diri untuk mengunggah status di Insta-gram ketika menepikan mobil karena minta oleh Xavier. Lelaki yang hatinya tengah menangis pilu itu ingin mengademkan siri di alfa dengan membeli minuman kesukaan juga beberapa roti.Sudah bukan hal baru apabila mendapat masalah, maka Xavier akan mengademkan diri, berusaha untuk memendam sendiri serta meninggalkan makan sekalipun terasa lapar. Rosaline sendiri duduk merenung du dala
“Keindahan yang kamu miliki telah terlukis dalam hati, Tuan. Aku tidak akan melupakannya kecuali hati ini telah mati.”—Rosaline.____________________________"Kamu yakin?" Rosaline mencekal pergelangan tangan sang kakak yang baru saja menyambar kunci mobil.Lelaki tampan, hidung bangir dan tubuh jangkung itu telah siap. Cukup memakai kemeja dan celana jeans serta tatanan rambut rapi tanpa lupa menyemprot parfum pada sisi kanan dan kiri tubuhnya. Sudah hampir pukul delapan malam dan dia harus segera ke sana karena Jenni bilang belum memberi tahu kakak dan papanya.Dia ingin pura-pura terkejut sehingga mereka tidak tahu bahwa malam itu ada rencana yang harus disusun. Lagi pula, semuanya sesuai saran dari Rena yang telah memahami betul bagaimana sifat Lucky dan papanya. Malam itu ... bisa menjadi jalan mereka bersama."Xavier!" panggil Rosaline lagi. Dia geram karena merasa diabaikan."Iya, yakin. Aku sudah bicara sama Jenni, kan? Tidak ada pilihan lain. Ini ibarat kesempatan terakhir da
“Cinta dan benci adalah dua hal yang tidak bisa bersatu seperti minyak dan air dalam satu wadah. Mustahil ada cinta kalau berselimutkan benci, mustahil membenci kalau ada cinta sekalipun pujaan hati melakukan sebuah kesalahan. Jika benih cinta mulai tumbuh, maka rasa benci seketika memudar. Begitupun sebaliknya, cinta akan terkikis apabila benci sudah mulai mendominasi.”—Bintu Hasan.____________________________Waktu bergerak begitu lambat bagi Xavier karena belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang masih bersarang di otak. Pikiran terusik. Keinginannya untuk mempersunting Jenni semakin bulat agar tidak ada lagi alasan untuk berpisah. Sayang sekali, setitik keraguan tentang restu justru makin menyebar.Serupa virus yang menjangkiti sesuatu untuk merusaknya. Begitu juga prasangka buruk, merusak pola pikir. Xavier menghela napas panjang. Dia menyempatkan diri curhat pada Rosaline tadi dan juga ibu angkatnya. Mereka setuju untuk membuat jalinan cinta itu menyatu dengan kua
“Oh, Tuhan ... selamatkan aku dari kerinduan yang terus tumbuh.”—Jenni._______________________________Aku lelah. Rasanya terlalu pusing menjalani kehidupan setelah kejadian beberapa hari ini. Aku pikir, pulang ke rumah hanya untuk mengenang tentang Mama Naf dan Mama Lisa, berdamai dengan Papa dan juga Kak Lucky.Entah bagaimana akhir kisah cinta yang terjalin cukup lama ketika mereka justru berbalik menentang. Tidakkah cukup ketulusan Xavier—terlukis di kedua matanya—menjadi jawaban?Ini berat. Sepanjang perjalanan tadi, Kak Rena hanya sibuk meracau. Aku tidak tahu bagaimana akan memberi respon, selain kami belum terlalu dekat semenjak aku tinggal di Makassar, dia juga belum tentu benar-benar berpihak.Bercerita tentang dendam dari masa lalu, semoga Tuhan mengampuni dosa kami. Aku sudah sering mendengar cerita dari mereka ketika berkumpul di rumah. Tentu saja yang dibahas adalah hal menarik, tetapi terkadang Kak Alvino meminta saran pada Kak Lucky dan Kak Rena.Aku penasaran, pura-p