(POV Mita)
"Tapi Ibu semakin tua. Umur siapa yang tahu 'kan? Jadi sebelum Ibu di panggil oleh yang maha kuasa, Ibu maunya Bagus sudah punya anak. Itu sebabnya kalau Mita ndak bisa memenuhi keinginan Ibu untuk memberikan cucu, Ibu terpaksa akan menikahkan Bagus dengan perempuan lain.""Apa?!" ucap kami hampir bersamaan.Bukan hanya aku yang terkejut, bahkan semua orang yang ada di ruangan ini. Mendengar ucapan ibunya, wajah Mas Bagus memucat, sedangkan aku ....Ah, hati ini sudah tak jelas lagi seperti apa bentuknya. Hancur sehancur-hancurnya. Menyisakan rasa sakit yang luar biasa.Tak terasa air mata langsung menetes. Aku memang paling sensitif kalau sudah membicarakan soal anak. Apalagi sekarang ibu menambah dengan keinginannya yang tentu saja sangat menyakiti hatiku.Madu? Aku bahkan tak pernah terpikir sedikit pun akan memilikinya. Aku tidak mau dimadu. Kugelengkan kepala berkali-kali, membayangkannya saja rasanya aku tak sanggup.Teganya ibu ingin menghadirkan perempuan lain diantara kami. Walaupun aku juga menyadari kekuranganku yang sampai saat ini belum bisa memenuhi keinginannya untuk memiliki seorang cucu. Tapi, bukankah ibu juga seorang perempuan? Apa ibu tidak merasakan apa yang kurasakan?Kutatap suamiku. Aku tahu Mas Bagus sangat mencintaiku, apa mungkin dia tega melakukan hal itu padaku demi memenuhi keinginan ibunya? Ah ya, aku lupa selain mencintaiku Mas Bagus juga sangat menyayangi ibunya. Bakti seorang anak laki-laki adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi oleh suamiku.Mba Mira dan Mas Rayhan diam tak bersuara sedikitpun. Mungkin mereka juga shock sama sepertiku.Sedangkan laki-laki yang masih sah menjadi suamiku itu, dia hanya menundukkan kepalanya sambil memeluk salah satu anak kembar Mba Mira yang kini sudah tertidur di pangkuannya. Mas Bagus tak melawan sedikit pun atas kata-kata ibunya tadi, apakah itu artinya ...."Mita, sekarang ibu mau tanya. Kamu mau dimadu atau dicerai?"Bagai petir di siang hari. Pertanyaan ibu Mas Bagus sukses membuat hatiku yang sudah porak poranda kini hangus terbakar."A-apa, Bu?" Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku tidak menyangka ibu akan mengatakan hal itu, bahkan di depan Mba Mira dan Mas Reyhan."Ibu tanya sekali lagi. Kamu mau dimadu atau dicerai? Karena Bagus akan Ibu nikahkan dengan anak sahabat Ibu," ucapnya tegas."Bu, aku nggak akan pernah menceraikan Mita, selamanya Mita akan menjadi istriku. Aku nggak peduli, meskipun seumur hidup kami nggak memiliki seorang anak. Aku sangat mencintai Mita dan hanya dia yang ada di hatiku," sahut Mas Bagus setelah mengangkat kepalanya."Terserah, Ibu ndak peduli. Yang penting secepatnya kamu harus menikahi Anida. Urusanmu dengan Mita, silahkan urus sendiri. Kalian mau meneruskan pernikahan ini silahkan, kalau mau berpisah baik-baik juga silahkan. Tapi keputusan Ibu sudah bulat dan ndak bisa di ganggu gugat, kamu harus menikah dengan Anida--anak sahabat Ibu. Titik." ucap Ibu sekali lagi dengan tegas.Kemudian ibu berdiri. "Maaf Nak Rayhan, Mira, Ibu mau masuk ke kamar dulu, mau istirahat. Silahkan kalau masih mau ngobrol." Ibu berjalan dengan tertatih, Mas Bagus memberikan anak Mba Mira pada Mas Rayhan, kemudian dia segera membantu ibunya berjalan menuju kamar tamu.Mas Rayhan juga bangun dari tempat duduknya, kemudian membawa si kembar yang sudah tertidur ke dalam kamar almarhumah ibu.Tak lama Mas Bagus kembali ke ruang keluarga, dia mengambil tempat duduk di sebelah Mas Rayhan yang juga baru menghempaskan tubuhnya di sofa setelah membawa si kembar ke dalam kamar. Sedangkan aku masih menangis dan menyandarkan tubuhku di bahu Mba Mira.Mas Bagus hanya menundukkan wajahnya tak berani menatap Mas Rayhan dan Mba Mira. Aku yakin dia masih ingat janjinya pada almarhum ibu, bahwa dia akan selalu menjagaku hingga ajal menjemput. Tak akan pernah menyakitiku walau seujung kuku. Tapi sekarang apa? Dia bahkan akan menghadirkan neraka dunia di hidupku."Jadi kamu akan menikahi perempuan pilihan Ibumu itu?" tanya Mas Rayhan.Mas Bagus tercekat, cukup lama dia tak bisa mengeluarkan kata-kata. Apakah dia merasa seperti sedang dicekik?"Maafkan aku, Mas, aku terpaksa. Ibu mengancam akan bunuh diri kalau aku tidak menuruti keinginannya." jawab Mas Bagus. Dia mengangkat kepalanya sebentar menatap Mas Rayhan kemudian kembali menjatuhkan pandangan pada lantai rumah."Kamu hanya memikirkan Ibumu, tapi kamu nggak memikirkan bagaimana perasaan adikku?" raung Mba Mira masih sambil memelukku yang masih menangis."Maaf Mba, maafkan Bagus," jawab Mas Bagus kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya."Kalau begitu, lepaskan aku Mas. Ceraikan saja aku," sahutku tak tahan lagi. Aku tahu kata-kataku ini seperti senjata yang memiliki dua mata. Satu sisi melukai suamiku, sedangkan sisi yang lain menghunus langsung ke jantungku. Mati, rasanya aku hampir mati."Nggak sayang, jangan katakan itu. Jangan meminta Mas untuk menceraikanmu, karena Mas nggak akan pernah mengabulkannya," jawab Mas Bagus sambil menggelengkan kepalanya kuat."Tapi kamu akan menikah lagi, Mas. Aku nggak mau dimadu, aku nggak akan sanggup, Mas," jeritku dalam tangis pilu."Tapi Mas juga nggak sanggup berpisah denganmu, sayang. Mas nggak mau kehilanganmu. Maafkan Mas yang egois ini." Mas Bagus duduk di lantai di bawah kakiku. Diletakkannya wajahnya di pangkuanku, air matanya tumpah karena rasa bersalah."Bagus, Mita, kami tidak bisa terlalu jauh ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian. Tapi sebagai kakak, Mas hanya bisa berpesan, pikirkan dulu semuanya dengan baik. Jujur sebagai kakak kalian, Mas merasa sedih kalau kalian sampai berpisah. Tapi Mas juga akan sama sedihnya, saat adik istriku yang sudah kuanggap adikku sendiri dibuat sakit hati karena dimadu." Mas Rayhan berujar dengan pelan."Lalu aku harus bagaimana, Mas?" tanya Mas Bagus sambil mengangkat kepalanya."Semua kembali pada kalian berdua. Diskusikan baik-baik, jangan pakai emosi. Atau coba bujuk lagi Bu Tata, barangkali dia masih bisa berubah pikiran.""Itu mustahil, Mas. Ibu nggak akan berubah pikiran, karena yang dipikirkannya hanyalah cucu untuk melanjutkan keturunan keluarga kami.""Kalau begitu mari kita berpisah, Mas. Biarlah aku mengalah, kamu turuti saja keinginan Ibumu. Bukankah kamu harus berbakti kepadanya? Aku mohon lepaskan aku, Mas," ucapku sambil mengusap air mata dengan kasar."Sayang, jangan memohon untuk sesuatu yang mustahil bisa Mas kabulkan," sahut Mas Bagus cepat."Tapi sudah kubilang, aku nggak mau dimadu. Mas Bagus akan tetap menikahi perempuan pilihan ibu itu 'kan? Kalau begitu, jalan keluarnya ceraikan saja aku. Biarkan aku memilih jalan hidupku sendiri."🌷🌷🌷Yang penasaran siapa Mira, Rayhan, dan Bu Wulan, baca kisahnya di cerita saya yang berjudul PELAKOR ITU KAKAK IPARKU.(POV Mita)Karena sudah waktunya menjemput Clarissa di sekolah, akhirnya Mba Mira dan Mas Rayhan pamit pulang. Sebenarnya aku berharap Mba Mira tetap di sini, menemaniku. Tapi aku tidak boleh egois, kakakku itu sudah punya kehidupan sendiri, tentu dia harus lebih mengutamakan keluarganya.Setelah kendaraan roda empat milik saudaraku itu tak terlihat lagi, aku segera melangkah masuk ke dalam rumah. Sedangkan Mas Bagus menutup pintu gerbang."Sayang, tunggu." Panggil Mas Bagus.Tapi aku tetap melangkah dengan cepat masuk ke dalam kamar, kemudian menutup pintu. Sebenarnya ini sudah waktunya makan siang, tapi aku sungguh tidak berselera untuk mengisi perut. Saat ini aku hanya ingin sendiri di dalam kamar.Setelah melaksanakan shalat Dzuhur, aku memilih naik ke tempat tidur. Mencoba memejamkan mata, sejenak ingin melupakan semua masalah yang sedang ku hadapi.Mas Bagus tak kedengaran lagi suaranya. Ah, pasti dia sedang mengurus ibunya. Bukan aku cemburu, tapi karena mertuaku itu punya renc
Aku tertegun menatap mereka yang kini ada di depanku. Ya, mereka ....Tampak Mas Bagus berdiri berdampingan dengan seorang perempuan muda yang usianya mungkin sebaya denganku. Lalu di belakangnya ada ibu mertuaku bersama perempuan paruh baya yang sepantaran dengannya.Aku diam dan masih memindai mereka satu persatu."Kenapa diam saja, cepat sambut adik madumu!" Ucapan Bu Tata bagai petir yang menyambar."Apa, adik madu? Apa aku tidak salah dengar? Jadi kalian ...." Aku tidak melanjutkan kata-kata, kualihkan pandangan pada laki-laki yang sampai saat ini masih sah menjadi suamiku.Mas Bagus tampak salah tingkah. Dia mengusap leher bagian belakang berkali-kali dan tidak berani menatapku sedikit pun. Gigiku gemeletuk dengan tangan yang refleks mengepal, bahkan kini tanganku bergetar menahan amarah.Dasar laki-laki. Meskipun Mas Bagus kemarin mengatakan kalau dia terpaksa menuruti keinginan ibunya. Tapi tak bisa ku pungkiri, hati ini tetap sakit sekali saat dia dan ibunya pulang membawa ol
Setelah menu makan malam tersaji di meja makan, aku langsung memanggil suami dan mertuaku yang sedang bercengkrama di ruang keluarga."Mas, makan malam sudah siap," panggilku."Iya sayang, sebentar," sahut Mas Bagus sambil menoleh ke arahku, kemudian langsung berdiri."Ayo, Bu, kita makan sama-sama. Mita sudah menyiapkan makan malam.""Istri mudamu di gandeng dong, Le. Pengantin baru biasanya 'kan lagi mesra-mesranya," sahut mertuaku seolah sengaja memanasiku.Mendengar ucapan ibunya Mas Bagus melirikku, sepertinya dia merasa tidak enak tapi juga tidak berdaya di depan ibunya yang sering memaksakan kehendak itu."Ya sudah, ayo kita makan malam sama-sama," ucap Mas Bagus seraya menatap istri barunya."Bantuin berdiri," rengek Anida dengan manja sambil mengulurkan tangannya pada Mas Bagus.Melihat sikap menantu barunya yang manja pada putranya, justru membuat Bu Tata tersenyum senang. Berbeda saat melihat ke arahku, dia malah terlihat sinis. "Ayo, Suk, kita makan. Aku sudah lapar," aja
Entah siapa semalam yang akhirnya mencuci piring dan peralatan makan lainnya. Aku tidak tahu, karena setelah perdebatan dengan si Anida and gengs, aku langsung masuk ke dalam kamar dan tidak keluar lagi.Semalam Mas Bagus juga tidak menghampiriku ke dalam kamar, sekedar menguatkan atau menghibur. Padahal biasanya kalau ada yang berani menyebutku mandul, Mas Bagus tidak akan terima. Tapi sekarang tidak lagi, bahkan tidak ada pembelaan sama sekali dari suamiku saat istri mudanya menyematkan kalimat itu untukku. Mungkin setelah ini aku harus mulai terbiasa kalau Mas Bagus tak lagi membelaku. Aku juga harus belajar menguatkan diri sendiri, tanpa harus bergantung pada siapa pun lagi.Saat adzan Subuh berkumandang, mataku serasa diberi lem, berat dan susah sekali untuk dibuka. Itu karena hampir semalaman aku tidak bisa tidur. Selain karena belum terbiasa tidur sendiri, aku juga menyadari fakta dibalik alasan suamiku tidak tidur di kamar kami. Tentu saja karena Mas Bagus tidur di kamar sebe
"Apa-apaan ini!" teriakku kala baju-baju kotor Anida berjatuhan di dekat kakiku, setelah sebelumnya mengenai tubuhku karena Anida melemparnya begitu saja."Kamu 'kan lagi nyuci, jadi sekalian ya cuciin bajuku," jawabnya seolah aku ini pembantunya. Caranya pun sangat tidak sopan karena tidak di sertai dengan kalimat 'tolong'. Begitu juga dengan aksinya yang melempar pakaian kotor itu padaku, tentu saja aku jadi langsung emosi."Enak aja, cuci sendiri," sahutku sembari memunguti pakaian-pakaian itu kemudian melemparkannya kembali pada yang punya."Pelit banget sih, cuma beberapa potong doang.""Ya, tapi cara kamu nggak sopan. Emangnya kamu nggak pernah di ajari sopan santun apa," sahutku kesal. "Kalau nyuruh orang itu pakai kalimat yang baik, terus ngasihnya yang sopan bukan malah di lempar. Masak gitu aja nggak ngerti, kayak anak kecil aja. Lagian ya, katanya kamu itu anak orang kaya, pasti uangnya banyak dong, kenapa nggak di laundry aja sih. Ngapain malah nyuruh-nyuruh aku. Aku ini u
Setelah kejadian tadi sore aku sengaja mengurung diri dan mengunci pintu kamar. Tidak ada lagi yang peduli padaku, bahkan saat aku tidak keluar dari kamar untuk makan malam. Mungkin Mas Bagus sudah tidak ingat lagi padaku, entah sedang apa dia sekarang sehingga tak tergerak hatinya untuk melihatku walau hanya sebentar.Semarah itukah Mas Bagus padaku? Walaupun aku sudah berusaha menjelaskan yang sebenarnya, tapi tetap saja akulah yang terlihat bersalah di matanya. Ternyata lima tahun hidup bersama tak membuat Mas Bagus mengenal sifatku, begitu juga aku yang hampir tak mengenali lagi dirinya yang sekarang.Sekarang apalagi yang tersisa? Mungkin tidak ada. Bahkan kini lambat laun aku mulai kehilangan suamiku, padahal selama ini mati-matian berusaha bertahan untuknya. Haruskah sekarang aku menyerah? Meninggalkan bahtera yang mungkin sebentar lagi akan benar-benar karam.**Tak mau terlalu lama larut dalam kesedihan, akhirnya setelah berpikir panjang aku putuskan untuk kembali bekerja. Da
Meskipun aku sudah lama mundur dari pekerjaanku, tapi aku masih tetap menjalin hubungan baik dengan rekan-rekan seprofesi dulu. Sehingga pada saat aku membutuhkan pekerjaan seperti saat ini, alhamdulilah beberapa teman bersedia membantuku dengan memberikan informasi tentang lowongan pekerjaan di beberapa rumah sakit.Bahkan salah satu diantara mereka ada yang mau merekomendasikan aku langsung pada atasannya. Dia adalah--Dinda--teman baikku sesama perawat saat dulu masih bekerja di rumah sakit Citra Sehat.Masih teringat saat itu, kala aku mengatakan pada Mas Bagus dan ibu tentang keinginanku untuk mundur dari pekerjaan yang sangat kucintai."Mas, Bu, aku mau resign," ucapku suatu pagi saat kami sedang sarapan bersama."Resign? Kamu yakin, Mit? Memangnya nggak sayang, itu 'kan memang cita-cita kamu dari kecil mau merawat orang sakit," sahut ibu."Iya sih Bu, tapi mau bagaimana lagi, aku mau punya anak. Barangkali kalau aku lebih banyak istirahat di rumah, aku akan cepat hamil," jawabku
Saat sudah sampai di depan rumah Mba Mira, aku segera turun dari mobil lalu mendekat ke arah pagar. Lalu tak lama seorang Security menghampiri."Eh, Mba Mita 'kan ya?" tanyanya padaku."Iya, Pak. Mba Miranya ada?" tanyaku sambil tersenyum ramah."Ada, ada, mari silahkan masuk, Mba," jawab Security itu tak kalah ramah, lalu dia segera membuka pintu gerbang. Sedangkan aku masuk kembali ke dalam mobil lalu membawa kendaraanku masuk ke dalam halaman.Halaman rumah Mba Mira sangat luas. Ada banyak tanaman hias yang tertata dengan begitu rapi, di lengkapi dengan kolam ikan dan air mancur. Siapapun yang datang ke sini pasti bisa langsung menilai, kalau yang punya rumah adalah orang super kaya. Bahkan menurutku rumah ini seperti rumah-rumah yang sering ada di televisi, yang sering di jadikan untuk tempat shooting film. Benar-benar terlihat megah dan mewah.Ku dengar -Bu Wulan- ibunya Mas Rayhan juga memiliki hobi yang sama dengan Mba Mira, yaitu sama-sama menyukai merawat tanaman, terutama bu