Share

Minta Maaf??

Mas Raka pulang. Aku sendiri yang membuka pintu untuknya.

"Mas semalam nginap di mana?"

Aku bertanya ingin tahu. Kurasa pun wajar aku bertanya karena dia suamiku.

Mas Raka menghentikan langkah, memutar tubuh dan menghadap kepadaku.

"Di rumah Ibu." Balasnya dingin.

Aku tahu dia berbohong. Kalau memang dia di rumah Ibu pasti tadi Ibu cerita padaku.

"Makan siangnya aku siapkan, ya." Ucapku melangkah menuju ke arah dapur.

"Tidak usah repot. Tadi sudah makan di luar."

"Oh, okelah." Balasku lalu menarik langkah. Berbelok menuju ruang tengah. Aku akan melanjutkan pekerjaanku. Tadi Naima sudah mengirimkan pesan sekaligus mengirimkan gajiku.

Rupanya Mas Raka mengikuti ayunan langkahku. Saat dia melihat camilan di atas meja kerjaku, dia langsung mengambilnya.

"Mas, itu camilan buat anak kita."

Aku mendekatinya, mengambil kembali dari tangannya.

"Buat dia atau kamu? Lihat lengan kamu sudah gemuk begitu! Pipi kamu, badan kamu...." Mas Raka seperti orang frustasi, memegang lenganku, lalu mengitariku.

"Sekarang aku rela gemuk demi anak kita." Putusku di depannya. Membuat dia semakin panik saja.

"Tapi aku tidak pernah ridho kamu gemuk, Aisya!" Suaranya kini meninggi, persis semalam.

"Yah beri alasan yang masuk akal, Mas. Aku punya alasan mengapa aku sekarang bertambah berat badannya. Itu karena aku mengandung anak kamu. Dia butuh makan, butuh asupan. Makanya aku makan. Nah, Mas alasannya apa?"

Mas Raka menggenggam kedua tangannya hingga berbentuk kepalan. Sebenarnya ada apa sih dengan kata gemuk dan perubahan itu? Sesalah apa sehingga dia meresponya seperti orang yang putus asa?

"Kamu tidak perlu tahu alasannya apa. Pokoknya aku tidak mau kamu gemuk!"

KLEK!

Tepat setelah Mas Raka bicara begitu, pintu kamar Ibu terbuka. Mas Raka terkejut.

"I....Ibu?" Tanyanya terbata.

"Baru datang sudah ribut, Raka...."

"Ka...pan Ibu datang?"

"Pagi tadi. Bawain makanan buat menantu dan calon cucu Ibu." Terang Ibu mendekatiku.

"Malam nanti kita keluar. Kita ke dokter kandungan. Kamu harus tahu mengapa perempuan hamil mudah lapar." Ucap Ibu yang direspon Mas Raka dengan menggeleng cepat.

"Kemarin sudah, Bu. Tak usahlah ke dokter terlalu sering." Mas Raka menolak.

"Kalau begitu kamu tidak boleh melarang Aisya makan. Dia bisa makan apa saja, kapan saja selama dia hamil. Kamu sepakat?"

Mas Raka memandangku. Sorot mata itu jelas bertanya padaku. Tentang mengapa tak bilang jika Ibu ada di rumah.

"Ibu datang karena Syerin cerita semuanya. Kamu itu kok tega!" Suara Ibu sedikit lebih tinggi. Firasatku, akan ada perdebatan panjang jika tak dicegah.

"Bu, Aisya tidak apa-apa. Mas Raka mungkin sayang dan cintanya begitu. Tidak mau Aisya gemuk. Iya, Mas?"

Aku berharap dia membalas. Namun, semua hanya harapan. Mas Raka tak merespon pertanyaanku.

"Kalau Raka cinta sama kamu, seharusnya apa pun bentukan kamu dia terima. Apalagi ini anaknya." Ucap Ibu yang sebenarnya sepaham denganku.

Aku jadi penasaran alasan apa yang buat Mas Raka menikahiku, gentle datang ke abah dengan janji dan syaratnya.

Janji akan mencintaiku dan syaratnya agar aku berhenti bekerja.

Aku yang merasa dihargai, jelas tersanjung dan menyepakatinya. Tapi fakta ini??

"Aisya, kamu istirahat. Ibu mau bicara dengan Raka."

Dengan halus Ibu memintaku untuk meninggalkan mereka. Aku tak membantah.

šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ»

POV RAKA

Ibu memandangiku lekat. Kecewanya jelas terpancar di sana.

"Raka, seharusnya kamu bangga punya Aisya. Sekalipun ada masalah di tengah kalian dia tidak menceritakan pada orangtuanya." Ucap Ibu di depanku.

Aku tertunduk. Selalu kalah kalau sudah bicara dengan Ibu.

"Dengan kamu melarang dia makan, membatasinya. Kamu telah menzolimi dua orang sekaligus. Aisya dan anakmu."

"Tapi, Bu. Gemuk itu menyebalkan! Tak semua orang bisa menghargai. Aku tak mau nanti Aisya tak dihargai orang saat dia keluar rumah. Dipandang aneh dan seterusnya." Ungkapku di depan Ibu.

"Terserah kata orang. Kamu mikirkan pandangan orang padanya, tapi lihat apa yang kamu lakukan? Kamu sadari itu?"

Ibu menatapku dengan hela napas yang terus menerus.

"Jika itu yang kamu khawatirkan, kamu yang seharusnya tempat yang bisa menenangkan dia, tempat ternyaman untuk Aisya." Ucap Ibu padaku.

Aku terdiam. Ketakutanku selain itu sebenarnya karena rasa malu jika membawanya keluar rumah. Awal menikah dia menarik. Tingginya sangat proporsional dengan tubuhnya yang langsing.

Namun sekarang? Aisya yang lima bulan lalu jelas berbeda dengan Aisya yang sekarang. Tapi, tak mungkin alasan ini kuutarakan pada Ibu. Yang ada malah bisa jadi Ibu akan marah sekali padaku.

"Kamu menikahi Aisya karena karakter atau fisiknya?"

Degh!

Pertanyaan Ibu ini membuatku kaget. Kenapa bisa Ibu bertanya demikian?

"Bu, Raka mencintai Aisya." Aku mempertegas. Alis Ibu bertaut.

"Jika begitu jangan larang dia makan apa saja di kehamilannya. Kamu bisa?"

"Kalau dia gemuk gimana, Bu?"

"Ya wajar. Dia hamil anak kamu!" Ibu mempertegas. "Tak ada perdebatan, ikuti permintaan Ibu. Jujur Ibu tak mau ikut campur urusan rumah tangga kalian. Tapi, kali ini Ibu harus ikut campur karena menyangkut kehidupan yang ada di rahim Aisya."

Setelah berucap begitu, Ibu lalu meninggalkanku, masuk ke dalam.

"Jangan lupa minta maaf ke Aisya."

Ibu kembali lagi. Membuat aku terkejut saja.

Aku terduduk di sofa sendirian. Sebenarnya kalau mau dipikirkan semakin dalam. Aku jatuh cinta pada Aisya karena fisiknya.

Lalu sekarang, bagaimana caraku minta maaf???

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status