Mobil sport berwarna hitam yang dikendarai Isaac melaju dengan kecepatan stabil, melintasi jalanan Kota Jakarta yang semakin ramai dengan lalu lintas pagi. Isaac, seorang CEO muda yang penuh karisma, tampak santai di belakang kemudi. Di sebelahnya, Leticia duduk dengan perasaan campur aduk antara bingung, penasaran, dan sedikit kesal.
Isaac baru saja menjemputnya dari kampus dengan cara yang tidak biasa, dia tiba-tiba muncul di depan gerbang kampus dengan mobilnya, mengejutkan Leticia yang baru selesai dengan kelas paginya. "Aku masih nggak percaya kamu datang ke kampusku tadi." Leticia membuka percakapan dengan nada setengah mengeluh, namun ada sedikit senyuman di sudut bibirnya. "Kamu bikin heboh satu kampus, tahu!" Isaac tertawa kecil sambil melirik Leticia dengan tatapan nakal. "Aku kan cuma mau bikin kejutan. Lagipula, kapan lagi aku bisa jemput seorang gadis cantik langsung dari kampusnya?" Leticia mendengus, mencoba menahan senyumnya. "Ya, ya, terserah kamu deh. Tapi sekarang, mau ke mana kita sebenarnya?" tanyanya sambil menatap jalan di depan mereka yang semakin padat. Isaac hanya tersenyum tanpa menjawab, dan malah menambah kecepatan ketika mereka mendekati pintu tol. Leticia yang duduk di sebelahnya mulai merasa aneh saat melihat mobil mereka mengarah ke jalan tol luar Kota Jakarta. “Kita masuk tol? Kita mau ke mana sebenarnya, Isaac?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu. Isaac menoleh sejenak, senyumnya masih terukir di wajahnya. “Santai saja, Leticia. Nikmati perjalanan ini. Kamu nggak perlu khawatir begitu. Aku sudah minta izin kepada Fritz untuk membawamu bersamaku,” sahutnya ringan, menambahkan sedikit misteri ke dalam suaranya. “Apa? Kak Fritz juga tahu aksi nekatmu?” seru Leticia tak percaya. “Isaac Connor Award, gitu lho!” tutur sang pria tampan mulai menyombongkan dirinya. “Terus kita ini mau ke mana sebenarnya, Isaac!” “Ada, deh!” jawabnya dengan wajah cengengesan. Leticia memutar matanya, sedikit frustasi dengan ketidakjelasan Isaac. “Ya Tuhan, kamu ini benar-benar, deh! Bisa nggak sih kasih tahu aku mau dibawa ke mana?” “Kalau aku kasih tahu sekarang, nggak seru dong. Kamu suka kejutan, kan?” Isaac menjawab sambil memandang jalan kembali, menghindari lalu lintas yang mulai ramai. Leticia hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia menatap keluar jendela mobil, melihat pemandangan Kota Jakarta yang perlahan-lahan berubah menjadi pinggiran kota. Di dalam hatinya, ada perasaan campur aduk antara cemas dan penasaran. Namun, ketika sang gadis menyadari bahwa mobil Isaac mulai bergerak menuju jalan yang menuju ke Puncak Bogor, wajahnya tiba-tiba berubah. “Kita ... kita akan ke Puncak?” Leticia bertanya dengan nada lebih tinggi, matanya mulai bersinar dengan antusiasme. Isaac tertawa kecil. “Ha-ha-ha! Kamu suka ke Puncak, kan? Aku pikir kamu akan senang kalau kita pergi ke sana hari ini.” Leticia terdiam sejenak, mencoba menahan kegembiraannya. Namun, senyum di wajahnya sudah tidak bisa disembunyikan lagi. “Aku sudah lama nggak ke Puncak,” gumamnya, kali ini dengan nada yang jauh lebih lembut. “Aku selalu suka suasana hijau kebun teh dan hutan pinus yang ada di sana. Rasanya sungguh membuat hatiku damai.” Isaac menatap Leticia dengan senyum hangat. “Nah … itu yang aku harapkan. Aku ingin kita bisa menikmati hari ini bersama, jauh dari hiruk-pikuk kota.” “I … iya deh, Isaac. Aku juga setuju!” ucap leticia lembut. Gadis itu sungguh tak menyangka jika Isaac selalu saja berhasil membuat dirinya tersanjung dan berbahagia saat bersamanya. Perlahan-lahan, kegembiraan Leticia tumbuh. Wajahnya yang tadinya cemberut kini mulai ceria, terutama saat Isaac memutar lagu-lagu ceria di dalam mobilnya. Keduanya mulai berdendang bersama, tertawa sambil sesekali bercanda tentang lirik lagu yang mereka nyanyikan. Suasana di dalam mobil berubah menjadi lebih santai dan menyenangkan. “Isaac, kamu ternyata pandai memilih lagu,” puji Leticia dengan nada menggoda, setelah keduanya menyelesaikan sebuah lagu yang mereka nyanyikan bersama. “He-he-he. Iya dong, leticia Sayang! Kita telah lama saling mengenal. Tentu saja aku sangat tahu apa yang bisa bikin kamu ceria,” jawab Isaac sambil tertawa. Suasana mulai berubah saat mereka mendekati daerah pegunungan. Udara sejuk mulai masuk melalui jendela mobil yang sedikit terbuka, memberikan kesegaran yang sangat berbeda dari panasnya Jakarta. Leticia memejamkan mata, merasakan angin sejuk yang menyapu wajahnya, membuat hatinya semakin bahagia. Isaac menurunkan jendela sedikit lebih banyak, membiarkan angin segar masuk dan membawa aroma khas pegunungan yang menenangkan. “Aku suka banget udara pegunungan ini,” ucap Leticia sambil menarik napas dalam-dalam, menikmati kesegaran yang mulai mengisi paru-parunya. Isaac mengangguk setuju. “Aku juga, Sayang. Ini alasan lain kenapa aku memilih kita ke Puncak. Udara pegunungan bisa membuat perasaan kita lebih tenang.” Perjalanan mereka berlanjut, dengan jalanan yang semakin menanjak dan pemandangan yang semakin hijau. Leticia tampak tak sabar untuk sampai di tujuan. "Kamu tahu nggak, terakhir kali aku ke Puncak itu waktu SMA. Dan kamu yang mengajakku ke sini. Aku kangen banget sama suasananya." Isaac tersenyum, senang melihat Leticia begitu bersemangat. "Ya, aku tahu. Makanya aku pikir kamu bakal suka kejutan ini." “Terima kasih, Isaac,” ucap Leticia dengan tulus, menatap Isaac dengan mata yang berkilauan. “Kamu selalu tahu cara membuatku bahagia.” “Iya, dong! Kan kamu hanya untukku, Leticia. Jadi wajar jika aku akan selalu ada buatmu!” ucap Isaac penuh tekad. “Hah? Sejak kapan kita pacaran? Atau lebih tepatnya memangnya kita sudah jadian?” celetuk Leticia bingung. “Aku tidak butuh kata jadian! Yang kamu harus tahu, jika aku tercipta hanya untukmu dan kamu tentunya juga milikku! Aku tidak mau berbagi! Camkan itu Leticia!” seru Isaac sambil menatap gadis itu dalam-dalam. “Ih … Isaac! Kamu maksa deh!” kesal Leticia, pura-pura. Padahal jauh dari dalam lubuk hatinya, leticia sangat suka cara Isaac mencintainya secara ugal-ugalan seperti saat ini. Sementara Isaac l tersenyum hangat, perasaan senang memenuhi hatinya melihat Leticia begitu ceria. “Apa pun akan ku lakukan untuk melihat senyummu, Leticia,” seru Isaac dalam hati. Ketika mereka semakin dekat ke ara Puncak, jalanan mulai berkelok-kelok, memberikan pemandangan pegunungan yang menakjubkan di sekeliling mereka. Leticia melihat ke luar jendela mobil dengan takjub, matanya tak bisa berhenti mengagumi keindahan alam di depan mereka. “Lihat! Itu kebun teh, Isaac!” seru Leticia dengan gembira, menunjuk ke arah hamparan hijau yang terbentang luas di salah satu sisi jalan. “Aku selalu suka lihat kebun teh dari dekat.” Isaac mengangguk sambil tetap fokus pada jalanan yang mulai berkelok. “Kita bisa berhenti di sana sebentar kalau kamu mau. Biar kita bisa menikmati pemandangannya lebih lama.” “Oh, mau banget!” jawab Leticia dengan antusias. “Aku ingin ambil beberapa foto juga. Rasanya sayang kalau dilewatkan.” Isaac tertawa kecil. “He-he-he. Baiklah, kita akan berhenti sebentar. Biar kamu bisa menikmati pemandangan ini sepuasnya.” Mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana hati yang semakin ceria. Sesekali, Leticia mengeluarkan ponselnya untuk mengambil foto pemandangan di sekitar mereka, tidak ingin melewatkan momen-momen indah itu. Udara semakin sejuk, dan kabut tipis mulai terlihat di beberapa bagian jalan. “Ini dia yang selalu aku suka dari Puncak,” ucap Leticia sambil menghela napas puas. “Kabut, udara sejuk, dan pemandangan yang sungguh hijau. Sempurna banget.” Isaac hanya mengangguk, menikmati ekspresi bahagia di wajah gadis favoritnya. Dia senang melihat Leticia begitu menikmati perjalanan ini. Keduanya akhirnya tiba di sebuah area yang memungkinkan mereka untuk berhenti sejenak. Isaac memarkir mobilnya di pinggir jalan yang aman, dan keduanya keluar dari mobil untuk merasakan langsung udara pegunungan yang segar. Leticia segera berlari kecil menuju pagar pembatas yang menghadap ke kebun teh di bawah. “Isaac, lihat ini! Indah banget!” serunya sambil mengangkat ponselnya, mengambil beberapa foto sekaligus selfie. Isaac berjalan mendekat, tersenyum melihat Leticia yang begitu bahagia. “Aku senang kamu suka, Leticia.” “Siapa yang nggak suka pemandangan kayak gini? Ini luar biasa,” jawab Leticia, matanya masih terpaku pada keindahan alam di depannya. Setelah beberapa saat menikmati pemandangan dan mengambil banyak foto, mereka kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan. Leticia tampak lebih ceria dari sebelumnya, dan Isaac merasa puas karena bisa memberikan pengalaman ini kepada Leticia. “Ayo, kita lanjut ke atas. Masih banyak yang bisa kita nikmati di Puncak sana,” ajak Isaac sambil menyalakan mesin mobil. Leticia mengangguk setuju. “Yuk! Aku sudah nggak sabar untuk sampai di Puncak Pas. Aku suka pemandangan di atas sana juga luar biasa.” Dengan senyum di wajah mereka dan perasaan bahagia di hati, Isaac dan Leticia melanjutkan perjalanan mereka menuju Puncak Pas, Cisarua Bogor, dengan harapan untuk menciptakan lebih banyak kenangan indah bersama. Perjalanan ini mungkin tidak direncanakan sebelumnya, akan tetapi ternyata menjadi salah satu pengalaman terbaik yang pernah mereka jalani.Di tempat lain di Kota Jakarta,Jacob, CEO muda yang penuh pesona dengan rambut hitam yang tertata rapi dan setelan kasual yang elegan, tampak sangat antusias hari itu. Dia baru saja menjemput Evanora, sahabat baik sekaligus gadis yang diam-diam dia cintai sejak dulu, dari kampusnya. Meskipun mereka sudah lama bersahabat, perasaannya pada Evanora selalu disembunyikan dengan baik di balik senyum dan candaannya. Hari ini, Jacob berencana memberikan kejutan istimewa untuk Evanora dengan mengajaknya menjelajahi dunia bawah laut di Jakarta Aquarium Safari.Evanora, yang baru saja selesai dengan kelas paginya, tampak terkejut dan senang ketika dengan beraninya Jacob menggandeng tangannya keluar dari kafetaria kampus. "Jacob! Kita mau ke mana ?" tanyanya dengan senyum lebar yang menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. Mata hitamnya berbinar penuh kegembiraan.Jacob tersenyum dan menjawab dengan nada ceria, "Aku pikir hari ini kita perlu istirahat dari segala rutinitas, jadi aku da
Setelah bertemu di sebuah kafe, di Mall Senayan City, Harvey dan Fritz langsung menyapa Josie dan Kiran. Mereka berempat berbicara sejenak, mengobrol tentang rencana mereka untuk hari itu. Fritz kemudian memutuskan untuk mengajak Kiran ke suatu tempat yang tidak disebutkan, meninggalkan Harvey dan Josie untuk tetap berada di dalam mall.Josie, dengan senyum manisnya yang selalu membuat jantung Harvey berdegup lebih cepat, menatapnya dengan penuh semangat. "Kak Harvey, aku ingin ke toko buku. Ada beberapa novel yang ingin aku beli. Kamu mau ikut?"Harvey, seorang pengusaha sukses yang sudah lama menyukai Josie, tentu saja tidak menolak. “Tentu saja, Josie. Aku akan senang menemanimu,” jawabnya dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajahnya. Mereka berdua lalu berjalan berdampingan menuju toko buku, melewati keramaian mall dengan percakapan ringan.Setibanya di toko buku, Josie langsung menuju ke rak novel favoritnya. Dia tampak sangat antusias, matanya berbinar saat melihat der
Setelah menikmati tantangan adrenalin di sirkuit Sentul yang penuh dengan tikungan tajam dan kecepatan tinggi, Harvey dan Josie meninggalkan lintasan dengan penuh semangat. Keduanya memutuskan untuk melanjutkan sore mereka di Teras Sentul, sebuah kafe yang menawarkan pemandangan pegunungan dan suasana tenang. Cuaca yang teduh dengan angin sepoi-sepoi menambah kenyamanan mereka.Sepasang muda-mudi itu memilih untuk duduk di sudut kafe yang menghadap langsung ke perbukitan hijau. Harvey lalu memesan dua mocktail jus buah, sementara Josie memilih beberapa camilan khas Indonesia antara lain klepon dengan gula merah yang meleleh di dalamnya, moci yang kenyal, dan beberapa kue tradisional lainnya seperti kue putu dan lemper. Josie tersenyum kepada pria tampan itu sambil menyantap kue klepon, “Kamu tahu, Kak Harvey, hari ini benar-benar sangat menyenangkan! Rasanya sudah lama aku tidak merasa se-excited ini.”Harvey mengangguk sambil tersenyum. “Oh, yeah?” tutur Harvey sambil tersenyum.“
Setelah berpisah dengan Harvey dan Josie di Mall Senayan City, Fritz mengarahkan mobilnya ke area Jakarta Utara. Di sampingnya duduk Kiran, gadis yang selama ini diam-diam disukai olehnya. Saat ini Kiran mengenakan gaun sederhana berwarna pastel yang membuatnya terlihat anggun dan bersahaja. Di dalam mobil, suasana awalnya sedikit canggung. Fritz mencoba mengalihkan perhatiannya dari kecantikan Kiran dengan memusatkan pandangannya ke jalan. “Oh iya, Kiran,” kata Fritz akhirnya, memecah keheningan.“Kamu bilang tadi bawa mobil sendiri bersama Josie, ya?”Kiran menoleh dan tersenyum kecil. “Iya, tadi aku memang bawa mobil sendiri. Tapi sekarang Josie sama Harvey. Jadi mobilku masih di parkiran.”Fritz mengangguk. “Kalau begitu, biar asistennya aku, Arga, yang urus mobilmu. Nanti dia bisa jemput mobil kamu di sana dan bawakan ke rumahmu.”Kiran tampak terkejut tapi senang mendengar tawaran itu. “Wah, terima kasih banyak, Fritz. Kamu benar-benar baik.”“Apa sih yang nggak buat kamu, Ki
Kembali kepada Isaac dan Leticia,Setelah puas menikmati pemandangan hamparan kebun teh di puncak Bogor, Isaac dan Leticia pun lalu melanjutkan perjalanan menuju Puncak Pas Cisarua. Mereka menyusuri jalan yang berkelok dengan suasana pegunungan yang sejuk, diselingi dengan percakapan ringan di dalam mobil.“Sampai juga kita di Puncak Pas, Leticia,” ucap Isaac dengan nada semangat setelah mereka memasuki area tersebut.Leticia, yang duduk di sebelahnya, tersenyum tipis. “Iya, akhirnya. Setelah perjalanan panjang, ya,” jawabnya sambil memandang ke luar jendela mobil, melihat pemandangan yang begitu memukau dengan kabut tipis yang mulai turun, menambah suasana sore yang syahdu.Isaac memarkir mobil di sebuah area parkir dekat kafe yang cukup terkenal di kalangan wisatawan. Kafe ini dikenal dengan suasananya yang nyaman dan menyajikan berbagai camilan khas Bogor yang menggugah selera. “Ayo, kita nongkrong sebentar di kafe itu. Aku dengar kafe tersebut menyajikan makanan khas Bogor yang e
Di Kediaman Elwood, Suasana terasa tegang. Sore itu, matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menciptakan bayangan panjang di sepanjang teras rumah mewah milik Keluarga Elwood. Tuan King Elwood, seorang pengusaha kaya raya dengan rambut yang mulai memutih di pelipisnya, tampak mondar-mandir dengan penuh kemarahan. Matanya tajam menatap ke arah Asisten Arga, yang berdiri dengan gelisah di pintu depan rumah. Arga, seorang pria muda dengan setelan rapi, tampak canggung dan sedikit gemetar. Dia baru saja mengembalikan mobil Kiran, putri kesayangan Tuan King, setelah mengantarnya pergi bersama Fritz, CEO muda yang ambisius dan penuh percaya diri. “Kenapa kamu yang mengembalikan mobil ini?” tanya Tuan King dengan suara berat dan penuh curiga. “Di mana Kiran? Dan di mana Fritz?” Arga menelan ludah, merasa tekanan semakin besar. “Maaf, Tuan King. Saya hanya diminta oleh Bos Fritz untuk mengembalikan mobil Nona Kiran. Saat ini mereka masih di luar, seperti ada sedikit urusan penting,” ja
Matahari sudah hampir tenggelam ketika Jacob dan Evanora, yang akrab dipanggil Eva, akhirnya sampai di kediaman Keluarga Eva setelah hampir seharian berjalan-jalan mengelilingi Kota Jakarta. Hari ini, mereka mengunjungi berbagai tempat menarik, termasuk Aquarium Safari, menikmati pemandangan kota, dan mencicipi kuliner lokal. Bagi Jacob, hari ini adalah kesempatan berharga untuk bisa menghabiskan waktu bersama Eva, sahabat sekaligus gadis yang diam-diam dirinya cintai.Sesampainya di depan rumah, Jacob keluar dari mobil dan bergegas membukakan pintu mobil untuk Eva. "Terima kasih, Jacob. Hari ini benar-benar menyenangkan," ucap Eva sambil tersenyum hangat.Jacob membalas senyuman itu. "Sama-sama, Eva. Aku senang kamu menikmatinya."Ketika mereka berjalan menuju pintu rumah, Nyonya Arlyn, ibunda dari Eva, sudah menunggu di depan dengan senyum lebar. "Oh, kalian akhirnya pulang juga! Bagaimana hari kalian?" tanyanya dengan penuh antusias.Jacob tersenyum sopan. "Kami baru saja pulan
Malam hampir tiba di kediaman megah Keluarga Edward, namun suasana di dalam rumah terasa tegang. Tuan Edward mondar-mandir di ruang tamu, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Putri kesayangannya, Josie, belum juga pulang dari kampus, padahal langit sudah mulai gelap.Nyonya Agnes, istri Tuan Edward, duduk di sofa dengan ponsel di tangannya. Dia sudah beberapa kali mencoba menghubungi Josie, akan tetapi tidak ada jawaban. Sang nyonya rumah menghela napas, menatap suaminya yang tampak semakin gelisah.“Mas Edward, tenanglah. Mungkin Josie sedang sibuk dan lupa waktu,” ujar Nyonya Agnes dengan nada menenangkan, meskipun di dalam hatinya, dia juga merasa cemas.Tuan Edward berhenti berjalan dan menatap istrinya dengan mata yang tajam. “Sibuk apa, Agnes? Ini sudah hampir malam! Seharusnya dia sudah pulang. Baiklah aku akan menelepon Isaac dan Jacob,” serunya sambil mengambil ponsel dari saku celananya.Dengan cepat, Tuan Edward menekan nomor Isaac, putra sulungnya. Nada sambun
Malam itu, suasana penuh kehangatan memenuhi kamar mewah di The Ritz London. Fritz dan Kiran baru saja menyelesaikan resepsi pernikahan mereka yang megah dan penuh kebahagiaan. Setelah melewati hari yang panjang, keduanya mulai berganti pakaian untuk memulai perjalanan bulan madu mereka ke Islandia.Kiran berdiri di depan cermin besar di kamar, mengenakan gaun kasual berwarna pastel yang nyaman namun tetap anggun. Rambutnya yang panjang tergerai lembut, sementara Fritz mengenakan setelan santai dengan jaket kulit hitam yang menambah kesan gagahnya.Kiran lalu berkata,“Aku masih tidak percaya, Fritz. Hari ini seperti mimpi. Semua terasa sempurna.”Fritz pun tersenyum sambil mendekati Kiran, istrinya.“Karena kamu membuatnya sempurna, Sayangku. Kamu adalah pengantin tercantik yang pernah ada.”“Ih … gombal kamu, Fritz!” celetuk Kiran.“Ini bukan bualanku, Sayang! Tapi dari kesungguhan hatiku,” seru Fritz kepada sang istri.Fritz lalu memegang tangan Kiran dengan lembut, membawanya ke s
Setelah saling mengucapkan janji suci pernikahan, kedua mempelai yang sedang berbahagia yaitu Fritz dan Kiran yang kini sedang melangkah ke tengah-tengah ballroom dengan senyuman bahagia yang tidak pernah lepas dari wajah mereka. Tepuk tangan meriah dari para tamu menggema di ruangan megah yang telah dihiasi lampu kristal dan bunga-bunga putih serta emas. Di tengah ballroom, berdiri sebuah kue pernikahan lima tingkat yang menjulang tinggi, dihiasi dengan bunga gula dan ornamen emas yang sungguh elegan.Fritz menggenggam tangan Kiran, membimbingnya menuju ke kue pernikahan. Sebuah pisau khusus yang dihiasi pita emas telah disiapkan untuk momen tersebut.“Kiran, apakah kamu siap, Sayang?” tanya Fritz sambil menoleh ke arah istrinya.Kiran tersenyum hangat. “Aku selalu siap jika bersamamu, Fritz.” sahutnya antusias kepada suaminya.Tangan mereka pun bersatu memegang pisau, lalu dengan perlahan memotong kue dari bagian atas menuju ke bawah sambil diiringi tepuk tangan para tamu. Fritz p
Hari pernikahan Fritz dan Kiran di Ballroom Hotel The Ritz London.Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Ballroom The Ritz London, hotel mewah dengan nuansa klasik dan elegan, telah disulap menjadi tempat yang memukau untuk pernikahan Fritz dan Kiran. Lampu kristal berkilauan menerangi ruangan yang dihiasi dengan rangkaian bunga putih dan emas. Meja-meja bundar dengan taplak sutra, piring porselen, dan gelas kristal menghiasi ruangan, sementara suara lembut orkestra bermain di latar belakang menambah suasana megah.Para tamu telah memenuhi ballroom, termasuk kolega dan rekan bisnis Fritz, yang mengenakan busana formal sesuai dress code. Di barisan depan, duduklah Tuan Rahez dan Nyonya Zemi, kedua orang tua Fritz, yang mengenakan pakaian berwarna emas. Gaun Nyonya Zemi berhiaskan payet berkilau, sementara Tuan Rahez tampak gagah dengan jas emas elegan. Di sebelah mereka, duduk Tuan King dan Nyonya Hera, orang tua Kiran, dengan kebaya tradisional berwarna emas yang memancarkan k
Persiapan para ibu,Di sebuah salon kecantikan mewah di kawasan Jakarta Selatan, suasana pagi terasa nyaman dan elegan. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma lembut lavender, dilengkapi dengan dekorasi modern bernuansa putih gading dan emas. Para pegawai salon dengan seragam rapi melayani beberapa pelanggan sosialita yang datang untuk memanjakan diri.Di salah satu sudut ruangan, dua wanita paruh baya duduk di kursi pijat sambil menjalani perawatan wajah. Mereka adalah Nyonya Zemi, ibunda Fritz, dan Nyonya Hera, ibunda Kiran. Keduanya tampil anggun dengan gaun santai berwarna pastel dan aksesoris mewah yang mempertegas status mereka sebagai wanita sosialita berkelas.Nyonya Zemi menyandarkan kepalanya dengan tenang sementara seorang terapis mengoleskan masker wajah. Di sebelahnya, Nyonya Hera memeriksa kukunya yang tengah dihiasi warna merah muda pucat.Nyonya Hera tersenyum puas sambil melirik Nyonya Zemi, seraya berkata,“Jeng Zemi, akhirnya harapan kita terkabul juga. Fritz melamar Kir
Rencana menuju London,Di sebuah restoran mewah di bilangan Jakarta Selatan, suasana siang itu terasa tenang dan nyaman. Restoran tersebut dihiasi dengan lampu gantung elegan dan interior klasik bergaya Eropa. Lantunan musik jazz lembut menemani para pengunjung yang tengah menikmati hidangan mereka. Di sudut ruangan, dua pria paruh baya duduk di sebuah meja bundar dengan beberapa hidangan tersaji rapi di atasnya.Tuan Rahez, pria berkacamata dengan rambut yang mulai memutih di pelipisnya, duduk santai sambil menyeruput secangkir kopi hitam. Di hadapannya, Tuan King, seorang pria bertubuh tegap dengan kumis tipis, tersenyum sambil memutar-mutar sendok kecil di dalam cangkir tehnya. Mereka adalah dua pengusaha ternama yang sudah bersahabat sejak lama. Hari ini, keduanya bertemu untuk membahas sesuatu yang sangat penting yaitu pernikahan anak-anak mereka, Fritz dan Kiran.Tuan Rahez lalu meletakkan cangkir kopinya ke atas piring kecil.“Wah, rasanya lega sekali akhirnya Fritz dan Kiran
Pagi itu, London menyambut Fritz dan Kiran dengan udara segar dan sinar matahari yang cerah. Fritz sudah menyiapkan rencana untuk menghabiskan hari bersama sang kekasih. Dia ingin menunjukkan kepada kekasihnya sisi romantis Kota London, sambil merencanakan momen besar yang telah dirinya persiapkan jauh-jauh hari."Kiran, hari ini kita akan jalan-jalan keliling Kota London. Ada banyak tempat indah yang ingin aku tunjukkan padamu," ucap Fritz sambil tersenyum ketika mereka sarapan bersama di ruang makan rumah Opa Roland.Kiran memandang Fritz dengan penuh rasa ingin tahu. "Oh, jadi kamu sudah punya rencana? Ada kejutan apa hari ini?"Fritz tertawa pelan. "He-he-he! Tunggu saja. Aku janji, kamu akan menyukainya."“Oma, Opa? Aku mohon izin untuk membawa Kiran keliling Kota London,” seru Fritz antusias kepada kakek dan nenek dari kekasihnya tersebut.“Tentu, Fritz. Opa percaya kamu bisa melindungi dan menjaga Kiran dengan baik,” tutur Opa Roland.Wah … memangnya kalian mau ke mana Fritz?
Suasana malam yang tenang menyelimuti rumah mewah keluarga Opa Roland yang ada di London. Lampu kristal menggantung di ruang makan besar, memancarkan sinar hangat ke meja makan yang penuh dengan hidangan. Fritz duduk bersama Opa Roland dan Oma Yesi, dua sosok yang sangat dihormatinya. Hatinya berdebar,akan tetapi dia tahu ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan niatnya.Setelah menyelesaikan makanan terakhirnya, Fritz menatap Opa Roland dengan mata penuh tekad. "Opa, Oma," ucapnya memulai pembicaraan, suaranya terdengar jelas namun sedikit bergetar. "Saya ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting."Oma Yesi menatap Fritz dengan penuh perhatian, sementara Opa Roland meletakkan gelasnya di atas meja, memberi isyarat agar pria muda itu melanjutkan perkataannya.“Saya ingin menikah dengan Kiran,” Fritz melanjutkan dengan suara mantap. “Saya mencintainya dan ingin membangun masa depan bersama. Namun .…” Dia terdiam sejenak, menundukkan kepala dengan ekspresi sedih. “Tuan
Kedatangan Fritz dan Kiran di London.Udara Kota London yang sejuk menyambut Fritz dan Kiran begitu mereka keluar dari bandara Heathrow. Keduanya tampak kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang dari Jakarta, namun ada semangat tersirat di wajah mereka. Fritz memesan taksi online, dan beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam datang menghampiri mereka."Ini taksinya," ujar Fritz sambil membantu Kiran memasukkan koper ke bagasi."Terima kasih, Fritz," balas Kiran dengan senyum manis.Perjalanan menuju rumah kakek dan nenek Kiran berlangsung dalam suasana nyaman. Kiran terlihat antusias menjelaskan setiap sudut kota London yang mereka lewati."Itu Big Ben, Fritz. Aku sering bermain di sekitar sini waktu kecil saat berkunjung ke rumah Opa dan Oma," cerita Kiran.Fritz mengangguk sambil tersenyum. "Kamu pasti punya banyak kenangan indah di sini. Aku senang akhirnya bisa melihat langsung tempat yang sering kamu ceritakan."Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah berg
Pagi yang Cerah di Kediaman Keluarga Tuan Tiano.Mentari pagi menembus jendela besar di ruang makan keluarga Tuan Tiano, menghadirkan kehangatan di tengah suasana dingin. Aroma kopi yang harum dan roti panggang yang renyah mengisi udara, menemani keluarga itu memulai hari. Di meja makan, Tuan Tiano duduk di ujung meja dengan koran di tangan, sementara Nyonya Arlyn mengatur makanan yang dihidangkan oleh asisten rumah tangga mereka.Eva, putri kedua keluarga Tiano, tampak sibuk menuangkan susu ke dalam gelasnya, sementara Harvey, sang putra sulung, dengan santai mengoleskan selai kacang pada rotinya."Harvey, tambahkan madu di rotimu. Kamu terlalu kurus belakangan ini," ujar Nyonya Arlyn lembut, seraya menyodorkan botol madu kepada putra sulungnya.Harvey tersenyum simpul. "Mami selalu khawatir padaku, padahal berat badan aku stabil kok, Mi."Eva tersenyum melihat interaksi mereka. Namun, dia tahu waktunya membahas sesuatu yang cukup serius. Setelah menarik napas dalam-dalam, Eva pun