"Ibu ... Ibu ...! Apa yang kalian lakukan pada ibuku?! Siapa yang sudah berani melakukan ini pada seorang Sukmawati--pemilik Wicaksono grup?!" Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam kantor polisi dan langsung berteriak seperti orang kesurupan.Benar-benar tidak punya sopan santun.Dilihat dari perutnya yang sedikit membuncit, sepertinya perempuan itu sedang berbadan dua.Dan dari ucapan perempuan itu, aku yakin dia adalah Anida--putri tunggal Bu Sukma yang telah dijadikan alat untuk menjebak ayahku dulu. Anak yang sebenarnya entah benih siapa, namun ayahku-lah yang dijadikan kambing hitam atas kehamilan Bu Sukma, si ular yang sangat berbisa.Tepat di samping perempuan itu, berdiri seorang laki-laki yang kemungkinan adalah suaminya. Dan kalau tebakanku benar, berarti laki-laki itu yang bernama Bagus--mantan suami Mita."Saya. Saya orangnya yang sudah menyeret ibumu itu ke tempat ini?" jawabku dengan tenang.Mata perempuan itu membulat. Wajahnya yang putih tampak merah padam menahan
(POV Mita)"Mita, aku ... menyayangimu, maukah kamu menikah denganku?" tanya Mas Fachri sambil menatapku dengan penuh cinta.Lalu masih dengan memegang tanganku, perlahan dia berlutut di hadapanku."Sekali lagi aku pinta, menikahlah denganku. Aku berjanji tidak akan menyakiti dan mengecewakanmu. Aku juga berjanji akan meletakkan kebahagiaanmu di atas segalanya."Ya Allah, rasanya tak percaya putra angkat Bu Rumini ini tengah melamarku. Bahkan dia memintaku menjadi pendamping hidupnya di depan ibunya.Dengan menahan ledakan kebahagiaan di dalam dada, kuberanikan diri untuk menatap wajah yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghiasi mimpiku."Iya, Mas, aku mau. Aku mau menikah denganmu." Aku menjawab seraya tersenyum dan mengangguk.Mas Fachri mendekatkan tanganku ke bibirnya, kemudian dia mengecup jariku dengan begitu lembut."Yeeeyyy! Akhirnya ada yang bakal nikah nich!" Tiba-tiba entah datang dari mana, suasana yang tadi begitu romantis berubah menjadi begitu ramai bahkan cende
"Alhamdulillah Ibu sudah sampai. Gimana kabarnya, Bu, sehat?" tanyaku pada ibu mertua dengan ramah dan hangat. Kuci-um punggung tangan perempuan paruh baya itu dengan takzim, kemudian memeluknya dengan perasaan rindu karena kami memang sudah cukup lama tidak bertemu. Kalau tidak salah, terakhir bertemu saat kami mudik lebaran tahun lalu.Tapi, kulihat ada yang aneh dari sikap perempuan yang telah melahirkan suamiku itu. Raut wajah Bu Tata terlihat dingin, dan saat aku memeluknya tadi beliau pun seakan terpaksa."Alhamdulillah sehat," jawab Bu Tata singkat. Aku berusaha untuk tetap tersenyum, namun dalam hati tak urung jadi timbul tanda tanya."Ada apa dengan Ibu mertuaku, kenapa sikapnya jadi seperti ini? Apa aku membuat kesalahan? Ah sudahlah, aku tidak boleh suudzon, mungkin Ibu hanya kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh," ucapku dalam hati.Meskipun susah payah aku tetap berusaha untuk berpikir positif."Silahkan masuk, Bu. Mita nyamper Mas Bagus dulu ya, sebentar." Bu Tata
"Sayang, sudah jangan menangis lagi ya. Kata-kata Ibu tadi nggak usah diambil hati." Mas Bagus berucap sambil mengusap punggungku dengan lembut.Aku yang berbaring membelakanginya masih terisak. Air mata ini seolah tak mau berhenti mengalir, meskipun sudah kuhapus berkali-kali. Kata-kata ibu mertuaku tadi masih terngiang-ngiang di telinga, bagai kaset yang terus di putar berulang-ulang meninggalkan rasa sakit dan pedih yang tiada terkira. Semakin kuingat semakin sakit rasanya. Masalah anak adalah hal yang paling sensitif bagi setiap pasangan yang telah menantikan kehadiran malaikat kecil itu selama bertahun-tahun.Kalau boleh memilih aku juga tidak mau seperti ini. Aku juga sangat merindukan kehadiran buah hati. Aku juga ingin mendengar tawa dan tangis anak-anak di rumah ini. Aku juga ingin memeluknya, menci-umnya, dan menimangnya.Tapi mau bagaimana lagi? Segala usaha dan do'a telah dilakukan tanpa henti. Kalau sekarang belum juga membuahkan hasil, apakah itu salahku?Bukankah seker
(POV Bu Tata)Sejak selesai makan siang tadi aku hanya berdiam diri di kamar. Aku sengaja mengurung diri, bahkan saat makan malam aku tidak mau keluar meskipun Bagus sudah membujukku berkali-kali.Tok tok tok."Bu, ayo makan dulu. Nanti Ibu sakit kalau telat makan." Bagus masih setia membujukku di depan pintu kamar. Aku mogok makan, biar saja seperti anak kecil yang penting apa yang kuinginkan tercapai. Mungkin sebenarnya Bagus kesal dengan sikapku ini, tapi aku tahu sekali dengan putraku itu, dia tidak akan bisa marah padaku karena dia sangat menyayangiku.Bagus masih saja memanggilku tapi aku tetap diam, sedikit pun tidak menyahutinya apalagi berniat beranjak dari tempat tidur. Aku memang sengaja melakukan ini, untuk membuat hati putraku luluh.Aku yakin, kalau aku tetap seperti ini, lambat laun putraku pasti tidak akan tega. Apalagi kalau nanti aku sampai jatuh sakit. Pada akhirnya Bagus tidak ada pilihan lain, dia pasti akan mengabulkan permintaanku untuk menikah dengan putri saha
"Halo, Suk." Setelah mengusap tombol hijau pada layar ponsel aku langsung menyapa sahabat yang sebentar lagi aku yakin akan menjadi besanku itu."Kamu lagi dimana, Ta? Sudah sampai di Bekasi belum?" "Iya, Suk. Aku sudah sampai di rumah Bagus tadi siang. Dan sekarang lagi melancarkan aksi supaya Bagus mau menikah dengan Anida, calon menantuku yang cantik," ucapku sambil naik ke tempat tidur. Aku menata bantal kemudian menyandarkan tubuh."Syukurlah kalau sudah sampai, semoga rencana kita lancar ya, Ta. Nggak sabar aku, kita jadi besan," jawab Sukma sambil terkekeh."Iya, Suk, aku juga sama. Tapi ngomong-ngomong nanti kalau Bagus dan Anida sudah menikah, mereka akan tinggal di mana?" Aku penasaran dengan keinginan Sukma setelah anak kami menikah nanti."Tentu saja aku ingin mereka tinggal disini, di kediaman kami. Rumah kami ini besar, Anida juga putriku satu-satunya. Selain itu aku juga ingin Bagus membantu mengurus perusahaan." Mendengar ucapan Sukma aku senang sekali. Rupanya nasib
(POV Bagus)Selama ibu di rawat di rumah sakit, dan sejak kejadian ibu mendorong mangkuk bubur hingga pecah. Aku tidak lagi mengizinkan Mita menunggui ibu. Aku tidak mau hubungan diantara mereka semakin memburuk. Jadi mau tidak mau aku yang mengawasi ibu, meskipun tidak bisa selalu menemaninya di kamar karena aku juga harus bekerja. Namun karena aku juga bekerja di rumah sakit ini, sehingga bisa menitipkan ibu pada teman-teman sejawat.Hari ini ibu sudah diperbolehkan pulang. Keadaan ibu sudah berangsur membaik pasca aku mengatakan akan membicarakan keinginannya pada Mita--istriku.Sebenarnya aku sangat bingung dengan keadaan ini. Entah bagaimana caranya aku mengatakan pada Mita, tentang keinginan ibu yang memintaku untuk menikah lagi agar aku bisa segera memiliki keturunan.Ini benar-benar pilihan yang sangat sulit. Bagai makan buah simalakama.Satu sisi aku sangat mencintai istriku dan tidak ingin menyakitinya. Tapi di sisi lain, aku juga sangat menyayangi ibu. Ibu adalah orang yang
(POV Mita)"Tapi Ibu semakin tua. Umur siapa yang tahu 'kan? Jadi sebelum Ibu di panggil oleh yang maha kuasa, Ibu maunya Bagus sudah punya anak. Itu sebabnya kalau Mita ndak bisa memenuhi keinginan Ibu untuk memberikan cucu, Ibu terpaksa akan menikahkan Bagus dengan perempuan lain.""Apa?!" ucap kami hampir bersamaan.Bukan hanya aku yang terkejut, bahkan semua orang yang ada di ruangan ini. Mendengar ucapan ibunya, wajah Mas Bagus memucat, sedangkan aku ....Ah, hati ini sudah tak jelas lagi seperti apa bentuknya. Hancur sehancur-hancurnya. Menyisakan rasa sakit yang luar biasa.Tak terasa air mata langsung menetes. Aku memang paling sensitif kalau sudah membicarakan soal anak. Apalagi sekarang ibu menambah dengan keinginannya yang tentu saja sangat menyakiti hatiku.Madu? Aku bahkan tak pernah terpikir sedikit pun akan memilikinya. Aku tidak mau dimadu. Kugelengkan kepala berkali-kali, membayangkannya saja rasanya aku tak sanggup.Teganya ibu ingin menghadirkan perempuan lain dian