Share

Bab 6. Bertemu Kak Alyssa

"Lain kali kalau misal punya jodoh lagi, jangan lupa perawatan. Khawatir seperti sekarang, dicerai karena kumal dan jadi beban. Padahal kalau berpikir cerdas, harusnya bisa cantik mengingat gaji Mas Dimas terbilang cukup buat beli kebutuhan tambahan. Sebagai sesama perempuan, aku merasa kasihan dengan keadaanmu sekarang, Zanna. Semoga kamu dapat jodoh yang lebih baik nanti." Sandra langsung mengatakan itu ketika aku kembali duduk di antara mereka.

Meskipun suaranya pelan, tetapi hati tidak yakin Sandra tulus. Kalau memang benar dia merasa kasihan sebagai sesama perempuan, lantas mengapa harus menjadi duri dalam rumah tanggaku? Dia berbohong semata-mata ingin dinilai baik oleh Mas Dimas sekeluarga. Lagi pula, dia berbicara tanpa tahu fakta di mana Mas Dimas begitu pelit sekadar membelikan bedak untuk istri sendiri.

"Jadi istri, walau kerjaan cuma di rumah itu harus tetap cantik. Kalau buluk kayak gini, suami pasti malu bawa ke acara penting. Aku tanya, Mas Dimas pernah bawa kamu kondangan?" Sandra kembali melanjutkan.

"Belum."

Kini tawanya memekakkan telinga. Aku tahu, dia menertawakan aku karena belum pernah dibawa ke acara penting. Memang betul apa yang dikatakan Sandra, selama ini Mas Dimas bukan ingin aku terhindar dari godaan para hidung belang di luar sana, tetapi malu jika rekan kerjanya tahu seperti apa penampilan aku. Pada sudut hati terdalam tersimpan luka yang begitu menyakitkan.

Aku menelan kesedihan demi tetap terlihat baik-baik saja. Mungkin sekarang Sandra atau yang lainnya bisa menghina karena aku tidak memiliki apa-apa. Namun, aku pastikan suatu hari nanti mereka akan bertekuk lutut agar diberi maaf, terus menyesal telah mengeluarkan kalimat hinaan.

Entah bagaimana caranya, akan aku pikirkan nanti asal sekarang masih hidup sehat untuk tetap melanjutkan hidup. Meskipun harus banting tulang dari pagi sampai malam. Dendam dalam hati kian membara, semua argument mereka bisa dipatahkan dengan uang.

"Aku harus belajar banyak dari Mbak Sandra biar jadi cantik juga," tambah Nila sengaja manas-manasi.

Tersenyum lembut, aku beralih menatapnya. "Ya, biar sekalian jadi pelakor!"

Mas Dimas lantas membentak, meminta aku untuk tetap diam. Apa maksudnya? Lelaki bajingan itu ingin aku duduk seperti patung dan menerima semua kelakuan mereka? Oh tidak, aku juga masih punya perasaan.

Nila dan mantan ibu mertua terus saja mengoceh karena membela calon menantu barunya. Sudahlah, mereka tidak penting. Sebaiknya aku segera pergi dari sini daripada harus menjadi orang toxic sepertinya. Aku menghela napas, menyempatkan tangan menoyor kepala Nila sebelum melenggang pergi.

***

Tidak ada yang menghalangi kepergianku, mereka justru mengiringinya dengan ucapan yang menohok hati. Berulang kali Nila mengucap hamdalah. Aku hanya bisa beristigfar, menulikan telinga agar tidak semakin terluka. Hidup di zaman sekarang harus menjadi orang kaya jika ingin dihargai.

"Zanna!" Teriakan dari arah depan. Aku terkejut bukan main ketika tahu siapa yang memanggil. Napas seketika memburu.

Saat dia mendekat, aku balik badan. Sedikit berlari kecil dengan perasaan takut. Di dompet hanya ada selembar uang sepuluh ribu, jadi percuma jika harus menahan taksi. Namun, kakiku tidak selincah dia yang kini sudah berhasil menghalangi jalan. Pandangan mata kami beradu untuk beberapa detik.

"Zanna, aku tahu kita akan ketemu hari ini," lanjutnya melebarkan senyuman. Pada detik selanjutnya aku dipeluk erat seolah tidak ingin terlepas lagi. "Kamu nggak rindu, Za?"

"Kak Alyssa ...." Aku berucap lirih, air mata sudah tidak kuasa dibendung. Mengalir deras membasahi pipi sebagai bukti kerinduan. Dada terasa sesak, Kak Alyssa mengusap belakang ini lembut.

Dua menit berlalu, kami melonggarkan pelukan. Berulang kali aku menarik napas panjang, lalu mengembuskan perlahan. Rasa rindu yang berusaha aku kubur sedalam mungkin saban hari, kini terbongkar begitu dahsyat. Aku tidak menduga akan kembali dipertemukan dengan saudara semata wayang.

"Kenapa bawa koper begini?"

"Mas Dimas mengusir aku, Kak. Dia sudah menjatuhkan talak tiga. Jadi, sekarang aku harus pergi, mencari pekerjaan dan tempat tinggal baru supaya bisa bertahan hidup dan ... membalaskan dendam."

"Aku sudah tahu ceritanya, Za. Selama satu minggu terakhir, aku selalu mengirim orang untuk memata-matai kehidupanmu dan Dimas. Bajingan itu harus mendapat balasannya. Hanya saja sekarang ada hal lain yang harus kamu lakukan!"

Mendengar ucapan Kak Alyssa, aku lantas mengerutkan kening. Kenapa dia mencari tahu tentang kehidupanku selama satu minggu terakhir? Bukankah Kak Alyssa adalah orang yang paling menentang hubungan kami? Ada banyak tanya meraja dalam hati, tetapi sungkan untuk diutarakan.

Kak Alyssa pun meminta maaf dan memaksa aku agar ikut pulang dengannya. Ya, pulang ke tempat di mana kami menghabiskan waktu bersama dulu. Sejak kecil hingga sampai pada masa di mana aku harus pergi dari sana karena kesalahan sendiri yang tidak patut disesali karena hanya berujung air mata.

"Bagaimana dengan papa, Kak? Aku takut karena dulu selalu ...."

"Itu hanya masa lalu. Papa sudah memaafkan kamu, makanya aku ditugaskan untuk mencari tahu cara agar kamu sama Dimas bisa pisah. Ternyata tanpa berusaha lebih jauh pun kalian cerai juga. Aku senang, sekarang waktunya balas dendam."

Aku menggeleng. Berat rasanya kembali pulang ke rumah. Selama ini aku selalu merepotkan orang tua dan kakak sendiri. Sekarang saat sudah menjanda akibat kesalahan sendiri. Bahkan ketika pergi dari rumah, aku menguatkan tekad untuk tidak kembali lagi sebelum menjadi orang sukses.

"Sekarang kamu mau ke mana kalau bukan pulang ke rumah? Kamu mau hidup di jalanan, dipermalukan atau dihina lagi?"

"Aku akan berusaha mencari pekerjaan dan tempat layak, Kak."

"Kalau tidak berhasil gimana? Lihat fisikmu sekarang, udah dekil, kurus lagi. Dimas bakal mandang rendah sama kamu, Za. Gak usah gengsi, masa lalu tidak perlu diingat, cukup dijadikan pelajaran agar semakin baik ke depannya. Sekarang ikut pulang!" Kak Alyssa menarik paksa tangan ini dan membiarkan koper tertinggal di jalanan.

Tidak ada barang penting di dalam sana, satu pun. Jadi, aku pasrah saja. Lagi pula, koper itu adalah hadiah dari Mas Dimas saat dua bulan pernikahan kami. Katanya, buat jalan-jalan ke luar kota saat nanti dia punya pekerjaan tetap. Nyatanya sampai sekarang, sudah menjadi janda, kami belum pernah menghabiskan waktu berdua di luar.

Antara aku dan Kak Alyssa bagai majikan dan pembantu. Meski begitu, dia tetap memintaku duduk di depan agar bisa mengobrol bebas. Dengan pakaian kumal, tentu tidak pantas rasanya aku duduk di dalam mobil mewah berwarna biru ini. Kendaraan roda empat yang kerap kali kami pakai saat jalan-jalan ke mal, sekarang dengan situasi berbeda.

"Tadi Kak Alyssa bilang ada sesuatu yang harus aku lakukan sebelum balas dendam. Kalau boleh tahu, aku harus ngapain, Kak?" Jantung berdegup tidak normal ketika aku melihat Kak Alyssa mengukir senyum mengerikan. Sial, kenapa aku harus ikut dengannya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status