“Mencintai itu insan. Rasa luka itu insan. Namun, masih mencintai di kala terluka adalah malaikat.”—Maulana Jalaluddin Rumi____________________________Cinta sejati tidak selalu lahir dari pertemuan indah yang melahirkan kenangan paling romantis. Cinta sejati bisa juga bermula dari kisah kelam, saling menghunus pedang, saling membunuh dengan harapan menang.Itu pernah terjadi di masa lalu dan dialami oleh banyak pasang manusia. Bukan hanya cinta jadi benci, tetapi benci jadi cinta pun ada. Itu kenyataan, bukan sebatas dongeng yang sering diceritakan oleh para manusia pecinta buku.Seperti Rosaline. Perempuan bergelar janda kembang itu senantiasa mengunjungi mantan suaminya bahkan kerap kali membantu Zanna untuk mengurus Alvino. Sejak dua hari yang lalu, keajaiban turun atas kemurahan hati Sang Pencipta. Lelaki itu membuka mata, keadaannya pun kian membaik. Sekarang tengah berada di ruang perawatan.Saat waktunya makan siang dan Zanna masih mengurus pekerjaan, Rosaline langsung mengam
"Ana, sini kamu!" Teriakan ibu mertua begitu memekakkan telinga. Aku yang baru saja keluar dari kamar kecil tersentak kaget dan hanya bisa mengelus dada. Wanita paruh baya itu berdiri di beranda pintu seraya melipat kedua tangan di perut, matanya melotot tajam."Iya, Bu. Ada apa? Kerjaan lagi?"Ibu mertua memutar bola mata, lalu melangkah panjang untuk mengikis jarak di antara kami. Aku bisa menebak bahwa setelah ini hati pasti merasakan luka dalam lagi, seperti hari-hari sebelumnya. Aku menelan saliva lantas mengadu kesakitan ketika ibu begitu lancangnya menarik rambutku."Ada apa, ada apa. Ke mana saja kamu, hah? Di luar pekerjaan rumah masih banyak. Memangnya kamu mau ibu yang mengerjakan semua itu, Ana?!" bentak ibu mertua.Sangat lancang, aku bahkan diseret keluar dari kamar menuju dapur. Seharusnya dulu aku mendengar nasihat tetangga agar tidak mengizinkan ibu dan adik suami tinggal di sini. Waktu itu aku mengira mereka berburuk sangka, ternyata semua kini menjadi penyesalan yang
"Ibu gak ada hak buat nampar aku! Uang bulanan yang Mas Dimas kasih itu sudah menjadi haknya. Aku dinikahi bukan untuk dijadikan babu. Ibu juga seorang menantu, harusnya tahu cara memperlakukan aku!""Kamu mencoba mengajari ibu, ya? Dimas itu anak ibu, sudah sepantasnya dia berbakti pada orang tua tunggalnya ini. Sejak lahir, Dimas sudah sama ibu, dia dikandung, dilahirkan, dirawat, disekolahkan sampai bisa sukses seperti sekarang. Sementara istri, kamu cuma menikmati hasil dari Dimas, tidak merasakan perjuangannya. Jadi, apa salah kalau ibu menganggap kamu babu? Udahlah burik, gak punya pekerjaan lagi!"Hinaan itu terus saja menghujam dadaku, menyisakan perih yang tidak pernah menemukan penawar. Ibu mertua sudah sangat keterlaluan, sayang sekali aku masih punya hati. Jika saja tidak, sejak dulu nyawanya melayang di tanganku. Namun, kesabaran ini tidak akan bertahan lama, bukankah tadi sudah berjanji untuk melawan?"Oke, kalau pendapat Ibu kayak gitu. Berarti kalau nanti Nila punya sua
"Astaga, Mbak Ana. Kamu tahu gak berapa uang yang harus aku keluarkan buat perawatan tangan?" jerit Nila, wajahnya merah padam dengan kedua mata melotot tajam. Gadis itu kemudian mencuci tangannya pakai sabun sambil terus menghentakkan kakinya. Aku sendiri tertawa ketus."Aku tahu. Aku juga tahu kalau uang yang kamu pakai itu dari Mas Dimas, kan? Dasar gak tahu diri, udah menumpang hidup, ongkang kaki malah morotin duit Mas Dimas juga. Kamu gak ingat masmu udah punya istri? Umur segitu harusnya udah bisa nyari duit sendiri. Dibantu dikit mah gak masalah, lah ini kamu keenakan!" cibirku semakin kesal, tetapi mengakhiri kalimat dengan tawa menggelegar.Nila mungkin mengira aku ini sudah kehilangan akal sehat atau justru dianggap cemburu. Ya, aku memang iri karena seharusnya Mas Dimas memberiku jatah bulanan khusus untuk treatment. Namun, semua hanya sebatas angan, ketika Mas Dimas hendak mengeluarkan uang, ibunya pasti datang sebagai setan, melakukan segala cara demi mematahkan harapanku
Cukup lama kami bersitegang. Aku senang melihat raut wajah ibu dan Nila yang tampak pucat. Apa sungguh dia ketakutan melihat aku yang mulai berani setelah hampir tiga tahun menjadi babu di rumah suami sendiri? Cuih, sekalipun mereka menangis darah, aku tidak akan pernah memberi maaf.Luka yang digores dalam hati kecil ini sudah terlalu menganga. Disebabkan perlakuan mereka, aku sudah melakukan percobaan bunuh diri hampir empat kali dalam dua tahun terakhir. Lucunya, Mas Dimas selalu berhasil mencegah, walau tetap saja berujung perdebatan panjang di mana aku dianggap salah karena tidak mampu bersabar.Sabar seperti apa yang mereka inginkan? Pertanyaan itu selalu hadir dalam benak, setiap malam sebelum aku kembali memejamkan mata."Apa-apaan ini?!"Kami bertiga menoleh ke sumber suara. Aku segera menyambut Mas Dimas yang berdiri di beranda pintu dengan kedua mata menatap penuh kebencian pada istri sendiri. Namun, semua itu bukan masalah lagi karena aku sudah sering menerima perlakuan bur
Ada luka menyekat di sudut hati terdalam, tetapi tidak sampai membuat aku menitikkan air mata di hadapan mereka. Untuk apa menangis jika pada akhirnya aku tetap dianggap bersalah? Mas Dimas terlalu ceroboh, dia sangat bodoh sehingga enggan berpikir panjang. Baktiku selama ini ternyata tidak berarti apa-apa di matanya.Senyum kemenangan terukir indah di bibir ibu mertua dan juga Nila. Mereka pasti mengadakan pesta untuk merayakan kepergianku. Kesal, sayang sekali hanya bisa mengepalkan tangan. Kedua iblis itu kembali menghasut Mas Dimas untuk segera mengusir aku tanpa memberi bekal."Pake nanya alasan lagi. Toh, dia nggak punya anak, Dimas. Ngapain dikasih ongkos pulang? Lagian mau pulang ke mana dia? Biarin hidup mandiri, selama ini terlalu ongkang kaki seolah dia itu ratu.""Betul kata ibu, Mas. Kalau mau pulang juga paling dia ke panti tempat kalian bertemu dulu. Sekali-kali biarin Mbak Ana tahu gimana susahnya nyari duit, bukan ngabisin doang!" timpal Nila lagi. Gadis itu semakin ti
"Lain kali kalau misal punya jodoh lagi, jangan lupa perawatan. Khawatir seperti sekarang, dicerai karena kumal dan jadi beban. Padahal kalau berpikir cerdas, harusnya bisa cantik mengingat gaji Mas Dimas terbilang cukup buat beli kebutuhan tambahan. Sebagai sesama perempuan, aku merasa kasihan dengan keadaanmu sekarang, Zanna. Semoga kamu dapat jodoh yang lebih baik nanti." Sandra langsung mengatakan itu ketika aku kembali duduk di antara mereka.Meskipun suaranya pelan, tetapi hati tidak yakin Sandra tulus. Kalau memang benar dia merasa kasihan sebagai sesama perempuan, lantas mengapa harus menjadi duri dalam rumah tanggaku? Dia berbohong semata-mata ingin dinilai baik oleh Mas Dimas sekeluarga. Lagi pula, dia berbicara tanpa tahu fakta di mana Mas Dimas begitu pelit sekadar membelikan bedak untuk istri sendiri."Jadi istri, walau kerjaan cuma di rumah itu harus tetap cantik. Kalau buluk kayak gini, suami pasti malu bawa ke acara penting. Aku tanya, Mas Dimas pernah bawa kamu kondan
Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi seolah Kak Alyssa sedang kebelet ingin bersemedi di toilet. Aku sendiri sibuk merapalkan doa, sudah lama tidak menaiki kendaraan roda empat membuat jantung berdegup cepat bagai pacuan kuda. Memang nasib menjadi istri rasa pembantu karena untuk belanja bulanan pun harus pakai angkot bahkan jalan kaki sekitar setengah kilometer untuk menghemat ongkos. Berulang kali aku melirik pada Kak Alyssa yang fokus menyetir. Di telinga kirinya terpasang earphone menandakan dia menikmati musik sendirian. Kami memang saudara kandung, tetapi lama tanpa komunikasi membuat aku merasa canggung. Terlebih karena Kak Alyssa menemukan aku dalam keadaan memalukan. "Turun!" pinta Kak Alyssa sedikit ketus, tidak seperti tadi. Aku menurut, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari bibir yang semakin kering karena lapar dan haus. Kaki mengayun cepat mengikuti langkah Kak Alyssa. Rumah tiga tingkat yang semakin mewah, di depan berjejer beberapa mobil keluaran terbaru. Pa