Eric Priya Mahanta menutup pintu kamarnya setelah memastikan barang pribadinya tidak ada yang tertinggal. Langkah kakinya dan roda koper menggema memenuhi koridor Asrama Pria Arjuna ia kemudian membawa semua barang bawaannya ke lobi asrama, lalu menitipkan kepada seorang pegawai yang menjaga barang para mahasiswa. Eric kemudian kembali ke atas dan mengetuk pintu kamar nomor 125.
Tok ... tok ... tok ....
"Masuk!" seru Davka Affandra Alsaki tanpa menghentikan kegiatan mengemasi barang-barangnya.
Kleek ...
"Udah siap, brother?" tanya Eric dengan bersandar pada kusen pintu yang sengaja tidak ia tutup kembali.
Davka menutup kopernya, kemudian memanggul tas punggung dan mengapit tas yang berisi laptopnya. Membalikkan tubuh ke arah pintu seraya tersenyum, "Aku dah siap."
"Ayo boys, kita harus segera ke bandara Papi sudah menunggu di bawah," ujar Atifa Alsaki ibunda Davka.
Setelah menyelesaikan keperluannya di kampus, kini saatnya mereka meninggalkan kota kembang dan kembali ke Yogyakarta. Mereka pun bergegas ke bawah sesampainya di ujung bawah tangga, genggaman Lidya di siku lengan kanan Davka membuat langkahnya terhenti.
"Davka! Tunggu dulu sebentar, aku mau bicara." Lidya melepaskan genggamannya dan melangkah berhadapan dengan Davka, nafasnya memburu terengah-engah karena sehabis berlari dari Asrama Wanita Kamboja yang berjarak lima ratus meter dari asrama putra untuk menemui Davka.
"Bicara apa lagi?" Davka bertanya dengan raut wajahnya yang tampak jengah dan menautkan kedua alisnya. Davka mendengus, ia sungguh tidak suka dengan gadis tidak tahu malu yang kini berhadapan dengannya. Gadis yang sudah tahu bahwa ia memiliki kekasih tetapi tetap saja mencoba mengusiknya.
"Kamu harus bertanggung jawab Dav, kita sudah terlalu jauh,” tukas Lidya dengan raut wajah memelas.
"Yakin kamu kita sempat berhubungan badan? Kita berdua sama-sama mabuk lho. Aku saja nggak yakin kalau sempat nidurin kamu." Davka menatap Lidya dengan tatapan tidak percaya dan sinis, dengan kerutan didahinya serta sorot matanya yang menatap tajam. Apakah ia merasa kasihan pada gadis ini? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Davka yakin ia tidak pernah melakukan hal itu, belum pernah dan tidak akan pernah kecuali bersama dengan sang kekasih hati nantinya tentu saja. Almira.
Hiks ... hiks ....
Raut wajah Lidya yang telah berlinangan air mata tampak terluka akibat perkataan Davka, "Sembarang saja kamu bicara! Aku masih perawan waktu itu," seru Lidya dan tangisnya pun semakin kencang dengan wajah yang sudah memerah bahkan sampai ke daun telinganya.
Davka mencondongkan tubuhnya merapat kepada Lidya. "Sudah simpan air mata buaya kamu, toh kamu kan udah nggak perawan. Kamu kira aku nggak tahu dengan siapa saja kamu sudah tidur, sekalipun kamu hamil belum tentu juga itu anak aku," bisik Davka lirih di telinga Lidya tapi penuh dengan tekanan. Wajah Lidya sudah berubah menjadi pucat pasi antara malu dan tersinggung berkecamuk di dalam hatinya.
"Sudahlah aku buru-buru, pacar mungilku sudah menunggu." Senyum Davka terbit mengingat wajah cantik Almira seraya menjauhkan badannya.
"Kayak yakin aja gadis yang kamu anggap pacar itu masih perawan!? Kalian ketemu saja enam bulan sekali," sergah Lidya sengit sesaat sebelum Davka berlalu meninggalkannya.
"Tentu saja masih, pacar mungilku tidak seperti kamu. Seandainya nanti dia sampai tidak perawan. Itu berarti aku yang mengambil keperawanannya. Hanya aku, kamu paham?! Ciao," tegas Davka sebelum kemudian ia benar-benar berlalu meninggalkan Lidya sendirian dan masuk ke dalam mobil keluarganya.
Lidya yang menatap tajam ke punggung Davka yang berlalu sembari mengertakkan gigi dan mengepalkan kedua telapak tangannya di kedua sisi tubuhnya seraya bergumam, "Lihat saja Davka, jangan sebut namaku Lidya Durah Harja jika tak bisa membuatmu menjadi milikku. Tunggu aku Sayang, pacar cilikmu tak kan pernah bisa memilikimu. Akan aku hancurkan hidupnya. Pria kaya sepertimu hanya akan menjadi milikku." Senyum sinisnya tersungging di sudut bibirnya.
***
"Mimi, nih bayar pake ini aja." Sinta Herjanti sahabat Almira mengulurkan selembar uang seratus ribu kepada Almira yang biasa dipanggil oleh teman-temannya 'Mimi' ini.
"Uang siapa nih?" Almira menatap Sinta seraya mengulurkan tangan menerima uang tersebut.
"Tuh. Si Jojon yang kasih, katanya buat elo. Pan tanggal tua begini loe pasti bokek," terang Sinta cengengesan.
"Hai. Mimi sayang udah diterima uang cinta dari Pipi?" sapa Jhonny Wijayatama dengan senyum lebarnya dan kedipan mata tentunya, sembari bersandar di dinding samping meja kasir di food court samping sekolah SMU mereka. Saat ini mereka memang sedang menghadiri reuni akbar sekolah mereka.
"Makasih ya Pipi," ucap Almira seraya tersenyum. Kemudian Almira membayar makanannya, dan menuju meja yang sudah di tempati Sinta bersama Jhonny.
"Pipi bakpao keles," goda Sinta seraya memutar bola matanya, yang dihadiahi tatapan tajam dari Jhonny.
"Ih. Sirik aja loe sama pasangan ter- hot.," balas Jhonny.
"Tungku kali hot," timpal Sinta mencibirkan bibir tipisnya.
"Ehh. Tutup kaleng, itu mulut nyinyir aje yee," Jhonny udah mulai menunjukkan tampang sebalnya sambil menatap tajam ke arah Sinta.
"Enak aja loe kata gue tutup kaleng tong. Otong!" Sinta pun mulai sewot.
"Loe! Jangan sebut gue Otong itu panggilan sayang Emak, Babe aye," Johnny sudah mulai emosi sambil berdiri dan berkacak pinggang.
"Sudah-sudah. Kalian ini kalau bertemu berantem melulu, awas jatuh cinta lho." Almira menengahi seraya terkikik geli. Kalau Almira tidak segera meleraikan keduanya bakalan sampai malam mereka saling berbalas kata. Kedua sahabatnya itu akhirnya diam dan ketegangan diantara mereka pun mereda.
"Ciee ciee ... yang darling-nya come back," goda Valentina Jenna Mahanta seraya mencolek-colek pipi Almira.
"Siapa maksud loe?" tanya Jhonny waspada. Matanya membulat menatap Valentina.
"Sepupu aku dong, Otong Jojon. Emang siapa lagi pacarnya Almira hemm," jawab Valentina seraya mencondongkan tubuh ke depan.
"Wah, ternyata ada yang lebih parah ngasih loe julukan ya, Tong." Sinta meledek seraya terkekeh geli dan menepuk punggung Jhonny.
Jhonny melirik Valentina dan menatap Almira penuh arti dengan wajah masam, ia cemburu pasalnya ia juga menaruh hati dengan Almira sahabatnya. Tetapi ia juga tahu Almira sudah menjalin kasih dengan Davka lebih dari lima tahun.
"Bang Davka kapan sampai,Val?" tanya Almira.
"Yailahh ... ini anak gimana sih pacar datang kagak tahu. Piye to Nduk," tegur Valentina seraya menatap Almira dengan mimik wajah pura-pura heran.
"Hehe ... ponselku udah aku jual buat bayar kos bulan kemarin," terang Almira seraya meringis menatap Valentina.
Almira sampai detik inni belum juga bilang kepada teman-temannya, kalau ia sudah sebatang kara sekarang. Keluarganya meninggal semua karena kecelakaan bus di puncak sebulan yang lalu. Hanya bu Suci mantan wali kelasnya waktu di SMU saja yang mengetahui. Davka pun belum tahu, Almira tidak mau merepotkan orang lain. Baginya pacar itu bukan suami, jadi tentu saja belum memiliki kewajiban untuk menafkahinya. Sedangkan gaji yang ia terima dari menjaga rumah makan dan catering milik bu Suci serta mengajar privat anak-anak TK hanya cukup untuk biaya makan dan kebutuhan sehari-hari.
"Kenapa loe nggak bilang sama gue sih, katanya kita sahabat?" tanya Jhonny tampak nada kecemasan dalam suaranya, seraya mengerutkan alisnya.
"Kamu dan Sinta udah banyak membantuku. Aku nggak mau ngerepotin kalian terus," jawab Almira.
"Loe ini ya kayak sama siapa aja. Loe juga udah banyak bantu kita keles," timpal Sinta.
Valentina hanya mengangguk mengiyakan perkataan para sahabatnya seraya berkonsentrasi menghabiskan makanannya.
Ibu suci kembali datang ke bandung, dan kali ini beliau menemani Almira yang segera melahirkan putranya yang ketiga. Ini adalah kehamilan yang kedua tetapi Almira merasakan ketakutan karena usianya yang tak lagi muda, menurutnya begitu. Karena terus terang ia tidak memmiliki contoh di rumah. Pasalnya sang mertua dan pembantu di rumahnya sama-sama memiliki anak tunggal dan mereka melahirkan dalam usia muda. Kepercayaan diri Almira merosot tajam, banyak kemungkinan buruk terpintas dipikirannya terlebih perbedaan usia kehamilan pertama dan kedua ini sangat jauh enam belas tahun selisihnya. Saat ia akan m
Adyatama sudah mendapatkan perawatan, kemudian ia ditempatkan satu ruangan dengan Anulika. Sedangkan Almira sedari tadi tak beranjak dari sisi anak-anaknya. Valentina dan sang putri sudah pulang. Davka sendiri saat ini masih di kantor polisi guna memberikan keterangan yang di butuhkan.Drtt drtt drtt."Hallo ibu," ucap Almira.
Suara kursi roda mendekati Adyatama yang terikat pada sebuah kursi di tengah gedung. Kedua tangan dan kakinya diikat kuat. Para penculiknya tak mau ambil resiko, karena anak itu jago beladiri. Di leher bocah tersebut sudah tergantung tali tambang.Pramana sampai di dekat gedung bersamaan dengan Michael dan polisi yang lain."Papi tunggu disini biar Mike dan teman-teman yang bereskan. Papi jaga Davka saja
Suara decit ban, orang-orang yang berteriak serta dentuman suara tabrakan itu terdengar sampai tempat pernikahan. Seketika keluarga Alsaki berhamburan lari keluar. Perasaan Davka dan yang lainnya semakin tak enak. Mereka berharap jika itu tidak ada hubungannya dengan Anulika. Karena mereka sudah mencari gadis kecil itu.Adyatama tertahan di dalam gedung tak boleh keluar. Secepat kilat Davka dan Pramana mendekati kerumunan orang. Wajahnya terperanjat saat melihat putri yang terkasih sudah bersimbah darah tergeletak diatas kap mobil orang.
Suasana belajar mengajar hari ini cukup baik, anak-anak juga sangat menikmatinya. Keadaan seperti biasa tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Si kembar sedang berada di kantin pagi ini, setelah tadi diantar sekolah oleh kakek mereka Pramana.Adyatama bersama dengan Anulika sedang berada di kantin saat ini. Setelah mereka membawa makan siang mereka di salah satu meja. Beberapa orang teman Adyatama berlari tergopoh-gopoh ke arah si kembar berada.
"Apa yang sedang kamu pikirkan sayang?" tanya Davka, ketika mendapati sang wanita terlalu pendiam saat ini.Almira memalingkan wajahnya ke arah Davka yang bersandar di daun pintu kamar si kembar.Davka menegakkan badannya berjalan ke arah Almira. Davka kemudian merengkuh pinggang sang kekasih merapat ke tubuhnya. Sedang tangan yang lain membelai pipi halus Almira."Apapun yang ada dalam pikiranmu, ja