Waktu berlalu dengan cepat, Hasna telah menyelesaikan masa nifasnya, bayi Alya masih berusia dua bulan, ia mulai bekerja dan mencari koneksi penggelut fashion ternama sesuai arahan sang ibu.
Sementara Toha, semakin hari sikapnya makin menjadi. Jarang pulang, ucapan ketus serta hardikan setiap kali mereka berbincang membuat rasa cinta Hasna yang menggebu perlahan memudar.Seperti malam ini, Toha baru saja pulang setelah seminggu meninggalkan rumah, Hasna bersikap biasa, wanita itu sama sekali tidak perlu tahu, pun tak bertanya ke mana suaminya pergi, di mana dia menginap dan bagaimana kabarnya setelah sekian hari tak terlihat olehnya."Siapkan baju, Abang! Sebentar lagi ada meeting," ucapnya dengan raut wajah dingin tak berekspresi, kemudian berlalu ke kamar mandi. Pria berkulit legam itu bahkan tak menyapa Hasna dan putri mereka.Hasna menghela napas berat, "Bahkan kau baru saja pulang, Bang ...." gumamnya seraya melangkah ke arah lemari, kemudian menyiapkan baju suaminya.Tak lama Toha keluar hanya dengan lilitan handuk sepinggang, Hasna menelan salivanya, sebagai wanita normal, sudah berbulan-bulan ia tak merasakan lagi nafkah batin dari Toha, lelah dan jarang pulang terpaksa membuatnya harus memeluk malam sendirian, tak ada lagi kehangatan dan kasih sayang seperti dulu.Wanita itu berjalan mendekat, ia mencoba membelai dada Toha, tetapi lelaki itu malah menghujamkan tatapan tajam padanya, Hasna tahu arti tatapan itu, apa lagi kalau buka penolakan seperti yang sudah-sudah."Bang ... A-aku rindu," ucapnya tercekat, ia merasa sedih berbulan-bulan di abaikan, pandangannya lekat menatap wajah sang suami. Toha mendengkus pertanda kesal."Jangan berandai kalau kau belum berhasil menghilangkan garis dan gelambir-gelambir memuakkan di tubuhmu!" tegasnya, air mata Hasna luruh seketika. Sakit dan malu mendengar hinaan yang terlontar dari mulut suaminya. Harga diri sebagai seorang wanita seolah terinjak-injak, sebegitu hina kah ia di mata Toha? Padahal tubuhnya rusak juga karena melahirkan zuriah pria itu.Wanita dengan pasmina mocca itu menyapu air matanya, kemudian membalikkan badan demi melihat Toha yang sudah berpenampilan rapi, pria itu meraih kunci mobil di atas nakas, melirik ke arahnya sebentar kemudian melangkah pergi.Hasna tersenyum getir dengan pandangan lekat ke arah pintu, lagi, air menggenang di pelupuk matanya, ia segera menengadah menatap langit-langit rumah."Kamu berhasil, Bang! Berhasil membuat cinta di hatiku lenyap sama sekali," ucapnya mengudara, setelahnya ia berjalan menuju ranjang dingin yang dulu hangat dengan gelora cinta mereka, di sana bayi yang mulai terlihat menggemaskan tertidur dengan damai, tanpa mengetahui prahara orang tuanya.Wanita itu berbaring di sisi Alya, "Lihatlah, Bang! Kamu bahkan tak menghiraukan putri yang dulu sangat kita nantikan," ucapnya sendu, tangan bergerak menepuk pelan punggung bayinya, pandangan masih menerawang jauh.Bagaimana ia akan bertahan dengan keadaan seperti ini? Tak di anggap dan di rendahkan yang padanya tersemat gelar suami. Lelah berpikir wanita itu terpejam memeluk luka menganga yang baru tersiram cuka, oleh dia yang seharusnya memberi cinta.* Pagi hari, ketika fajar sidik tiba, wanita itu terbangun lantas gegas bersuci, menghamparkan sajadah kemudian mengerjakan shalat, menadahkan segala doa dan pinta, ia sadar sepenuhnya, semua adalah kehendak Allah, tiada daya dan upaya selain-Nya. Dia meminta diberi kesabaran dan kelapangan dada menghadapi masalah badai dalam rumah tangganya.Setelah menyimpan mukena, ia menuju dapur, kemudian merebus air untuk mandi putrinya selagi ia tidur, tak lama setelah itu, ia menanak nasi, kemudian memanaskan udang yang belum tersentuh oleh Toha, ia tersenyum getir, susah payah ia menghidangkan, tetapi pria itu sama sekali tak menghargainya. Hasna mengembuskan napas, ia langsung bergegas menuju kamar saat mendengar tangisan Alya. Dia menggendong bayinya, sesekali mengajaknya bercanda seraya berjalan ke arah dapur.Dia menyusui bayinya, kemudian bergegas mencampur air mendidih dengan air dingin. Setelahnya, wanita itu berlalu memandikan dan memakaikan Alya baju, wangi bedak bayi menggodanya untuk terus mencium bayi merah itu, semua masalah seakan menguap ketika melihat wajah jelita putrinya.Ketika tengah menemani Alya bermain, dari depan terdengar ketukan pintu, Hasna segera beranjak membukakan pintu dengan Alya di gendongannya.Netra memindai dari ujung kaki ke ujung kepala wanita dengan pakaian formal di hadapannya, penampilannya sangat elegan, dia berkulit putih, tinggi semampai dengan rambut tersanggul rapi."Permisi," ucapnya sopan, Hasna mengangguk, kemudian mempersilakan wanita itu masuk, mengarahkan ke sofa lantas mereka duduk berhadapan. "Sebentar, saya buatkan minum dulu," tutur Hasna, kemudian berlalu ke belakang membuat teh, tak lama ia kembali ke ruang tamu, menjatuhkan bobot tubuh di atas sofa setelah menghidangkan minuman untuk tamunya."Maaf sebelumnya, perkenalkan, nama saya Puspa," ucap wanita itu seraya mengulurkan tangan. Hasna mengernyitkan kening, ia tampak bingung, tapi tak urung menyambut uluran tangan itu.Wanita bernama Puspa itu tersenyum, "Anda Hasna putri Bu Rani 'kan?" tanyanya lagi, Hasna mengangguk."Benar, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Hasna."Tidak, kita belum pernah bertemu, saya baru saja kembali dari paris," ucap wanita itu masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Hasna manggut-manggut setengah bingung, siapa kiranya wanita di hadapannya kini."Saya salah satu relasi yang tertarik dengan produk butik Bu Rani," ucap Puspa seraya mengusap pelan pipi Alya, bayi itu sangat nyaman tertidur di pangkuan ibunya."Ah, ya! Apa yang bisa saya bantu, Bu Puspa?" tanya Hasna, ia baru paham setelah Puspa memaparkan siapa dirinya."Panggil Kakak saja, Hasna! Umur kita hanya berselang empat tahun, biar lebih akrab," ucap wanita itu, Hasna mengangguk keduanya sama-sama terkekeh pelan. "Begini, saya berniat mencari seorang desainer untuk bekerja di perusahaan Puspa Fashion Korps milik saya, apa kamu berminat?" tanyanya, wanita itu tersenyum ramah."Tapi bagaimana dengan bayi saya, Kak? Dia masih menyusu, mustahil ditinggal. Lagi pula saya tidak terlalu pandai mendesain baju, hanya kemarin saya menggambarnya untuk ibu, itu sangat buruk jika untuk perusahaan besar seperti punya Kak Puspa," tutur Hasna bernada menyesal, dalam hati wanita itu sangat berminat menjadi bagian dari perusahaan ternama itu, dari remaja ia sangat menggemari dunia Fashion dan bercita-cita menjadi desainer."Kamu enggak perlu khawatir, Hasna! mendesain tak perlu ke kantor, itu boleh dikerjakan di rumah. Dan, ya! tentang kualitas desainmu, sangat mengagumkan, kau tahu 'kan? Model itu meledak di pasaran bulan ini," ucapnya bersemangat, Puspa sangat berharap Hasna mau bergabung dengannya, bakat wanita itu sangat gemilang."Tapi ...." ucap Hasna ragu, ia sudah diberi kesempatan sebesar ini, sayang kalau di tolak."Sudah, Hasna! Jangan jawab sekarang, pikirkan saja dulu baik-baik, oke?!" serunya, kemudian berpamitan hendak pulang setelah bertukar nomor telepon, Hasna mengangguk pelan, lantas mengantar Puspa hingga ke ambang pintu, wanita itu memasuki mobil mewahnya kemudian melaju keluar setelah membunyikan klakson dua kali.Bersambung.Selamat membaca!*****Sore hari, Hasna diperbolehkan pulang, Yuta dengan setia menemaninya. Rani mendapat kabar bahwa mereka menginap di hotel semalaman, hingga tidak pulang. Hasna benar-benar menyembunyikan kebenaran tentang ia yang hampir celaka oleh Selena, wanita itu tak ingin ibu dan ayahnya khawatir.Tiba di rumah, Hasna segera istirahat, ia mengatakan sedang tidak enak badan, dua orang tuanya percaya saja, mereka membiarkan Hasna istirahat untuk beberapa saat."Mas pergi sebentar, ya?" Hasna mengangguk. Yuta mengusap lembut kepalanya, "Mas nggak akan membiarkan Selena begitu saja, dia akan membayar mahal semua ini," ucap pria itu dengan sorot dingin. Wanita yang tengah berbaring di ranjang itu mengernyit bingung."Maksud Mas gimana?" tanyanya, Yuta menggeleng, " Biar mas yang urus semua, kamu tunggu dan lihatlah," ucapnya dengan rahang mengeras, dia beranjak bangkit, namun Hasna menahan langkah pria itu dengan menarik tangannya."Tunggu, Mas!" Yuta berbalik, kembali duduk di s
Selamat membaca!*****Selena berjalan semakin dekat, wajah wanita itu penuh dendam, matanya gelap penuh amarah. Hasna mulai khawatir, ia memindai seluruh ruangan, sementara selena menyeringai licik.Hasna mengambil ancang-ancang, saat jarak mereka hanya satu langkah lagi, Selena mengeluarkan botol parfum dari tasnya, kemudian melemparkan ke belakang Hasna, walhasil cermin itu jatuh berhamburan seiring pekikan Hasna.Tawa mengerikan Selena menggema memenuhi ruang itu. Hasna ketakutan, bagaimana pun ia pernah menjadi korban percobaan pembunuhan, ketika melihat tawa Selena, seketika wajah psikopat Siska terbayang, 'Ya Allah, apa aku akan dibunuh untuk kedua kalinya?' batinnya."Selena, jangan nekat! Apa yang kamu lakukan?" pekik wanita berhijab itu saat melihat Selena mengambil sepotong pecahan kaca runcing."Ini ... bagaimana kalau bagian runcing kaca ini menembus lapisan kulitmu? Pasti sangat menyenangkan," ucapnya menyeringai, dia tertawa lagi."Tidak! Jangan Selena! Kau akan masuk p
Selamat membaca!*****Malam pesta kantor telah tiba, Yuta sedang bercanda dengan Alya di ruang tengah. Hasna tengah bersiap-siap di kamarnya, ia mengenakan gamis dengan bawahan kembang payung, kombinasi bahan polos dan sedikit kain tile pada bagian lengan kiri dan bagian depan atas.Dipermanis dengan tali pinggang bertabur payet kristal, Hasna tampak anggun dan berkali lipat lebih cantik. Apalagi ia merias wajahnya sedikit lebih bold, senada dengan gaun merah marun miliknya, sangat cocok untuk acara pesta malam hari, keduanya hendak membawa serta Alya, tetapi bayi itu menangis kejer karena mengantuk."Sudah, Nak! Kalian pergi saja, ya! Biar Alya sama ibu dulu, sepertinya dia mengantuk," ucap Rani, mereka akhirnya menurut juga, kemudian berpamitan pada Rani.———Di mobil, Yuta tak henti melirik wanitanya, rasa itu kian bertambah kala ia melihat betapa sempurna wanita di sampingnya. Keibuan, cantik, taat beragama, sukses dan sangat classy. Dia merasa sangat bersyukur dijodohkan Allah d
Selamat membaca!*****Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa sudah sebulan usia pernikahan Yuta dan Hasna, mereka hidup bahagia serta harmonis."Sayang, malam lusa kamu ikut mas ke pesta kantor, ya?" tanya Yuta, Hasna yang tengah mendraping gaun menoleh sesaat, mengangguk seraya melempar senyum."Oh, ya? baju yang kamu desain waktu itu sudah jadi?" tanya pria itu lagi."Sudah, Mas! Kamu mau pakai baju itu?" tanya Hasna ragu, ternyata ia benar-benar menepati perkataannya waktu itu. Pria itu mengangguk pertanda ia serius."Baiklah, nanti aku suruh jahit yang pas di ukuran badan kamu," terang wanita itu, Yuta pamit ke kantor setelahnya, hari ini akan ada meeting penting dengan Bimaswara. Tiga minggu lalu, saat perusahaan Yuta ingin mengakhiri kontrak kerja dengan Bimaswara, pria itu menolaknya, menuntut profesionalitas agar tak melibatkan masalah pribadi dan bisnis."Apabila Pak Yuta tidak nyaman dengan sekretaris saya, makan akan kami ganti, tolong jangan sembarangan mengakhiri kontrak
Selamat membaca!*****Pagi biru itu masih menyisakan syahdu semalam, dua insan yang baru mengecap indahnya ikatan halal masih bergelung dalam selimut, Hasna mengerjap saat ponselnya bergetar di bawah bantal, dengan mata setengah terbuka ia meraih dan menonaktifkan alarm yang selalu di aturnya agar tidak melewatkan shalat Subuh.Kedua sudut bibir ranum itu tertarik ke samping kala merasakan tangan kekar Yuta melingkari pinggangnya posesif, ia menyingkirkan perlahan, beringsut turun dari ranjang kemudian berlalu ke kamar mandi. Tak lama ia keluar dari sana, berjalan ke samping ranjang dengan kelopak mawar yang sudah berserakan. Dia mengulum senyum lantas segera mengenakan mukena."Mas, bangun! Shalat subuh dulu," lirihnya, Yuta mengerjap, lelaki yang masih bertelanjang dada itu mengulas senyum menawan dengan muka bantalnya. Dia merengkuh pinggang Hasna, menarik tubuh wanita itu hingga terjatuh kembali tepat dalam pelukannya."Eh!" seru Hasna terkejut, dia berusaha bangkit, tetapi Yuta
Selamat membaca!*****Dalam ruangan serba putih dengan dekorasi khas pengantin baru Hasna dihinggapi kecanggungan, terlebih Yuta berdiri dengan kedua tangan disaku celana, menatapnya tanpa kedip. Baju pengantin masih melekat di tubuhnya, ia hanya bisa membunuh canggung itu dengan menyapu pandang ke seluruh sudut ruangan.Tak dipungkiri, walau pun canggung wanita itu terpana dengan suasana yang begitu romantis, lilin beraroma terapi berbaris di sudut-sudut ruangan, menyuluh wajah dua insan yang baru sah dalam ikatan halal, ranjang ukuran king size berdiri kokoh di tengah ruangan, taburan kelopak mawar merah kontras dengan warna seprei putih gading menambah keindahan suasana.Yuta berjalan mendekat, tangan kekar itu melingkari perut wanitanya. Hasna terpaku, dapat dirasakan pria itu tubuhnya menegang, dia mengulum senyum."Kau ... mandilah lebih dulu," lirihnya pelan, serupa sapuan angin di telinga Hasna, wanita berhijab itu sampai menahan napas saking gugupnya. Yuta melepas lingkaran
Selamat membaca!*****"Ananda Yuta Bima Prasetya, saya nikahkan dan kawinkan kamu dengan Hasna Anandita binti Handoko dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas seberat tujuh ratus gram dibayar tunai.""Saya terima nikah dan kawinnya Hasna Anandita binti Handoko dengan mas kawin tersebut tunai.""Bagaimana saksi? Sah?""Sah!" Iringan doa untuk kedua mempelai menggema memenuhi aula, Hasna menitikkan air mata, suara lantang lelakinya tatkala mengucapkan ijab kabul membuatnya terharu.Dia dituntun hingga tiba di samping suaminya, mereka menandatangani surat nikah. Jari manis Hasna dipasangkan cincin sebagai tanda serah terima mahar, pergelangan tangannya juga dilingkari gelang emas nan indah, wanita berhijab itu meraih tangan Yuta kemudian menciumnya takzim. Pria itu membacakan doa sembari menyentuh kepala sang istri."Cium keningnya!" seru teman-teman Yuta. Wajah keduanya memanas, terlebih Hasna, ia masih malu dengan pria yang baru dikenalnya beberapa bulan terakhir. Yuta menye
Selamat membaca!*****Setelah dari kafe itu, Hasna lebih sering termenung, entah kenapa ia merasa sangat penasaran dengan Selena, kini ia menunggu informasi dari Puspa tentang identitas wanita itu dan apa hubungannya dengan Yuta.Dan seperti keinginannya, Puspa menghubungi wanita itu keesokan harinya, mereka sepakat bertemu bertiga dengan Arya, Puspa sengaja mengajak kekasihnya itu agar Hasna lebih puas menanyakan langsung pada pria itu.Hasna langsung berangkat tatkala Puspa mengirimkan lokasinya, ia menitipkan Alya pada Rani, beralasan ada hal penting yang harus di urusnya, ia sengaja tak memberi tahukan yang sebenarnya, takut sang ibu salah paham dan kepikiran."Hati-hati, Sayang! Besok adalah hari pernikahanmu, jaga diri baik-baik," ucap Rani mengingatkan, Hasna mengangguk seraya tersenyum lantas meraih tangan sang ibu, menciumnya takzim.———Setibanya di kafe tempat biasa bertemu Puspa, Hasna langsung masuk, netranya menyapu seluruh bagian dan meja, ia melihat lambaian tangan Pu
Selamat membaca!*****Keesokan harinya, Rusni mengantar uang itu ditemani Rita, mereka menjual mobil dan seluruh aset yang sudah terkumpul dengan kerja keras Toha selama ini, termasuk sertifikat rumah mereka gadaikan untuk mengumpulkan uang lebih banyak. Semakin banyak setoran, semakin banyak pula uang yang digandakan, pikir mereka.Tanpa menunggu lama, taksi yang mereka tumpangi melaju ke rumah Rosana, sesampainya dengan tergesa mereka masuk, tak sabar ingin menyerahkan satu tas besar uang ratusan juta itu pada Rosana."Cepat, Rit!" serunya mendekap tas berisi gepok rupiah itu dengan erat."Sabar, Bu! Kenapa buru-buru banget, sih!" ucap Rita kewalahan mengikuti langkah ibunya, halaman rumah yang luas agak sedikit jauh dari gerbang utama, walhasil mereka harus mengitari halaman lumayan lama."Sabar-sabar, kamu ini! Semakin cepat uang ini sampai di tangan Bu Rosana, semakin cepat digandakan, dan ... kamu tau artinya apa? Semakin cepat kita jadi miliuner, Sayang!" pekik wanita paruh ba