***
"Sum, aku pokoknya nggak mau kalo suruh makan masakan ibu kamu yang keasinan itu. Hmm... Pokoknya nggak mau!" Susilo menggelengkan kepala sambil membayangkan betapa asinnya masakan ibu Sumiyati beberapa bulan yang lalu."Tapi Mas, aku sama sekali nggak bisa masak kalo pulang kampung. Tahu sendiri ibuku tuh nggak pernah biarin aku masak," ucap Sumiyati dengan wajah sendu. Ia lalu menyambar gelas berisi es teh di depannya dan menyeruputnya."Ini nih yang aku malesin kalo pulang kampung dan ketemu sama ibu kamu, pasti ujung-ujungnya dibikinin sayur asem keasinan lagi." Susilo protes, wajahnya memerah karena menahan marah.Pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu turut menyambar gelas berisi es teh pesanannya dengan tegukan yang cepat. Susilo sama sekali tidak bisa membayangkan berapa asinnya masakan calon mertuanya tersebut, tidak hanya sayur yang asin tapi lauk pauknya pun turut terasa asin. Entah apa yang terjadi, bagi Susilo masakan ibu Sumiyati sama sekali tidak ada yang benar.Sumiyati terdiam, ia memahami kondisi ibunya yang gemar sekali memasak masakan asin. Ia sendiri juga memahami kondisi Susilo dimana ia tidak bisa memakan masakan yang terlalu asin karena itu terlalu berbahaya untuk lambungnya.Gadis yang tahun ini genap berusia tiga puluh tahun itu mengembuskan napas panjang, meletakkan gelasnya dengan berat ia lalu menatap bola mata Susilo. "Habis gimana lagi Mas, ibuku itu memiliki kelainan dimana ia tidak bisa mengecap rasa asin dengan benar. Aku tidak bisa menegur orang tua yang begitu sayang padaku sedari kecil tersebut. Aku takut Mas kalau kuwalat.""Minimal kamu omongin dong Sum atau minimal kamu aja yang bagian kasih garamnya pas masak. Tinggal di kampung kamu dua bulan aja statusku bisa-bisa berubah jadi almarhum dengan cepat." Susilo menimpali, menatap mata Sumiyati dengan tatapan serius.Sumiyati kembali diam, ia menunduk menatap meja makan dengan wajah sedih. Suasana warung makan yang ia kunjungi siang itu sangat ramai, saking ramainya Sumiyati dan Susilo harus menunggu pesanan makan siang mereka sedikit lebih lama."Pokoknya Sum, aku nggak mau kalo pulang kampung dan nginep di sana. Kita datang pagi pulang sore aja biar lambungku juga aman dari masakan asin ibumu," usul Susilo sambil mengaduk es teh dimana gula di dalam minuman itu masih mengendap di bagian bawah."Tapi Mas, aku pulang kampung tuh dalam setahun bisa dihitung loh, ibuku sudah tua dan rambutnya sudah putih. Beliau cuma punya aku di dalam hidupnya, jika aku nggak nginep aku takut perasaannya terluka dan menganggap aku tidak mementingkan dirinya." Sumiyati berkata lirih, mencoba menyadarkan calon suaminya bahwasanya ibunya bukanlah ancaman bagi Susilo khususnya bagi lambung pria tersebut.Susilo menggeleng cepat, ia tetap menolak. "Enggak, pokoknya aku nggak mau nginep. Kalo kamu mau nginep ya silakan, aku tetep mau balik. Aku sayang lambungku Sum, aku nggak mau mati muda sebelum kawin."Sumiyati mengatupkan bibir, ia memilih tak bersuara ketika pesanan mi ayam-nya datang dan siap untuk disantap siang itu. Bagi Sumiyati, ibunya adalah harta berharga tapi Susilo —pria itu sama-sama penting dalam hidupnya. Baik ibu atau pun Susilo, Sumiyati akui bahwa ia begitu kesulitan untuk memilih keduanya.****"Sum, kamu yakin nggak jadi pulang kampung bulan ini?" tanya Bu Retno, pemilik kos-kosan dimana Sumiyati ngekos saat ini. Wanita muda berdaster panjang itu nampak duduk santai bersama Sumiyati di teras rumah pada suatu sore.Gadis berambut panjang dengan kuncir ekor kuda di kepalanya itu hanya diam, ia tampak bingung untuk menjawab pertanyaan Bu Retno.Sudah setahun ini Bu Retno menjadi teman segalanya bagi Sumiyati, jarak usia yang tidak terlalu jauh membuat keduanya akrab bagaikan sahabat sejati. Mereka berdua sudah saling mengenal, dimulai dari seringnya Sumiyati membelanjakan sayur mayur untuk Bu Retno dikala ia repot hingga membantu mengawasi anak kembar Bu Retno yang suka merusuh kesana kemari."Entah Bu, Mas Susilo nggak mau diajak nginep di kampung." Sumiyati merengut, ia mengusap keringat yang menempel di pelipisnya."Kenapa? Gara-gara masakan asin lagi?!" Bu Retno menebak, wajahnya terlihat datar dan juga tenang.Sumiyati mengangguk tanpa bersuara sedikit pun. Bu Retno mengembuskan napas kasar, ia mengalihkan tatap pada jalanan raya yang terletak di depan rumahnya. Sore itu jalanan terlihat lebih ramai dari sebelum-sebelumnya, mungkin karena akhir pekan sehingga banyak orang berpergian untuk pulang kampung."Harusnya calon suami kamu itu bisa menerima kekurangan ibu kamu Sum. Kasihan ibu kamu harus menderita hanya karena kekurangan yang sama sekali tidak ia ingini." Bu Retno berkomentar, menerawang jalanan ramai di depan rumahnya."Aku juga bingung Bu, aku kasihan sama ibu tapi di lain sisi aku juga mikir masa depan aku. Bu Retno sendiri tahu bahwa tahun ini aku gagal nikah sudah sampai tiga kali. Semuanya kabur gara-gara makan masakan ibu yang asin. Semua calon suamiku tidak suka sama ibu, jika Mas Susilo ikutan kabur apa aku nggak malu Bu sama warga kampung. Ntar dikiranya aku wanita yang nggak bener lagi Bu?!" Sumiyati mengeluarkan uneg-unegnya, bercerita panjang lebar mengenai isi hatinya yang mirip seperti gado-gado basi."Ya habis gimana lagi, ibu kamu tuh sayang banget sama kamu makanya dia gak pengen kamu repot-repot masak pas pulang kampung. Dia seneng banget kalo kamu pulang Sum, dia merasa kamulah satu-satunya anak yang bisa ia harapkan di masa tua," nasihat Bu Retno sambil menatap bola mata Sumiyati. "Sekarang kalo kamu tiba-tiba nggak pulang kampung atau minimal nggak nginep di rumah, kamu kepikiran nggak sih bagaimana perasaan ibu kamu saat itu kayak apa?"Sumiyati terdiam, mencerna ucapan Bu Retno yang terkadang suka bener meskipun menyakitkan. "Ya tentunya ibu kecewalah Bu.""Nah, kamu ngerti juga kan?!" Bu Retno menepuk meja pelan, ia menarik napas lalu tersenyum tipis. "Aku tahu kamu sudah sama-sama dewasa dengan Susilo, aku juga tahu kamu pasti punya jawaban atas segala permasalahan ini. Sum, aku cuma minta tolong sama kamu, jangan sakiti hati ibu kamu ya. Kasihan, beliau sudah tua. Ibumu tidak minta banyak padamu, ia hanya minta waktu dan juga perhatian kamu. Sum, sadar! Kamu ada karena orang tua kamu ada. Jangan sakiti dia atau hidup kamu sama sekali tidak berkah."Sumiyati membalas tatapan Bu Retno, memahami setiap nasihat yang tertuju ke arahnya. "Jadi, aku harus bagaimana Bu? Pulang kampung atau tidak? Lalu Mas Susilo? Bagaimana dengan Mas Susilo Bu? Apakah aku harus pulang tanpa dirinya?"********Pagi itu angin berembus semilir dengan lembut, cerah warna matahari menyinari perkampungan yang begitu asri dan belum ternodai oleh cerobong asap pabrik.Dengan badan setengah membungkuk, seorang wanita tua renta dengan rambut digelung asal berwarna putih tampak berjalan menuju ke sebuah bangunan semi permanen di kampungnya. Wanita itu memakai tongkat sebagai pegangan saat ia berjalan menyusuri jalan berbatu di hadapannya. Di tangan kirinya nampak ia membawa plastik hitam berisi sesuatu yang terlihat sedikit berat.Bu Saritun namanya, wanita tua renta itu memiliki semangat tinggi untuk bisa sampai ke rumah semi permanen yang berada di kampungnya tersebut. Dengan bermodalkan harapan, ia berharap Nak Ilham—pemilik bangunan semi permanen itu mau meminjamkan telepon genggamnya untuk menelpon Sumiyati—anak kandung semata wayangnya yang bekerja di ibukota."Assalamualaikum Nak Ilham, assalamualaikum." Bu Saritun mengucapkan salam di depan pintu, tubuhnya berpeluh, jantungnya memacu mele
****"Kenapa lagi? Kamu mau ngajak aku bertengkar pagi-pagi kayak gini?" Susilo begitu sewot saat Sumiyati mengejar langkahnya lalu menarik tangannya dengan cepat.Sumiyati menarik napas, ia menatap Susilo dengan tatapan begitu keras. Ya, calon suaminya ini memang berbeda dari yang lainnya. Ia terlalu keras seperti baru, bila ia bilang tidak ya seterusnya tetap saja tidak."Mas, kamu kok ngomong gitu sih?! Apa kamu nggak kasihan sama ibuku? Beliau udah tua Mas, harusnya aku tuh udah berhenti kerja dan merawat ibu di rumah." Sumiyati menerangkan, ia menundukkan kepala dengan wajah terlihat sedih."Lalu apa kamu nggak kasihan sama ibuku, Sum? Kalo sama-sama tua mah tuaan ibuku tapi aku tetep kuat, aku tetep jaga perasaan kamu. Kita sama-sama bekerja untuk masa depan kita, jangan lemah hanya karena rengekan orang tua. Kamu juga tahu kan ibuku juga minta aku supaya pulang terus nginep kayak apa yang dilakukan oleh ibu kamu tapi aku tetep kukuh, karena kita punya masa depan Sum. Kita nggak
"Tentu saja mau Nek tapi bukannya Mbak Sum sudah ada calon suami? Nanti dia pasti pulang sama calonnya," ucap Ilham sambil tersenyum tenang. Bu Saritun terdiam, ia menunduk sejenak sebelum akhirnya ia tersenyum tipis pada Ilham. "Iya sih Nak, Nenek sering lupa. Ya sudah Nenek balik pulang dulu ya, makasih untuk bantuannya hari ini. Nenek cuma bisa bawain kamu beras biar kamu bisa masak hari ini.""Sebenarnya tanpa membawa beras pun Nenek bisa meminta tolong saya, kalau seperti ini saya sendiri yang malah sungkan dengan Nenek." Ilham berkata dengan sungkan, ia bangkit dari duduknya ketika Bu Saritun berdiri dengan menggunakan tongkat yang selama ini selalu setia menemaninya."Tidak apa-apa, kalau begini Nenek nggak akan sungkan lagi buat minta tolong. Ya sudah, Nenek balik dulu ya, assalamualaikum.""Wa'alaikum salam Nek, hati-hati." Ilham lantas mengantar Bu Saritun menuju ke teras rumah dengan sangat hati-hati. Maklum Bu Saritun sudah tua dan jalannya pun sudah bergetar, hanya saja
"Mas, aku ingin pulang kampung hari ini. Ibuku jatuh dan dibawa ke rumah sakit," ucap Sumiyati lirih pada Susilo Via telepon siang itu.Susilo mendengkus. "Apalagi sih ibu kamu tuh?! Ada-ada aja. Seneng banget kayaknya habisin tabungan anaknya.""Mas, hati-hati kalo ngomong. Dia itu ibuku Mas," ucap Sumiyati tak berkenan ketika Susilo mulai mencela ibunya."Iya tahu dia ibu kamu, ibu yang suka repotin anaknya." Susilo menimpali, ia terdengar begitu kesal saat mendengar ibu Sumiyati jatuh dan dibawa ke rumah sakit. "Kalo kamu mau pulang, pulang aja. Aku nggak ikut.""Tapi Mas aku nggak ada ongkos pulang. Uang gajiku udah aku titipin ke kamu Mas, ehm... Apa boleh aku minta uangnya buat biaya balik kampung Mas?" Sumiyati meminta dengan hati-hati."Enggak, enggak bisa. Duit gaji itu kan ditabung sama-sama buat biaya pernikahan kita. Aku nggak bisa kasih duit kamu sekarang, kalo duitnya diambil lagi lalu kapan kita bisa nikahannya? Mikir dong Sum, mikir! Sudahlah, aku mau kerja. Pinjem tem
**"Ya kalo sudah jodoh, mau gimana lagi Bu?! Mau perawan tua, mau perawan ting-ting, semua sama aja di mata Allah." Ilham menjawab lugas, ia terlihat tenang setenang air lautan. Menatap ponselnya sekali lagi, Ilham mengecek baterai ponsel yang tinggal tiga puluh persen."Ya kalo bisa cari yang ting-ting, yang kinyis-kinyis. Kamu tuh ya, masih perjaka, ganteng. Masa iya mau sama perawan tua, miskin lagi. Enggak deh Ham, coba pikirkan lagi niatnya. Kamu pasti mleyot gara-gara belum sarapan tadi." Bu Wiryo berceramah, sesekali menepuk lutut putranya dengan nada bicara yang menggebu-gebu."Buat apa Bu yang ting-ting, yang muda, kalo akhirnya juga kagak bener," timpal Ilham lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket jeans yang ia pakai."Maksud kamu Nela? Udah dong jangan pikirin Nela lagi. Dia memang gadis gak bener, udah dipinang eh malah hamidun sama cowok lain. Bener-bener nggak bener itu bocah," ucap Bu Wiryo sambil menggelengkan kepala dan berdecap."Dia pilihan ibu kan waktu i
Sumiyati hanya diam, wajahnya terlihat murung ketika pemuda yang baru saja ia kenal itu menanyakan tentang calon suaminya yang tidak ikut pulang bersamanya. Gadis itu mengenakan kembali masker duckbill yang ia pakai, kekecewaan yang tergambar di wajahnya tersamarkan ketika ia mengenakan kembali masker tersebut."Ah, pasti calon suami Mbak sibuk ya?! Dia pasti punya pekerjaan mapan sehingga tidak bisa pulang ke kampung sama Mbak. Wah beruntung sekali punya calon imam seperti itu," ucap Ilham meneruskan ucapannya ketika tahu Sumiyati tak bisa menjawab apa yang menjadi pertanyaannya. "Ayo Mbak, itu mobil saya yang warnanya hitam."Ilham tersenyum, ia menunjuk pada mobil sedan mulus warna hitam yang terparkir rapi di luar terminal. Sekali lagi Sumiyati merasa rendah sekaligus takjub, pemuda yang sangat ramah itu bahkan memiliki kendaraan pribadi yang cukup bagus untuk ditumpangi."Itu-itu mobilnya Mas?" Sumiyati bergumam lirih, merasa ragu untuk mengikuti langkah Ilham."Iya Mbak, kenapa
Sesampainya Sumiyati di rumah sakit, wajah gadis itu nampak menegang. Keadaan ibunya yang tak kunjung siuman menjadi beban tersendiri untuknya.Setelah memakai seragam berwarna biru untuk menjenguk ibunya yang masih dirawat di ICU, air mata Sumiyati sama sekali tidak bisa terbendung melihat kondisi Bu Saritun yang pucat dan terbujur tak sadarkan diri di atas ranjang putih."Assalamualaikum Bu, Sumiyati pulang. Ibu bangun ya, bukankah Ibu kangen banget sama Si Sum?" bisik Sumiyati di telinga kiri ibunya. Gadis itu menghapus air mata yang merembes di sudut mata kirinya. Kesedihan yang ia rasa akibat melihat ibunya seperti itu sama sekali tidak bisa dibendung.Hingga sang dokter jaga datang, meminta untuk Sumiyati keluar dan berjaga di luar sana. Sumiyati menarik napas, menerima perintah dokter meskipun ada berat yang terasa.Berjalan keluar dari ruangan Bu Saritun, Sumiyati harus menghadapi Bu Wiryo—ibu kandung dari Ilham Suntoro."Terima kasih ya Bu sudah bantu Ibu saya pergi ke rumah
Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Sumiyati untuk merenung. Semua cerita yang disampaikan Bu Wiryo begitu jelas dan masih terngiang di kedua telinganya.Sumiyati tidak mampu terpejam, cerita yang diberikan Bu Wiryo benar-benar menguras energinya saat ini. Gadis itu menelan ludah, tidak terpikirkan bagaimana penderitaan ibunya kala itu. Rasa sakit yang menimpanya hingga kehilangan salah satu saraf yang berakibat fatal.Sekarang, setelah tahu semuanya, apakah Sumiyati berani untuk meninggalkan ibunya barang sejenak?! Gadis itu menarik napas, ia merasa gelisah luar biasa. Kata dokter yang ia temui beberapa jam yang lalu, kemungkinan untuk Bu Saritun sembuh hanya beberapa persen saja. Beliau memiliki luka dalam yang seseorang tidak pernah tahu betapa sakitnya penderitaan itu.Andai saja Allah memberi Sumiyati kesempatan maka Sumiyati akan menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Ia tidak akan mengumpat ibunya lagi walau dalam hati, ia bahkan ikhlas lahir batin jika diminta untuk