Mobil sport berwarna hitam yang dikendarai Isaac melaju dengan kecepatan stabil, melintasi jalanan Kota Jakarta yang semakin ramai dengan lalu lintas pagi. Isaac, seorang CEO muda yang penuh karisma, tampak santai di belakang kemudi. Di sebelahnya, Leticia duduk dengan perasaan campur aduk antara bingung, penasaran, dan sedikit kesal.
Isaac baru saja menjemputnya dari kampus dengan cara yang tidak biasa, dia tiba-tiba muncul di depan gerbang kampus dengan mobilnya, mengejutkan Leticia yang baru selesai dengan kelas paginya. "Aku masih nggak percaya kamu datang ke kampusku tadi." Leticia membuka percakapan dengan nada setengah mengeluh, namun ada sedikit senyuman di sudut bibirnya. "Kamu bikin heboh satu kampus, tahu!" Isaac tertawa kecil sambil melirik Leticia dengan tatapan nakal. "Aku kan cuma mau bikin kejutan. Lagipula, kapan lagi aku bisa jemput seorang gadis cantik langsung dari kampusnya?" Leticia mendengus, mencoba menahan senyumnya. "Ya, ya, terserah kamu deh. Tapi sekarang, mau ke mana kita sebenarnya?" tanyanya sambil menatap jalan di depan mereka yang semakin padat. Isaac hanya tersenyum tanpa menjawab, dan malah menambah kecepatan ketika mereka mendekati pintu tol. Leticia yang duduk di sebelahnya mulai merasa aneh saat melihat mobil mereka mengarah ke jalan tol luar Kota Jakarta. “Kita masuk tol? Kita mau ke mana sebenarnya, Isaac?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu. Isaac menoleh sejenak, senyumnya masih terukir di wajahnya. “Santai saja, Leticia. Nikmati perjalanan ini. Kamu nggak perlu khawatir begitu. Aku sudah minta izin kepada Fritz untuk membawamu bersamaku,” sahutnya ringan, menambahkan sedikit misteri ke dalam suaranya. “Apa? Kak Fritz juga tahu aksi nekatmu?” seru Leticia tak percaya. “Isaac Connor Award, gitu lho!” tutur sang pria tampan mulai menyombongkan dirinya. “Terus kita ini mau ke mana sebenarnya, Isaac!” “Ada, deh!” jawabnya dengan wajah cengengesan. Leticia memutar matanya, sedikit frustasi dengan ketidakjelasan Isaac. “Ya Tuhan, kamu ini benar-benar, deh! Bisa nggak sih kasih tahu aku mau dibawa ke mana?” “Kalau aku kasih tahu sekarang, nggak seru dong. Kamu suka kejutan, kan?” Isaac menjawab sambil memandang jalan kembali, menghindari lalu lintas yang mulai ramai. Leticia hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia menatap keluar jendela mobil, melihat pemandangan Kota Jakarta yang perlahan-lahan berubah menjadi pinggiran kota. Di dalam hatinya, ada perasaan campur aduk antara cemas dan penasaran. Namun, ketika sang gadis menyadari bahwa mobil Isaac mulai bergerak menuju jalan yang menuju ke Puncak Bogor, wajahnya tiba-tiba berubah. “Kita ... kita akan ke Puncak?” Leticia bertanya dengan nada lebih tinggi, matanya mulai bersinar dengan antusiasme. Isaac tertawa kecil. “Ha-ha-ha! Kamu suka ke Puncak, kan? Aku pikir kamu akan senang kalau kita pergi ke sana hari ini.” Leticia terdiam sejenak, mencoba menahan kegembiraannya. Namun, senyum di wajahnya sudah tidak bisa disembunyikan lagi. “Aku sudah lama nggak ke Puncak,” gumamnya, kali ini dengan nada yang jauh lebih lembut. “Aku selalu suka suasana hijau kebun teh dan hutan pinus yang ada di sana. Rasanya sungguh membuat hatiku damai.” Isaac menatap Leticia dengan senyum hangat. “Nah … itu yang aku harapkan. Aku ingin kita bisa menikmati hari ini bersama, jauh dari hiruk-pikuk kota.” “I … iya deh, Isaac. Aku juga setuju!” ucap leticia lembut. Gadis itu sungguh tak menyangka jika Isaac selalu saja berhasil membuat dirinya tersanjung dan berbahagia saat bersamanya. Perlahan-lahan, kegembiraan Leticia tumbuh. Wajahnya yang tadinya cemberut kini mulai ceria, terutama saat Isaac memutar lagu-lagu ceria di dalam mobilnya. Keduanya mulai berdendang bersama, tertawa sambil sesekali bercanda tentang lirik lagu yang mereka nyanyikan. Suasana di dalam mobil berubah menjadi lebih santai dan menyenangkan. “Isaac, kamu ternyata pandai memilih lagu,” puji Leticia dengan nada menggoda, setelah keduanya menyelesaikan sebuah lagu yang mereka nyanyikan bersama. “He-he-he. Iya dong, leticia Sayang! Kita telah lama saling mengenal. Tentu saja aku sangat tahu apa yang bisa bikin kamu ceria,” jawab Isaac sambil tertawa. Suasana mulai berubah saat mereka mendekati daerah pegunungan. Udara sejuk mulai masuk melalui jendela mobil yang sedikit terbuka, memberikan kesegaran yang sangat berbeda dari panasnya Jakarta. Leticia memejamkan mata, merasakan angin sejuk yang menyapu wajahnya, membuat hatinya semakin bahagia. Isaac menurunkan jendela sedikit lebih banyak, membiarkan angin segar masuk dan membawa aroma khas pegunungan yang menenangkan. “Aku suka banget udara pegunungan ini,” ucap Leticia sambil menarik napas dalam-dalam, menikmati kesegaran yang mulai mengisi paru-parunya. Isaac mengangguk setuju. “Aku juga, Sayang. Ini alasan lain kenapa aku memilih kita ke Puncak. Udara pegunungan bisa membuat perasaan kita lebih tenang.” Perjalanan mereka berlanjut, dengan jalanan yang semakin menanjak dan pemandangan yang semakin hijau. Leticia tampak tak sabar untuk sampai di tujuan. "Kamu tahu nggak, terakhir kali aku ke Puncak itu waktu SMA. Dan kamu yang mengajakku ke sini. Aku kangen banget sama suasananya." Isaac tersenyum, senang melihat Leticia begitu bersemangat. "Ya, aku tahu. Makanya aku pikir kamu bakal suka kejutan ini." “Terima kasih, Isaac,” ucap Leticia dengan tulus, menatap Isaac dengan mata yang berkilauan. “Kamu selalu tahu cara membuatku bahagia.” “Iya, dong! Kan kamu hanya untukku, Leticia. Jadi wajar jika aku akan selalu ada buatmu!” ucap Isaac penuh tekad. “Hah? Sejak kapan kita pacaran? Atau lebih tepatnya memangnya kita sudah jadian?” celetuk Leticia bingung. “Aku tidak butuh kata jadian! Yang kamu harus tahu, jika aku tercipta hanya untukmu dan kamu tentunya juga milikku! Aku tidak mau berbagi! Camkan itu Leticia!” seru Isaac sambil menatap gadis itu dalam-dalam. “Ih … Isaac! Kamu maksa deh!” kesal Leticia, pura-pura. Padahal jauh dari dalam lubuk hatinya, leticia sangat suka cara Isaac mencintainya secara ugal-ugalan seperti saat ini. Sementara Isaac l tersenyum hangat, perasaan senang memenuhi hatinya melihat Leticia begitu ceria. “Apa pun akan ku lakukan untuk melihat senyummu, Leticia,” seru Isaac dalam hati. Ketika mereka semakin dekat ke ara Puncak, jalanan mulai berkelok-kelok, memberikan pemandangan pegunungan yang menakjubkan di sekeliling mereka. Leticia melihat ke luar jendela mobil dengan takjub, matanya tak bisa berhenti mengagumi keindahan alam di depan mereka. “Lihat! Itu kebun teh, Isaac!” seru Leticia dengan gembira, menunjuk ke arah hamparan hijau yang terbentang luas di salah satu sisi jalan. “Aku selalu suka lihat kebun teh dari dekat.” Isaac mengangguk sambil tetap fokus pada jalanan yang mulai berkelok. “Kita bisa berhenti di sana sebentar kalau kamu mau. Biar kita bisa menikmati pemandangannya lebih lama.” “Oh, mau banget!” jawab Leticia dengan antusias. “Aku ingin ambil beberapa foto juga. Rasanya sayang kalau dilewatkan.” Isaac tertawa kecil. “He-he-he. Baiklah, kita akan berhenti sebentar. Biar kamu bisa menikmati pemandangan ini sepuasnya.” Mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana hati yang semakin ceria. Sesekali, Leticia mengeluarkan ponselnya untuk mengambil foto pemandangan di sekitar mereka, tidak ingin melewatkan momen-momen indah itu. Udara semakin sejuk, dan kabut tipis mulai terlihat di beberapa bagian jalan. “Ini dia yang selalu aku suka dari Puncak,” ucap Leticia sambil menghela napas puas. “Kabut, udara sejuk, dan pemandangan yang sungguh hijau. Sempurna banget.” Isaac hanya mengangguk, menikmati ekspresi bahagia di wajah gadis favoritnya. Dia senang melihat Leticia begitu menikmati perjalanan ini. Keduanya akhirnya tiba di sebuah area yang memungkinkan mereka untuk berhenti sejenak. Isaac memarkir mobilnya di pinggir jalan yang aman, dan keduanya keluar dari mobil untuk merasakan langsung udara pegunungan yang segar. Leticia segera berlari kecil menuju pagar pembatas yang menghadap ke kebun teh di bawah. “Isaac, lihat ini! Indah banget!” serunya sambil mengangkat ponselnya, mengambil beberapa foto sekaligus selfie. Isaac berjalan mendekat, tersenyum melihat Leticia yang begitu bahagia. “Aku senang kamu suka, Leticia.” “Siapa yang nggak suka pemandangan kayak gini? Ini luar biasa,” jawab Leticia, matanya masih terpaku pada keindahan alam di depannya. Setelah beberapa saat menikmati pemandangan dan mengambil banyak foto, mereka kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan. Leticia tampak lebih ceria dari sebelumnya, dan Isaac merasa puas karena bisa memberikan pengalaman ini kepada Leticia. “Ayo, kita lanjut ke atas. Masih banyak yang bisa kita nikmati di Puncak sana,” ajak Isaac sambil menyalakan mesin mobil. Leticia mengangguk setuju. “Yuk! Aku sudah nggak sabar untuk sampai di Puncak Pas. Aku suka pemandangan di atas sana juga luar biasa.” Dengan senyum di wajah mereka dan perasaan bahagia di hati, Isaac dan Leticia melanjutkan perjalanan mereka menuju Puncak Pas, Cisarua Bogor, dengan harapan untuk menciptakan lebih banyak kenangan indah bersama. Perjalanan ini mungkin tidak direncanakan sebelumnya, akan tetapi ternyata menjadi salah satu pengalaman terbaik yang pernah mereka jalani.Beberapa tahun kemudian,Mentari pagi menyinari pantai putih di resort mewah kawasan Nusa Dua, Bali. Suara debur ombak dan angin sepoi-sepoi menyambut hari yang istimewa. Di sebuah vila privat dengan kolam renang menghadap laut, tampak para sahabat lama yang kini sukses berkumpul bersama keluarga mereka dalam sebuah acara reuni keluarga yang telah lama direncanakan.Isaac dan Leticia, pasangan enerjik yang kini memiliki perusahaan ritel berkelas internasional, datang bersama dua anak mereka, Shem, remaja lelaki berusia 12 tahun yang cerdas dan atletis, serta Latisha, gadis berusia 10 tahun yang pandai melukis dan bercita-cita jadi arsitek.Fritz dan Kiran, pasangan bijak nan hangat, hadir dengan dua anak mereka yaitu Daren yang berusia 12 tahun, yang hobi teknologi dan sudah menciptakan aplikasi pertamanya, dan Nava, 10 tahun, yang gemar musik dan selalu membawa ukulelenya ke mana pun.Jacob dan Evanora, pasangan romantis yang dulu berbulan madu keliling Korea Selatan, kini datang ber
Mereka lalu membeli tiket dan menaiki Wolmido Ferris Wheel. Dari atas, terlihat laut biru yang luas, kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan, serta kerlip lampu-lampu kota yang mulai menyala.“Pemandangan dari sini luar biasa,” seru Eva dengan suara pelan.Jacob memandang wajah istrinya yang terkena cahaya senja. “Tapi tetap tidak seindah kamu, Sayangku.”Eva tertawa sambil memukul pelan lengan Jacob. “Ha-ha-ha. Gombal. Tapi aku suka.”Setelah turun, mereka berjalan menyusuri Wolmido Street, jalanan pantai yang dipenuhi toko souvenir, warung makanan laut, dan pertunjukan jalanan. Seorang musisi tua memainkan saksofon, sementara anak-anak berlari mengejar gelembung sabun.Eva dan Jacob duduk di bangku pinggir pantai sambil menikmati odeng panas dan tteokbokki pedas yang baru saja dibeli dari warung kecil.“Tempat ini, rasanya seperti cerita musim panas dalam drama Korea,” gumam Eva sambil memandang laut.Jacob menatap laut juga. “Mungkin karena kita sedang menulis cerita kita sendiri
Setelah menikmati hiruk-pikuk Seoul dan damainya Pulau Jeju, Jacob dan Evanora melanjutkan perjalanan bulan madu mereka ke Gyeongju, kota yang dikenal sebagai Museum Tanpa Dinding. Kota ini kaya akan sejarah dan budaya, bekas ibu kota Kerajaan Silla yang berjaya selama hampir seribu tahun. Keduanya tiba di pagi hari, udara musim semi terasa sejuk dengan langit cerah tanpa awan.Mobil sewaan mereka berhenti di depan Bulguksa Temple, kuil Buddha megah yang merupakan warisan dunia UNESCO.“Wow … tempat ini luar biasa keren,” gumam Evanora sambil menatap tangga batu yang mengarah ke pintu gerbang utama kuil. “Arsitekturnya benar-benar anggun dan damai.”Jacob menggenggam tangan istrinya. “Aku suka ekspresimu setiap kali lihat tempat bersejarah, Sayang. Matamu selalu bersinar.”“Ayo kita eksplor tempat ini,” ucap Evanora tak sabar.Mereka lalu menaiki tangga perlahan, menikmati keheningan dan kesakralan tempat itu. Aroma kayu tua dan dupa menenangkan jiwa. Patung-patung Buddha berdiri t
Destinasi wisata bulan madu Jacob dan Evanora berikutnya yaitu ke Busan dan Jeju.Pagi itu, udara Busan terasa segar dengan semilir angin laut yang menyapu lembut wajah Jacob dan Evanora. Mereka baru saja tiba di kota ini setelah perjalanan singkat dari Seoul. Dengan penuh semangat, keduanya langsung menuju destinasi pertama yaitu ke Haeundae Beach.Saat tiba di pantai, mata Evanora berbinar melihat pasir putih yang lembut membentang luas. Deburan ombak berirama, sementara para wisatawan menikmati suasana dengan bermain air, berjemur, atau sekadar berjalan di tepi pantai."Jacob, lihat itu! Pasirnya benar-benar putih dan lembut!" seru Evanora sambil melepas sandalnya dan berjalan di atas pasir.Jacob tersenyum, ikut melepas sandalnya. "Iya, ini jauh lebih indah daripada yang aku bayangkan. Udara lautnya juga menyegarkan."Mereka lalu berjalan menyusuri pantai, menikmati pemandangan dan sesekali berhenti untuk mengambil foto. Di kejauhan, terlihat beberapa orang bermain voli pantai."
Pagi pertama bulan madu Jacob dan Evanora di Korea Selatan dimulai dengan suasana yang romantis di kamar mandi hotel mewah tempat mereka menginap. Cahaya matahari pagi yang menerobos masuk melalui tirai jendela menambah kehangatan di antara mereka.Jacob sudah lebih dulu mengisi bathtub dengan air hangat yang beraroma bunga-bunga indah. Evanora yang masih mengenakan jubah mandi tersenyum melihat suaminya yang tengah menunggu di dalam bathtub."Ayo masuk, Sayang," Jacob menepuk permukaan air, mengundang Evanora untuk bergabung.Evanora tersipu, tapi tanpa ragu dia pun melangkah masuk. Air hangat langsung menyelimuti tubuhnya, memberikan sensasi relaksasi yang luar biasa. Jacob merangkulnya dari belakang, mengecup lembut bahunya."Hari pertama bulan madu kita. Aku ingin kita menikmati setiap momen bersama," bisik Jacob.Evanora tersenyum, membalikkan tubuhnya sedikit agar bisa menatap wajah suaminya. "Aku juga, Sayang. Aku sungguh tidak sabar menjelajahi Seoul bersamamu."Keduanya meng
Kamar hotel suite tempat Jacob dan Evanora menginap di Seoul tampak hangat dengan pencahayaan temaram. Jendela besar di sisi kamar memperlihatkan pemandangan kota yang gemerlap, sementara tirai tipis yang tertiup angin menambah suasana romantis malam itu. Tempat tidur king-size dengan seprai putih bersih terasa begitu nyaman di bawah tubuh mereka berdua.Jacob berbaring di samping Evanora, menatap wajah istrinya yang tampak cantik meski tanpa riasan. Evanora juga menoleh ke arah suaminya, tersenyum lembut. Mereka baru saja selesai menikmati makan malam di kamar, dan kini mereka akhirnya beristirahat di kamar setelah menempuh perjalanan yang panjang dari Jakarta ke Seoul.“Rasanya masih seperti mimpi,” ujar Evanora pelan, jemarinya menggenggam tangan sang suami erat-erat.Jacob tersenyum. “Aku juga merasa begitu. Aku masih ingat pertama kali bertemu denganmu. Aku tidak pernah menyangka kalau kita akan sejauh ini.”Evanora tertawa pelan. “He-he-he. Dulu kamu terlihat begitu serius da