Perkataan Tomi yang ingin meminjam uang padanya, membuat wedang jeruk yang Didit minum untuk meredakan rasa pengar dari pengaruh alkohol semalam, menyembur membasahi lantai. "Buat apa?"
"Kan, udah gua bilang buat modal usaha," jawab Tomi.“Usaha apa?” tanya Didit dengan kedua alis menyatu. “Lo jangan aneh-aneh, ya, Tom. Udahlah, sekarang, kan Lo kerja di bengkel gue. Meski bayarannya nggak besar, gua rasa cukup untuk nafkahin Mala dan Danis.”“Ayolah, Dit. Satu juta … aja!” Tomi memelas.“Lo mau ikut trading abal-abal lagi, ya?” tebak Didit. “Mending nggak usah, utang Lo sama Bang Oji udah membengkak kayak gajah. Lo nggak kapok,” tutur Didit.“Justru itu. Gua mau usaha biar utang gua cepet lunas. Jadi, pinjamin modal dulu, ya. Lo bisa potong dari gaji gua, dah,” rayu Tomi.“Beneran, ya, potong gaji,” ucap Didit.“Suer.” Tangan Tomi membentuk huruf V.“Bukannya apa-apa. Lo tau ndiri, kan ini uang bengkel.”“Iya, gua tau. Maka dari itu, Lo bisa potong dari gaji gua nanti,” tutur Tomi.“Siangan, ya. Soalnya gua lagi nggak ada cash. Mau ambil di ATM pala gua masih kliyengan.”“Sip.”“Lo masih kliyengan juga nggak?” tanya Didit.“Nggak, sih. Kenapa emangnya?” Efek alkohol di tubuh Tomi memang tidak begitu terasa karena pria itu sengaja tidak banyak minum.“Lo buka bengkel, ya,” kata Didit.“Emang Lo mau kemana?”“Gua mau tidur. Nanti siangan dikit gua nyusul sekalian bawa uang. Pusing di kepala gua belum sepenuhnya hilang. Bisa-bisa salah pasang baut nanti. Gua dobelin, dah, gaji hari ini.” Didit berkata sembari memukul kepalanya yang terasa sakit.“Siap! Kalau gitu, mah.”Mendengar tawaran dari Didit, Tomi langsung setuju. Kapan lagi dapat bayaran dobel. Lumayan bisa buat tambahan modal untuk usaha yang dia maksud.Hari ini, keberuntungan bertubi-tubi menghampiri Tomi, kerja dibayar dobel ditambah ada pelanggan yang memberikan tip lumayan besar untuknya. Pria itu bilang pekerjaan Tomi bagus dan memuaskan.Pria yang mengaku memiliki usaha jual beli mobil bekas itu juga bilang, mobil yang diservis di bengkel Didit selalu terjual karena pelanggannya langsung jatuh cinta dengan performa mesinnya yang seperti baru.“Terima kasih Mas tipnya,” ucap Tomi.“Sama-sama, Mas. Pekerjaan Mas memang bagus. Jadi, saya puas,” ucap pria dengan celana pendek dan kaos hitam.“Oiya, kita belum kenalan. Padahal, Mas-nya sudah sering kemari.” Tomi mengelap tangannya yang kotor dengan kain sebelum mengajak pria berkulit putih itu bersalaman. “Saya Tomi.”Pria dengan cukuran rambut cepak menyambut uluran tangan Tomi. “Senang berkenalan dengan Mas Tomi, saya Niko.”Kedua pria yang baru saja berkenalan tadi mulai mengakrabkan diri.Setelah Niko beranjak, Tomi kembali sibuk dengan ponselnya. Namun, ada yang berbeda kali ini, bukan judi online yang tengah dia mainkan. Sesuatu yang lebih penting, yang bersangkutan dengan usaha yang akan dia jalankan.Ponsel Tomi berdering, melihat nomor yang menghubunginya Tomi bersorak, “Yes!” Tomi mengepalkan tangan lalu menariknya ke belakang. Segera digeser ikon warna hijau diponselnya.“Ekhem.” Tomi berdehem, mengatur suara seolah akan bernyanyi padahal hanya menerima telpon.“Hallo.”“Ya, benar. Saya yang tadi mengirimkan pesan.”“Oh, jangan khawatir. Barang dijamin grade A.”“Dia single … lebih tepatnya janda.”“Pokoknya, Abang terima beres.”“Kalau semua lancar, malam ini barang sudah sampai ketempat Abang.”Panggilan terputus, itulah jawaban yang diberikan oleh Tomi kepada seseorang di seberang sana.“Tinggal tunggu duit dari Didit. Dan semuanya beres. Sebentar lagi lunas hutangku.” Senyum di wajah tampan Tomi sangat menyebalkan kali ini.Matahari sudah mulai turun dari peraduan, semburat jingga mulai nampak mewarnai langit. Bengkel lumayan ramai hari ini. Tomi yang sendirian sempat kewalahan karena harus melayani pelanggan sendirian.Berkata akan menyusul Tomi di siang hari, nyatanya hingga sore Didit belum menampakkan batang hidungnya.“Dasar si Didit ngomongnya siang mau datang. Ini sampai sore nggak muncul-muncul juga,” gerutu Tomi. Dia memasukkan peralatan bengkel ke dalam kotak kayu yang berukuran besar.“Huh, akhirnya, kelar juga.” Tomi berkacak pinggang lalu mengusap peluh yang keluar dari pori-pori dahinya.“Wah, dah rapi aja, nih,” ucap Didit yang memasuki bengkel setelah memarkir motornya.Helaan nafas keluar dari hidung Tomi. “Gua baru tau, siang itu saat langit sudah berubah jadi jingga,” sindir Tomi. Bagaimana tidak, Didit berkata akan menyusul setelah siang hari. Namun, rupanya sore hari baru datang.Tengkuk Didit tiba-tiba gatal, senyum tanpa dosa terbit di bibirnya yang menghitam akibat nikotin.“Ya, maaf. Pala gua pusing banget, sumpah. Mata juga lengket nggak bisa melek. Tapi tenang gua bawa sesuatu yang bisa buat Lo seneng,” Didit mengeluarkan dompet berwarna coklat, mengeluarkan uang pecahan ratusan ribu, “yang sejuta buat modal Lo usaha, yang tiga ratus upah Lo hari ini.” Uang di tangan Didit berpindah ke tangan Tomi.“Lo, emang temen gua, Dit.” Tomi menepuk bahu Didit, senyuman pun tak surut dari bibirnya.Setelah uang ada di genggamannya Tomi langsung pulang. Dia mampir terlebih dahulu ke penjual ayam goreng karena putranya sangat suka olahan unggas yang digoreng.Sepanjang jalan Tomi terus saja bersenandung. Pikirannya plong, dia sudah dapat jalan keluar untuk membayar hutang. Tinggal merayu Mala dan semuanya beres.Danis yang sedang menonton televisi berlari ke teras karena mendengar suara motor yang berhenti. “Ayah pulang … Ayah pulang!” teriak Danis riang.Mendengar teriakkan sang putra, Mala yang sedang menggosok pakaian meraup udara banyak-banyak. Sakit hatinya semalam masih membekas.Dadanya masih berdenyut nyeri, kelakuan suaminya kali ini sungguh keterlaluan. Kalau bisa seharian ini dia tidak ingin melihat wajah suaminya.Tomi turun dari motor setelah menstandartkannya. Pria itu membungkuk, menyambut Danis yang berhambur ke arahnya.“Hap,” ucap Tomi meraih Danis kemudian menggendong bocah itu. “Coba tebak, Ayah bawa apa?” Tomi menunjukkan sesuatu yang masih terbungkus kresek hitam.“Apa?” Dahi Danis mengernyit, hidungnya mencium aroma yang dia suka.“Apa … cepat tebak!”Danis menajamkan penciumannya, bibirnya mengerucut dan hampir bersentuhan dengan hidung membuatnya terlihat menggemaskan. “Ayam goreng,” tebak Danis.“Pintar anak Ayah.” Tomi mencium pipi gembul putranya.“Bunda mana?” bisik Tomi pada Danis.“Ada. Bunda …,” teriak Danis, “ dicariin Ay—.” Danis tidak bisa melanjutkan perkataannya karena dibungkam Tomi.“Sstt,” Tomi meletakkan jari di ujung bibirnya. “Jangan teriak,” ucap pria itu kemudian.”Danis diturunkan dari gendongan Tomi setelah memasuki rumah. “Danis pergi ke dapur, gih, makan ayam goreng,” titah Tomi. Dia menyerahkan kresek hitam pada Danis.“Siap Ayah.” Bocah kecil itu berlari ke arah dapur.Tomi mendekati istrinya, memeluknya dari belakang. “Maaf,” lirih Tomi. Pria itu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang istri yang duduk di lantai. Istrinya tengah menggosok baju para pelanggannya.“Mas keterlaluan.” Air mata Mala kembali menetes.“Maka dari itu, Mas minta maaf. Mas janji akan mencari jalan keluar untuk masalah kita.”“Rumah ini sangat berarti untuk Mala, Mas. Ada banyak kenangan dari almarhum Ibu dan Bapak.” Suara Mala sampai bergetar karena menangis.“Sekali lagi Mas minta maaf, La, tapi kamu tenang saja. Mas sudah punya solusi untuk masalah kita.”Mendengar ucapan sang suami, Mala terkejut. “Benarkah! Mas tidak bohong, ‘kan.” Mala menyeka air matanya, lalu berbalik menatap Tomi.“Benar, tapi kamu mau bantuin Mas, ‘kan.”“Pasti Mas … pasti.”Mala tidak tahu persetujuan darinya, justru akan membuatnya terjebak ke dalam masalah yang lebih rumit.Sore yang indah untuk menikmati secangkir teh hangat dan dan cemilan. Seperti halnya yang dilakukan Anan saat ini. “Duduk sini! Papa mau bicara.” Anan menepuk kursi rotan disampingnya. Menyuruh istrinya duduk setelah menghidangkan secangkir teh dan sepiring biskuit.“Mau bahas soal Niko,” sarkas Anggi. Dia sudah bisa menebak apa yang akan dibicarakan suaminya.Namun, Anan belum menanggapi. Pria itu menyeruput teh buatan istrinya. “Teh buatan Mama memang paling nikmat,” puji Anan.Anggi melipat tangannya, wajahnya semakin ditekuk. “Langsung pada intinya saja, Pa.”Anan meletakkan kembali tehnya. “Apa tidak berniat mencari tau dulu tentang calon Niko?”“Untuk apa cari tau. Mama sudah tau dia wanita nggak bener,” sarkas Anggi. “Papa heran, Mama tau dari siapa, sih soal Mala?” “Dari Eve.”Anan tertawa terbahak. “Dari Evelyn mantan Niko itu.”
Bibir Mala terkembang melihat Niko berlari ke arahnya. Sore ini Niko, Danis, dan Mala jalan-jalan ke taman kota.“Danis aktif sekali.” Niko mendaratkan tubuhnya di samping Mala. Mereka duduk di rerumputan yang ada di taman. “Aku sampai kewalahan menemaninya.” Napas Niko terdengar naik-turun setelah menemani Danis bermain.“Terima kasih sudah menyayangi Danis, Nik.” Mala menatap pria di sampingnya dengan sangat dalam.Memberanikan diri, Niko menggenggam tangan Mala. Ditatapnya mata wanita yang bertahta di hatinya itu dengan sangat dalam. Lengkungan yang indah terbit di bibir tebal Niko.“Ya, siapa tau setelah melihat ketulusanku menyayangi putranya, Bundanya akan luluh. Dan mau menerima keberadaanku di hidupnya.” Niko mencoba berkelakar. Meskipun dia tahu mungkin jawabannya akan sama. Namun, dia bertekad sebanyak Mala menolaknya, sebanyak itu dia akan menyatakan cintanya.Mala mengalihkan pandanganny
“Bos,” lirih Mala. Dia begitu terkejut karena Bara memeluknya secara tiba-tiba. Bahkan pelukan pria itu begitu erat. “Maaf … Mala … Maaf.” Bara melepaskan pelukannya pada Mala. “Aku begitu bahagia.” Nampak Bara menyentuh sudut netranya. “Sekarang dimana ibumu?” Bara mengedarkan pandangannya.“Ibu saya, Bos?” Mala keheranan. Kenapa Bara mencari ibunya.“Iya Ibumu dimana, dia?” Meski Bara meneteskan air mata, tapi terlihat binar bahagia di wajahnya.“Ibu saya sudah meninggal.” “Apa?” Bara nampak terkejut, bahkan pria itu sampai terduduk di lantai. “Tidak mungkin adikku Naima sudah tiada,” raung Bara.“Maksud Bos apa?” Mala berjongkok, mensejajarkan diri dengan Bara.“Ibumu adikku Mala.”Lalu Bara menceritakan tentang kisahnya dan ibu Mala. Keduanya yatim piatu sejak kecil mereka terpaksa hidup di jalanan dan berpindah-pindah. Tidak tega, Bara mengirim Naima ke panti asuhan
Niko mengajak Aksa menemui Mala sore ini. Karena sepupunya itu harus menghadiri beberapa sidang hari ini. Mobil melaju membelah padatnya lalu lintas hingga mereka sampai di sebuah rumah kontrakan. Di teras kontrakan, seorang gadis dengan cenala jeans belel dan kaos crop top terlihat bangkit dari duduknya. Menyambut kedatangan keduanya.“Kita sudah sampai,” kata Niko setelah mematikan mesin mobil.Aksa tersenyum samar. “Oke juga selera Niko.” Pandangannya tertuju pada Nina.“Lama banget, sih.” Nina mencebik kesal.“Dia masih banyak urusan.” Niko melirik Aksa. “Oh.” Nina memperhatikan penampilan Aksa. “Dia yang mau bantuin Mala?”“He em. Oh, ya, kenalkan dia Aksa sepupuku.” Niko memperkenalkan Nina dengan Aksa.“Hallo Pak Aksa kenalkan saya Nina.” Gadis cantik itu mengulurkan tangannya, dengan senyuman indah yang membingkai di wajahnya.“Aksa.” Aksa merasakan sesuatu yang berbeda saat bersalaman dengan Nina. “Mau duduk di sini atau di dalam.” Nina memberi opsi.“Di sini saja,” sahut
Perkataan Tomi tentu membuat ayah Tina murka. Pria yang rambutnya mulai memutih itu bahkan sampai menggebrak meja. “Kurang ajar kamu Tomi!” hardik ayah Tina. “Setelah kamu menggagahi anak saya, kamu mau lepas tanggung jawab?”“Dia sendiri yang menawarkan tubuhnya pada saya,” ucap Tomi diikuti tatapan benci pada Tina.“Jaga ucapmu!” Ayah Tina menunjuk wajah Tomi, Ayah mana yang rela anaknya dihina. Ibu Tina mencoba menenangkan suaminya, dia mengusap lengan suaminya selembut mungkin. “Sabar Pak … sabar.”Sementara Tina hanya bisa tersenyum getir. Serendah itukah dia di mata Tomi.“Sabar Pak … ini bisa dibicarakan baik-baik. Jangan emosi dulu.” Farida mencoba menengahi.“Terserah kamu mau bilang apa Mas yang pasti … kamu harus menikahiku. Karena sekarang aku sedang mengandung anakmu.”Perkataan Tina jelas semakin memperkeruh suasana. Terutama Tomi. Kepala seakan hampir meledak. Masalah Mala belum selesai, masalah baru muncul. Berbeda dengan putranya, Farida justru bahagia mendengar pe
Melihat kediaman Tomi, Mala semakin naik pitam. “Jawab Tomi … jangan diam saja!” Teriakan Mala semakin memekakkan telinga. Bahkan urat-urat leher wanita itu sampai terlihat jelas. Air mata juga terus mengalir deras di pipinya. Hancur, marah, sedih, dan kecewa menjadi satu. Bukan tanpa sebab, kotak kecil yang ditemukan Farida berisi sebuah kalung emas berliontin jangkar. Kalung itu satu-satunya bukti yang Mala miliki.Bukti yang ditinggalkan oleh pria biadab yang lima tahun lalu merenggut mahkotanya. Menghancurkan hidupnya. Membuatnya terjebak dalam pernikahan toxic. Tomi semakin meraung, merengkuh kaki Mala. “Ampuni aku Mala!” Tomi tidak bisa berkelit. “Aku mohon. Aku terpaksa … aku … aku terlalu mencintaimu.”Mala membungkuk, melepaskan rengkuhan Tomi dari kakinya hingga Tomi terdorong ke belakang. Tamparan pun Mala layangkan pada Tomi.“Biadab kamu Tomi. Brengsek … bajingan ….” Segala sumpah serapah Mala ucapkan.“Hey …!” Farida yang melihat perlakuan Mala pada putranya berteri