Share

Ide Usaha

Mala memejamkan mata, pasrah dengan apa yang akan dilakukan Tomi. Cengkraman di dagunya juga terasa sangat sakit.

Melihat istrinya memejamkan mata, tangan Tomi yang sudah melayang ke udara tiba-tiba melandai. Tercetak jelas di netra Tomi, wajah ayu serta bulu mata lentik milik istrinya, hal yang membuat Tomi jatuh cinta pada Mala bertahun-tahun lalu.

Perlahan cengkraman di dagu Mala mengendur, pria dengan tinggi 170 cm itu menyatukan keningnya dengan kening sang istri. “Maaf,” lirih Tomi saat menyadari hampir saja dia melakukan kekerasan pada Mala, wanita yang dulu pernah membuatnya tergila-gila.

Akan tetapi, Mala malah meronta saat suaminya ingin memeluk tubuhnya. Bahkan, Tomi dibuat mundur beberapa langkah karena dorongan Mala. “Kamu benar-benar keterlaluan, Mas.” Air mata sudah mengalir deras di pipi yang masih mulus meski tak pernah tersentuh perawatan sama sekali.

“Maaf Mala aku khilaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu.” Tomi memajukan langkah, berusaha mengikis jarak. Selama ini, pria itu memang selalu bersikap kasar pada Mala, tetapi sebisa mungkin tidak akan melakukan kekerasan fisik.

Tomi masih berpikir Mala menangis karena kekerasan darinya. Tomi tidak tahu jika ada hal yang lebih menyakitkan dari kekerasan fisik yaitu ditipu.

“Mencari pinjaman pada rentenir dengan menggadaikan sertifikat rumahku juga khilaf,” sarkas Mala.

Bukan hanya langkah Tomi yang terhenti, jantungnya pun seolah berhenti memompa untuk sesaat. Bagaimana Mala bisa tahu mengenai hutang itu?

“Kaget?!” tebak Mala.

“Kamu jangan ngarang cerita, La,” sanggah Tomi. “Aku tidak punya hutang pada rentenir manapun.” Tomi masih saja mengelak.

Tatapan Mala yang selalu lembut kini berubah nyalang, kilat amarah terlihat jelas di dalamnya. “Baiklah kalau memang Mas tidak menggadaikan rumahku pada rentenir. Mana sertifikatnya?”

Tomi gelagapan. “A … ada, sertifikat itu aku simpan di rumah Ibu,” kelit Tomi.

Wanita dengan rambut bergelombang itu mengusap air mata di pipi dengan kasar lalu menarik napas dalam. “Ambil sekarang! Jika sertifikat itu memang ada di tempat Ibu,” ucap Mala.

“Kamu ini sebenarnya kenapa, sih? Lagi pula ini sudah malam, Ibu pasti sudah tidur, La. Besok saja Mas ambil, ya,” suara Tomi melembut. Hafal dengan perangai istrinya yang sedang marah Tomi kembali maju berniat mendekati Mala dan memeluknya. Biasanya dengan berbuat seperti itu, Mala akan luluh.

“Jangan mendekat!” Mala mundur beberapa langkah. “Apa kamu tau, Mas? Tadi siang ada dua pria datang ke sini. Mereka mencarimu, memeriksa setiap sudut rumah hingga Danis ketakutan. Mau tau kenapa mereka ke sini …?” Mala menjeda kalimatnya.

“Menagih hutang!” Mala menekan kalimat yang terlontar dari bibirnya.

Skakmat. Tubuh Tomi terhuyung ke belakang hingga terduduk di sofa yang telah usang. Berniat menghindari para debtcollector dengan cara bersembunyi. Ternyata mereka malah datang ke rumahnya. Tomi menunduk, tangannya meremas rambut kasar, mulutnya terkunci rapat, bingung alasan apa yang akan dia berikan pada Mala mengenai hutangnya.

Kini giliran Mala yang maju. Duduk di lantai tepat di depan Tomi, Mala mengguncang kaki Tomi. “Untuk apa uang sebanyak itu Mas … untuk apa?”

“Untuk … untuk usaha tentunya,” jawab Tomi.

Mata Mala memicing lalu mendorong kaki Tomi kasar. “Bohong!” bentak Mala. “Kamu pasti menggunakannya untuk judi, kan?”

“Terserah kalau kamu tidak percaya.” Tomi terus berkilah.

Merasa percuma bicara dengan Tomi, Mala bangkit berlalu menuju kamar. Namun, sedetik kemudian Mala menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap suaminya dan berucap, “Mala tidak peduli Mas menggunakan uang itu untuk apa. Yang Mala mau segera tebus sertifikat itu bagaimana pun caranya!”

“Argh!” Tomi terus mengacak rambutnya, bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

Di dalam kamar, Mala masih terus menangis. Namun, sebisa mungkin dia tidak bersuara di dalam tangis karena saat ini dia tengah memeluk Danis, satu-satunya tempat ternyaman yang dia punya.

Tomi, pria yang dulu dia anggap pahlawan kini justru menyengsarakannya. Ingin mengadu, tapi pada siapa? Ayahnya sudah berpulang sejak dia menginjak umur enam belas tahun sedangkan ibunya berpulang setelah melahirkannya.

Di ruang tamu, Tomi masih termenung. Cicilan tiga juta perbulan. Ternyata sangat memberatkan. Awalnya, hutang Tomi hanya empat puluh juta, tetapi bunga yang tinggi membuat hutangnya membengkak. Perkataan Tomi tentang hutang yang digunakan untuk usaha bukan suatu kebohongan. Sebagian memang dia gunakan untuk modal usaha. Usaha trading yang ternyata abal-abal. Orang yang mengaku CEO dari perusahaan trading kabur setelah berhasil mengeruk keuntungan. Jadilah uang Tomi ikut raib.

Akan tetapi, tuduhan Mala tentang judi online juga tidak salah. Uang hampir dua puluh juta ludes untuk membeli chip.

Cukup lama Tomi berdiam diri. Pria itu menyingkap tirai pembatas kamar. Mala mendekap Danis erat, mata perempuan yang sebenarnya masih bertahta di hatinya terlihat sembab.

Tomi memutuskan untuk keluar rumah. Berharap mendapatkan solusi dari permasalahan yang tengah dia hadapi.

Dan, disinilah Tomi. Di rumah Didit —temannya— sesama penggila judi online.

“Kenapa muka, Lo. Sedari tadi ditekuk mulu?” tanya Didit.

“Biasa … bertengkar dengan Mala.” Kepulan asap keluar dari bibir Tomi.

“Ikut gue, yuk!”

“Kemana?”

“Udah, ikut aja. Kita senang-senang. Ngilangin suntuk. Gue yang traktir. Gue hadis dapet jackpot,” bisik Didit di telinga Tomi.

“Iya, tapi kemana?” Tomi masih penasaran dengan tujuan Didit.

“Pokoknya ikut aja. Ntar juga tau, yuk!” Didit sudah duduk di jok motor miliknya.

Dahi Tomi mengernyit saat sampai di sebuah tempat dengan lampu yang berkelap-kelip di bagian depan sebuah cafe, lebih tepatnya tempat karaoke.

“Yuk, masuk!” ajak Didit setelah mereka memarkir sepeda motor.

Tomi mengekor di belakang Didit, ini pengalaman pertamanya mengunjungi tempat hiburan malam.

Didit menghampiri meja resepsionis, sedangkan Tomi masih mematung di tempat. Memperhatikan sekitar, para wanita berpakaian minim duduk berjajar, sesekali mengedipkan mata nakal. Hingga suara Didit terdengar di telinga, “Yuk!”

Keduanya memasuki sebuah ruangan temaram dengan lampu kelap-kelip, terdapat sofa berbentuk L dengan meja persegi di depannya. Televisi besar berukuran tiga puluh dua inc juga tersedia.

Pintu kembali terbuka, dua wanita berpakaian minim datang. Salah satu dari mereka membawa nampan berisi minuman.

Didit terlihat bahagia bernyanyi dengan kedua wanita tadi. Sementara Tomi hanya memperhatikan setiap gerak-gerik temannya. Didit yang tidak segan memberikan uang ratusan ribu kepada dua wanita yang menemaninya bernyanyi membuat mata Tomi membola. Semudah itu mereka mendapatkan uang, hanya modal pakaian seksi dan suara yang ….

Ah, bahkan suara Danis lebih merdu. Wajah dua wanita itu juga tidak secantik istrinya.

Sepulang dari tempat karaoke, Tomi memilih menginap di rumah Didit. Bau alkohol ditambah Mala yang mungkin saja masih marah menjadi faktor utama.

Keesokan harinya.

“Dit, pinjamin gua uang satu juta buat modal usaha, dong,” pinta Tomi.

Entahlah kira-kira usaha apa yang Tomi pikirkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status