Share

BAB 6. TAK MAU DIMADU

(POV Mita)

"Tapi Ibu semakin tua. Umur siapa yang tahu 'kan? Jadi sebelum Ibu di panggil oleh yang maha kuasa, Ibu maunya Bagus sudah punya anak. Itu sebabnya kalau Mita ndak bisa memenuhi keinginan Ibu untuk memberikan cucu, Ibu terpaksa akan menikahkan Bagus dengan perempuan lain."

"Apa?!" ucap kami hampir bersamaan.

Bukan hanya aku yang terkejut, bahkan semua orang yang ada di ruangan ini. Mendengar ucapan ibunya, wajah Mas Bagus memucat, sedangkan aku ....

Ah, hati ini sudah tak jelas lagi seperti apa bentuknya. Hancur sehancur-hancurnya. Menyisakan rasa sakit yang luar biasa.

Tak terasa air mata langsung menetes. Aku memang paling sensitif kalau sudah membicarakan soal anak. Apalagi sekarang ibu menambah dengan keinginannya yang tentu saja sangat menyakiti hatiku.

Madu? Aku bahkan tak pernah terpikir sedikit pun akan memilikinya. Aku tidak mau dimadu. Kugelengkan kepala berkali-kali, membayangkannya saja rasanya aku tak sanggup.

Teganya ibu ingin menghadirkan perempuan lain diantara kami. Walaupun aku juga menyadari kekuranganku yang sampai saat ini belum bisa memenuhi keinginannya untuk memiliki seorang cucu. Tapi, bukankah ibu juga seorang perempuan? Apa ibu tidak merasakan apa yang kurasakan?

Kutatap suamiku. Aku tahu Mas Bagus sangat mencintaiku, apa mungkin dia tega melakukan hal itu padaku demi memenuhi keinginan ibunya? Ah ya, aku lupa selain mencintaiku Mas Bagus juga sangat menyayangi ibunya. Bakti seorang anak laki-laki adalah sesuatu yang sangat dijunjung tinggi oleh suamiku.

Mba Mira dan Mas Rayhan diam tak bersuara sedikitpun. Mungkin mereka juga shock sama sepertiku.

Sedangkan laki-laki yang masih sah menjadi suamiku itu, dia hanya menundukkan kepalanya sambil memeluk salah satu anak kembar Mba Mira yang kini sudah tertidur di pangkuannya. Mas Bagus tak melawan sedikit pun atas kata-kata ibunya tadi, apakah itu artinya ....

"Mita, sekarang ibu mau tanya. Kamu mau dimadu atau dicerai?"

Bagai petir di siang hari. Pertanyaan ibu Mas Bagus sukses membuat hatiku yang sudah porak poranda kini hangus terbakar.

"A-apa, Bu?" Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Aku tidak menyangka ibu akan mengatakan hal itu, bahkan di depan Mba Mira dan Mas Reyhan.

"Ibu tanya sekali lagi. Kamu mau dimadu atau dicerai? Karena Bagus akan Ibu nikahkan dengan anak sahabat Ibu," ucapnya tegas.

"Bu, aku nggak akan pernah menceraikan Mita, selamanya Mita akan menjadi istriku. Aku nggak peduli, meskipun seumur hidup kami nggak memiliki seorang anak. Aku sangat mencintai Mita dan hanya dia yang ada di hatiku," sahut Mas Bagus setelah mengangkat kepalanya.

"Terserah, Ibu ndak peduli. Yang penting secepatnya kamu harus menikahi Anida. Urusanmu dengan Mita, silahkan urus sendiri. Kalian mau meneruskan pernikahan ini silahkan, kalau mau berpisah baik-baik juga silahkan. Tapi keputusan Ibu sudah bulat dan ndak bisa di ganggu gugat, kamu harus menikah dengan Anida--anak sahabat Ibu. Titik." ucap Ibu sekali lagi dengan tegas.

Kemudian ibu berdiri. "Maaf Nak Rayhan, Mira, Ibu mau masuk ke kamar dulu, mau istirahat. Silahkan kalau masih mau ngobrol." Ibu berjalan dengan tertatih, Mas Bagus memberikan anak Mba Mira pada Mas Rayhan, kemudian dia segera membantu ibunya berjalan menuju kamar tamu.

Mas Rayhan juga bangun dari tempat duduknya, kemudian membawa si kembar yang sudah tertidur ke dalam kamar almarhumah ibu.

Tak lama Mas Bagus kembali ke ruang keluarga, dia mengambil tempat duduk di sebelah Mas Rayhan yang juga baru menghempaskan tubuhnya di sofa setelah membawa si kembar ke dalam kamar. Sedangkan aku masih menangis dan menyandarkan tubuhku di bahu Mba Mira.

Mas Bagus hanya menundukkan wajahnya tak berani menatap Mas Rayhan dan Mba Mira. Aku yakin dia masih ingat janjinya pada almarhum ibu, bahwa dia akan selalu menjagaku hingga ajal menjemput. Tak akan pernah menyakitiku walau seujung kuku. Tapi sekarang apa? Dia bahkan akan menghadirkan neraka dunia di hidupku.

"Jadi kamu akan menikahi perempuan pilihan Ibumu itu?" tanya Mas Rayhan.

Mas Bagus tercekat, cukup lama dia tak bisa mengeluarkan kata-kata. Apakah dia merasa seperti sedang dicekik?

"Maafkan aku, Mas, aku terpaksa. Ibu mengancam akan bunuh diri kalau aku tidak menuruti keinginannya." jawab Mas Bagus. Dia mengangkat kepalanya sebentar menatap Mas Rayhan kemudian kembali menjatuhkan pandangan pada lantai rumah.

"Kamu hanya memikirkan Ibumu, tapi kamu nggak memikirkan bagaimana perasaan adikku?" raung Mba Mira masih sambil memelukku yang masih menangis.

"Maaf Mba, maafkan Bagus," jawab Mas Bagus kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Kalau begitu, lepaskan aku Mas. Ceraikan saja aku," sahutku tak tahan lagi. Aku tahu kata-kataku ini seperti senjata yang memiliki dua mata. Satu sisi melukai suamiku, sedangkan sisi yang lain menghunus langsung ke jantungku. Mati, rasanya aku hampir mati.

"Nggak sayang, jangan katakan itu. Jangan meminta Mas untuk menceraikanmu, karena Mas nggak akan pernah mengabulkannya," jawab Mas Bagus sambil menggelengkan kepalanya kuat.

"Tapi kamu akan menikah lagi, Mas. Aku nggak mau dimadu, aku nggak akan sanggup, Mas," jeritku dalam tangis pilu.

"Tapi Mas juga nggak sanggup berpisah denganmu, sayang. Mas nggak mau kehilanganmu. Maafkan Mas yang egois ini." Mas Bagus duduk di lantai di bawah kakiku. Diletakkannya wajahnya di pangkuanku, air matanya tumpah karena rasa bersalah.

"Bagus, Mita, kami tidak bisa terlalu jauh ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian. Tapi sebagai kakak, Mas hanya bisa berpesan, pikirkan dulu semuanya dengan baik. Jujur sebagai kakak kalian, Mas merasa sedih kalau kalian sampai berpisah. Tapi Mas juga akan sama sedihnya, saat adik istriku yang sudah kuanggap adikku sendiri dibuat sakit hati karena dimadu." Mas Rayhan berujar dengan pelan.

"Lalu aku harus bagaimana, Mas?" tanya Mas Bagus sambil mengangkat kepalanya.

"Semua kembali pada kalian berdua. Diskusikan baik-baik, jangan pakai emosi. Atau coba bujuk lagi Bu Tata, barangkali dia masih bisa berubah pikiran."

"Itu mustahil, Mas. Ibu nggak akan berubah pikiran, karena yang dipikirkannya hanyalah cucu untuk melanjutkan keturunan keluarga kami."

"Kalau begitu mari kita berpisah, Mas. Biarlah aku mengalah, kamu turuti saja keinginan Ibumu. Bukankah kamu harus berbakti kepadanya? Aku mohon lepaskan aku, Mas," ucapku sambil mengusap air mata dengan kasar.

"Sayang, jangan memohon untuk sesuatu yang mustahil bisa Mas kabulkan," sahut Mas Bagus cepat.

"Tapi sudah kubilang, aku nggak mau dimadu. Mas Bagus akan tetap menikahi perempuan pilihan ibu itu 'kan? Kalau begitu, jalan keluarnya ceraikan saja aku. Biarkan aku memilih jalan hidupku sendiri."

🌷🌷🌷

Yang penasaran siapa Mira, Rayhan, dan Bu Wulan, baca kisahnya di cerita saya yang berjudul PELAKOR ITU KAKAK IPARKU.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status