Share

Dukungan Mertua

Ucapan Syerin terus terngiang, membuat aku susah tidur. Sementara Mas Raka sudah mendengkur sejak berapa menit lalu.

Dia seolah tak memiliki beban dengan apa yang disampaikan Syerin padanya. Sama sekali. Bahkan membahasnya saja tidak.

Terbayang kasus beberapa ibu yang harus terpisah dengan anaknya karena ditahan di ruang NICU saja membuat aku prihatin. Masa iya anakku akan mengalami hal yang sama hanya karena keegoisan ayahnya ini?

Seingatku pun dia tak pernah mengelus perutku, kecuali saat kusampaikan padanya kehamilanku. Dia excited tapi tak bisa mengekpresikannya jelas karena ketakutan itu. Takut aku menjadi gemuk.

Ah, tidak! aku menggeleng kuat.

Mas Raka sudah kelewatan!

Aku perlahan mengambil posisi duduk. Menatapnya yang tidur menyamping ke arahku.

Lagi-lagi di jam begini rasa lapar memaksaku untuk bangun lagi. Aku marah pada Mas Raka dan sekarang aku tak bisa mengabaikan sedikitpun tentang tumbuh kembang janinku.

Aku harus makan sesuatu!

Kupastikan dia benar sudah lelap barulah aku turun dari kasur dan keluar dari kamar. Ini keputusanku. Sudah cukup tiga bulan kuturuti maunya, kuturuti perjanjiannya.

Kali ini aku harus mengambil keputusan berani, demi menghindari kemudharatan yang bisa terjadi kalau aku terus-terusan membatasi asupan.

Seperti kata Syerin, bisa saja membahayakan aku juga janin yang kukandung. Aku sama sekali tak menginginkan itu.

"Sayang, mau kemana?"

Sumpah, aku terkejut. Langkahku yang sudah hampir mencapai pintu tertahan. Aku berbalik. Dalam perabaan indera penglihatanku kulihat Mas Raka sudah dalam posisi duduk.

"Aku mau makan, Mas." Jawabku tanpa mikir lagi. Aku sudah pasrah. Sudah ketahuan, jujur saja sekalian.

"Kamu lihat jam sekarang?"

"Iya. Aku tahu. Jam setengah dua belas."

"Yah sudah. Sini tidur." Ajaknya.

"Mas maaf. Kali ini aku tidak bisa mengikuti aturan Mas. Anakku perlu tumbuh." Balasku lalu membuka pintu kamar. Keluar dari sana.

"Aisya!"

Yah, suaranya mulai meninggi. Ini kali pertama sejak menikah suaranya setinggi itu.

Aku terus melangkah ke dapur. Membuka kulkas lalu mengeluarkan dua buah telur ayam kampung. Membawanya ke depan kompor dan mulai merebusnya.

Pintu kamar terdengar membuka.

Mas Raka langsung mematikan kompor. Aku yang duduk di kursi memandanginya.

"Mas tolong hidupkan." Pintaku tetap sabar.

Mas Raka menjauh tanpa menghidupkan kompornya. Maka, aku pun berdiri dan menghidupkannya kembali.

"Sya, perjanjian sudah kamu tandatangani." Mas Raka mulai mengingatkan.

"Ya, aku sudah menandatanganinya. Anggap saja aku setuju ujung dari perjanjian itu." Ucapku santai, dengan getir hati yang kuat.

"Sya kamu...."

Mas Raka marah. Dia meninggalkanku masuk ke ruang kerjanya. Aku tak tahu dia sampai kapan di sana.

Bahkan selepas aku menghabiskan makananku, aku tak tertarik untuk mengajaknya kembali ke kamar.

Subuh pun saat aku terbangun, Mas Raka tak ada di sebelahku. Posisi bantalnya tetap sama dengan saat aku semalam tidur.

Ketika aku keluar kamar, lampu kamar kerjanya sudah padam. Berarti dia pun tak ada di sana. Maka sebelum aku mengambil wudhu, kuintip ke garasi. Mobilnya sudah tak ada.

Terserah kamu, lah Mas.

Bisik hatiku, mencoba menemukan ketenangan dalam sujudku.

šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ»

Sudah jam sembilan. Mas Raka pun tak pulang juga. Aku mulai gelisah. Perasaanku campur aduk. Semarah apa dia, hingga pergi dari rumah hanya karena aku makan malam.

Bel depan rumah berbunyi. Bergegas aku melihat siapa yang datang. Ibu!

"Apa kabar sayang?" Ibu langsung menanyai kabarku saat pintu sudah terbuka. Di kedua tangannya masing-masing menjinjing sebuah keranjang dari jerami.

"Bu ini...."

"Bekal buat kamu dan calon cucu Ibu." Ucap Ibu melewatiku, bergegas ke belakang.

"Oh, ya Aisya nanti malam Ibu antar periksa kandungan kamu, ya. Ibu penasaran."

Ah??

"Tapi semalam sudah dari tempatnya Syerin. Sudah periksa."

"Ibu belum lihat. Jadi Ibu mau kita ke dokter lagi. Ke dokter langganan Ibu sejak dulu kalau hamil."

Ibu terkesan memaksa. Aku merasa ada yang janggal di sini.

"Tapi Mas Raka...."

"Tidak usah tunggu dia. Kalau dia datang kita ajak saja."

Ibu melangkah mendekatiku. Tatapannya seolah bertanya. Seketika aku curiga kalau Syerin sudah mengatakan segalanya ke Ibu.

Aku harus bagaimana sekarang?

"Ibu mendukung kamu untuk semua keputusan yang akan kamu ambil." Ucap Ibu setelah lama berjeda.

"Maksud Ibu?"

Ibu memilih tak menerangkan panjang lebar. Ibu malah membuka salah satu keranjangnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.

"Kamu makan sayur katuk ini, ya. Ibu temani."

Aku memakannya dengan tangis tertahan. Sampai hari ini pun, Ummi-ku tak pernah tahu apa yang kujalani.

"Maafkan, ibu ya."

Ibu mengelus pundakku perlahan. Betapa cengengnya aku sekarang di depan ibu. Mau malu sudah terlanjur menangis juga.

"Jika Raka menyakiti fisik kamu sampaikan ke Ibu. Jangan ragu, jangan takut dengan Raka."

Satu hal yang aku syukuri Mas Raka tak pernah menyakiti fisikku. Semarah-marahnya dia, ya baru kali dia pergi dari rumah. Ibu tak perlu tahu hal itu.

"Makan yang banyak! Ibu ke depan sebentar." Ucap Ibu sembari mengeluarkan rendang untukku.

Ketika langkah Ibu tak terdengar lagi, aku menumpahkan tangisku, menggigit ujung bajuku untuk menahan agar suaraku tak terdengar ke Ibu.

Aku yakin Ibu keluar hanya semata ingin memberikan aku kesempatan melepas emosiku.

Namun aku salah duga. Ibu ternyata tak benar pergi. Ibu berdiri di dekat pintu, mengawasiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status