"Lain kali kalau misal punya jodoh lagi, jangan lupa perawatan. Khawatir seperti sekarang, dicerai karena kumal dan jadi beban. Padahal kalau berpikir cerdas, harusnya bisa cantik mengingat gaji Mas Dimas terbilang cukup buat beli kebutuhan tambahan. Sebagai sesama perempuan, aku merasa kasihan dengan keadaanmu sekarang, Zanna. Semoga kamu dapat jodoh yang lebih baik nanti." Sandra langsung mengatakan itu ketika aku kembali duduk di antara mereka.
Meskipun suaranya pelan, tetapi hati tidak yakin Sandra tulus. Kalau memang benar dia merasa kasihan sebagai sesama perempuan, lantas mengapa harus menjadi duri dalam rumah tanggaku? Dia berbohong semata-mata ingin dinilai baik oleh Mas Dimas sekeluarga. Lagi pula, dia berbicara tanpa tahu fakta di mana Mas Dimas begitu pelit sekadar membelikan bedak untuk istri sendiri.
"Jadi istri, walau kerjaan cuma di rumah itu harus tetap cantik. Kalau buluk kayak gini, suami pasti malu bawa ke acara penting. Aku tanya, Mas Dimas pernah bawa kamu kondangan?" Sandra kembali melanjutkan.
"Belum."
Kini tawanya memekakkan telinga. Aku tahu, dia menertawakan aku karena belum pernah dibawa ke acara penting. Memang betul apa yang dikatakan Sandra, selama ini Mas Dimas bukan ingin aku terhindar dari godaan para hidung belang di luar sana, tetapi malu jika rekan kerjanya tahu seperti apa penampilan aku. Pada sudut hati terdalam tersimpan luka yang begitu menyakitkan.
Aku menelan kesedihan demi tetap terlihat baik-baik saja. Mungkin sekarang Sandra atau yang lainnya bisa menghina karena aku tidak memiliki apa-apa. Namun, aku pastikan suatu hari nanti mereka akan bertekuk lutut agar diberi maaf, terus menyesal telah mengeluarkan kalimat hinaan.
Entah bagaimana caranya, akan aku pikirkan nanti asal sekarang masih hidup sehat untuk tetap melanjutkan hidup. Meskipun harus banting tulang dari pagi sampai malam. Dendam dalam hati kian membara, semua argument mereka bisa dipatahkan dengan uang.
"Aku harus belajar banyak dari Mbak Sandra biar jadi cantik juga," tambah Nila sengaja manas-manasi.
Tersenyum lembut, aku beralih menatapnya. "Ya, biar sekalian jadi pelakor!"
Mas Dimas lantas membentak, meminta aku untuk tetap diam. Apa maksudnya? Lelaki bajingan itu ingin aku duduk seperti patung dan menerima semua kelakuan mereka? Oh tidak, aku juga masih punya perasaan.
Nila dan mantan ibu mertua terus saja mengoceh karena membela calon menantu barunya. Sudahlah, mereka tidak penting. Sebaiknya aku segera pergi dari sini daripada harus menjadi orang toxic sepertinya. Aku menghela napas, menyempatkan tangan menoyor kepala Nila sebelum melenggang pergi.
***
Tidak ada yang menghalangi kepergianku, mereka justru mengiringinya dengan ucapan yang menohok hati. Berulang kali Nila mengucap hamdalah. Aku hanya bisa beristigfar, menulikan telinga agar tidak semakin terluka. Hidup di zaman sekarang harus menjadi orang kaya jika ingin dihargai.
"Zanna!" Teriakan dari arah depan. Aku terkejut bukan main ketika tahu siapa yang memanggil. Napas seketika memburu.
Saat dia mendekat, aku balik badan. Sedikit berlari kecil dengan perasaan takut. Di dompet hanya ada selembar uang sepuluh ribu, jadi percuma jika harus menahan taksi. Namun, kakiku tidak selincah dia yang kini sudah berhasil menghalangi jalan. Pandangan mata kami beradu untuk beberapa detik.
"Zanna, aku tahu kita akan ketemu hari ini," lanjutnya melebarkan senyuman. Pada detik selanjutnya aku dipeluk erat seolah tidak ingin terlepas lagi. "Kamu nggak rindu, Za?"
"Kak Alyssa ...." Aku berucap lirih, air mata sudah tidak kuasa dibendung. Mengalir deras membasahi pipi sebagai bukti kerinduan. Dada terasa sesak, Kak Alyssa mengusap belakang ini lembut.
Dua menit berlalu, kami melonggarkan pelukan. Berulang kali aku menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Rasa rindu yang berusaha aku kubur sedalam mungkin saban hari, kini terbongkar begitu dahsyat. Aku tidak menduga akan kembali dipertemukan dengan saudara semata wayang.
"Kenapa bawa koper begini?"
"Mas Dimas mengusir aku, Kak. Dia sudah menjatuhkan talak tiga. Jadi, sekarang aku harus pergi, mencari pekerjaan dan tempat tinggal baru supaya bisa bertahan hidup dan ... membalaskan dendam."
"Aku sudah tahu ceritanya, Za. Selama satu minggu terakhir, aku selalu mengirim orang untuk memata-matai kehidupanmu dan Dimas. Bajingan itu harus mendapat balasannya. Hanya saja sekarang ada hal lain yang harus kamu lakukan!"
Mendengar ucapan Kak Alyssa, aku lantas mengerutkan kening. Kenapa dia mencari tahu tentang kehidupanku selama satu minggu terakhir? Bukankah Kak Alyssa adalah orang yang paling menentang hubungan kami? Ada banyak tanya meraja dalam hati, tetapi sungkan untuk diutarakan.
Kak Alyssa pun meminta maaf dan memaksa aku agar ikut pulang dengannya. Ya, pulang ke tempat di mana kami menghabiskan waktu bersama dulu. Sejak kecil hingga sampai pada masa di mana aku harus pergi dari sana karena kesalahan sendiri yang tidak patut disesali karena hanya berujung air mata.
"Bagaimana dengan papa, Kak? Aku takut karena dulu selalu ...."
"Itu hanya masa lalu. Papa sudah memaafkan kamu, makanya aku ditugaskan untuk mencari tahu cara agar kamu sama Dimas bisa pisah. Ternyata tanpa berusaha lebih jauh pun kalian cerai juga. Aku senang, sekarang waktunya balas dendam."
Aku menggeleng. Berat rasanya kembali pulang ke rumah. Selama ini aku selalu merepotkan orang tua dan kakak sendiri. Sekarang saat sudah menjanda akibat kesalahan sendiri. Bahkan ketika pergi dari rumah, aku menguatkan tekad untuk tidak kembali lagi sebelum menjadi orang sukses.
"Sekarang kamu mau ke mana kalau bukan pulang ke rumah? Kamu mau hidup di jalanan, dipermalukan atau dihina lagi?"
"Aku akan berusaha mencari pekerjaan dan tempat layak, Kak."
"Kalau tidak berhasil gimana? Lihat fisikmu sekarang, udah dekil, kurus lagi. Dimas bakal mandang rendah sama kamu, Za. Gak usah gengsi, masa lalu tidak perlu diingat, cukup dijadikan pelajaran agar semakin baik ke depannya. Sekarang ikut pulang!" Kak Alyssa menarik paksa tangan ini dan membiarkan koper tertinggal di jalanan.
Tidak ada barang penting di dalam sana, satu pun. Jadi, aku pasrah saja. Lagi pula, koper itu adalah hadiah dari Mas Dimas saat dua bulan pernikahan kami. Katanya, buat jalan-jalan ke luar kota saat nanti dia punya pekerjaan tetap. Nyatanya sampai sekarang, sudah menjadi janda, kami belum pernah menghabiskan waktu berdua di luar.
Antara aku dan Kak Alyssa bagai majikan dan pembantu. Meski begitu, dia tetap memintaku duduk di depan agar bisa mengobrol bebas. Dengan pakaian kumal, tentu tidak pantas rasanya aku duduk di dalam mobil mewah berwarna biru ini. Kendaraan roda empat yang kerap kali kami pakai saat jalan-jalan ke mal, sekarang dengan situasi berbeda.
"Tadi Kak Alyssa bilang ada sesuatu yang harus aku lakukan sebelum balas dendam. Kalau boleh tahu, aku harus ngapain, Kak?" Jantung berdegup tidak normal ketika aku melihat Kak Alyssa mengukir senyum mengerikan. Sial, kenapa aku harus ikut dengannya?
“Mencintai itu insan. Rasa luka itu insan. Namun, masih mencintai di kala terluka adalah malaikat.”—Maulana Jalaluddin Rumi____________________________Cinta sejati tidak selalu lahir dari pertemuan indah yang melahirkan kenangan paling romantis. Cinta sejati bisa juga bermula dari kisah kelam, saling menghunus pedang, saling membunuh dengan harapan menang.Itu pernah terjadi di masa lalu dan dialami oleh banyak pasang manusia. Bukan hanya cinta jadi benci, tetapi benci jadi cinta pun ada. Itu kenyataan, bukan sebatas dongeng yang sering diceritakan oleh para manusia pecinta buku.Seperti Rosaline. Perempuan bergelar janda kembang itu senantiasa mengunjungi mantan suaminya bahkan kerap kali membantu Zanna untuk mengurus Alvino. Sejak dua hari yang lalu, keajaiban turun atas kemurahan hati Sang Pencipta. Lelaki itu membuka mata, keadaannya pun kian membaik. Sekarang tengah berada di ruang perawatan.Saat waktunya makan siang dan Zanna masih mengurus pekerjaan, Rosaline langsung mengam
"Minggir!" teriak Alvino sekeras mungkin di antara derasnya hujan.Enam manusia itu langsung menoleh bersamaan. Salah satu dari mereka tertawa kencang ketika yang lain mengunci pergerakan perempuan itu. Jika Alvino taksir, mungkin sekitar tiga puluh tahun.Seorang lelaki memakai ikat kepala merah di tengah. Sial. Mereka kembali bertemu. Namun, saat ini mungkin tidak ada gadis pembawa traffic cone karena sedang menuju rumah bersama kakaknya.Situasi yang sama untuk tujuan yang berbeda. Apakah ada yang memahami perasaan Alvino saat ini? Tentu saja dia ingin menyelamatkan perempuan itu. Dia paling tidak bisa melihat kekacauan apalagi mengingat bahwa dulu sang bunda pernah menderita.Tolong-menolonglah dalam kebaikan. Begitu nasihat yang selalu ayahnya tekankan."Kamu mau jadi pahlawan?!" bentak lelaki itu. Tubuhnya lebih tinggi dan kekar daripada Alvino sendiri.Dalam derasnya hujan, rasa takut mendominasi. Amarah membara di dalam dada menepis rasa dingin yang seharusnya membuat mereka s
Pada tahun itu, dia tidak melakukan kesalahan. Hanya keadaan yang memaksanya pergi; mengikuti takdir yang berjalan.Melepaskan sosok yang dicintai adalah pengorbanan besar—terutama jika demi kebaikanmu—lalu berjuang untuk lepas dari rasa sakit.Membunuh perasaan sendiri?Oh, tidak. Wajahmu telah terlukis indah di hatinya, tidak akan terlupakan, kecuali hati itu telah mati .... Kamu percaya dengan apa yang aku katakan?Jangan! Terkadang aku mengatakan sesuatu yang tidak pantas dibenarkan.~ Rosaline_________________Janda muda yang masih berstatus gadis itu menyempatkan diri untuk mengunggah status di Insta-gram ketika menepikan mobil karena minta oleh Xavier. Lelaki yang hatinya tengah menangis pilu itu ingin mengademkan siri di alfa dengan membeli minuman kesukaan juga beberapa roti.Sudah bukan hal baru apabila mendapat masalah, maka Xavier akan mengademkan diri, berusaha untuk memendam sendiri serta meninggalkan makan sekalipun terasa lapar. Rosaline sendiri duduk merenung du dala
“Keindahan yang kamu miliki telah terlukis dalam hati, Tuan. Aku tidak akan melupakannya kecuali hati ini telah mati.”—Rosaline.____________________________"Kamu yakin?" Rosaline mencekal pergelangan tangan sang kakak yang baru saja menyambar kunci mobil.Lelaki tampan, hidung bangir dan tubuh jangkung itu telah siap. Cukup memakai kemeja dan celana jeans serta tatanan rambut rapi tanpa lupa menyemprot parfum pada sisi kanan dan kiri tubuhnya. Sudah hampir pukul delapan malam dan dia harus segera ke sana karena Jenni bilang belum memberi tahu kakak dan papanya.Dia ingin pura-pura terkejut sehingga mereka tidak tahu bahwa malam itu ada rencana yang harus disusun. Lagi pula, semuanya sesuai saran dari Rena yang telah memahami betul bagaimana sifat Lucky dan papanya. Malam itu ... bisa menjadi jalan mereka bersama."Xavier!" panggil Rosaline lagi. Dia geram karena merasa diabaikan."Iya, yakin. Aku sudah bicara sama Jenni, kan? Tidak ada pilihan lain. Ini ibarat kesempatan terakhir da
“Cinta dan benci adalah dua hal yang tidak bisa bersatu seperti minyak dan air dalam satu wadah. Mustahil ada cinta kalau berselimutkan benci, mustahil membenci kalau ada cinta sekalipun pujaan hati melakukan sebuah kesalahan. Jika benih cinta mulai tumbuh, maka rasa benci seketika memudar. Begitupun sebaliknya, cinta akan terkikis apabila benci sudah mulai mendominasi.”—Bintu Hasan.____________________________Waktu bergerak begitu lambat bagi Xavier karena belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang masih bersarang di otak. Pikiran terusik. Keinginannya untuk mempersunting Jenni semakin bulat agar tidak ada lagi alasan untuk berpisah. Sayang sekali, setitik keraguan tentang restu justru makin menyebar.Serupa virus yang menjangkiti sesuatu untuk merusaknya. Begitu juga prasangka buruk, merusak pola pikir. Xavier menghela napas panjang. Dia menyempatkan diri curhat pada Rosaline tadi dan juga ibu angkatnya. Mereka setuju untuk membuat jalinan cinta itu menyatu dengan kua
“Oh, Tuhan ... selamatkan aku dari kerinduan yang terus tumbuh.”—Jenni._______________________________Aku lelah. Rasanya terlalu pusing menjalani kehidupan setelah kejadian beberapa hari ini. Aku pikir, pulang ke rumah hanya untuk mengenang tentang Mama Naf dan Mama Lisa, berdamai dengan Papa dan juga Kak Lucky.Entah bagaimana akhir kisah cinta yang terjalin cukup lama ketika mereka justru berbalik menentang. Tidakkah cukup ketulusan Xavier—terlukis di kedua matanya—menjadi jawaban?Ini berat. Sepanjang perjalanan tadi, Kak Rena hanya sibuk meracau. Aku tidak tahu bagaimana akan memberi respon, selain kami belum terlalu dekat semenjak aku tinggal di Makassar, dia juga belum tentu benar-benar berpihak.Bercerita tentang dendam dari masa lalu, semoga Tuhan mengampuni dosa kami. Aku sudah sering mendengar cerita dari mereka ketika berkumpul di rumah. Tentu saja yang dibahas adalah hal menarik, tetapi terkadang Kak Alvino meminta saran pada Kak Lucky dan Kak Rena.Aku penasaran, pura-p