Ketika tiba di rumah sakit, ternyata Briana sudah dalam keadaan pembukaan lima. Dirga tidak ingin meninggalkan Briana sendirian dan bahkan bersikeras menunggu sampai bayinya lahir, meskipun Davira sudah datang dan berterima kasih padanya karena telah mengantar Briana.
Davira masuk ke ruangan bersalin untuk menemani Bri, sementara Dirga menunggu di luar dengan perasaan cemas. Beberapa jam kemudian, Briana berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat secara normal. Setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Dirga menemui Briana dan bayi kecil yang tertidur pulas di pangkuan Davira.
"Bri, selamat ya. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu," kata Dirga sambil mengusap rambut Briana.
"Terima kasih, Pak." Briana hanya tersenyum dengan paksa, lalu terdiam.
Air matanya tiba-tiba mengalir begitu saja. Perasaan sesak yang selama ini berusaha dia lupakan, kini kembali menghampiri dirinya.
Anak itu memiliki mata coklat seperti dia, rambutnya sedikit bergelombang, dan warnanya tidak hitam seperti miliknya. Bentuk hidung dan bibirnya juga sama persis seperti si brengsek.
Mengapa anakku sangat mirip dengannya? Bisakah aku menerima kenyataan ini dan menjalani hidup dengan wajah yang sangat aku benci?
"Bri, kenapa kamu sedih? Kamu ingat mantan suamimu, kah?" tanya Dirga yang duduk di samping Briana.
"Bri, sudahlah, nggak usah dipikirin. Kata orang, wajah bayi itu berubah-ubah. Nanti juga lama-lama pasti mirip kamu kok, toh kamu yang hamil dan melahirkan dia. Jangan pedulikan si Gian brengsek itu." Kata Davira berusaha menenangkan Briana.
"Vir, jangan sebut namanya. Gue benci," teriak Briana dengan marah, tanpa memedulikan bahwa suaranya bisa membangunkan bayi kecil itu.
"Maaf, maaf."
***
Sejak kejadian malam itu, Gian yang harus mengejar pendidikan S2 di luar negeri terus dihantui perasaan bersalah. Meskipun dua tahun berlalu, Gian belum juga kembali. Dia dipaksa orang tuanya untuk bekerja di perusahaan asing tanpa menggunakan nama besar keluarga mereka. Setiap malam, ia merasa bersalah atas tindakannya. Namun, keadaan juga memaksanya untuk tidak bisa mencari Bri, wanita yang dicintainya.
Gian, yang dulunya bodoh dan salah menilai Briana sebagai seorang pelacur, akhirnya menyadari kesalahannya setelah menemukan noda merah di sprei yang ditinggalkan Briana. Noda itu menjadi saksi bisu atas kesalahannya sebagai seorang pria.
Dering ponsel yang berdering membuyarkan lamunannya, dia melihat panggilan video dari Daffa, sahabatnya semasa kuliah di luar negeri.
"Hai, Gian. Wah, makin jelek aja itu muka," sapa Daffa.
"Hei, Daffa, lo jelek. Tunggu saja minggu depan, Gue akan pulang ke Indonesia. Gue yakin akan lebih ganteng daripada lo," balas Gian sambil tertawa.
"Sialan lo. Eh, by the way, apakah lo benar-benar akan pulang? Itu bagus, gue mau memamerkan sesuatu," jawab Daffa sambil tertawa pula. Dia kemudian memamerkan ruang kerja yang kini menjadi miliknya, sebagai wakil direktur.
"Apa lo udah jadi direktur?" tanya Gian.
"Wakil direktur, bego! Gue menggantikan Kak Dirga. Lo harus datang ke sini suatu saat," jawab Daffa.
"Tentu saja." Ucap Gian.
"Permisi, Pak. Ini laporan bulan Juni yang Bapak minta."
Kamera ponsel Daffa merekam seorang wanita yang baru saja memasuki ruangannya. Gian sangat terkejut saat melihat wajah wanita itu. Beberapa saat kemudian, Daffa mematikan panggilannya.
"Briana? Apakah itu benar-benar Briana? Akankah dia memaafkanku setelah empat tahun berlalu?"
Setelah melihat wajah Briana meskipun hanya sebentar, hati Gian semakin gelisah. Dia memutuskan untuk segera pulang dan mencari Briana untuk meminta maaf. Gian segera mengunjungi Daffa untuk memastikan apakah wanita yang muncul di kantornya adalah Bri, wanita yang kesuciannya telah dirampok secara paksa olehnya.
"Lo bilang lo bakal pulang minggu depan, ini hanya lelucon, kan?" cela Daffa saat Gian tiba di apartemennya.
Gian, yang belum sadar bahwa dia sudah menjadi ayah, langsung menuju ke Jakarta setelah tahu tentang Briana.
"Apa lo udah mendapatkan informasi tentang wanita itu?" Gian tidak menjawab, justru dia kembali bertanya kepada sahabatnya, Daffa.
"Bri, maksud lo? Apa lo tertarik padanya? Lupakan saja, dia akan menikahi Kak Dirga." Jawab Daffa.
"Apa!?" Gian hampir berteriak karena terkejut. "Jadi Briana sudah punya calon suami?"
"Kak Dirga mengatakan begitu," jawab Daffa santai.
Mendengar kabar tersebut, Gian merasa sangat kecewa. Hatinya terasa hancur. Sekali lagi, kesempatan untuk memiliki Briana hilang dari genggamannya.
"Dari mana lo mengenalnya?" tanya Daffa setelah melihat Gian hanya terdiam.
"Kami teman sekelas di SMA." Jawab Gian.
Sejak kelahiran anak yang tidak diinginkan itu, Briana mulai menjalani hidup bersama putranya dan Davira. Davira, yang masih menjalani karir sebagai artis, dengan ikhlas membantu Briana dalam membesarkan anak laki-laki yang diberi nama Ethan. Bahkan, Davira yang mendorong Briana untuk mendaftarkan Ethan ke yayasan yang didedikasikan untuk merawat dan menjaga anak selama orang tuanya bekerja.
Davira sering menemani Ethan bermain, ia akan menjemput Ethan di tempat penitipan selama ia tidak sibuk, dan kemudian mengantarkannya pulang jika Briana belum pulang. Meskipun ibunya melarang, Davira sangat menyukai Ethan. Rasa sukanya pada bocah itu membuat Davira sering berbohong kepada ibunya sendiri demi bisa bertemu dengan Ethan.
Pagi ini, saat masih sangat pagi, Davira sudah datang ke rumah kontrakan Briana. Dia langsung mencari keberadaan Ethan.
"Ethan, Tante merindukanmu," kata Davira sambil memeluk Ethan yang baru saja selesai sarapan.
"Tante sudah lama tidak datang ke sini, Ethan juga kangen Tante, tau,?" balas Ethan sambil membalas pelukan Davira.
"Hari ini, Ethan hanya bersama Tante ya, Tante bosan dan tidak punya rencana lain. Tidak perlu pergi ke tempat penitipan hari ini," kata Davira sambil melepaskan pelukannya.
"Tapi, nanti Mama marah, nggak?" tanya Ethan dengan wajah polosnya.
"Mau kemana?" tanya Briana yang sudah bersiap dengan pakaian kerjanya.
"Eh, Bri. Gue mau ngajak Ethan pergi jalan-jalan, boleh kan? Hari ini gue nggak ada kerjaan. Malam ini gue juga mau menginap di sini," jawab Davira.
"Lo berantem sama Mama lagi ya?" tebak Briana.
"Iya, begitulah."
"Baiklah, terserah lo. Ethan, jangan makan coklat dulu, tadi malam Mama melihat gigi kamu mulai berlubang," pesan Briana sambil menuangkan nasi goreng ke piring, satu untuk dirinya dan satu untuk Davira.
"Ih, Ethan tidak menyikat giginya ya," ejek Davira sambil mengetuk pipi bulat Ethan dengan ujung jarinya.
"Ethan sudah menyikat giginya, Tante. Itu coklatnya yang nakal, menempel di gigi Ethan," bela Ethan.
"Sudah, Mama harus pergi bekerja sekarang. Hari ini, kamu bersama Tante Vir ya, hati-hati dan jangan nakal!" Briana mencium pipi Ethan sebelum berangkat kerja dengan motornya.
Setelah tiba di kantor, seperti biasanya, Briana langsung menuju ruangannya. Berkat kinerjanya yang bagus, Dirga mempromosikan Briana menjadi kepala bagian administrasi.
Sebelum makan siang, Briana diundang oleh Dirga ke ruangannya.
"Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Briana dengan ramah, karena dalam urusan profesional, dia memang ahlinya.
"Bri, nenekku ingin aku membawa calon istriku ke rumah. Kapan kamu bisa?"
Briana menatap laki-laki yang kini memegang botol di tangannya. Botol itulah yang tadi ditendang Ethan sampai akhirnya mengenai kepala laki-laki itu.“Kenapa dia ada di tempat ini?” batin Briana."Saga, bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanya Briana.Saat mereka masih bersekolah di SMA, hubungan Briana dan Saga berlangsung cukup lama. Mereka berpisah saat Saga kuliah di luar negeri, dan akhirnya mereka bertemu kembali sebelum Briana menjalin hubungan dengan Gian. Sayangnya, Briana menjauhi Saga tanpa memberikan alasan yang jelas. Saat itu, Briana merasa sangat kotor dan tidak pantas bagi Saga."Aku tinggal di sini, Bri. Hai, Zee," sapa Saga bayi kecil yang ada di kereta dorong, yaitu bayi Mutia yang sudah lama mengenal Saga. "Briana, apakah dia temanmu, Mut?" tanya Saga kepada Mutia."Dia tetangga baru, Mon. Bagaimana mungkin kamu belum tahu? Rumah di ujung sana, sekarang dimiliki oleh Mbak Briana," jawab Mutia. "Aku duluan ya, seper
"Mommy, puasa itu apa?" Ethan selalu penasaran dengan kata-kata baru yang dia dengar. Apalagi jika kata-kata itu tampak menarik baginya."Em, puasa itu, menahan diri, Sayang. Menahan diri dari makan, minum, marah-marah. Intinya, puasa adalah tentang menahan diri. Apakah Ethan mengerti?" tanya Briana."Iya, Mommy. Ethan mengerti kok. Berarti Daddy tidak akan makan Mommy, bukan?" tanya Ethan, yang tampaknya masih ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut."Buayanya yang puasa, Ethan. Kamu memang seperti Kancil," kata Gian."Biarkan, Kancil itu cerdik. Tidak seperti Daddy, Buaya. Lebih baik jadi Kancil daripada Buaya. Saling menjilat adalah tindakan Buaya." Ethan sepertinya tidak lagi berpihak pada ayahnya setelah insiden 'dimakan Buaya' yang membuat leher Briana merah. Ethan masih waspada, takut kejadian itu terulang."Kita akan lihat saja nanti. Pasti Buaya bisa mengalahkan Kancil. Buaya adalah hewan buas, sedangkan Kancil kecil, pasti kalah." Gian
Gian, Briana, dan Ethan sudah mengenakan pakaian rapi saat mereka turun ke lantai bawah. Di meja makan, Mama, Papa, dan nenek Gian sudah menunggu. Briana merasa bersalah karena tidak membantu membuat sarapan."Maaf, Tante. Ehm, maksudku Mama. Maaf, ya Bri tidak membantu bikin sarapan," ucap Briana dengan perasaan bersalah.Gian memberikan tatapan pengertian pada Briana. Dia tahu bahwa Briana masih merasa canggung tinggal bersama keluarganya. Mungkin nanti dia akan membawa Briana dan Ethan pulang ke rumah mereka sendiri agar Briana merasa lebih bebas dan tidak kaku."Tidak apa-apa, Sayang. Bibi sudah masak kok. Ayo kita sarapan!" ajak Mama Dona.Briana menarik kursi dan duduk bersama keluarga Gian."Kami mengerti kok. Ini wajar untuk pengantin baru. Tidak usah sungkan, ini juga adalah rumahmu," sahut nenek Gian.Gian tersenyum dan menggenggam tangan Briana. Mereka saling menatap, menyiratkan bahwa Gian memahami perasaan Briana."Mengap
Gian sudah sangat dongkol saat ini. Ia hanya bisa merebahkan tubuhnya sambil memijat kepalanya yang terasa sangat pusing. Berkali-kali ia menggaruk kepala, bingung harus berbuat apa. Ethan masih menangis karena melihat tanda merah di leher mommynya.Sampai akhirnya, Gian membelakangi Ethan dan Briana, lalu ia menggigit guling yang dipeluknya."Udah dong, Ethan, nggak usah nangis terus. Mommy aja nggak kenapa-napa. Kok kamu yang nangis." Briana menghapus air mata putranya yang berjatuhan."Ethan sayang Mommy. Kenapa Daddy gigit, Mommy?" Ethan masih terisak."Ethan, mommy bilang digigit nyamuk ya, digigit nyamuk. Ethan nggak percaya sama Mommy?" Briana bertanya dengan nada yang tegas.Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar Gian. Dengan malas, Gian membuka pintunya dan melihat mamanya di balik pintu."Ethan kenapa? Kayaknya kencang banget nangisnya." Mama Dona mencoba mengintip ke dalam kamar Gian. Ada Briana yang sedang memangku Ethan yang me
"Papa, jangan pergi! Jangan tinggalkan aku. Aku sangat menyayangi Papa," Briana terus menangis sambil memeluk erat tubuh papanya yang terbaring. Wanita yang baru saja menjadi seorang istri itu terus tersedu. Ia memang marah, tapi bukan berarti ia siap kehilangan papanya. Gian terkejut dengan apa yang sedang dilakukan Briana. Laki-laki yang baru saja menikahi pujaan hatinya itu langsung memencet tombol bel untuk memanggil dokter. Semua orang tentu saja panik. Begitu pun dengan Davira dan ibunya. Papa Gian meminta segelintir orang yang menjadi saksi pernikahan Gian dan Briana untuk pulang. Tidak lama, dokter datang untuk memeriksa keadaan Pak Leo. Gian mengajak Briana untuk menunggu di luar. Ia memeluk Briana yang masih sangat syok. "Gi, Papa." Ucap Briana sambil terus menangis. "Papa pasti baik-baik saja, Bri. Kita doakan semoga dokter bisa menyelamatkan Papa." Kata Gian menenangkan Briana. Briana menangis dalam pelukan Gian yang kini m
Briana menolak saat Davira memintanya untuk pergi ke rumah sakit. Bagi Briana, apa pun keadaan papanya saat ini, itu tidak akan mengurangi rasa sakit hatinya terhadap sang papa. Dia sudah terlanjur kecewa, dan kecewanya itu sudah sangat mendalam.Briana baru saja selesai memandikan Ethan. Dia sebenarnya ingin pulang, tapi Gian melarangnya dengan alasan pekerjaan. Sebagai asisten pribadi Gian, Briana harus mendampingi Gian saat jam kerja, terutama saat Gian sedang sakit."Jadi aku tidak perlu pulang? Tidak perlu mandi? Tidak perlu ganti baju?" keluh Briana sambil mengganti pakaian Ethan. Tentu saja Ethan memiliki pakaian yang cukup, karena oma dan opa-nya baru-baru ini membeli banyak pakaian dan mainan untuknya."Itu mudah, Bri. Nanti aku minta Faris untuk mengurus semuanya. Dia akan datang ke sini dan menyelesaikan pekerjaanku," jawab Gian.Briana menyelesaikan mengenakan pakaian untuk Ethan. Dia mengambil piring makanan yang ada di lemari, lalu mulai men