Share

BAB 5. BAGAI MAKAN BUAH SIMALAKAMA

(POV Bagus)

Selama ibu di rawat di rumah sakit, dan sejak kejadian ibu mendorong mangkuk bubur hingga pecah. Aku tidak lagi mengizinkan Mita menunggui ibu. Aku tidak mau hubungan diantara mereka semakin memburuk. Jadi mau tidak mau aku yang mengawasi ibu, meskipun tidak bisa selalu menemaninya di kamar karena aku juga harus bekerja. Namun karena aku juga bekerja di rumah sakit ini, sehingga bisa menitipkan ibu pada teman-teman sejawat.

Hari ini ibu sudah diperbolehkan pulang. Keadaan ibu sudah berangsur membaik pasca aku mengatakan akan membicarakan keinginannya pada Mita--istriku.

Sebenarnya aku sangat bingung dengan keadaan ini. Entah bagaimana caranya aku mengatakan pada Mita, tentang keinginan ibu yang memintaku untuk menikah lagi agar aku bisa segera memiliki keturunan.

Ini benar-benar pilihan yang sangat sulit. Bagai makan buah simalakama.

Satu sisi aku sangat mencintai istriku dan tidak ingin menyakitinya. Tapi di sisi lain, aku juga sangat menyayangi ibu. Ibu adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku, karena beliaulah aku ada di dunia ini. Beliau juga yang sudah merawat, membesarkan, hingga membiayai pendidikanku sampai ke perguruan tinggi. Aku tahu, walau aku memberikan dunia dan seisinya tetap tidak akan bisa membalas semua jasa ibu padaku.

Aku juga tahu, bahwa anak Laki-laki adalah milik ibu. Sehingga wajib bagiku untuk berbakti padanya. Karena surgaku ada di bawah telapak kakinya. Apalagi aku adalah satu-satunya anak laki-laki di keluarga kami.

Kalau aku tidak menuruti keinginan ibu, ibu mengancam akan melakukan sesuatu yang akan membahayakan dirinya. Contohnya seperti kemarin, saat ibu mogok makan, penyakit maagnya langsung kambuh sehingga harus di rawat di rumah sakit. Aku semakin takut ibu akan melakukan hal yang lebih gila lagi, ibu tidak pernah main-main dengan ucapannya.

Sedangkan Mita, dia adalah istri yang baik. Namun demikian aku tidak yakin dia mau dimadu. Perempuan mana yang mau berbagi suami? Jika bisa memilih, mereka yang sudah terlanjur di poligami pun tidak akan mau berbagi suami. Aku hanya takut setelah mengatakan akan menikah lagi, Mita akan memilih mundur dan meninggalkan aku. Aku takut kehilangan Mita.

"Le, kamu sudah bicara belum sama Mita?" ucap Ibu, saat mobil mulai melaju meninggalkan rumah sakit.

"Belum, Bu. Nanti Bagus coba cari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Mita," jawabku sambil menatap ke depan dan tetap fokus pada jalanan.

"Ibu ndak mau nunggu terlalu lama, Le. Pokoknya hari ini kamu harus bicara sama Mita," sahut ibu dengan bersungut-sungut.

Aku menghembuskan nafas panjang. Apa ibu tidak tahu, bukan hal yang mudah bagiku untuk mengatakan hal yang pasti akan menyakiti hati istriku.

Tuhan, tolong bantu aku. Aku benar-benar di persimpangan jalan. Aku bingung harus mengambil jalan yang mana, ke kiri atau ke kanan.

"Jangan paksa Bagus seperti ini, Bu. Tolonglah mengerti sedikit saja anakmu ini," ucapku putus asa.

"Apa maksudmu, Le? Kenapa kamu malah bilang Ibu ndak mengerti kamu? Justru karena Ibu mengerti kamu, makanya Ibu melakukan semua ini. Semua yang ibu lakukan adalah untuk kebaikan kamu, untuk generasi penerus keluarga kita. Apa kamu ndak paham!" sahut ibu setengah berteriak, membuat nyaliku menciut. Dan aku pun semakin dibuat pusing oleh sikap ibu. Ibu benar-benar hanya memikirkan tentang keturunan saja, tapi tidak memikirkan bagaimana perasaanku dan Mita.

"Iya, Bu, iya, nanti Bagus coba bicara sama Mita," ucapku untuk menenangkan ibu yang mulai emosi.

Sepertinya saat ini kesabaranku benar-benar sedang di uji. Meskipun ibu keras kepala, tapi aku tidak pernah bisa marah padanya. Karena walau bagaimanapun beliau adalah orang yang telah mempertaruhkan nyawanya saat melahirkanku ke dunia ini. Apalagi setelah ayah pergi untuk selamanya, ibulah yang berjuang mati-matian untuk menghidupi dan membiayai pendidikan kami bertiga hingga selesai kuliah. Beliau berjuang sendirian, untungnya almarhum ayah meninggalkan warisan yang lumayan banyak, sehingga ibu selalu ada pemasukan dari hasil sawah dan kebun yang kami miliki.

Akhirnya kami sampai juga di rumah. Sebuah mobil terparkir di depan pagar. Aku mengenali mobil itu adalah milik kakak Iparku. Aku segera turun untuk membuka pintu gerbang sendiri, tak enak rasanya untuk minta tolong pada Mita karena dia sedang ada tamu.

Setelah memasukkan mobil ke garasi. Aku segera turun lalu membantu ibu turun dengan pelan.

"Sepertinya sedang ada tamu, Le," ucap ibu kala melihat ada sendal dan juga sepatu di depan teras.

"Iya, Bu, sepertinya itu Mba Mira dan suaminya," jawabku sembari menuntun ibu masuk.

Setelah mengucapkan salam dan mendapat jawaban dari dalam, aku dan ibu pun masuk.

"Eh, Bagus sudah pulang." Mas Rayhan bangun dari tempat duduk dan langsung menghampiri saat melihat aku dan ibu masuk.

"Iya, Mas. Sudah lama sampai?" tanyaku sambil bersalaman. Mas Rayhan menyambut tanganku kemudian langsung menyalami ibu.

"Nggak, baru aja sampai. Sudah sehat, Bu?" tanyanya pada ibu sambil tersenyum.

"Iya, alhamdulillah sudah mendingan, Nak." Ibu menyambut uluran tangan suami dari kakak iparku itu.

Kemudian kami berjalan menuju ruang keluarga dimana Mita tengah menggendong salah satu anak kembar Mba Mira dan Mas Rayhan.

Mba Mira dan Mita langsung berdiri dan menyalami aku dan Ibu.

"Clarissa nggak ikut, Mba?" tanyaku saat tidak melihat anak sulung Mba Mira dengan mantan suaminya -Mas Haris.

"Clarissa belum pulang sekolah, Gus. Rencananya nanti pulang dari sini sekalian jemput Clarissa," jawab Mba Mira.

"Kalau dia tahu Ayah sama Bundanya main ke sini tapi dia nggak diajak, pasti nanti langsung ngambek," sahut Mita.

"Tenang ... 'kan ada pawangnya." Kelakar Mba Mira sambil melirik suaminya. Mas Rayhan hanya tersenyum mendengar ucapan istrinya. Dia memang suami dan ayah yang baik.

Aku juga ikut senang melihat Mba Mira dan Mas Rayhan yang bahagia. Apalagi melihat Mas Rayhan yang begitu menyayangi Clarissa tanpa membedakan dengan si kembar yang merupakan anak kandungnya. Mas Rayhan memperlakukan Clarissa sama seperti memperlakukan kedua anak kembarnya yang kini telah berusia tiga tahun. Sedangkan Clarissa sekarang sudah berusia delapan tahun dan sudah duduk di kelas 3 MI.

"Ibu mau istirahat di kamar?" tanya Mita.

"Ndak, nanti saja. Ibu masih mau di sini dulu, mau main sama si kembar," jawab Ibu lalu berjalan ke arah sofa. Gegas Mita membantu ibu dengan menuntunnya, padahal dia juga sedang menggendong salah satu anak Mba Mira.

Ibu meminta Mita juga duduk di sofa di dekatnya dengan meletakkan salah satu anak kembar Mba Mira di antara mereka.

Aku, Mas Rayhan, dan Mba Mira, akhirnya juga ikut duduk di sofa. Sebelumnya aku sudah mengambil si kembar yang berada di gendongan Mba Mira, kini batita yang semakin hari semakin menggemaskan itu aku dudukkan di pangkuanku.

"Lucu-lucu banget anakmu, Mir. Kapan ya Bagus dan Mita punya yang seperti ini," ucap ibu sambil mengelus rambut anak Mba Mira.

Mendengar ucapan ibu, semua terdiam. Mita hanya menunduk sambil memegang tangan mungil salah satu keponakannya. Kasihan sekali melihatnya, sejak ibu tinggal bersama kami Mita terlihat tertekan.

"Anak itu rezeki, Bu. Kalau sekarang Mita dan Bagus belum punya anak, berarti memang belum rezeki. Tuhan masih mau menguji kesabaran mereka, mungkin juga Tuhan mau melihat usaha mereka lebih keras lagi. Kita doakan saja semoga secepatnya mereka diberi kepercayaan," ucap Mas Rayhan bijak.

"Tapi Ibu sudah semakin tua. Umur siapa yang tahu 'kan? Jadi sebelum Ibu di panggil oleh yang maha kuasa, Ibu maunya Bagus sudah punya anak. Itu sebabnya kalau Mita ndak bisa memenuhi keinginan Ibu untuk memberikan cucu, Ibu terpaksa akan menikahkan Bagus dengan perempuan lain."

🌷🌷🌷

Yang belum tahu siapa Mira, Rayhan, dan Bu Wulan baca kisahnya di cerita saya yang berjudul PELAKOR ITU KAKAK IPARKU.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status