Share

DIBALIK MASAKAN ASIN BUATAN IBUKU
DIBALIK MASAKAN ASIN BUATAN IBUKU
Author: Dacytta-Peach

Bab 1. Masakan Asin

***

"Sum, aku pokoknya nggak mau kalo suruh makan masakan ibu kamu yang keasinan itu. Hmm... Pokoknya nggak mau!" Susilo menggelengkan kepala sambil membayangkan betapa asinnya masakan ibu Sumiyati beberapa bulan yang lalu.

"Tapi Mas, aku sama sekali nggak bisa masak kalo pulang kampung. Tahu sendiri ibuku tuh nggak pernah biarin aku masak," ucap Sumiyati dengan wajah sendu. Ia lalu menyambar gelas berisi es teh di depannya dan menyeruputnya.

"Ini nih yang aku malesin kalo pulang kampung dan ketemu sama ibu kamu, pasti ujung-ujungnya dibikinin sayur asem keasinan lagi." Susilo protes, wajahnya memerah karena menahan marah.

Pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu turut menyambar gelas berisi es teh pesanannya dengan tegukan yang cepat. Susilo sama sekali tidak bisa membayangkan berapa asinnya masakan calon mertuanya tersebut, tidak hanya sayur yang asin tapi lauk pauknya pun turut terasa asin. Entah apa yang terjadi, bagi Susilo masakan ibu Sumiyati sama sekali tidak ada yang benar.

Sumiyati terdiam, ia memahami kondisi ibunya yang gemar sekali memasak masakan asin. Ia sendiri juga memahami kondisi Susilo dimana ia tidak bisa memakan masakan yang terlalu asin karena itu terlalu berbahaya untuk lambungnya.

Gadis yang tahun ini genap berusia tiga puluh tahun itu mengembuskan napas panjang, meletakkan gelasnya dengan berat ia lalu menatap bola mata Susilo. "Habis gimana lagi Mas, ibuku itu memiliki kelainan dimana ia tidak bisa mengecap rasa asin dengan benar. Aku tidak bisa menegur orang tua yang begitu sayang padaku sedari kecil tersebut. Aku takut Mas kalau kuwalat."

"Minimal kamu omongin dong Sum atau minimal kamu aja yang bagian kasih garamnya pas masak. Tinggal di kampung kamu dua bulan aja statusku bisa-bisa berubah jadi almarhum dengan cepat." Susilo menimpali, menatap mata Sumiyati dengan tatapan serius.

Sumiyati kembali diam, ia menunduk menatap meja makan dengan wajah sedih. Suasana warung makan yang ia kunjungi siang itu sangat ramai, saking ramainya Sumiyati dan Susilo harus menunggu pesanan makan siang mereka sedikit lebih lama.

"Pokoknya Sum, aku nggak mau kalo pulang kampung dan nginep di sana. Kita datang pagi pulang sore aja biar lambungku juga aman dari masakan asin ibumu," usul Susilo sambil mengaduk es teh dimana gula di dalam minuman itu masih mengendap di bagian bawah.

"Tapi Mas, aku pulang kampung tuh dalam setahun bisa dihitung loh, ibuku sudah tua dan rambutnya sudah putih. Beliau cuma punya aku di dalam hidupnya, jika aku nggak nginep aku takut perasaannya terluka dan menganggap aku tidak mementingkan dirinya." Sumiyati berkata lirih, mencoba menyadarkan calon suaminya bahwasanya ibunya bukanlah ancaman bagi Susilo khususnya bagi lambung pria tersebut.

Susilo menggeleng cepat, ia tetap menolak. "Enggak, pokoknya aku nggak mau nginep. Kalo kamu mau nginep ya silakan, aku tetep mau balik. Aku sayang lambungku Sum, aku nggak mau mati muda sebelum kawin."

Sumiyati mengatupkan bibir, ia memilih tak bersuara ketika pesanan mi ayam-nya datang dan siap untuk disantap siang itu.  Bagi Sumiyati, ibunya adalah harta berharga tapi Susilo —pria itu sama-sama penting dalam hidupnya. Baik ibu atau pun Susilo, Sumiyati akui bahwa ia begitu kesulitan untuk memilih keduanya.

****

"Sum, kamu yakin nggak jadi pulang kampung bulan ini?" tanya Bu Retno, pemilik kos-kosan dimana Sumiyati ngekos saat ini. Wanita muda berdaster panjang itu nampak duduk santai bersama Sumiyati di teras rumah pada suatu sore.

Gadis berambut panjang dengan kuncir ekor kuda di kepalanya itu hanya diam, ia tampak bingung untuk menjawab pertanyaan Bu Retno.

Sudah setahun ini Bu Retno menjadi teman segalanya bagi Sumiyati, jarak usia yang tidak terlalu jauh membuat keduanya akrab bagaikan sahabat sejati. Mereka berdua sudah saling mengenal, dimulai dari seringnya Sumiyati membelanjakan sayur mayur untuk Bu Retno dikala ia repot hingga membantu mengawasi anak kembar Bu Retno yang suka merusuh kesana kemari.

"Entah Bu, Mas Susilo nggak mau diajak nginep di kampung." Sumiyati merengut, ia mengusap keringat yang menempel di pelipisnya.

"Kenapa? Gara-gara masakan asin lagi?!" Bu Retno menebak, wajahnya terlihat datar dan juga tenang.

Sumiyati mengangguk tanpa bersuara sedikit pun. Bu Retno mengembuskan napas kasar, ia mengalihkan tatap pada jalanan raya yang terletak di depan rumahnya. Sore itu jalanan terlihat lebih ramai dari sebelum-sebelumnya, mungkin karena akhir pekan sehingga banyak orang berpergian untuk pulang kampung.

"Harusnya calon suami kamu itu bisa menerima kekurangan ibu kamu Sum. Kasihan ibu kamu harus menderita hanya karena kekurangan yang sama sekali tidak ia ingini." Bu Retno berkomentar, menerawang jalanan ramai di depan rumahnya.

"Aku juga bingung Bu, aku kasihan sama ibu tapi di lain sisi aku juga mikir masa depan aku. Bu Retno sendiri tahu bahwa tahun ini aku gagal nikah sudah sampai tiga kali. Semuanya kabur gara-gara makan masakan ibu yang asin. Semua calon suamiku tidak suka sama ibu, jika Mas Susilo ikutan kabur apa aku nggak malu Bu sama warga kampung. Ntar dikiranya aku wanita yang nggak bener lagi Bu?!" Sumiyati mengeluarkan uneg-unegnya, bercerita panjang lebar mengenai isi hatinya yang mirip seperti gado-gado basi.

"Ya habis gimana lagi, ibu kamu tuh sayang banget sama kamu makanya dia gak pengen kamu repot-repot masak pas pulang kampung. Dia seneng banget kalo kamu pulang Sum, dia merasa kamulah satu-satunya anak yang bisa ia harapkan di masa tua," nasihat Bu Retno sambil menatap bola mata Sumiyati. "Sekarang kalo kamu tiba-tiba nggak pulang kampung atau minimal nggak nginep di rumah, kamu kepikiran nggak sih bagaimana perasaan ibu kamu saat itu kayak apa?"

Sumiyati terdiam, mencerna ucapan Bu Retno yang terkadang suka bener meskipun menyakitkan. "Ya tentunya ibu kecewalah Bu."

"Nah, kamu ngerti juga kan?!" Bu Retno menepuk meja pelan, ia menarik napas lalu tersenyum tipis. "Aku tahu kamu sudah sama-sama dewasa dengan Susilo, aku juga tahu kamu pasti punya jawaban atas segala permasalahan ini. Sum, aku cuma minta tolong sama kamu, jangan sakiti hati ibu kamu ya. Kasihan, beliau sudah tua. Ibumu tidak minta banyak padamu, ia hanya minta waktu dan juga  perhatian kamu. Sum, sadar! Kamu ada karena orang tua kamu ada. Jangan sakiti dia atau hidup kamu sama sekali tidak berkah."

Sumiyati membalas tatapan Bu Retno, memahami setiap nasihat yang tertuju ke arahnya. "Jadi, aku harus bagaimana Bu? Pulang kampung atau tidak? Lalu Mas Susilo? Bagaimana dengan Mas Susilo Bu? Apakah aku harus pulang tanpa dirinya?"

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status