Share

DICERAI KARENA STRETCH MARK
DICERAI KARENA STRETCH MARK
Penulis: Nurhayati Yahya

Gara-gara Stretch Mark

"Dek! Kok perut kamu jadi begini?" ucap Toha bergidik ketika tak sengaja melihat bagian perut istrinya yang menghitam dan dipenuhi stretch mark, saat wanita itu menyingkap bajunya, guna memberi ASI bayi mereka yang baru berusia satu pekan.

"Ini wajar, Bang. Kan, adek baru melahirkan anak kita, Nanti juga hilang sendiri," sahut Hasna setengah hati, wanita itu merasa malu dengan tatapan sang suami yang terlihat jijik dengan kondisi tubuhnya.

"Iya, tuh! Pokoknya nanti habis masa pantang, abang tidak mau tahu, ya! Itu harus bersih!" titahnya seraya berlalu pergi meninggalkan Hasna--wanita yang dinikahinya dua tahun lalu.

Wanita berkulit kuning langsat itu menghela napas besar, tak urung hatinya terasa nyeri. Alih-alih menghujani dengan cinta dan kasih sayang setelah ia memberi seorang anak, suaminya malah membahas kondisi tubuh yang tak semolek dulu setelah ia melahirkan putri pertama mereka.

Jika mengingat masa-masa penuh perjuangan yang telah mereka lalui, Hasna menyayangkan sikap Toha barusan. Dulu sebelum mereka dikaruniai seorang anak, ia harus menebalkan telinga mendengar hinaan dan cacian dari saudara perempuan Toha dan ibunya.

Berbagai julukan tersemat padanya, tukang santet, wanita dengan sumur kering, dan kata-kata pedas lainnya menjadi makanan setiap hari. Dulu ia hidup menumpang di rumah mertuanya karena Toha belum punya pekerjaan tetap.

Hingga suatu hari, Hasna mengajak Toha pindah ke rumah kontrakan, awalnya pria berkulit legam itu menolak. Namun tak urung menuruti ketika Hasna mengatakan akan membayar kontrakan itu semampunya.

Hasna memiliki usaha di bidang berjualan online, ia mempromosikan baju-baju dari butik orang tuanya. Wanita tinggi semampai itu tak pernah memberitahukan perihal usaha orang tuanya pada sang suami.

Toha hanya mengetahui Hasna seorang anak pedagang baju keliling saat ia melamar, saat itu usaha orang tuanya memang belum berkembang pesat seperti sekarang.

Tangisan Alya membuatnya tersadar dari lamunan, ia segera menimang bayi merah itu, berusaha menenangkan dalam ayunan, wanita itu melantunkan nasyid agar putrinya segera tertidur.

Genap tujuh hari ia melahirkan, tetapi Rusni--ibu mertua dan ipar-iparnya yang bermulut pedas itu tak pernah menampakkan batang hidungnya, dulu mereka sangat gencar menghasut Toha agar menceraikan Hasna, terlebih ibunya, wanita paruh baya itu berdalih ingin menimang cucu dari anak lelaki satu-satunya. 

Sekarang jangankan membantu mengurus, datang menjenguk saja ia tak pernah. Hanya pada hari kelahiran Alya ia berkunjung sesaat, tak ada gurat bahagia di wajah renta itu, tidak seperti Rani--ibu Hasna yang selalu menemani dan mengurus Alya dan dirinya selama masa nifas.

Kini, Toha bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti, dua bulan lalu pria itu dipromosikan menjadi wakil direktur karena kesungguhannya dalam bekerja.

Sejak saat itulah suaminya berubah, ia tak sehangat dulu ketika mereka tak punya apa-apa. Bahkan ketika ibu dan saudarinya menyerang Hasna dengan kata-kata pedas ia selalu berdiri paling depan membela, tetapi Toha seolah kehilangan pribadinya sejak kenaikan jabatan itu, ia menjelma jadi seorang pria yang acuh atas segala sesuatu yang menyangkut rumah tangga mereka.

Pernah Hasna menegur suaminya, sore itu Toha baru saja pulang kerja, seperti biasa, wanita itu menyambut dengan segelas kopi dan ciuman takzim pada punggung tangannya, ia membawa tas kerja sang suami, lalu menyiapkan keperluan mandinya, setelahnya ia kembali ke teras rumah menemani Toha.

"Bang! Kok adek merasa hubungan kita sudah tidak seperti dulu ya? Abang berubah sekarang," ucap Hasna memandang lekat wajah Toha.

"Berubah bagaimana, sih, Dek?" sahut pria itu mengernyit kening kesal, akhir-akhir ini ia merasa Hasna semakin menjengkelkan.

"Ya, berubah enggak seperti dulu lagi. Sifat penyayang dan selalu memanjakan adek menguap entah kemana, jujur adek rindu dengan Abang yang dulu," sahut wanita itu menerawang jauh ke langit senja, sesekali mengelus lembut perut buncitnya yang sudah genap delapan bulan.

"Ck! sudah, jangan aneh-aneh kamu! Abang pulang kerja capek tau enggak? Huh! Bikin emosi saja kerjamu," ucap pria itu seraya meletakkan cangkir kopi dengan kasar, ia menyambar kunci mobil kemudian berlalu pergi meninggalkan Hasna dalam kepiluan.

Sejak saat itu, Hasna tak lagi menyinggung tentang perubahan sikap suaminya, ia mencoba bersabar dan berpikir positif, menganggap bahwa saat ini hubungan mereka tengah berada di fase lebih mementingkan tanggung jawab ketimbang mengungkapkan cinta dengan perlakuan manis, seperti awal penikahan dulu.

Hingga suatu hari Hasna menemukan slip hotel di saku celana Toha, tertera jadwal chek-in dan chek-out hanya berselang empat jam, ia mengernyit heran, bukankah selama ini suaminya kerja? Kenapa ia menyewa hotel dalam durasi singkat? Pikirnya , ia menyimpan baik-baik slip itu, bermaksud menanyakannya saat Toha pulang.

Tak lama setelah ia menyelesaikan pekerjaan rumah, Toha pulang dengan tergesa-gesa. Pria itu menaruh asal baju kerjanya kemudian berlalu ke kamar mandi. Hasna tampak bingung, Tak lama ia keluar dari dalam, kemudian memakai baju dengan terburu-buru.

"Mau ke mana, Bang?" tanya Hasna seraya mendekat, pria itu tengah menyisir rambutnya.

"Ada pertemuan penting dengan klien, Nanti abang pulang malam, jangan menunggu, tidur saja." sahut Toha, kemudian menyemprotkan parfum di tubuhnya.

"Tapi HPL tinggal menghitung hari, Bang! Kok kamu tenang banget ninggalin aku sendiri di rumah?" ucap wanita itu membuang muka, dia marah, ini sudah keterlaluan. Toha seolah tak peduli dengan keselamatan istri dan calon anak mereka.

"Tinggal telepon apa susahnya, sih? Kamu makin hari makin susah diatur Hasna, aku bosan tau enggak?" ucap Toha menatap tajam istrinya.

"Aku susah diatur? Yang ada kamu, Bang! Sekarang makin enggak peduli sama aku," ucap Hasna dengan napas memburu, ia menetralkan detak jantung yang berpacu lebih cepat, kemudian beralih melayangkan tatapan tajam pada Toha.

"Dan ini Apa?" tanya wanita itu lagi, ia menunjukkan slip hotel itu di depan wajah Toha, seketika wajah pria itu pucat pasi. Lalu secepat kilat meraih kertas di tangan istrinya, menyobek hingga ke bagian terkecil.

"Jangan kurang ajar kamu Hasna! Itu bukan apa-apa. Ah sudahlah, bicara denganmu membuat darahku naik saja," sahut pria itu meraih kunci mobil di atas nakas, kemudian berlalu meninggalkan debuman pintu yang cukup keras.

Hasna terduduk dibibir ranjang, tak menyangka respon sang suami separah itu. Benarkah bukan apa-apa? Lalu kenapa mwrespon dengan panik? Pikirnya. Setelah hari itu, ia lebih memilih diam walau pun tak nyaman.

Dan sekarang setelah kelahiran putrinya ia telah berkomitmen akan mencari penghasilan sendiri diam-diam tanpa sepengetahuan Toha, entah mengapa hatinya berkata ia tidak bisa lagi mengandalkan suaminya.

Tak lama setelah menidurkan Alya, wanita itu menghubungi sang ibu, hanya pada wanita itulah tempat  ia mengadu. Mereka berbasa-basi sejenak, sebelum akhirnya Hasna menyampaikan niatnya.

"Bu! Hasna mau kerja di butik kita, boleh?" tanyanya.

[Tentu saja boleh, Nak!] ucap Rani antusias, selanjutnya Hasna mewanti-wanti sang ibu agar tak ada seorang pun yang tahu tentang rencananya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status