POV AISYAKupandangi Mas Raka yang terus melihat ke arahku. Dia memintaku pulang, namun aku belum memutuskan.Mas Raka yang angin-anginan, aku yakin paling satu dua hari dia bisa menahan diri tak melarangku makan. setelah itu??sebenarnya aku sudah membaca pesannya, melihat panggilannya. namun rasa kesalku membuat aku memilih tak meresponnya. biarkan dulu aku dan dia terbentang jarak, biar dia mikir."Yakin dia mikir?" Abah merasa tak yakin saat aku menyampaikan perihal Mas Raka yang memintaku pulang."Abah masih ada saja, dia bisa semena-mena. padahal dia yang gentle datang menemui abah, mau menikahi kamu. oke abah setuju. tapi apa sekarang??"Aku tak bisa membantah Abah. Kali ini Abah sangat kecewa dengan Mas Raka. Aku yang selalu bilang semua baik, ternyata harus menerima kalau Ibu mertuaku yang terlalu jujur ke Abah."Syukur mertua kamu orang yang jujur. kalau tidak? jadi apa kamu dan cucu Abah?"ummi mendekati, mengelus punggung Abah. Kutarik napasku sembari mengelus perutku yang
POV AISYA"Siapa, Sya?"Ummi bertanya dari arah dapur."Tidak tahu, Mi. Memang tak ada yang ngirim pesan main ke rumah?" Aku bertanya pada Ummi. Karena biasanya kalau ada keluarga yang datang, selalu mengirim pesan. Itu sudah seperti itu sejak aku kecil."Dilihat dulu...." Pinta Ibu. Maka aku pun bergegas, berusaha berdiri dari dudukku. Namun, tanganku ditahan Syerin. Dia malah memintaku duduk."Itu Mas Raka." Bisiknya."lah, lalu mobilnya?" Aku jelas bingung. Baru kali ini kulihat Mas Raka mengganti mobilnya."Punya ayah. Ayah baru datang tadi malam. Terus nanyain Kakak. Yah mungkin Mas Raka mau menjemput." Ucap Syerin.Oh rupanya mertua lelakiku baru saja kembali dari luar kota, dan dia mencariku.Aku tetap berdiri. Ingat selalu pesan Ummi H-1 pernikahan kala itu. Ummi berpesan padaku, baik buruknya Suami tanggungjawab istri menjaga nama baiknya. Pun seburuk apa pun suami, Istri harus tetap memberikan baktinya."Firaun saja sekejam itu, Asiah istrinya tetap memegang teguh perannya s
"Baca ini!" Mas Raka menyodorkan selembar kertas kepadaku selagi aku mempelajari pekerjaan freelance yang dikirimkan oleh Naima. Ya, sejak aku menikah dengan Mas Raka aku berhenti bekerja karena permintaannya. Namun, mau bagaimana pun tentu aku membutuhkan proses setelah melepas pekerjaanku yang cukup bergengsi itu. Bahkan pencapaian itu harus kulepas, karena memenuhi permintaannya itu.Yah, aku masih bekerja, meski pun sebagai freelance untuk kantor Pak Hazeem. Hal ini tak kuberi tahu mas Raka. Dia hanya tahu aku berhenti dan aktifitasku depan iPad hanyalah mengisi kekosongankuMas Raka adalah pekerja di tambang batu bara. Penghasilannya besar dan bisa memberikan kesejahteraan padaku. Namun, perlahan perubahan itu nyata justru di bulan ketiga pernikahanku."Apa ini, Mas?" Kuraih kertas dengan materai di atasnya. "Baca aja biar paham." Ucapnya meninggalkanku menuju ruang kerjanya yang terletak persis di samping kamar utama.Kuturunkan ipad-ku, lalu kusandarkan tubuhku penuh pada ba
Hari ini aku kedatangan Abah dan Ummi. Mereka sangat senang ketika semalam kukabarkan kehamilanku. Begitu pun kedua mertuaku. Keduanya pun sedang on the way ke rumahku sekarang."Yaa Allah, nak tak sabar rasanya ummi dipanggil nenek...." Ucap ummi, mengelus perutku yang masih datar."Pokoknya kamu akan ibu kirimkan asisten rumah tangga. Biar kandungan kamu aman." Mertuaku yang sangat perhatian itu sampai memutuskan untuk mempersiapkan seorang asisten rumah tangga."Janganlah, Bu. Mas Raka pasti tak mau. Aku juga nggak mau kehadiran asisten rumah tangga membuat aku malas bergerak." Pintaku, mencegah untuk memesan jasa asisten rumah tangga. Padahal mertuaku sudah sigap akan mengurus. Aku tinggal terima jadi saja."Nanti ibu yang bicara dengan Raka." Kalau sudah begini aku pun tak mau berdebat. Menjaga perasaan ibu mertuaku penting. Apalagi sejak tadi ummi sudah mengirimkan kode untuk tak berdebat panjang.Perihal asisten rumah tangga secara pribadi aku tak menyukainya. Sebab beberapa
"Hah, serius Sya? Sampai segitunya?" Aira tak bisa menyembunyikan wajah kaget dan herannya di depanku."Hanya tak mau kamu gemuk, Raka sampai rela turun ke dapur, nge-pack semua yang dibawa ummi dan mertua kamu? Duh, sumpah baru nemu suami modelan gini." Aira benar tak yakin. Jika Aira saja harus merespon begitu, lalu bagaimana denganku. Aku bahkan seolah mimpi saja berapa bulan lalu. Mimpi, kareran merasa di ratukan, dijaga perasaanku sebagai istrinya. Ternyata...."Apa alasannya?" Tanya Aira, memandangiku. Menunggu jawabanku."Yah, aku kurang yakin sama apa yang mas Raka bilang. Dia bilang sih, nggak menarik dilihat." Ucapku di depan wajah Aira.Aira yang tadinya duduk, kini berdiri. Dia nampak kegerahan dengan apa yang aku sampaikan."Aisya sayang..., Benar gue nggak nyangka Raka punya pikiran gitu. Memang kenapa dengan gemuk. Gemuk sedikit kalau hamil ya wajar. Namanya juga ada yang bertumbuh." Tatap Aira padaku. Aku hanya mengangkat bahu. Aku pun tak tahu harus apa sekarang.
"Bu, nggak usah repot lah, bawa makanan kemari." Kudengar Mas Raka bicara dengan ibu di ruang tamu."Memang kenapa? Aisya juga senang aja, kan? Ibu cuma mau memastikan Aisya mengkonsumsi makanan yang bagus untuk diri dan janinnya. Salah?"Hela napas mas Raka terdengar. Aku yang kebetulan duduk di sofa ruang tengah, dekat pintu sangat jelas mendengarnya. Mungkin Mas Raka pikir aku di kamar, karena memang pamit ke kamar tadi."Bu, aku hanya nggak mau Aisya jadi bergantung sama ibu, terus jadi kebiasaan. Nanti malah nggak tahu apa-apa." Ucap mas Raka. Aku tahu ini alasan dia agar ibu tak lagi membawa makanan."Jangan salah! Istri kamu itu paket komplit. Masak jago. Beresin rumah juga jago. Nggak mungkin sembilan bulan ibu dan umminya bantu, tiba-tiba nggak bisa apa-apa nanti. Kamu ini, ya...., Bukannya senang ibunya dekat dengan istrinya, malah seolah meminta ibu tak mikirin." Ibu mertuaku nampaknya tak suka mas Raka melarangnya datang membawa makanan."Bu, maksud Raka itu nggak mau ng
Malam telah larut. Dengkuran mas Raka sudah kudengar. Kuelus perutku yang terasa lapar. Sungguh, kenapa harus aku terjebak dalam kondisi pernikahan model begini. Tak pernah terbayang sebelumnya, ternyata Mas Raka punya sikap dan pandangan aneh begini.Saking tak tahannya dengan rasa lapar yang menyiksaku, belum lagi terbayang janinku yang andai bisa berteriak mungkin saja dia akan berteriak, maka kuberanikan diri turun dari kasur. Perlahan menuju pintu. Membukanya perlahan.Setelah berhasil keluar, aku pun harus menutupnya kembali rapat. Agar tak ada cahaya yang masuk ke dalam kamar. Beruntung Mas Raka setuju dengan permintaanku yang terbiasa tidur tanpa penerangan.Haaah. Kuatur napasku saat sudah berdiri tenang depan pintu. Membayangkan diri mengendap begini, persis pencuri di rumah sendiri.Perlahan aku menuju ke dapur. Aku ingat kalau ibu membawa camilan selain makanan berat. Maka, kubuka kulkas kucari roti mariam yang menggugah selera tatkala kelaparan begini.Kuambil empat bij
"Nggak terasa calon ponakanku sudah tiga bulan." Syerin berucap dengan tangan sibuk membuka buku pink yang kuserahkan padanya.Dia menatapku."Kak, ada beban jadi istrinya Mas Raka?"Syerin menatapku. Mas Raka izin ke luar ruangan karena menerima panggilan telepon."Beban?" Aku gantian menatap Syerin."Kak, usia kandungan seharusnya beratnya sudah sekitar 40 gram. Nah, ini kenapa beratnya kurang dari itu?"Kugigit bibirku, terpukul dengan ucapan Syerin barusan."Kalau kakak diet, please jangan egois. Janin ini nggak bisa diajak diet!" Ucap Syerin kesal. "Sudah banyak yang konsultasi, tapi tak ada kasus seperti kakak ini. Janinnya nanti lahirnya malah kecil, bisa jadi prematur, kekurangan gizi. Pokoknya banyak sebabnya jadi tolong perhatikan dia." Pinta Syerin padaku. "Mas Raka nggak membatasi kakak makan, kan?" Tatap Syerin lagi. Dia bertanya hati-hati padaku. Tubuhnya saja sampai condong ke arahku.Aku memilih diam. Syerin memicingkan mata, menatapku."Pasti Mas Raka nih, sebabnya.