Share

RSJ

Suara decit dua lempeng besi yang bergesekan membuat mata terbuka. Sebenarnya diri ini sudah bangun sejak tadi, namun hanya pura-pura terpejam agar tak perlu bercakap dengan Pak Afnan. Kulirik sekitar, masih belum sampai stasiun tujuan. Ada desir tak biasa di hati ini. Pernah di suatu ketika, Sekitar dua tahun lalu. perjalanan ke kota ini menjadi begitu menakutkan. Takut pada kenyataan.

Ingatan tentang mas-masa menyedihkan itu kembali hadir. Saat di mana Mas Ichsan sempat kami titipkan di Rumah Sakit Jiwa selama tiga bulan. Dia sempat relaps, mudah tersulut emosi, berusaha menyakiti diri sendiri dan sering tidak bisa kooperatif saat kontrol di poli kesehatan jiwa RSUD. Atas rekomendasi dokter, akhirnya dengan berat hati kami mengantarnya untuk rehabilitasi setelah beberapa bulan ini menjalani pemeriksaan dan rawat jalan.

Jangan tanya bagaimana perasaanku kala itu. Sedih, takut, tak tega. Tapi yang lebih berat adalah, malu. Malu memiliki suami gila dan harus di rawat di rumah sakit jiwa! Apa jadinya jika tetangga, saudara, rekan kerja, dan teman-teman tahu kalau suamiku gila?

Sempat terlintas pikiran untuk pergi bekerja ke tempat yang jauh, meninggalkannya bersama keluarga. Toh, dia tak akan terlantar, ada Mama yang akan merawatnya. Tapi ... bukankah sebagai istri, akulah orang pertama yang wajib merawatnya? Lalu atas persetujuan keluarga, akhirnya dengan berat hati kami mengantarnya ke rumah sakit jiwa.

~ndaa~

Bangunan dengan cat kuning cerah berdiri kokoh menantang awan. Kebanyakan orang, berpikir bahwa rumah sakit jiwa begitu menakutkan. Jangan membayangkan kalau RSJ itu visualisasinya seperti di sinetron-sinetron ikan terbang. Dengan pasien aneka rupa berkeliaran menari-nari, tertawa dan suka mengganggu pengunjung. Tidak salah, tapi tak sepenuhnya benar. Itu hanyalah gambaran dari salah satu bagian RSJ, yaitu ruang rawat inap. Ruang rawat inap pun terbagi menjadi beberapa jenis, tergantung kondisi pasien.

Ruang Merak VIP III, sebuah papan nama tergantung teoat di atas pintu bercat putih. Usai mengurus administrasi lanjutan, suster mengantar kami ke ruangan ini. Sementara untuk rujukan dan prosedur lainnya telah diurus oleh Papa terlebih dahulu.

Sebuah kamar dengan ranjang besi berukuran single. Ada satu meja, dua kursi, juga sebuah lemari kayu bercat cokelat tua. Di pojok dinding, tergantung TV kecil berukuran 14 inch. Aku dan Mama merapihkan barang-barang Mas Ichsan di lemari. Sementara Papa, duduk di kursi menemani putra kesayangannya. Kebanggaan keluarga.

Kami berempat mengobrol santai. Bercanda. Tak ubahnya sedang di rumah sendiri. Kemudian, Mama Papa keluar meninggalkan kami berdua.

Detik-detik berikutnya menjadi hening. Selama berbelas menit kemudian, suamiku sibuk memandangi ruang baru ini. Memeriksa lemari, mengintip ke luar dari jendela, lalu kembali duduk pada ranjang berseprei putih.

Helaan napas ini terasa begitu berat. Antara tega dan tidak, antara sanggup dan menolak. Namun tujuan kami membawanya ke sini harus segera disampaikan. Bukan sekadar periksa atau mengambil obat, kali ini ia akan tinggal lebih lama lagi, mungkin dua atau tiga bulan.

"Mas, kamu di sini dulu, ya? Nanti kalo libur kerja, aku jenguk ke sini," ujarku setenang mungkin.

"Gak! Aku mau pulang!" tolaknya dengan wajah memelas.

Ayolah, Rin! Pikirkan pikirkan pikirkan alasan lainnya.

"Ehmm ...."

Dia hanya diam, masih menatapku.

"Ehmm ... rumah kita ... masih mau direnovasi. Jadi sementara, Mas di sini dulu, ya?" ucapku beralasan.

"Tapi kamu di sini juga, kan?" tanyanya polos.

"Aku ... pulang dulu," jawabku dengan usapan lembut di pipinya. "Mau izin cuti," imbuhku lagi. Ya Tuhaaan, kenapa susah sekali untuk berkata bohong padanya.

"Kenapa harus izin?"

"Ya ... takut kena denda kalau tiba-tiba bolos kerja tanpa izin."

"Yaudah, kamu tetep kerja, tapi kamu tinggalnya di sini?!" tawarnya.

"Kejauhan, Mas. Nanti aku bisa tua di jalan!" Aku tertawa palsu.

Lelaki kesayanganku masih bernegosiasi. "Kenapa kita gak tinggal di rumah Mama atau Bunda aja?"

"Lhaaa, tetep aja jauh. Lagipula aku kan mau bikin surprise. Nanti tiba-tiba kalau mereka datang, rumah kita udah baru. Ya, kan?"

Mas Ikhsan bergeming.

"Gimana? Setuju, kan?"

"Iya deh."

Alhamdulillah, aku tersenyum lega.

"Rin!"

"Hmm?"

"Tapi nanti kalau ada zombie, gimana?"

Hampir saja aku tertawa. Memang, sosok zombie, monster, pocong, dan beberapa jenis hantu lainnya sering hadir dalam halusinasinya.

"Di sini aman. Nggak ada zombie karena ada pawang hantu dan pawang siluman. Pokoknya aman. Kalau Mas ngerasa ada yang aneh-aneh, langsung panggil mereka yang baju putih-putih itu, ya?" ujarku sambil menunjuk beberapa perawat yang berlalu lalang. Mungkin hendak istirahat makan siang.

"Itu pawang hantu?" tanyanya takhjub.

"Iya lah!" Aku meyakinkan.

Alisnya mengernyit. "Bukan suster?" 

"Ya semacam suster," jawabku, "Tapi mereka ini sudah dilatih khusus untuk menghadapi hantu," imbuhku lagi.

"Oh iya dah!" ujarnya mantap.

Tatapan pada mata coklat tua di hadapanku ini tak lagi sejernih dulu. Mata yang dulu begitu teduh, menenangkan. Selalu memancarkan harapan baru bagiku yang kala itu berada pada fase keterpurukan.

"Bentar, Mas. Aku kebelet pipis, udah gak tahan!" pamitku dengan bibir bergetar.

Setengah berlari menuju toilet. Sesak di dada tak dapat lagi tertahan. Sakit sekali rasanya. Sakit!

Membohonginya, mengarang berbagai alasan untuk meninggalkannya di sini. Tapi semua ini kulakukan demi kesembuhannya. Dia harus sembuh. Aku harus kuat. Kami pasti kuat. Pasti! Bukankah di masa lalu, sudah berbagai rupa kesakitan telah kulalui. Kamu kuat, Rin! Pasti!

Setelah merapihkan wajah, aku menghampiri Mama dan Papa di ruang tunggu.

"Ma, gimana kalau Rinda sendiri aja yang pamitan? Biar Mas Ichsan nggak berubah pikiran," ujarku hati-hati.

"Mama pingin lihat dia dulu." Bibir Mama sudah bergetar menahan tangis.

"Wis, Ma. Kita lihat aja dari jauh, ya? Rinda bener. Biar Ican nggak berubah pikiran." Papa menimpali.

Dengan senyum terkembang, aku memasuki kamar baru Mas Ichsan. "Mas, aku pulang dulu. Ya?" pamitku sambil mengelus pipi pucatnya.

"Hati-hati," jawabnya singkat. Kuulurkan sekotak besar permen Str*pcil padanya. Dia suka sekali permen itu, meskipun sedang tak mengalami gangguan tenggorokan.

"Kok banyak?" tanyanya polos.

"Di sini jauh dari minimarket," jawabku.

"Ooo ...." Bibir tebal itu terlihat lucu sekali kalau sedang begitu. 

Dia membuka kotak permennya.

"Mas."

"Hmm?" Dia mendongak.

"Nanti ... kalau dikasih vitamin, habiskan, ya?"

Dia mengangguk, sibuk menghitung permen di tangannya.

"Janji?" tanyaku dengan mengacungkan jari kelingking.

Ditautkannya jari putih pucat itu pada jariku. "Iya, aku janji," ujarnya mantab.

Aku memeluknya, menciumi kedua pipi, kening, lalu mengecup pelan bibirnya.

"Assalamualaikuuum," ucapku seraya mencium punggung tangannya cukup lama, lalu melangkahkan kaki yang terasa begitu berat sebab terbebani oleh sesak di dalam dada.

~ndaa~

"Rin! Rin!"

"Ehh," Suara Pak Afnan membuyarkan lamunanku.

"Dah sampai."

Kuperhatikan sekitar. Ini Stasiun Malang. Aku bergegas mengambil tas, memeriksa barang bawaan takut ada yang tertinggal. Lalu antre keluar di pintu kereta. Ada tempat duduk kosong di pojok peron. Tempat favorit. Pak Afnan bilang, dia sudah memesan jemputan untuk kami. Syukurlah.

Kuambil gawai, mengetikkan sebuah pesan untuk Mas Ichsan. "Mas, aku udah sampai." Send.

Menit berikutnya kukirim satu lagi. "Mas, udah minum vitamin?"

Belum juga ada jawaban. Lalu mencoba mengirimkan pesan untuk Mama. "Assalamualaikum, Ma. Rinda sudah sampai. Mas Ichsan sudah minum obat?" Hanya centang satu. Mungkin Mama sedang mengisi daya batrainya.

Kulirik Pak Afnan, dia sedang sibuk dengan gawainya. Aku pun mengetik beberapa bait puisi untuk membunuh waktu, daripada keolenganku kambuh.

RANJAU

Tuhan

Bila hati salah melangkah

Tunjukkan arah

Bila rasa adalah dosa

Hapus segera

Dialah gelora

Pada cita yang tersita

Pada cinta hampir ternoda

Jejak lalu memintal luka berbunga

Hadirmu ranjau lapis permata

Sedang padaku bunga api terarah

Ledakkan saja!

Biar sempurna kupeluk derita.

Tuhan

Kapan tiba masanya

Mengejawantah rupa kejora

Tak terhitung tempias luka

Tuhan

Kumohon tetes bahagia

________________________

Kota dingin beraroma apel

Kuposting pada akun F* milikku. Beberapa menit kemudian, muncul sebuah notifikasi messenger F*.

"Lagi di Malang?"

Astaga, harus kubalas apa ini.

Lama kupikirkan balasan.

"Iya."

"Gak ngasi kabar," balas seseakun di sana.

"Baru sampai, masi di Stasiun."

"Sama keluarga?"

"Urusan kerjaan."

"Kalau senggang. Kita meet up." Tidak ada tanda tanya di akhir kalimatnya. Sebagai sesama akun literasi, kami sama-sama tau apa artinya.

"Lihat ntaran."

"Ok."

Dasar Rinda! Ngapa juga tadi titimangsanya ditulis jelas begitu. Kalau sudah begini kan jadi serba salah. Tanpa sadar, aku mengentakkan kaki cukup keras ke lantai. Kebiasaan kalau sedang kesal. Ehh....

Menoleh ke samping, lalu meringis canggung.

Rindaaa! Jaim jaim jaiiiim! Dasar konyol. Di usia yang tak lagi muda, tingkahku masih sering tak terkontrol.

"Lama ya? sebentar lagi datang, kok," Pak Afnan melirik jam tangan.

Aku hanya mengangguk. Mungkin dia pikir, aku kesal karena kang jemputnya lama. Padahal, ini karena sedang dilema.

_______

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status