Share

Bunglon!

"Hah, serius Sya? Sampai segitunya?" Aira tak bisa menyembunyikan wajah kaget dan herannya di depanku.

"Hanya tak mau kamu gemuk, Raka sampai rela turun ke dapur, nge-pack semua yang dibawa ummi dan mertua kamu? Duh, sumpah baru nemu suami modelan gini."

Aira benar tak yakin. Jika Aira saja harus merespon begitu, lalu bagaimana denganku. Aku bahkan seolah mimpi saja berapa bulan lalu.

Mimpi, kareran merasa di ratukan, dijaga perasaanku sebagai istrinya. Ternyata....

"Apa alasannya?" Tanya Aira, memandangiku. Menunggu jawabanku.

"Yah, aku kurang yakin sama apa yang mas Raka bilang. Dia bilang sih, nggak menarik dilihat." Ucapku di depan wajah Aira.

Aira yang tadinya duduk, kini berdiri. Dia nampak kegerahan dengan apa yang aku sampaikan.

"Aisya sayang..., Benar gue nggak nyangka Raka punya pikiran gitu. Memang kenapa dengan gemuk. Gemuk sedikit kalau hamil ya wajar. Namanya juga ada yang bertumbuh." Tatap Aira padaku.

Aku hanya mengangkat bahu. Aku pun tak tahu harus apa sekarang.

"Terus kamu bilang mau keluar sama aku?"

"Iya..."

"Pesan dari dia apa?"

Kuraih ponselku yang ada di sampingku. Lalu kubuka pesan w******p yang mas Raka kirimkan.

"Katanya..."Silahkan! Tapi jangan makan yang manis! Jangan makan terlalu banyak karbohidrat! Ingat, ya! Nggak boleh gemuk!"

Aku membacakan isi pesan mas Raka. Aira benar geleng kepala tak henti.

"Aku sebagai bagian dari tenaga medis, sangat tahu hal ini nggak masuk akal, Aisya sayang. Kamu hamil, perlu banyak asupan."

Aira mulai nampak pusing sendiri. Dia berkali-kali menatapku, lalu bolak-balik didepanku.

"Sudahlah, Ra... Aku hanya butuh teman ngobrol. Mas Raka sangat bisa diandalkan untuk masalah ngobrol. Tapi untuk masalah ini, salah kalau aku ngobrol dengan dia."

Aku meminta Aira duduk. Kasihan, menu yang dipesan belum tersentuh sama sekali.

Aku ingin menikmatinya, sangat ingin. Namun, bayang perjanjian itu masih seolah mengikatku. Andai aku belum positif hamil, mungkin aku punya cara mengatasinya. Tapi, kalau sudah begini....

JIKA KAMU GEMUK, MAKA PERCERAIAN MENJADI SOLUSI.

Oh, tulisan kapital diujung kertas bermaterai itu membuat aku seolah masuk ke dalam mimpi buruk yang nyata.

Cerai?!

Siapa yang menginginkan itu terjadi?

Siapa pun pasangan yang sudah menikah, pasti mau sehidup semati-bahkan sehidup-sesyurga. Nah, kalau sampai bercerai, gimana coba??!

"Tuh kamu melamun lagi. Itu artinya hal ini membuat kamu kepikiran. Gimana kalau kamu stress, Sya?!"

"Stress?? Apa bisa. Dulu aku pernah menghadapi pekerjaan yang tingkat stress-nya parah. Tapi bisa kulalui. Aku yakin aku pasti bisa menghadapi ini, Ra. Cuman waktunya aja masih shock!"

"Bisa!!! Apalagi nih, janin yang kamu kandung sekarang bertumbuh. Kamu stress, efeknya ada untuk dia. Ayolah..., Jadilah Aisya yang bangkit dari penindasan!"

Melihat Aira yang gemas begitu, aku jadi bingung harus apa. Satu sisi mas Raka imamku. Tapi, satu sisi dia juga yang buat perjanjian penuh mudharat.

"Oke! Aku akan bangkit!" Seruku, lalu menarik spageti yang tersaji, bahkan sudah dingin itu.

Bahkan jus yang sejak tadi jika kutatap terbayang perjanjian yang kutandatangani, berikut wajah mas Raka, kini sudah tersisa seperempat. Semua demi janinku!

"Yah, gini yang benar! Jangan sampai janin ini terlahir stunting!" Aira menyemangatiku, menyodorkan makanan yang menurut pantauannya aman untukku.

"Ra, mulai hari ini kamu jadi konsultan gizi buatku, ya! Pokoknya berapa pun biayanya, tenang saja...." Lirikku pada Aira.

Aira mengangguk, memberikan kedua jempolnya ke arahku. Aki terharu, menangis sembari terus mengunyah makananku.

****

"Sya, darimana?"

Aku duduk di teras rumah ketika datang. Tak langsung masuk ke dalam. Ternyata ada ibu mertuaku.

"Loh bu, kapan datang?" Tanyaku, melihat garasi. Tak ada mobil ibu di sana.

"Naik ojek tadi. Kangen sama kalian. Dari mana?"

Ibu kembali bertanya padaku.

"Oh, dari luar ketemu teman, Bu." Jawabku jujur apa adanya. Ibu mertuaku, mengamatiku, sebelum bertanya.

"Laki atau perempuan?"

"Perempuan lah, Bu... Aisya nggak akan keluar menemui lelaki." Ucapku pada ibu mertuaku yang membalas dengan tawa kecil.

"Ibu hanya khawatir aja. Nggak tersinggung, kan?"

Aku menggeleng.

"Yuk, masuk! Tebak ibu bawakan kamu apa...." Ibu menggandengku untuk masuk. Aku menurutinya.

"Lihat! Kamu harus makan yang banyak, ya!"

Rupa-rupanya ibu membawa bakso komplit, home made. Buatan ibu sendiri dengan kombinasi yang disesuaikan dengan keadaanku yang hamil ini. Lihat saja, pentolnya sampai dicampur cacahan wortel dan brokoli.

"Bu, kok repot-repot, sih...."

Aku sedikit sungkan. Tak tahu apakah makanan melimpah ini akan bernasib sama dengan yang sebelumnya. Dieksekusi mas Raka buat mereka di luaran sana.

"Tapi, hebat kamu... Makanan dua hari lalu sudah habis! Duh, kalau begini senang ibu bawain kamu makanan, nak...."

Degh!

Kukatupkan bibirku rapat. Ibu membahas makanan yang dia bawa dua hari lalu.

Meski pun pikiran ibu mengira habis kukonsumsi, kok rasa-rasanya tak mungkin juga dalam dua hari bisa habis jika aku dan mas Raka saja.

Yaa Allah, Bu...

Andai Ibu tahu....

"Jadi lusa ibu akan bawakan makanan sehat lainnya. Kamu tenang saja. Istirahat yang cukup! Masalah makanan biar ibu dan ummi kamu yang urus!"

Lah, harus bagaimana aku sekarang?

"Sekarang ibu panaskan ini. Kamu harus makan! Ibu mau lihat sebelum pulang!"

Ibu sangat bersemangat meracik bakso untukku. Mau dicegah takut membuat rasa bahagia ibu luntur.

"Apa pun yang buat ibu senang...." Ucapku melepas senyum.

Maka, dalam waktu yang tak lama, bakso yang menggugah itu pun jadi. Ibu sampai duduk di hadapanku, menungguku untuk makan.

"Ayo, di makan...." Ucap ibu padaku tak sabar.

"Masih panas ibuku sayang...." Tawaku.

Sejenak aku melupakan perjanjian yang terjadi antaraku dan mas Raka.

Di benakku sekarang hanya ada bagaimana cara membuat ibunya, mertuaku ini bahagia. Melihatnya bahagia dengan cara sederhana ini membuat hatiku menghangat bahkan haru. Sungguh, mertuaku terasa seperti ibu kandung sendiri.

Setelah memastikan bakso sudah hangat, aku pun menyeruput kuahnya. Kaldunya terasa begitu gurihnya. Bahkan baksonya saja menciptakan sensasi yang menyenangkan.

"Enak, kan?"

Aku mengangguk kuat.

Tiba-tiba saja, tanpa kami sadari mas Raka sudah berdiri di pintu dapur. Sorot matanya memandangku, memandang penuh makna.

Aku bahkan tak tahu sejak kapan dia berdiri di sana. Begitu aku perhatikan, jasnya sudah berganti baju kaos rumahan.

"Mas...." Sapaku tersenyum padanya. "Ibu bawa bakso. Enak loh! Aku siapkan, ya...." Ucapku padanya.

Ibu menatap mas Raka. Putra satu-satunya itu dengan senyum sumringah. Sementara yang dipandang tak mengalihkan pandangannya dariku, dan makananku.

Dia pun tak merespon tawaranku.

"Bawakan aku air putih!"

Hanya itu kalimatnya padaku, lalu mendekati ibunya. Memeluk dan mencium punggung tangan ibu.

Ekspresinya berbeda saat ke ibu. Lebih luwes dan asyik.

Ah, memang mas Raka ini...,

Bunglon!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status