Share

RSJ

Author: Indahyulia
last update Last Updated: 2021-07-20 08:21:39

Suara decit dua lempeng besi yang bergesekan membuat mata terbuka. Sebenarnya diri ini sudah bangun sejak tadi, namun hanya pura-pura terpejam agar tak perlu bercakap dengan Pak Afnan. Kulirik sekitar, masih belum sampai stasiun tujuan. Ada desir tak biasa di hati ini. Pernah di suatu ketika, Sekitar dua tahun lalu. perjalanan ke kota ini menjadi begitu menakutkan. Takut pada kenyataan.

Ingatan tentang mas-masa menyedihkan itu kembali hadir. Saat di mana Mas Ichsan sempat kami titipkan di Rumah Sakit Jiwa selama tiga bulan. Dia sempat relaps, mudah tersulut emosi, berusaha menyakiti diri sendiri dan sering tidak bisa kooperatif saat kontrol di poli kesehatan jiwa RSUD. Atas rekomendasi dokter, akhirnya dengan berat hati kami mengantarnya untuk rehabilitasi setelah beberapa bulan ini menjalani pemeriksaan dan rawat jalan.

Jangan tanya bagaimana perasaanku kala itu. Sedih, takut, tak tega. Tapi yang lebih berat adalah, malu. Malu memiliki suami gila dan harus di rawat di rumah sakit jiwa! Apa jadinya jika tetangga, saudara, rekan kerja, dan teman-teman tahu kalau suamiku gila?

Sempat terlintas pikiran untuk pergi bekerja ke tempat yang jauh, meninggalkannya bersama keluarga. Toh, dia tak akan terlantar, ada Mama yang akan merawatnya. Tapi ... bukankah sebagai istri, akulah orang pertama yang wajib merawatnya? Lalu atas persetujuan keluarga, akhirnya dengan berat hati kami mengantarnya ke rumah sakit jiwa.

~ndaa~

Bangunan dengan cat kuning cerah berdiri kokoh menantang awan. Kebanyakan orang, berpikir bahwa rumah sakit jiwa begitu menakutkan. Jangan membayangkan kalau RSJ itu visualisasinya seperti di sinetron-sinetron ikan terbang. Dengan pasien aneka rupa berkeliaran menari-nari, tertawa dan suka mengganggu pengunjung. Tidak salah, tapi tak sepenuhnya benar. Itu hanyalah gambaran dari salah satu bagian RSJ, yaitu ruang rawat inap. Ruang rawat inap pun terbagi menjadi beberapa jenis, tergantung kondisi pasien.

Ruang Merak VIP III, sebuah papan nama tergantung teoat di atas pintu bercat putih. Usai mengurus administrasi lanjutan, suster mengantar kami ke ruangan ini. Sementara untuk rujukan dan prosedur lainnya telah diurus oleh Papa terlebih dahulu.

Sebuah kamar dengan ranjang besi berukuran single. Ada satu meja, dua kursi, juga sebuah lemari kayu bercat cokelat tua. Di pojok dinding, tergantung TV kecil berukuran 14 inch. Aku dan Mama merapihkan barang-barang Mas Ichsan di lemari. Sementara Papa, duduk di kursi menemani putra kesayangannya. Kebanggaan keluarga.

Kami berempat mengobrol santai. Bercanda. Tak ubahnya sedang di rumah sendiri. Kemudian, Mama Papa keluar meninggalkan kami berdua.

Detik-detik berikutnya menjadi hening. Selama berbelas menit kemudian, suamiku sibuk memandangi ruang baru ini. Memeriksa lemari, mengintip ke luar dari jendela, lalu kembali duduk pada ranjang berseprei putih.

Helaan napas ini terasa begitu berat. Antara tega dan tidak, antara sanggup dan menolak. Namun tujuan kami membawanya ke sini harus segera disampaikan. Bukan sekadar periksa atau mengambil obat, kali ini ia akan tinggal lebih lama lagi, mungkin dua atau tiga bulan.

"Mas, kamu di sini dulu, ya? Nanti kalo libur kerja, aku jenguk ke sini," ujarku setenang mungkin.

"Gak! Aku mau pulang!" tolaknya dengan wajah memelas.

Ayolah, Rin! Pikirkan pikirkan pikirkan alasan lainnya.

"Ehmm ...."

Dia hanya diam, masih menatapku.

"Ehmm ... rumah kita ... masih mau direnovasi. Jadi sementara, Mas di sini dulu, ya?" ucapku beralasan.

"Tapi kamu di sini juga, kan?" tanyanya polos.

"Aku ... pulang dulu," jawabku dengan usapan lembut di pipinya. "Mau izin cuti," imbuhku lagi. Ya Tuhaaan, kenapa susah sekali untuk berkata bohong padanya.

"Kenapa harus izin?"

"Ya ... takut kena denda kalau tiba-tiba bolos kerja tanpa izin."

"Yaudah, kamu tetep kerja, tapi kamu tinggalnya di sini?!" tawarnya.

"Kejauhan, Mas. Nanti aku bisa tua di jalan!" Aku tertawa palsu.

Lelaki kesayanganku masih bernegosiasi. "Kenapa kita gak tinggal di rumah Mama atau Bunda aja?"

"Lhaaa, tetep aja jauh. Lagipula aku kan mau bikin surprise. Nanti tiba-tiba kalau mereka datang, rumah kita udah baru. Ya, kan?"

Mas Ikhsan bergeming.

"Gimana? Setuju, kan?"

"Iya deh."

Alhamdulillah, aku tersenyum lega.

"Rin!"

"Hmm?"

"Tapi nanti kalau ada zombie, gimana?"

Hampir saja aku tertawa. Memang, sosok zombie, monster, pocong, dan beberapa jenis hantu lainnya sering hadir dalam halusinasinya.

"Di sini aman. Nggak ada zombie karena ada pawang hantu dan pawang siluman. Pokoknya aman. Kalau Mas ngerasa ada yang aneh-aneh, langsung panggil mereka yang baju putih-putih itu, ya?" ujarku sambil menunjuk beberapa perawat yang berlalu lalang. Mungkin hendak istirahat makan siang.

"Itu pawang hantu?" tanyanya takhjub.

"Iya lah!" Aku meyakinkan.

Alisnya mengernyit. "Bukan suster?" 

"Ya semacam suster," jawabku, "Tapi mereka ini sudah dilatih khusus untuk menghadapi hantu," imbuhku lagi.

"Oh iya dah!" ujarnya mantap.

Tatapan pada mata coklat tua di hadapanku ini tak lagi sejernih dulu. Mata yang dulu begitu teduh, menenangkan. Selalu memancarkan harapan baru bagiku yang kala itu berada pada fase keterpurukan.

"Bentar, Mas. Aku kebelet pipis, udah gak tahan!" pamitku dengan bibir bergetar.

Setengah berlari menuju toilet. Sesak di dada tak dapat lagi tertahan. Sakit sekali rasanya. Sakit!

Membohonginya, mengarang berbagai alasan untuk meninggalkannya di sini. Tapi semua ini kulakukan demi kesembuhannya. Dia harus sembuh. Aku harus kuat. Kami pasti kuat. Pasti! Bukankah di masa lalu, sudah berbagai rupa kesakitan telah kulalui. Kamu kuat, Rin! Pasti!

Setelah merapihkan wajah, aku menghampiri Mama dan Papa di ruang tunggu.

"Ma, gimana kalau Rinda sendiri aja yang pamitan? Biar Mas Ichsan nggak berubah pikiran," ujarku hati-hati.

"Mama pingin lihat dia dulu." Bibir Mama sudah bergetar menahan tangis.

"Wis, Ma. Kita lihat aja dari jauh, ya? Rinda bener. Biar Ican nggak berubah pikiran." Papa menimpali.

Dengan senyum terkembang, aku memasuki kamar baru Mas Ichsan. "Mas, aku pulang dulu. Ya?" pamitku sambil mengelus pipi pucatnya.

"Hati-hati," jawabnya singkat. Kuulurkan sekotak besar permen Str*pcil padanya. Dia suka sekali permen itu, meskipun sedang tak mengalami gangguan tenggorokan.

"Kok banyak?" tanyanya polos.

"Di sini jauh dari minimarket," jawabku.

"Ooo ...." Bibir tebal itu terlihat lucu sekali kalau sedang begitu. 

Dia membuka kotak permennya.

"Mas."

"Hmm?" Dia mendongak.

"Nanti ... kalau dikasih vitamin, habiskan, ya?"

Dia mengangguk, sibuk menghitung permen di tangannya.

"Janji?" tanyaku dengan mengacungkan jari kelingking.

Ditautkannya jari putih pucat itu pada jariku. "Iya, aku janji," ujarnya mantab.

Aku memeluknya, menciumi kedua pipi, kening, lalu mengecup pelan bibirnya.

"Assalamualaikuuum," ucapku seraya mencium punggung tangannya cukup lama, lalu melangkahkan kaki yang terasa begitu berat sebab terbebani oleh sesak di dalam dada.

~ndaa~

"Rin! Rin!"

"Ehh," Suara Pak Afnan membuyarkan lamunanku.

"Dah sampai."

Kuperhatikan sekitar. Ini Stasiun Malang. Aku bergegas mengambil tas, memeriksa barang bawaan takut ada yang tertinggal. Lalu antre keluar di pintu kereta. Ada tempat duduk kosong di pojok peron. Tempat favorit. Pak Afnan bilang, dia sudah memesan jemputan untuk kami. Syukurlah.

Kuambil gawai, mengetikkan sebuah pesan untuk Mas Ichsan. "Mas, aku udah sampai." Send.

Menit berikutnya kukirim satu lagi. "Mas, udah minum vitamin?"

Belum juga ada jawaban. Lalu mencoba mengirimkan pesan untuk Mama. "Assalamualaikum, Ma. Rinda sudah sampai. Mas Ichsan sudah minum obat?" Hanya centang satu. Mungkin Mama sedang mengisi daya batrainya.

Kulirik Pak Afnan, dia sedang sibuk dengan gawainya. Aku pun mengetik beberapa bait puisi untuk membunuh waktu, daripada keolenganku kambuh.

RANJAU

Tuhan

Bila hati salah melangkah

Tunjukkan arah

Bila rasa adalah dosa

Hapus segera

Dialah gelora

Pada cita yang tersita

Pada cinta hampir ternoda

Jejak lalu memintal luka berbunga

Hadirmu ranjau lapis permata

Sedang padaku bunga api terarah

Ledakkan saja!

Biar sempurna kupeluk derita.

Tuhan

Kapan tiba masanya

Mengejawantah rupa kejora

Tak terhitung tempias luka

Tuhan

Kumohon tetes bahagia

________________________

Kota dingin beraroma apel

Kuposting pada akun F* milikku. Beberapa menit kemudian, muncul sebuah notifikasi messenger F*.

"Lagi di Malang?"

Astaga, harus kubalas apa ini.

Lama kupikirkan balasan.

"Iya."

"Gak ngasi kabar," balas seseakun di sana.

"Baru sampai, masi di Stasiun."

"Sama keluarga?"

"Urusan kerjaan."

"Kalau senggang. Kita meet up." Tidak ada tanda tanya di akhir kalimatnya. Sebagai sesama akun literasi, kami sama-sama tau apa artinya.

"Lihat ntaran."

"Ok."

Dasar Rinda! Ngapa juga tadi titimangsanya ditulis jelas begitu. Kalau sudah begini kan jadi serba salah. Tanpa sadar, aku mengentakkan kaki cukup keras ke lantai. Kebiasaan kalau sedang kesal. Ehh....

Menoleh ke samping, lalu meringis canggung.

Rindaaa! Jaim jaim jaiiiim! Dasar konyol. Di usia yang tak lagi muda, tingkahku masih sering tak terkontrol.

"Lama ya? sebentar lagi datang, kok," Pak Afnan melirik jam tangan.

Aku hanya mengangguk. Mungkin dia pikir, aku kesal karena kang jemputnya lama. Padahal, ini karena sedang dilema.

_______

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIARY SKIZO   Pulang (ending)

    45. PulangPULANG"Kamu kurusan, Nduk," ujar Ibu saat menungguiku bersiap-siap.Aku hanya tersenyum ke arahnya. Memang benar, beberapa bulan terakhir, aku tak selera makan. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati makanan, sementara seluruh pikiran hanya tertuju pada Mas Ichsan."Jaga kesehatan, Nduk. Setelah ini, kamu harus dua kali lebih kuat. Karena yang akan kamu jaga bukan cuma Nohan.""Nggih, Bu. Rinda dah nyiapin semuanya," jawabku untuk membesarkan hati Ibu. Padahal kenyataannya, masih ada keraguan menyelimuti hati.Bagaimana jika nanti Mas Ichsan kambuh dan berulah?Bagaimana perasaan Nohan jika tahu kondisi ayahnya yang sebenarnya?Bagaimana bila nanti ... ah, biarlah apa kata nanti. Terpenting, aku sudah berusaha.Sebenaranya hal itulah yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran dan membuat hidupku tidak tenang.Jujur, kembalinya Mas Ichsan tak hanya membawa kebahagiaan bagiku, ada suatu perasaan lain yang

  • DIARY SKIZO   Jalan Hidup

    Tak biasanya wifi portabel milikku ini bermasalah. Aku segera membawa laptop menuju balkon, lalu menggantinya dengan jaringan internet hotel dan kembali berselancar di akun youtube milik Arbian Herdi.Gerak jemariku terhenti tatkala terpampang sebuah video dengan gambar pemuda yang sedang mencoba berinteraksi dengan seorang ODGJ di suatu emperan toko.Dadaku berdesir melihatnya. Segera menekan tombol play dan kuperhatikan dengan seksama. Dari tanggal yang tertera, video tersebut diunggah beberapa hari yang lalu.Menit-menit berlalu tanpa terasa. Jiwaku seolah melayang di suatu tempat antahberantah, rasanya itu semua tak mungkin. Aku ... masih belum percaya. Lebih tepatnya aku menolak percaya terhadap apa yang baru saja kusaksikan.Video milik seorang aktivis tersebut sukses membuat hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan aku tak bisa lagi menerjemahkan apa yang kini terasa.Antara sadar atau tidak. Antara mimpi atau nyata. Antara ilusi atau fakta. Ak

  • DIARY SKIZO   Pernikahan

    Aku berdiri seraya merapikan kebaya yang terasa cukup sempit di tubuh ini. Berat badanku masih bertahan di angka empat puluh tiga, tak pernah berubah sejak masa gadis. Namun bentuk tubuh gadis-meskipun bukan perawan-tentu akan berbeda dengan seseorang yang sudah pernah melahirkan, apalagi setelah usia kepala tiga. Perubahan ukuran lingkar lengan atas dan bagian dada membuat kebaya terasa agak sesak.Berjalan pelan menuju pelaminan putih berhias bunga warna senada dengan dedaunan hijau menjuntai indah. Sederhana, namun nampak elegan. Lalu mataku tertuju pada sepasang merpati putih yang terkurung di dalam sangkar keemasan. Setelah acara usai nanti, pengantin akan melepaskan merpati tersebut sebagai simbol bahwa mereka sudah siap menempuh hidup yang baru.Ah, kenapa hal ini malah mengingatkan pada prosesi dalam pernikahanku dengan Mas Ichsan dahulu.Di depan sana, seorang laki-laki berdiri tegap dengan senyum santunnya. Wajah itu semakin memesona dalam balutan baju

  • DIARY SKIZO   Dilema

    Bulan ketiga di ibukota, Nohan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kami, begitupun aku. Mak Nini dan Pak Tikno turut menemaniku ke kota ini. Setidaknya, sampai aku memiliki pendamping lagi, begitulah perjanjian tak tertulisku dengan Ayah sebelum beliau mengizinkanku pindah.Sebulan terakhir, aku menjalani aktivitas di tempat kerja yang baru. Menjadi staf pengajar pada sekolah tinggi manajemen industri di kota ini. Memilih mengikuti jejak Ayah sebagai seorang pendidik, berharap dengan pekerjaan yang tak terlalu menyita waktu ini akan ada lebih banyak waktu untuk membersamai tumbuh kembang Nohan dan mempelajari pola asuh terbaik untuknya.Kembali memulai karir dari nol, kembali memulai hidup yang baru setelah sebelumnya berusaha membebaskan hati dan pikiran dari kenangan masa lalu. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk merelakan dan menerima setiap takdir yang sudah digariskan.Melupakan Mas Ichsan adalah salah satu hal yang mustahil kulakukan. Bagaiman

  • DIARY SKIZO   Hadirnya Lelaki Lain

    Setelah beberapa menit memindai dari atas ke bawah, kembali lagi menelisik wajah yang rasanya tak terlalu asing bagiku. Andai cambang lebat tak ada di sana dan menutupi ... lesung pipi itu.Astagaaa! Ternyata benar-benar dia."Bukannya kamu masih di pulau seberang?" tanyaku pada lelaki tersebut."Iya, ini iseng aja mampir ke mari.""Berenang?""Naik sampan."Ayah turut tertawa menanggapi candaan kami. Sejak dulu dia memang sering berkelakar dengan menyebut Australia sebagai pulau seberang, karena memang letaknya hanya terpisah samudera dengan bagian timur Pulau Jawa.Ia lantas duduk kembali berhadapan dengan Ayah, sementara aku memilih tempat di samping Ayah sehingga posisi kami berseberangan.Mata berbingkai bulu lentik tersebut menatap lekat-lekat ke arahku, memindai penampilan seperti yang tadi kulakukan padanya. Sementara aku, setengah menunduk, namun ekor mata sipit milikku tentu masih bisa meliriknya dengan leluasa.

  • DIARY SKIZO   Dia Pasti Kembali

    Hujan deras yang mengguyur kota Banyuwangi pagi itu seakan menambah pilu yang menguasai seluruh sendi kehidupanku. Terdengar tangisan Nohan timbul tenggelam. Ingin sekali membawanya dalam gendongan dan memberikannya ASI, namun tubuh sialan ini berkhianat padaku. Bahkan untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.Rumah ini terasa sedikit gaduh, diikuti suara-suara orang mengaji beriring isak tangis beberapa perempuan. Cahaya di pelupuk mata seakan mengecil, redup, semakin buram, lalu ... segalanya tertutup kegelapan.***Perlahan membuka mata, memindai setiap sudut ruangan bernuansa ungu muda dengan aneka rupa boneka tertata rapi di salah satu sudutnya. Sepertinya tidurku terlalu lama sehingga tubuh ini terasa begitu lemah.Menoleh ke samping dan mendapati senyuman Ibu, sementara Ayah menatap dengan netra sendu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengusap puncak kepalaku sesaat sebelum keluar dari ruangan."Haus, Nak?" Suara Ibu terasa begitu l

  • DIARY SKIZO   Kenang Luka

    39. Kenang LukaLaptop di hadapan menampilkan jejak tindih jemari yang tertuang dari ungkapan rindu di dalam dada. Berpuluh menit memindai rasa menjadi sebuah tulisan yang selama ini selalu berhasil mengobat resah. Menulis adalah caraku berbicara tentang segala hal yang tak mungkin terungkap sempurna di dunia nyata.KENANGOleh: Arinda PrasetyaSisa-sisa senyummu masih tercecer pada tiap sudut ruangan. Aroma tubuh, deru napas juga kelabat bayang masih memenuhi ruang pikiran.Setiap kata, tingkah laku, gaya bicara khas jiwamu yang begitu lembut, dan tiap tatapan mesra dari netra teduhmu itu, menjadi candu yang lagi dan lagi selalu kurindu.Kunikmati masa-masa sakit saat kehilanganmu. Kunikmati haru biru tangis menanti kepulanganmu, berharap kenyataan hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir ketika azan subuh. Kunikmati tiap jengkal harapan semu. Kunikmati perih sepi yang menyusup pada setiap inchi pori-pori.Merindumu yang tak lagi terjan

  • DIARY SKIZO   Aku Cuma Cinta Kamu

    38. Aku Cuma Cinta KamuDering panggilan pada handphone Mas Ichsan mengagetkan Nohan yang hampir saja terlelap. Bayi enam bulan tersebut menggigit sumber asinya kuat-kuat, membuatku terpekik kesakitan."Sayang ... mimik bunda jadi sakit kalau digigit. Nih jadi merah. Disayang aja, ya?" ujarku pada bayi dengan satu gigi tersebut. Dia sedang berada pada fase oral, senang menggigit apapun, terlebih ketika sedang kaget atau marah.Bayi mungilku seolah menjawab dengan ocehannya. Sejak masih dalam kandungan, aku memang sering melatihnya berkomunikasi. Menurut penjelasan dokter, kesehatan mental dan kecerdasan bayi bisa dibentuk sejak sebelum ia lahir. Salah satu cara ialah dengan mengajaknya berkomunikasi secara rutin.Nohan memandangku sambil mengucek matanya, sepertinya ia sangat mengantuk.Samar-samar terdengar Mas Ichsan berbicara serius dengan lawan bicaranya di seberang telepon. Tentang ... Zara. Jantungku berdebar tak karuan saat mendengar nada bi

  • DIARY SKIZO   Kembali Pulang

    Perjalanan kali ini terasa begitu melegakan. Ada Mas Ichsan bersama kami. Kami sedang dalam perjalan kembali ke rumah setelah lebih dahulu mengantarkan Mama dan Papa.Masih teringat wajah sedih Mama saat melepas kami pergi. Bukan karena tak ingin berpisah dengan putranya, namunvkarena beliau khawatir dan tak tega jika aku harus mengurus seorang bayi dan juga suamiku yang sedang tak stabil. Akan tetapi, membiarkannya tinggal jauh dariku, malah berpotensi memperburuk keadaannya. Lagi pula ... aku juga tak tega jika harus berpisah lagi dengannya.Mobil melaju membelah jalanan pantura. Mas Ichsan mengobrol dengan Pak Tikno sementara Mak Nini tertidur di sampingku. Kudekap Nohan yang tengah tertidur dengan satu tangan, lalu bermain dengan gawai di tangan kanan.Bucin Cinta Tanpa PamrihRaung-raung memuj

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status